
Ayara percaya, dengan memiliki buah hati dari orang yang dia cintai maka cintanya akan terbalas. Tapi ternyata yang ia harapkan tidak pernah terwujud. Semakin hari, bukan perasaan cinta yang ia dapatkan, melainkan tingkah luar biasa acuh tak acuh dari suaminya yang selalu ia terima. Sahabatnya bilang, Ayara terlalu memaksakan kehendaknya.
Aku keluar dari kamar mandi, dengan baju yang sedikit basah dibagian depan. Sambil memegang tangan kanan gadis kecilku yang berjalan dengan langkah kecilnya disampingku. Tangan kirinya yang mungil memegang lilitan handuk di tubuhnya. Membuatku tertawa kecil melihat tingkah lucunya yang seakan takut handuk berwarna pink itu akan melorot dari tubuhnya yang mungil. Padahal di kamar ini hanya ada kami berdua.
''jangan tawa Mama.'' Bibir mungilnya mengerucut lucu,seolah tau kalau aku memang menertawakan tingkah lucunya.
Aku hanya mengangguk anggukan kepalaku pelan, tidak menjawab perkataannya. Putri kecilku ini sangat cerewet, kalau aku ladeni perkataannya, ku pastikan kami akan berdebat.
Tahun ini, usia Oryza empat tahun. Dia sudah lancar mengolah kata, perkataannya yang dulu hanya dimengerti olehku, sekarang hampir semua orang yang mengenalnya pun mengerti akan ucapannya. Oryza, termasuk anak yang cepat tanggap dan tidak terlalu manja, dia akan melakukan sendiri apa yang dia bisa. Kecuali itu memang sulit, baru dia akan meminta tolong kepada orang sekitarnya, tidak terkecuali aku, ibunya sendiri yang menemaninya selama hampir 24 jam. Seperti sekarang, aku hanya melihatnya yang sedang berusaha memakai baju tidur bergambar teddy bear warna kuning,walaupun awalnya kesulitan memasukan kepalanya ke lubang baju, tapi melihatnya berhasil, membuat senyumku merekah.
''Ayo Mama, kita tunggu Papa pulang''. Tangan mungil Oryza,menarik tanganku untuk keluar dari kamar. Rutinitas yang kami lakukan tiap hari kecuali weekend. Menunggu sang Papa di teras rumah.
''Hati - hati Dek.'' Aku sedikit ngeri melihatnya berjalan dengan tergesa - gesa menuruni anak tangga. Kamar kami memang berada di lantai dua,dengan dua kamar di atas dan dua kamar di bawah. Kamar atas adalah kamarku dan suamiku, Mas Arlan. Dan di samping kamar kami adalah kamar Oryza. Dulu, itu bukanlah kamar Oryza tapi ruang kerja Mas Arlan,tapi semenjak Oryza berusia dua tahun, kamar itu disulap menjadi kamar putri kecil kami. Oryza memang sudah tidur sendiri sejak berusia dua tahun, walaupun awalnya tidak tega. Tapi sekarang Oryza sudah terbiasa. Sedangkan kamar bawah di alih fungsikan menjadi ruang kerja Mas Arlan, dan kamar satunya di siapkan untuk kamar tamu.
Aku sedang mengobrol dengan Mbak Rinda, tetangga samping rumahku, ketika melihat mobil SUV warna putih, memasuki pagar rumah kami yang sengaja ku buka untuk Mas Arlan. Oryza yang sedang bermain boneka barbie nya,melompat kegirangan ketika melihat mobil Ayahnya memasuki pekarangan rumah. Mobil berhenti di garasi, di samping motor matic ku.
Aku langsung berpamitan dengan Mbak Rinda,setelah melihat Mas Arlan keluar dari mobilnya. Tanganku terulur untuk mencium punggung tangan Mas Arlan, yang terlihat ogah - ogahan mengulurkan tangannya padaku. Aku hanya tersenyum kecut, hal seperti ini sudah biasa.
***
Suara tawa Mas Arlan terdengar sampai ke ruang makan. Kami baru saja menyelesaikan makan malam dan kedua orang yang paling ku cintai itu sudah lebih dulu meninggalkan ruang makan,duduk santai di ruang keluarga. Mungkin Oryza sedang menceritakan hal yang lucu, sehingga Papa nya sampai tertawa. Mas Arlan jarang tersenyum apa lagi tertawa seperti itu. Dia akan banyak bicara dan tertawa kalau itu bersangkutan dengan anaknya dan juga orang yang dia sayangi. Dan akan memasang wajah ketus dan irit bicara pada orang yang tidak dia sukai, walau sulit ku akui aku termasuk dari orang yang tidak disukainya.
''Lagi ngomongin apa sih, kayanya seru banget.'' Aku ikut duduk di karpet tepat disamping Mas Arlan, wajah Mas Arlan yang tadinya sumringah dalam sekejap berubah masam. Mas Arlan berdiri dan mendudukan pantatnya di sofa ruang keluarga, sehingga sekarang hanya aku dan Oryza yang lesehan di karpet. Aku masih mempertahankan senyumku, walaupun sakit diperlakukan seperti ini.
''Tadi Papa gambar bebek Ma, tapi mukanya malah mirip ikan.'' Suara cekikikan anakku mengalihkan rasa sakit yang baru saja ku rasakan.
''Oh ya, sini Mama liat.'' Ku ambil buku gambar oryza di atas meja,yang memperlihatkan hasil karya sang Papa. Tawaku meledak melihat gambar yang ku pegang. Mas Arlan benar benar payah dalam menggambar, walaupun dia sudah berusaha tetap saja gambarnya seperti anak yang baru bisa memegang pena.
''Mas, kamu payah banget loh, ini beneran nggak mirip bebek.'' Aku tertawa geli melihat gambar yang katanya bebek itu,sambil mengarahkan buku gambar ke wajah Mas Arlan. Ku tatap wajah Mas Arlan, yang sama sekali tidak terpengaruh akan ucapanku. Wajahnya tetap datar dan gelengan kecil ia tunjukan.
Mas Arlan beranjak dari duduknya, sambil membungkuk kecil disamping Oryza. ''Belajar sama Mama dulu ya, Papa keluar bentar.''
Keluar bentar yang dikatakan Mas Arlan itu adalah nongkrong di teras samping. Biasanya Mas Arlan akan menghabiskan waktunya disitu sambil menyesap kopi hitam.
''Aku buatin kopi ya Mas.'' Aku baru saja akan beranjak ke dapur, ketika melihat gelengan kepala Mas Arlan.
''Aku bikin sendiri, kamu temenin Oryza aja.'' Ucapan sambil lalu itu membuatku hanya bisa melihat tubuh tinggi tegapnya yang berjalan ke arah dapur.
Entahlah, sampai kapan hubungan kami akan seperti ini. Enam tahun pernikahan bukan waktu yang singkat. Tapi tetap saja tidak ada kemajuan di hubungan kami, aku merasa kami hanya berjalan di tempat. Bukan aku yang tidak ingin berusaha, usahaku sudah banyak selama ini. Tetapi lelaki yang berstatus suamiku itu yang tidak pernah ingin berusaha. Walaupun sekarang di kehidupan kami sudah ada malaikat kecil, tetap saja tidak bisa merubah perasaan Mas Arlan padaku. Dia mencintai darah dagingku tapi tidak dengan diriku.
***
Seandainya dulu, aku tidak terburu buru mengiyakan lamaran dari keluarga Mas Arlan, mungkin hidupku tidak akan semenyedihkan ini. Dulu, Aku sama seperti perempuan lainnya, yang akan jatuh cinta karena melihat fisik yang menarik dari lawan jenis. Siapa yang berani menolak pesona Mas Arlan saat itu,dengan perawakan yang tinggi dan wajah yang tampan, ditambah pembawaannya yang kalem dan tidak banyak tingkah. Membuatku dengan yakin mengiyakan lamaran dari keluarganya, dengan bermodalkan aku menyukainya. Tanpa tau bagaimana sifat asli dari lelaki yang sekarang berstatus suamiku itu.
Ingatanku kembali ke awal pertemuan kami, enam tahun yang lalu. Aku yang terlahir sebagai anak tunggal, terbiasa melakukan apa apa sendiri, termasuk ketika Ayahku sedang sakit. Aku ingat, waktu itu Ayahku harus melakukan operasi, karena batu ginjal yang dideritanya sudah berukuran sangat besar. Aku yang sangat takut akan kondisi Ayahku, dengan segera membawa beliau berobat ke kota besar, yang membutuhkan waktu sekitar 2 jam dari kota tempat tinggalku.
Di sanalah pertama kalinya aku bertemu dengan Mas Arlan, aku yang sedang mengantri obat pasca operasi Ayahku di apotek, bertemu dengannya yang juga sedang mengantri obat. Yang mana baru aku ketahui untuk Adiknya yang juga baru melakukan operasi karena kecelakaan.
Aku yang saat itu sedang menunggu nama Ayahku dipanggil, sedikit terkejut dengan seseorang yang langsung duduk persis disampingku. Wangi parfumnya mengalihkan perhatianku, membuatku tanpa ragu langsung menoleh padanya. Tampan, itu kata pertama yang aku ucapkan di hati. Seperti wanita normal pada umumnya, aku langsung merasa suka padanya. Yah mungkin karena saat itu usiaku masih 22 tahun, aku saja baru menyiapkan diri untuk wisuda bulan depan.
Dan ternyata pertemuan kami berlanjut lagi, ruangan Ayahku dan Adiknya yang baru ku ketahui bernama ghany, bersebelahan. Aku dan Ibuku yang sedang menunggu kepulihan Ayahku pasca operasi, sering bertemu dengan keluarga Mas Arlan yang juga sama seperti kami, menunggu kepulihan Adiknya pasca operasi. Ibuku yang memang mudah bergaul dengan orang baru merasa cocok dengan Ibu Mas Arlan, yang sekarang menjadi Ibu mertuaku. Banyak hal yang mereka ceritakan sehingga saling bertukar nomor telepon. Dan entah bagaimana ceritanya, tepat dua bulan setelah aku wisuda, Ibu mengatakan bahwa Mas Arlan dan keluarganya ingin datang kerumah untuk melamarku. Yang dengan polosnya aku terima, karena merasa aku pun menyukai Mas Arlan.
Bunyi pintu kamar mandi yang di tutup, menyadarkan lamunan panjangku. Tubuh lelaki yang memiliki tinggi 184 cm itu,berjalan dengan gagahnya ke arah kasur yang ku duduki sekarang, aku yang memang masih bersandar di headboard, menatap lelaki yang auranya semakin matang di usianya yang sekarang menginjak 33 tahun.
''Belum mau tidur?''
''Iya, ini mau tidur, nungguin Mas dulu.'' Aku langsung merebahkan diri senyaman mungkin, setelah itu Mas Arlan mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur.
Aku tidur menghadap punggung Mas Arlan yang tidur membelakangiku, hal seperti ini sudah biasa untukku. Tidur tanpa saling berhadapan. Mas Arlan yang akan tidur membelakangiku dan aku yang tetap konsisten tidur menghadap punggungnya. Aku baru bisa tidur menghadap Mas Arlan, ketika Mas Arlan sudah terlelap dan tidak sadar merubah posisinya menghadapku.
***
''Ma, itu apa?''
''Ini namanya perkedel kentang.''
''Oh, Sasa suka nggak mah?''
''Nanti Sasa coba ya,ini rasanya enak, Sasa pasti suka.'' Aku terkekeh mendengar pertanyaan Oryza,ini masih jam setengah enam, tapi putri kecilku ini sudah ikut merecokiku di dapur. Terbiasa tidur cepat, membuat Oryza tidak pernah bangun siang. Jam lima dia sudah bangun dan ikut membantu atau lebih tepatnya ikut merusuh di dapur. Tapi aku malah senang, dengan adanya Oryza,aku merasa lebih semangat melakukan aktivitasku, apalagi mendengar celotehannya yang sering membuatku tertawa.
Oryza yang sering dipanggil Sasa adalah penyemangatku. Di saat aku tidak mendapatkan perhatian dari suamiku, maka aku dilimpahkan perhatian dari anakku. Aku menyayanginya melebihi diriku sendiri.
Anggukan penuh semangat dari anakku,membuatku ingin cepat cepat menyelesaikan masakanku.
Suara langkah kaki Mas Arlan yang menuruni anak tangga, terdengar saat aku selesai menata sayur sop ke meja makan kami. Aku tersenyum senang melihat Suamiku yang terlihat sangat tampan dengan baju yang tadi sudah aku siapkan. Walaupun terlihat tak acuh, tetapi Mas Arlan tidak pernah menolak apa yang sudah aku siapkan dan itu yang membuatku yakin suatu saat suamiku akan balas menyukaiku. Pikiran bodoh sebenarnya, tapi itu adalah salah satu pikiran yang selalu aku tanamkan dari dulu.
''Dikit aja.''
Aku berhenti menuangkan nasi ke piring Mas Arlan, sedikit bingung karena tidak biasanya Mas Arlan makan sedikit. Tidak seperti orang lain yang tidak terlalu suka makan di pagi hari, Mas Arlan adalah penganut makan pagi,siang dan malam harus banyak. Mungkin karena memiliki badan yang tinggi sehingga membuatnya harus menerima banyak asupan. Mas Arlan memiliki tubuh yang ideal untuk ukuran laki laki, mungkin karena Mas Arlan suka berolahraga walaupun hanya jogging atau push up, sehingga membuat tubuhnya terbentuk. Tubuhnya berotot tapi tidak kekar seperti para binaragawan. Aku pun tidak ingin suamiku memiliki tubuh yang kelewat kekar, bukannya suka aku malah akan ketakutan.
''Tumben makannya dikit mas?''
Satu detik, dua detik sampai selesai makan, tidak ada jawaban yang keluar dari mulut manis Mas Arlan. Aku tersenyum kecut, hal seperti ini sudah biasa ku dapatkan.
***
Aku menghela napas untuk kesekian kalinya,mendorong sendiri sofa di ruang tamu, ternyata lumayan berat. Kebiasaanku yang sulit hilang dari dulu adalah aku orang yang mudah bosan melihat ruangan yang itu itu saja. Sehingga beberapa bulan sekali, aku akan merubah tata ruang di rumah ini. Baik itu ruang tamu, ruang keluarga, kamar, bahkan dapur pun menjadi ruangan yang sering aku renovasi sendiri. Hanya satu ruangan yang belum dan mungkin tidak akan pernah aku otak atik yaitu ruang kerja Mas Arlan. Dia tidak suka ruangannya tersentuh olehku.
Aku melirik jam di dinding, tiga jam lagi Mas Arlan akan pulang. Aku sudah menyiapkan bahan untuk menu makan malam kami. Membuat udang saus padang, bakwan jagung dan capcay adalah menu yang akan aku masak sore ini. Mas Arlan tidak pernah makan siang di rumah, walaupun aku tau dia bisa saja pulang untuk makan siang.
Mas Arlan sendiri bukanlah pekerja kantoran, ia memiliki beberapa bengkel mobil dan motor di kota ini dan beberapa cabang di kota lainnya. Dan yang juga aku ketahui Mas Arlan juga memiliki beberapa ruko dan tanah yang disewakan.
Langkahku menuju dapur terhenti, ketika mendengar suara pagar rumah yang dibuka. Tidak mungkin tamu, karena biasanya orang yang berkunjung akan lebih dulu memencet bel yang ada di tembok pagar. Aku segera melangkahkan kakiku ke pintu rumah, berjaga jaga kalau saja ada yang ingin berbuat jahat di rumah kami. Baru saja aku mengintip dari jendela, ketika melihat sosok lelaki yang baru saja menaiki tangga. Tumben, baru saja aku memikirkan kalau dia sangat jarang pulang di siang hari, sekarang sosoknya muncul.
Ku buka pintu rumah, menatap wajah lelaki tanpa senyum yang sialnya masih saja membuatku terpesona, di siang hari yang agak mendung wajahnya masih terlihat segar, ah sialnya kenapa aku bisa jatuh cinta dengan lelaki tanpa hati ini.
''Tumben pulang Mas?'' ku ulurkan tangan dan mengecup punggung tangannya.
Wajahnya terlihat bingung mendengar pertanyaanku. Apa ada yang salah dengan pertanyaanku barusan. Alisnya bahkan naik sebelah seolah pertanyaanku terlalu sulit untuk di jawab.
''Lapar.''
''Haahh''
''Tadi makan dikit, lapar.''
Aku menyipitkan mataku yang memang tidak besar ini,astaga kenapa dia menggemaskan ketika sedang lapar. Aku baru saja menutup pintu rumah, ketika teringat belum masak sama sekali. Salahnya juga, biasanya tidak pernah pulang di siang hari.
''Mas, aku belum masak.'' Ku lihat keningnya berkerut, jangan sampai dia memarahiku hanya karena belum menyiapkan makanan.
''Yang tadi pagi masih ada?''
''Mmm...masih sih,tapi tinggal dikit.''
''Itu aja.''ucapnya sambil lalu, ku lihat Mas Arlan membaringkan tubuh di sofa yang baru saja aku pindahkan.
Aku menghela nafas pendek. Kembali berjalan ke arah dapur, menghangatkan sayur sup yang sisa sedikit di microwave. Merasa sedikit bersalah karena membiarkan suamiku memakan makanan yang mungkin hanya membuatnya kenyang beberapa menit. Sambil menunggu sayur sup, aku menggoreng dua butir telur. Lumayan, untuk pengganjal lapar dan cepat disajikan.
***
Aku baru saja membersihkan meja makan. Ketika merasakan tatapan intens dari Mas Arlan. Tatapan yang sebenarnya sudah aku hapal di luar kepala, ketika dia menginginkan sesuatu. Aku pura pura tidak terpengaruh, walaupun sebenarnya aku sudah tidak konsen.
''Oryza masih tidur?'' Aku hanya membalas dengan anggukan.
''Masih lama?''
''Biasanya satu jam lagi baru bangun.'' Ku lirik Mas Arlan, yang berdiri dari duduknya. Berjalan ke arah tangga menuju lantai atas sambil membuka kancing bajunya.
''Aku tunggu di kamar.'' Aku membelalakan mataku. Siang hari walaupun mendung bahkan sepertinya akan turun hujan, dan kami akan melakukan olahraga menyenangkan. Ya walaupun sebelumnya kami pernah melakukan beberapa kali di siang hari tapi tetap saja akan canggung kalau dilakukan.
Lagi, aku menghembuskan nafas. Ini salah satu hal yang tidak ku sukai dari diriku sendiri, mudah luluh ketika mendapatkan perilaku hangat dari Mas Arlan.
Mas Arlan itu kadang bersikap acuh tak acuh padaku. Ada kalanya dia bersikap ramah bahkan berbicara walaupun tidak banyak, tapi tak jarang ia seperti orang yang tidak mengenaliku.
Ku tutup pintu kamar dan tidak lupa menguncinya, berjaga jaga seandainya Oryza bangun dan langsung masuk ke kamar memergoki pemandangan tidak senonoh orangtuanya yang sedang berolahraga.
Ku tatap wajah suamiku yang juga tidak melepaskan pandangannya dariku, tubuh atasnya yang sudah tidak ditutupi kemeja kerja sedang bersandar di headboard. Seolah mengatakan agar aku segera mendekat. Aku menghela nafas sekali lagi dan berjalan dengan langkah pelan ke arahnya.
Tangannya yang terulur seolah menungguku tidak sabaran. Tubuhku di tarik pelan untuk segera duduk di pangkuannya, ku rasakan sesuatu yang menonjol menekan keras milikku. Tangan kirinya membelai pelan sisi wajahku. Menarik pelan ke arah wajahnya, bibirnya yang selalu membuatku candu melahap dengan pelan bibir penuhku.
Baru saja aku merasakan bibir kami bertemu. Lidah hangatnya sudah memaksa untuk masuk mengabsen gigiku yang rapi. Jangan harap Mas Arlan akan bermain lembut, ia type yang dominan. Tapi entah mengapa aku menyukai setiap sentuhannya di kulitku.
Aku menepuk pelan punggung Mas Arlan ketika merasakan bibirku di lahap penuh, bahkan aku pikir Mas Arlan akan memakan bibirku. Mas Arlan yang tau aku akan kehabisan nafas,melepaskan tautan bibir kami. Walaupun jarak wajahku dengannya tidak berubah, bahkan deru nafas penuh nafsunya terasa hangat menerpa wajahku. Kecupan bertubi tubi aku rasakan di bibirku.
Mataku yang awalnya tertutup perlahan terbuka, kurasakan baju kaos yang kugunakan di tarik ke atas melalui kepala. Napasku memburu ketika merasakan kehangatan yang diberikannya untuk tubuhku. Siang ini, aku kembali mendesah menyebut namanya.
***
Aku keluar dari kamar mandi hanya menggunakan handuk yang melilit di tubuh dan kepalaku. Membersihkan badan setelah melakukan olahraga panas. Mas Arlan sendiri memilih mandi di lantai bawah. Menghemat waktu katanya. Padahal menurutku itu bohong, kami bisa saja mandi bersama.
Aku membuka handuk sampai melorot ke bawah dadaku, menatap ngeri bercak merah yang bersarang di sekitar dada. Aku menggerutu pelan, dasar lelaki tidak ada yang beres kalau berhubungan dengan tubuh wanita.
Suara pintu dibuka, tidak membuatku segera menarik handuk yang melorot. Sudah tau pelakunya siapa. Mas Arlan sendiri hanya menatapku sekilas, seolah tidak peduli dengan apa yang sedang kulakukan. Padahal ini semua ulahnya. Untungnya dia melakukan hanya disekitaran dadaku bukan di area leher. Aku yakin akan kebingungan menjawab, kalau saja Oryza melihat kenapa leher ibunya penuh dengan bercak merah.
Dari cermin aku melihat pantulan Mas Arlan yang sedang membuka lilitan handuk yang ada di pinggangnya. Tanpa malu sama sekali, membuatku bisa melihat miliknya yang walaupun sudah tidak sebesar tadi tapi tetap saja membuatku bergidik.
Tanpa memperdulikanku yang masih sibuk memperhatikan bercak merah di dada. Mas Arlan bahkan sudah menggunakan baju rumah yang membuatku mengernyitkan kening.
''Mas nggak kerja?''aku melirik jam, Ini masih jam dua siang dan sangat langka melihatnya berada di rumah.
''Nggak.'' ucapnya singkat,padat dan jelas.
Aku menggigit bibirku, selalu seperti ini. Dia hanya hangat ketika kami sedang bercinta.
Suara pintu yang tertutup membuatku menghela napas. Setelah cukup puas melihat tanda merah dileher. Aku beranjak ke lemari mengambil baju terusan berwarna cokelat.
Baru saja aku akan beranjak keluar kamar, ketika bunyi notifikasi pesan di ponsel Mas Arlan berbunyi.
''Kebiasan deh Mas Arlan.'' Dia memang sering lupa dengan ponselnya. Ku ambil ponsel yang berada di atas nakas samping kasur. Aku memegang ponsel Mas Arlan dan berniat membawa kepemiliknya. Siapa tau ada pesan penting tentang pekerjaan. Satu pesan kembali masuk, aku tak sengaja membaca pesan yang tampil di pop up ponsel Mas Arlan.
Mataku sedikit melebar membaca pesan yang tidak sengaja aku baca.
R.
Sorry Mas, aku nggak bisa nepatin janji. Tapi aku janji besok kita bakalan sarapan bareng.
Napasku tercekat membaca pesan yang ku baca melalui pop up ponsel Mas Arlan. Aku mengerjap pelan menghalau perasaan tidak nyaman yang aku rasakan. Ketika satu pesan lagi masuk dengan nama yang sama.
R.
Besok ya, aku tunggu di tempat biasa See U mas.
***
Suara nyaring Oryza menyambutku yang baru saja menuruni anak tangga. Dia sepertinya kegirangan melihat Ayahnya jam segini sudah berada di rumah. Aku turun tanpa membawa ponsel Mas Arlan. Anggap saja aku tidak tau apa apa. Ku anggap pesan tadi adalah orang iseng yang sedang menggoda suamiku. Aku harus kuat, selama ini saja aku kuatkan. Walaupun ada yang mengganjal di hatiku.
Oryza yang melihatku,langsung berlari menghampiriku. Tubuh gembulnya terlihat lucu ketika berlari. ''Mamaaaa, Papa udah pulang..hari ini nggak kerja, nggak dapat uang.'' Aku tersenyum geli melihat wajah sok serius anakku. Napasnya ngos ngosan menjelaskan kenapa Papa nya jam segini sudah berada di rumah.
''Sasa senang nggak Papa ada di rumah?''
''Senang sekali mamaaa.'' anggukan penuh semangat membuat rambut hitam lebatnya ikut bergoyang. Dia sepertinya sangat senang, bangun tidur di sambut Ayahnya yang berada di rumah.
Aku melirik Mas Arlan yang sepertinya tidak tertarik dengan pembicaraan kami, ku lihat ia yang sedang fokus menonton pertandingan volleyball.
''Sasa mau bantu mama masak atau ikut Papa nonton?'' Aku memang berencana untuk memasak menu makan malam kami.
''Hmmm sasa pilih apa ma?'' Tanyanya balik yang membuatku sangat ingin menggigit pipi chubby nya.
''Sasa ikut Papa aja ya, kan Papa jarang ada di rumah.'' Ujarku, anggukan menggemaskan ku dapatkan dari putri kecilku ini.
''Tapi ingat ya, jangan ganggu Papa nonton.''
''Ok mama ok.'' Oryza berlari pelan ke arah Papa nya, dengan gaya centil ikut duduk di samping Mas Arlan dan ikut fokus menonton tayangan di televisi.
Aku yang melihat dua manusia beda usia dan jenis kelamin itu sudah anteng menikmati acara televisi, memutar arahku menuju area kekuasaanku yaitu dapur.
***
Arlandra wiratama adalah lelaki yang menjabat tangan Ayahku enam tahun silam. Berjanji pada Ayahku tidak akan menyakiti dan akan selalu menyayangiku. Tetapi entah kenapa, sekarang aku ragu akan janji yang di ucapkannya dulu.
Mas Arlan tidak pernah menyakitiku. Dalam artian melukai fisikku. Dan aku tau bagaimana royalnya dia selama ini. Sebagai orang yang memiliki penghasilkan tiga digit setiap bulannya, membuatku kecipratan hidup enak juga.
Aku bahkan tidak pernah merasakan kekurangan saldo di rekening selama menikah dengannya. Tetapi memiliki keuangan lebih dari cukup, tidak membuatku menjadi wanita yang kelewat boros.
Menyayangiku? apakah Mas Arlan menyayangiku. Dari awal kami menikah, itu adalah pertanyaan yang tidak berani aku tanyakan. Ada kalanya dia perhatian walau hanya sedikit. Tapi ada kalanya juga dia seperti menjaga jarak dariku. Kadang ketika aku bercerita dia masih mau mendengarkan. Tapi di lain kesempatan dia seperti benci dan bosan melihat wajahku.
Dulu, setelah ijab kabul dan melakukan resepsi. Kami layaknya pengantin baru yang berbahagia, Mas Arlan memperlakukanku seperti ratu dalam sehari. Memelukku, menggenggam tanganku bahkan selalu menanyakan apakah aku kelelahan karena harus menyalami banyak tamu.
Kami bahkan melakukan malam pertama beberapa jam setelah resepsi. Hidupku bahagia, tentu saja. Tapi hanya saat itu tidak lebih. Seminggu setelah menikah, aku di boyong ke yogyakarta. Tempat tinggal Mas Arlan. Dan disitulah kehidupan baruku dimulai. Mas Arlan yang sibuk bekerja sedangkan aku menunggu di rumah, Mas Arlan yang berada di rumah tapi sibuk dengan dunianya sendiri, mengacuhkanku. Kami bahkan baru mendapatkan buah hati setelah setahun membina rumah tangga. Yang aku pikir setelah memiliki buah hati sikapnya akan berubah, ternyata tidak.
Hatiku semakin sakit, tapi bodohnya aku masih mau bertahan selama ini.
***
Pagi ini, ku awali dengan overthinking tentang Mas Arlan. Setelah tadi mendapatinya hanya sarapan sedikit, membuatku kembali teringat tentang ajakan sarapan yang tidak sengaja kubaca di ponselnya.
Ditambah lagi rengekan Oryza yang ingin memakan buah naga, membuat kepalaku sedikit sakit. Bukannya aku tidak ingin memberinya buah, hanya saja buah yang diingininya tidak ada di dapur.
''Makan melon dulu ya dek, buah naganya habis.'' Rayuku, suaraku bahkan lebih mirip sales yang meyakinkan pembelinya untuk membeli produk yang di tawarkan.
Gelengan Oryza membuatku menghela napas. Anak ini memang sedikit keras kepala, sama seperti Papanya yang keras kepala tidak ingin mencintaiku. Astaga pikiran macam apa ini.
''Mau buah naga, Mama.'' Elusan di perut ditambah tampang pura pura kelaparan Oryza,membuatku kasian. Oryza memang penyuka buah, hampir semua jenis buah akan lahap dimakan olehnya.
Salahku juga, padahal kemarin aku sudah melihat stock buah sudah habis dan berencana membelinya. Tapi karena ajakan Mas Arlan untuk berolahraga membuatku akhirnya lupa.
''Diperempatan gang depan, biasanya ada yang jualan buah Mbak. Tapi ya ndak tau lengkap apa ora.'' Suara Mbok Sumi, wanita paruh baya yang ikut membantu bersih bersih rumah membuatku menoleh.
Aku kembali menatap putri kecilku ini, wajahnya terlihat menggemaskan yang membuatku langsung memberikan ciuman dipipi kirinya. ''Oke, Sasa tunggu dirumah sama Mbok Sumi, Mama keluar bentar beliin buah naga nya.'' Aku tersenyum senang ketika teriakan heboh Sasa menggema di ruangan ini membuat pikiranku yang tadi sedikit kalut, sekarang membaik.
''Mbok, titip Sasa bentar ya.'' Kutatap wajah Mbok Sumi untuk meminta ijin, setelah mendapatkan anggukan dari beliau, aku segera menuju lantai atas untuk mengambil hoodie dan mengganti celana pendekku dengan kulot berwarna cokelat, tidak lupa ku ambil tas selempang kecil mengisinya dengan dompet dan ponselku.
Aku kembali turun ke lantai bawah tetapi tidak mendapati Oryza dan Mbok Sumi, sepertinya mereka ke taman belakang. Tidak mau ambil pusing, aku segera keluar rumah, menutup pintu dan segera menuju garasi. Ku panasi sebentar motor matic warna hitam, yang sudah menemaniku dari jaman kuliah. Motor yang membuat Mas Arlan kesal, karena mendengar rengekanku yang meminta agar motorku tetap ikut bersamaku saat kami menempati rumah ini.
Kulirik sebentar mobil SUV mini warna putih pemberian Mas Arlan dua tahun silam. Mobil yang sangat jarang ku gunakan kecuali untuk berbelanja bulanan dan mengajak Oryza jalan jalan ke mall. Aku lebih suka menggunakan motor daripada mobil, menurutku motor lebih efisien dan gesit untuk menyalip di saat macet.
Aku mengendarai motor kesayanganku dengan laju sedang, menyalip beberapa kendaraan yang berpotensi tidak membahayakanku. Senyumku terbit ketika melihat toko buah yang dikatakan Mbok Sumi semakin dekat.
Menyalakan sein kiri dan melihat keadaan dibelakangku melalui spion, setelah melihat keadaan aman aku mulai meminggirkan motorku. Ketika tiba tiba saja bunyi klakson yang terdengar nyaring persis berada di belakang motorku. Aku yang kaget dan tidak menyangka, hilang keseimbangan dan membuat motorku oleng ke kiri. Suara gesekan motor dan aspal terdengar nyaring ditelingaku, dengan setengah badanku yang tertimpa motor. Untungnya aku menggunakan sarung tangan dan helm sehingga aman dari gesekan aspal. Hanya saja celana kulot yang ku gunakan tidak kuat menahan gesekan aspal, ku rasakan perih di lutut kiri dengan sobekan yang lumayan besar dari celanaku.
Aku mendengar suara panik orang orang disekitarku dan beberapa orang yang mulai membantuku setelah memastikan luka ku parah atau tidak. Sebagian lagi ku dengar memaki mobil yang langsung kabur setelah kejadian. Astaga sialnya diriku.
***
Tanganku yang memegang gelas berisi teh hangat, masih bergetar walaupun sudah tidak sehebat tadi. Ku minum dengan pelan teh yang masih tersisa banyak di gelas. Aku di papah ke warung makan yang berada dekat dengan tempat kejadian. Diberikan teh hangat dan bahkan di tawari untuk berobat ke klinik terdekat. Yang dengan halus ku tolak, aku ingin cepat pulang dan membersihkan lukaku di rumah.
Jangan tanya penampilanku, dengan wajah pucat dan celana sobek membuatku seperti gembel. Untungnya motorku masih bisa hidup hanya tebeng dan kacanya yang lumayan lecet.
Baru saja aku ingin berpamitan, ketika melihat mobil yang ku hapal luar kepala melewati tempat ku sekarang. Senyumku merekah, dengan segera ku ambil ponsel dari tas selempangku, membuka aplikasi whatsApp ingin menghubungi nomor Mas Arlan. Mungkin saja dia akan kasihan melihat istrinya yang tertimpa musibah, aku pun ingin mengadu kalau aku terjatuh dari motor.
Tanganku yang ingin mendial nomor Mas Arlan terhenti, ketika kulihat mobil yang dikendarainya berhenti di depan rumah makan yang lumayan besar. Jarak yang tidak terlalu jauh, membuatku dengan jelas bisa melihat mobilnya. Sosok tingginya keluar dari mobil dengan tangan yang menggenggam ponsel. Tanpa pikir panjang ku dial nomor Mas Arlan, ingin memberitahunya kalau aku juga berada disini. Suara saluran yang tersambung membuatku sedikit gugup. Kulihat Mas Arlan melihat ponselnya yang menyala menatap sebentar dan menggeser layar ponsel, jantungku mencelos ketika melihatnya menolak panggilanku bahkan ponselnya sekarang dimasukan ke kantong celana jeans yang digunakannya.
Aku menatap nanar sosok yang sepertinya sedang menunggu seseorang. Sampai ku lihat pintu disamping kemudi terbuka, menampilkan seorang wanita yang keluar dengan anggunnya dari mobil suamiku. Jantungku berdetak dengan cepat, bahkan napasku memburu tak beraturan ketika melihat wanita itu berjalan dengan riangnya kearah Mas Arlan. Tubuhku melemah ketika melihat bagaimana Mas Arlan menerima uluran tangan dari wanita itu.
Aku menutup mulutku dengan telapak tangan, mencoba meredakan suara yang ingin keluar dari mulutku. Pandanganku bahkan mengabur tertutupi airmata yang berlomba untuk keluar. Badanku kembali bergetar, merasa syok dengan apa yang baru saja aku lihat.
''Ya Allah gusti, Mbak e nangis piye iki!!'' Suara panik Ibu paruh baya yang ku yakini pemilik warung, malah membuat tangisku semakin menjadi. Untungnya warung ini masih sepi, hanya beberapa pegawai yang melihat tampang menyedihkan diriku.
Kugelengkan kepalaku, memberitahu mereka bahwa aku tidak apa apa. Setelah mengucapkan terimakasih dan perpamitan, aku bergegas keluar dengan lutut yang mulai terasa perih.
Aku bahkan kesulitan memasukan kunci ke lubangnya,karena getaran ditanganku tidak mau berhenti. Menarik napas pelan dan mencoba menenangkan diriku, akhirnya usahaku berhasil. Ku lajukan motor dengan pelan, dengan sebelah tangan yang menghapus air mataku. Sial kenapa malah semakin banyak yang berjatuhan. Untungnya kaca helm yang berwarna gelap membuatku tidak terlalu khawatir akan dilihat orang, walaupun ada yang melihat aku sudah tidak peduli.
Sakit ini benar benar sakit.
***
Aku menatap pantulan wajahku di kaca spion motor, setelah memastikan air mataku tidak keluar lagi, aku segera melangkah dengan tertatih ke arah pintu rumah. Ku tarik napas pelan, berharap Oryza masih di belakang, sehingga aku bisa langsung ke kamar untuk membersihkan diri.
Membuka pintu rumah dengan perlahan,ternyata harapanku tidak terwujud. Oryza yang sedang bermain boneka di ruang tamu dengan ditemani Mbok Sumi, menatapku dengan tampang polosnya.
''Ya Allah, Mbak Ara kenapa?'' Wajah panik Mbok Sumi mengalihkan perhatianku dari Oryza.
''Jatuh dari motor Mbok, tapi nggak papa kok, cuma luka dikit.'' Sekali lagi aku lirik gadis kecilku, yang terpaku menatap penampilanku. Tidak sampai lima detik boneka yang sedang dimainkannya dilempar kesembarang arah. Langkah mungilnya berlari dan menubruk tubuhku.
''Huaaaa..mama berdarah huaaaa.'' Tangisnya pecah sambil memeluk tubuhku, seharusnya aku tertawa melihat wajahnya yang begitu lucu ketika menangis. Tapi ternyata air mata yang ku pikir tidak akan keluar lagi, mengalir dengan deras membasahi pipiku.
Ingatanku kembali pada apa yang tadi ku lihat, dadaku kembali sesak. Jariku mengepal menahan amarah, hatiku luar biasa sakit. Lututku yang terluka tapi kenapa hatiku yang terasa perih.
Kubawa Oryza untuk duduk di sofa ruang tamu, ku usap wajahnya yang basah. Tanpa peduli wajahku bahkan lebih parah darinya. Oryza menatap lututku yang terluka, tangisnya semakin menjadi bahkan kini tangan mungilnya ikut memegang kedua lututnya. Mungkin ikut merasakan apa yang aku rasakan.
Mbok Sumi berlari ke dapur, mengambil peralatan P3K yang ku simpan di lemari. Berlari tergopoh gopoh membuatku tidak tega merepotkan beliau.
''Terima kasih Mbok.'' Ucapku tulus.
''Iya Mbak, cepat sembuh kalau sakit ndak enak.'' Suara keibuan Mbok Sumi membuatku kembali ingin menangis, astaga kenapa aku jadi cengeng begini.
Aku membersihkan lukaku dengan perlahan, tidak terlalu sakit apa karena sakitnya berpindah ke hatiku. Entahlah, sepertinya itu hanya pikiranku saja. Setelah mengoleskan obat merah ke area lukaku, aku melirik Oryza yang mengintip dari balik tubuhku. Dia takut tapi penasaran dengan apa yang kulakukan.
''Mama mau kekamar, Sasa ikut?'' Tawarku yang di balas anggukan penuh semangat gadis kecilku ini.
***
''Mama jatuh dari motor, kakinya luka segini.'' Aku terbangun ketika mendengar suara Oryza, sepertinya Mas Arlan sudah pulang dan sekarang Oryza sedang mengadu ke Papanya.
Aku melirik jam di dinding, baru setengah dua siang tapi Mas Arlan sudah berada di rumah. Sekali lagi ingatanku kembali ke kejadian tadi pagi, ku remas pelan dadaku yang kembali sakit. Kamu berusaha mengecohku dengan pulang disiang hari agar terlihat seperti Suami baik hati. Silahkan lakukan sesukamu!
Langkah mereka yang semakin mendekat, membuatku kembali menutup mata. Kurasakan tangan Mas Arlan yang berusaha melihat lututku yang terluka. Aku yang memakai celana pendek merasakan usapan pelan Mas Arlan di sekitar lukaku. Kalau biasanya aku akan merasa senang disentuh olehnya. Entah kenapa sekarang aku merasa jijik setelah melihat tangannya yang juga menggenggam tangan wanita lain.
Kugeser kakiku agar terlepas dari tangannya. ''Sakit.'' Ucapku pelan, tak menatap wajah lelaki yang berstatus suamiku itu. Hening, tidak ada pergerakan darinya. Hanya suara gaduh Oryza yang sedang menaiki kasur.
''Dek, ayo ikut Papa. Mama mau istirahat dulu.'' Kudengar Suara Mas Arlan yang mengajak Oryza keluar. Napasku tercekat, aku sakit Mas, fisik dan hatiku luar biasa sakit. Bahkan untuk menanyakan bagaimana keadaanku, tidak kamu lakukan.
***
Tadi sebelum tidur, aku sudah menitip pesan pada Mbok Sumi untuk membuatkan makan malam. Dan memintanya untuk tidur dirumah, selagi kakiku masih sakit. Beliau memang tidak menginap dan tidak mengerjakan semua pekerjaan rumah. Memasak memang sudah menjadi tugas wajibku tidak boleh diganggu gugat. Hanya saja karena kakiku sedang sakit ditambah badanku lumayan hangat, aku meminta bantuannya untuk menyiapkan makan malam untuk Mas Arlan dan Oryza.
Biarpun aku sedang marah dan kecewa dengan Mas Arlan, aku tetap tidak tega melihatnya tidak disiapkan makan malam. Walaupun mungkin dia bisa saja mencari makan dengan perempuan itu lagi.
Aku duduk dari posisi rebahanku, menyandarkan punggung ke headboard kasur, badanku lumayan hangat mungkin efek terjatuh tadi. Ku ambil ponsel yang berada di nakas, membuka aplikasi whatsapp dan mencari kontak sahabatku. Kutekan fitur kamera dan mengambil gambar lututku yang terluka, tidak lupa ku kirimkan emot menangis sebanyak mungkin. Aku terkekeh pelan, disaat orang lain akan mengirim hal seperti ini ke pasangannya aku malah mengirim ini kesahabatku.
Tidak sampai satu menit, pesanku dibaca. Dan stiker orang tertawa terpingkal pingkal kuterima sebagai balasan. Bibirku mengerucut, sahabat macam apa ini yang tertawa diatas penderitaan sahabatnya.
Baru saja aku ingin membalas, ketika panggilan video masuk ke ponselku. Ku tarik napas pelan dan mulai menggeser tombol terima di layar ponsel.
Suara grasak grusuk dan gambar yang berpindah pindah mengawali video panggilan kami, setelahnya ku lihat wajah manis sahabatku ini terpampang jelas dilayar ponselku. ''Hai.'' Sapaku pelan, wajahku kubuat setenang mungkin. Walaupun kulihat wajah curiganya seperti ingin mengintrogasiku.
''Masih kuat?'' Tanyanya telak, aku terdiam cukup lama. kemudian mengangguk ragu setelah itu menggeleng pelan dan kembali mengangguk samar. Aku mengalihkan tatapanku darinya, setelah merasa air mataku kembali ingin keluar.
''Nangis Ra, jangan ditahan.'' Ucapnya tegas, ku gigit pelan bibir bawahku mencoba menahan agar air mataku tidak keluar lagi, tapi ternyata aku memang lebih cengeng dari Oryza. Tangisku pecah bahkan sampai tergugu hebat.
''Nggak usah cerita sekarang, aku tau kamu belum siap. Dua minggu lagi aku ke Yogya ada acara, sekalian kita ketemuan. Kamu bisa cerita sepuasnya, mau?'' Jelasnya panjang lebar, yang kubalas dengan anggukan.
''Thanks Nda.'' Ucapku pelan, setelahnya Nanda mengakhiri panggilan video.
Nanda adalah orang yang menentang keinginanku untuk menikah dengan Mas Arlan. Dia bilang aku lebih baik mengejar karir sepertinya. Setelah itu baru memikirkan untuk berumah tangga. Tapi waktu itu aku dibutakan oleh rasa suka, sehingga membuatku tidak menggubris ketidaksukaan sahabatku.
***
Kalau saja kandung kemihku tidak meronta untuk dikosongkan, aku tidak akan mau beranjak dari kasur ini. Rasa nyeri dilututku mulai terasa apalagi ketika dipaksa berjalan, padahal aku sudah meminum obat pereda nyeri tapi masih saja sakit. Ditambah lagi lukanya yang berada dilutut, membuat kakiku tidak bisa diluruskan sekarang.
Aku berjalan dengan kaki kiri yang berjinjit. Berjalan pelan menuju kamar mandi. Baru saja berjalan beberapa langkah, pintu kamar yang terbuka menampilkan sosok laki laki dengan wajah andalannya yaitu tanpa senyum. Ia masuk dengan membawa nampan berisi makanan. Aku mendengus kesal, tadi seingatku aku meminta Mbok Sumi yang membawakan makanan tapi kenapa malah lelaki ini yang datang.
Tanpa memperdulikan kehadirannya, aku kembali melanjutkan langkahku. Mas Arlan yang kulihat sekilas, menaruh nampan yang berisi makanan ke meja kecil di ujung kamar kami. Gerakannya yang seperti ingin menghampiriku membuatku was was, aku berjalan secepat yang aku bisa walaupun gerakanku tidak berarti sama sekali.
Tubuhnya yang sekarang berada dibelakangku, membuatku ingin mengumpat. Jujur saja, sekarang aku tidak ingin diperhatikan olehnya. Aku bahkan menepis tangannya kasar, ketika kurasakan tangannya yang ingin memegang pinggangku. Wajahnya yang terkejut sengaja tidak aku hiraukan, jangankan dia, aku pun sebenarnya terkejut dengan tingkahku sendiri. Selama ini aku tidak pernah bersikap seperti itu terhadapnya.
Hanya saja mengingat tangan itu telah memegang tangan wanita lain,membuatku sama sekali tidak ingin disentuh olehnya. Jangan salahkan aku, aku sama seperti wanita lainnya yang akan ingat sesuatu yang membuat cemburu dan sakit hati. Bahkan aku yakin, ketika nanti aku menua dan pikun, aku pasti akan mengingat dengan jelas adegan tangannya yang menerima uluran wanita itu.
''Bisa sendiri?''
Aku tetap berjalan tanpa menjawab pertanyaannya.
''Bisa buka celana?'' Langkahku terhenti, pertanyaan macam apa itu. Dia pikir aku Oryza yang kadang malas membuka celananya sendiri. Ku tatap wajahnya dengan sinis, lagi lagi tanpa menjawab pertanyaannya.
Gerakanku yang ingin menutup pintu kamar mandi, ditahan dengan tangannya. Kalau saja tidak memikirkan sesuatu dibawah perutku tidak mendesak untuk dikeluarkan, aku mungkin akan mengamuk. Dan kini tanpa memperdulikannya yang melihatku, aku dengan segera menuntaskan urusanku.
***
Aku merebahkan tubuhku dengan segera, setelah makan dan kembali ke kamar mandi untuk gosok gigi.
Mas Arlan sendiri, kembali ke dapur untuk mengantarkan nampan yang isinya sudah habis kumakan.
Kutatap nanar langit kamar dengan lampu yang menghiasinya. Pikiranku kacau memikirkan nasib pernikahan kami. Dulu saja sudah retak apalagi sekarang, mungkin sudah hancur tak berbentuk.
Marah, apa sebelumnya aku pernah marah dengan Mas Arlan? tentu saja jawabannya pernah. Tapi aku marah hanya sebentar, aku marah hanya karena sikap tidak pedulinya padaku. Selebihnya aku akan kembali menyukainya dan kami akan kembali baik menurut versiku.
Tapi sekarang, melihat dengan mata kepalaku sendiri apa yang dia lakukan, membuatku merasa sudah tidak mempunyai harapan lagi. Apa sosok wanita itu yang membuatnya selama ini dingin padaku.
Aku bisa menyebut ini perselingkuhan kan? sepertinya iya. Sial, menyedihkan sekali nasibmu Ayara, sudah tidak dicintai sekarang malah diselingkuhi.
Arghhhhh...kutarik pelan rambutku, merasakan sakit yang luar biasa menyerang kepala.
Suara ponselku yang berdering, menghentikan kegiatanku merenungi nasib. Kuambil ponsel dari atas nakas dan melihat nama pemanggil yang tertera di ponselku.
Ibu.
Ibu menelponku disaat kondisiku seperti ini. Aku berdehem pelan, menetralkan suaraku yang sedikit serak. Jangan sampai Ibu curiga kalau anaknya sedang bermasalah.
''Assalamualaikum Bu'' ucapku seriang mungkin.
''Waalaikumsalam nduk, piye kabare, sehat toh?''
Kugigit pelan bibir bawahku, insting orangtua itu kuat. Mungkin beliau merasakan kalau anaknya sedang tidak baik baik saja.
''Sehat Bu...Ara, Mas Arlan sama Oryza, alhamdulliah sehat, Ibu gimana, sehat kan?''
''Ibu sama Bapak sehat, tapi kok suaramu kayak bindeng toh nduk?''
Aku memutar bola mataku mencoba mencari alasan, tidak ingin berbohong tapi kalau aku jujur nanti Ibu dan Bapak akan kepikiran. ''Oh ini lagi flu aja Bu, tapi udah minum obat palingan besok sudah sembuh kok.'' Maaf Bu, anakmu sudah mulai berbohong.
''Oh pantesan, Ibu kepikiran kamu terus nduk, ternyata lagi flu...yo wes cepat turu biar sesuk awake sehat, salam aja buat Mas Arlan sama Oryza.'' Panggilan terputus dengan aku yang masih termenung.
Kutaruh kembali ponsel diatas nakas dan mulai memposisikan diriku senyaman mungkin, lututku yang terluka membuat posisi tidurku tidak leluasa.
Kulihat Mas Arlan yang sudah kembali dari bawah, ikut menyusulku dikasur. Aku mulai menutup mataku walaupun kantuk belum menyerang. Hening yang kupikir akan terus menemani sampai pagi ternyata tidak ingin bekerjasama. Ketika suara Mas Arlan terdengar, membuat napasku yang tadi mulai teratur kembali terasa sesak.
''Maaf tadi aku nggak angkat telepon dari kamu, ada kerjaan yang sama sekali nggak bisa aku tinggal.'' Ucapnya dengan suara yang bahkan terdengar tanpa beban. Kuremas selimut yang menutupi sebagian tubuhku. Rasanya aku ingin berteriak didepan wajahnya. Ingin mengatakan kalau aku melihat apa saja pekerjaan yang katanya tidak bisa ditinggal itu.
Dengan amarah yang berusaha kuredakan, aku membalikkan tubuhku. Tidur membelakanginya, hal yang kulakukan pertama kali semenjak kami menikah.
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
