Hai Riby (Part 1 - 5)

4
0
Deskripsi

Riby Arnatha, pernah menikah di saat usianya masih 18 tahun. Dan memilih bercerai di usia pernikahan yang baru berjalan empat bulan. Tujuh tahun berlalu, Ia kembali bertemu dengan mantan suaminya, dengan status yang tidak terduga.

Part 1

Riby berjalan dengan gontai, sesekali tangan kanannya menggaruk pelipisnya yang ditumbuhi tiga jerawat. Sepertinya karena terlalu banyak berpikir, membuat benjolan kecil menggemaskan itu muncul tanpa permisi.

Wanita yang hanya lulusan SMA itu, bekerja di sebuah toko kue yang ramai pengunjung. Sudah empat tahun ia bekerja di sana, dengan gaji yang syukurlah selalu naik setiap tahun walaupun tidak seberapa. Lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari hari,membayar kontrakan dan mengirimi uang untuk adiknya yang kini menetap di Bandung bersama Paman dan Bibi dari pihak Ayah.

Hanya saja, sudah dua bulan ini ia dipusingkan dengan sang Tante, yang kembali menagih uang yang beberapa bulan lalu ia pinjam untuk pengobatan Ibunya yang sakit. Uang yang sebenarnya tidak seberapa kalau ia kaya, hanya saja karena ia wanita miskin jadi jumlah tersebut sangat membebani otaknya. Dua puluh lima juta, yang sekarang beranak pinak karena sang Tante yang membungakannya, dan dia bisa apa, selain membayar.

Tante Vina adalah adik kandung Ibunya, kaya raya memang, tapi pelitnya minta ampun. Kalau saja waktu itu tidak mendesak, ia tidak akan mau meminjam uang kepada Tantenya itu. Hanya saja, saat itu ia harus menebus beberapa obat dan keperluan lainnya yang tidak bisa di cover oleh BPJS kesehatan, yang selama ini sangat membantu Pengobatan Ibunya. Ibunya terkena Kanker Payudara stadium 4. Penyakit yang sudah dideritanya selama tiga tahun ini, hingga tiga bulan lalu sang Ibu memilih untuk menyerah dan menghembuskan napas terakhir.

Niatnya ingin menyicil setiap bulan, tetapi tidak disetujui. Dan batas waktu yang diberikan adalah bulan depan kalau tidak ingin bunganya semakin membesar. Tante Vina adalah orang yang nekat, dia masih tidak masalah kalau Tantenya hanya mengamuk di kontrakannya. Tetapi kalau sudah mengamuk di toko kue tempatnya bekerja, dia malu dan takut akan di pecat oleh atasannya karena membuat keributan.

Sekarang mencari pekerjaan itu susah - susah gampang, gampang untukmu yang mau diperalat dan susah kalau kamu tidak mau diperbudak. Riby contohnya, sudah beberapa kali melamar pekerjaan. Sebelum memilih bertahan di toko kue ini, Ia sempat diterima bekerja di sebuah toko yang lumayan besar, dengan gaji yang besar. Hanya saja, selain melayani pembeli ia juga harus pintar merayu pembeli dengan hal yang berbau negatif tentunya. Sudah hal lumrah sebenarnya di kota besar, seperti Jakarta.

Tapi sekarang ia sangat pusing, memikirkan bagaimana cara mendapatkan uang untuk membayar hutangnya. Kadang dia jengkel dengan otaknya, yang tidak terlalu berfungsi. Coba saja ia terlahir dengan otak yang kreatif, mungkin sekarang ia bisa merubah kehidupannya menjadi lebih baik.

Ia pernah merasakan hidup enak, enam tahun silam. Sebelum semuanya berubah hanya dalam hitungan hari. Ayahnya bangkrut dengan meninggalkan hutang yang menumpuk, tempat tinggal dan semua aset tidak bisa diselamatkan. Dan seperti inilah ia sekarang. Tinggal di kontrakan murah, yang awalnya diisi empat orang sebelum sang Ayah memilih pergi untuk selamanya karena frustasi lima tahun lalu. Disusul Ibunya yang sakit sakitan dan ikut meninggalkannya dan adiknya tiga bulan lalu. Dan kini tinggal dirinya sendiri, karena adiknya Arby, ia minta untuk melanjutkan sekolah di Bandung.

Berat memang, tapi mengeluh tidak akan membuatmu bahagia bukan?

***

Riby membersihkan etalase tempat display kue, yang kini sudah kosong. Hari ini, seperti biasa kue yang dijual ludes tanpa sisa. Kue - kue cantik yang sering membuatnya meneguk air liur karena begitu menggugah selera. Hanya saja, harganya sesuai dengan rasanya, yang membuat Riby berpikir seribu kali untuk membeli. Ya dia harus super irit, agar bisa dengan segera membayar hutangnya.

"By, duluan ya, gue udah dijemput soalnya."

Riby hanya mengangguk singkat, mempersilahkan Tami, rekan kerjanya untuk pulang duluan. Sedangkan ia lanjut membersihkan etalase. Ia ditempatkan dibagian depan sebagai kasir sekaligus pelayan. Berdua sebenarnya, hanya saja Citra rekan kerjanya, ijin tidak masuk kerja hari ini.

Sekali lagi, Riby memperhatikan hasil kerjanya. Setelah merasa sempurna, ia memilih untuk beranjak, keluar dari toko yang memang sudah tutup, setelah sebelumnya menyempatkan diri untuk berpamitan kepada bosnya.

Kedua kakinya yang jenjang, melangkah dengan cepat membawanya menjauhi toko. Ia tidak punya kendaraan, jadi yang diandalkannya hanyalah kedua kakinya, yang sekarang sedikit berotot untuk mengantarkannya ke mana pun ia pergi. Tatapannya menyapu keadaan sekitar, ramai seperti biasa, apalagi sore ini cerah tanpa ada tanda - tanda akan turun hujan.

Berjalan sekitar lima belas menit, sampai terlihat gang tempat kontrakannya berada. Riby berhenti sebentar di samping gang, yang terdapat toko sembako yang lumayan besar. Ia berniat membeli beberapa kerupuk mentah, yang nanti akan ia goreng dan di jual kembali, dengan cara menitipkan kewarung warung kecil di dekat kontrakannya.

Riby melangkah memasuki toko sembako tersebut, memilih beberapa jenis kerupuk, sambil mengingat apa saja bahan yang habis di kontrakannya. Tapi seingatnya masih tersisa lumayan banyak. Setelah mengambil beberapa jenis kerupuk dan membayarnya, Riby memilih untuk pulang, istirahat sebentar sebelum melanjutkan aktivitas mencari uang.
 

***

Riby menyeruput kuah mie instan yang dijadikan menu andalannya malam ini, tanpa peduli gedoran di pintu rumahnya sudah memekakan telinga. Ia sudah tahu siapa pelakunya, pasti si Tante yang baik hati. Padahal ini belum awal bulan, tapi kenapa Tante Vina sudah berkunjung ke sini.

Setelah meminum segelas air putih dan tidak lupa bersyukur untuk apa yang ia makan malam ini. Riby memilih beranjak menuju pintu rumah kontrakannya. Menghembuskan napas pelan, menyiapkan diri untuk mendengar kata - kata manis Tante Vina. Memutar kunci dan membuka dengan lebar daun pintu, sehingga menampilkan wajah super masam Tantenya.

"Lama banget, sengaja ya kamu!!"

"Lagi makan Tan, orang kalau lagi makan nggak suka di ganggu." Jawab Riby santai, dengan bersandar di kusen pintu, tanpa repot - repot mempersilahkan Tantenya masuk.

"Halah alasan, gimana, udah dapat uangnya?"

"Baru kekumpul tujuh ratus ribu, Riby bayar segitu dulu ya Tan."

"Nggak mau, kapan lunasnya kalau kamu bayar segitu." Sewot sang Tante.

"Ingat ya, hutang kamu itu, udah hampir empat puluh juta, kalau kamu nggak cepat lunasin, bakalan naik terus bunganya." Lanjutnya dengan suara menggelegar.

Riby mengerutkan keningnya, merasa tidak terima dengan hutangnya yang semakin bertambah. "Kok gitu sih Tan, Riby kan cuma pinjam dua puluh lima juta?" Tanyanya kesal, siapa yang tidak kesal, mengetahui hutangnya sudah beranak pinak.

"Suka - suka Tante dong, itu uang Tante, makanya jangan sok - sokan pinjam uang kalau nggak bisa bayar." Tante Vina berucap dengan wajah angkuhnya, wajah yang tertutupi make up tebal, tetap tidak bisa menutupi banyaknya kerutan di wajahnya.

Hembusan napas kasar Riby, seperti menjawab bagaimana perasaannya sekarang. Dia bisa saja menjawab semua omongan Tantenya, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat.

"Terus gimana, uang Riby belum cukup."

"Ya usaha dong, gimana kek, atau jual aja tuh badan biar cepat dapat duit, toh kamu juga udah nggak perawan!!" Ucap Tante Vina ketus.

Hati Riby mencelos mendengar perkataan Tantenya, bagaimana bisa ada orang sejahat ini. Tapi sekali lagi, ia hanya diam, belum saatnya ia membalas semua perkataan pedas Tantenya.

Riby tidak langsung masuk ke rumah, ketika Tantenya memilih pergi dengan meninggalkan beberapa kata - kata kasar. Matanya nanar menatap Tantenya yang kini berjalan menjauhi kontrakannya.

Sampai ia tersentak kaget, ketika merasakan lemparan snack mengenai bahunya. Kepalanya menoleh ke kanan menatap si pelaku. Ternyata Mitha, tetangga samping kontrakannya yang baru saja keluar sambil membawa beberapa snack. Sepertinya mereka akan mengobrol malam ini. Riby berlari sebentar ke dalam rumah dan kembali keluar dengan membawa setoples ukuran sedang kerupuk yang tadi ia goreng, yang memang ia sisakan untuk camilan.

"Ngapain lagi tuh Nenek gayung?" Tanya Mitha, setelah mereka duduk lesehan dengan beberapa camilan di hadapan mereka.

"Biasalah, nagih duit yang udah beranak pinak." Riby menjawab tanpa minat. Kepalanya sedikit nyut nyutan sekarang.

"Kebangetan tau nggak Tante lo, padahal lo masih berduka, nggak punya hati emang."

Riby mengangguk tanpa menjawab perkataan Mitha. Sudah malas membahas Tantenya yang memang sedikit jahat.

"Lo nggak kerja Mit?" Riby bertanya, untuk mengalihkan Mitha agar tidak membahas tentang Tantenya lagi.

Mitha menggelengkan kepalanya, pertanda tidak untuk pertanyaan Riby. Mulutnya sibuk mengunyah kerupuk yang di bawakan Riby. "Gue libur malam ini, kemaren malam abis ngelayani Om - Om perkasa, gila By, gue hampir pingsan!!" Seru Mitha heboh. "Untung duitnya gede, kalau nggak ngamuk gue."

Riby tersenyum mendengar jawaban Mitha, sudah biasa untuknya mendengar perkataan seperti ini. Iya, Mitha adalah wanita malam, pemuas nafsu lelaki yang membutuhkan belaiannya. Pekerjaan yang salah memang, tetapi mau bagaimana lagi.

Senyumnya sirna ketika mengingat perkataan Tantenya tadi, jual diri agar cepat dapat uang. Apa harus seperti itu. Apa harus ia melakukan hal yang dari dulu ia hindari, dosa sudah menantinya kalau sampai ia nekat. Tapi......

"Mit, ada kerjaan buat gue nggak?"

 


~~~~

Part 2

"Aduh, kenapa lo nabok gue?" Riby mengaduh dan mengelus lengannya yang baru saja dipukul Mitha.

"Elo jangan macem - macem ya by, jangan ngikutin jejak gue, cukup gue aja yang kotor lo jangan!!" Sewot Mitha, matanya hampir keluar karena melotot mendengar permintaan Riby.

Helaan napas Riby terdengar menyedihkan, tatapannya nanar menatap langit malam yang dihiasi banyak bintang. Sangat indah, tapi seolah mengejeknya yang sedang kesusahan.

"Otak gue blank, Mit. Gue udah nggak bisa mikir sekarang."

Mitha ikut menghela napasnya, sebagai orang yang sering mendengar keributan Tante dan keponakan itu, ia tahu bagaimana pusingnya menjadi Riby sekarang. Tapi sekali lagi, ia hanya orang luar dan tidak pantas ikut campur urusan Riby. Kecuali Riby, meminta bantuannya seperti sekarang.

"Kalau aja gue kaya, udah gue bantuin lo, gue bakalan kasih lo duit, tapi nyatanya Tuhan lagi marah ama gue, makanya gue miskin terus." Mitha meracau, dengan tatapan yang ikut menatap langit malam.

Riby tidak menggubris racauan Mitha, otaknya terasa penuh sekarang. Dan ia sedang berpikir, bagaimana caranya mendapatkan uang dengan jumlah yang banyak, supaya hutangnya cepat terbayar.

"Gue serius Mit, cariin gue Om - Om kaya raya dong, promosiin gue, bilang aja gue cuma pernah dipake sekali, itu juga tujuh tahun yang lalu. Aset gue masih bagus, apalagi dada gue, gede." Riby menatap dadanya yang memang berukuran lumayan besar, walaupun masih kalah dari milik Mitha.

"Stress lo!!"

Riby mengangguk, membenarkan perkataan Mitha. Bahkan rasanya ia hampir gila sekarang. Siapa yang tidak akan gila, ia wanita miskin dan sekarang harus menanggung hutang yang tidak sedikit.

"Tante Vina bikin gue gila Mit, kalau aja dia mau berbaik hati, gue nggak bakalan mau kayak gini." Ucapnya dengan suara lirih.

"Gue janji, bakalan berenti kalo udah dapat apa yang gue mau." Lanjut Riby, dengan tatapan memohon kepada teman yang sudah empat tahun ini ia kenal.

"Please."

***

Riby tidak konsentrasi bekerja hari ini, ini sudah hari ketiga, tetapi belum ada kabar apa pun dari Mitha. Apakah tidak ada yang berminat dengannya, atau Mitha yang tidak berminat mencarikan lelaki untuknya. Tapi sepertinya tidak mungkin, kemarin Mitha sudah berjanji untuk membantu.

"Total semuanya dua ratus empat puluh lima ribu, ya Bu."

"Terima kasih, Bu." Riby menghembuskan napas panjang, ketika pembeli terakhir selesai bertransaksi. Ia lirik jam yang menggantung di dinding toko, lima belas menit lagi toko tutup.

"Cit, mulai beberes yuk, gue mau pulang cepat hari ini." Ajaknya pada Citra, rekan kerjanya yang terlihat santai duduk di kursi.

"Yuk." Citra mengiyakan ajakan Riby, dia memang paling suka pulang on time. "Tumben, minta pulang cepat, biasanya lo paling santai kalau bagian pulang." Tanyanya yang kini sudah memegang lap bersih untuk mengelap etalase.

Riby mengedikkan bahunya, ia hanya ingin rebahan di kamar, sambil merenungi nasib mungkin."Lagi pengin leha - leha di rumah, kepala gue agak pusing." Ucapnya, yang kini sudah cekatan menyusun wadah kue dan merapikannya.

Bagaimana tidak cekatan, ini adalah pekerjaan yang sudah empat tahun digelutinya. Bahkan ia sudah bisa membuat beberapa kue yang di jual di toko ini. Walaupun tidak ikut dibagian pembuatan kue, ia sering kali melihat kegiatan teman temannya di dapur. Beruntungnya sang bos bukan orang yang pelit ilmu, sehingga tidak pernah melarang Riby atau pun yang lainnya yang mau belajar untuk melihat cara pembuatan kuenya.

"Selesai!!" Seru Citra heboh, ketika melihat hasil kerjanya. Riby mengangguk ketika ia pun sudah selesai dengan pekerjaannya. "Tunggu Ibu bentar, gue belum laporan pemasukan hari ini." Ucap Riby, yang kini berjalan menuju meja kasir.

Ibu yang dimaksud adalah Bos mereka, Ibu Martha namanya, beliau adalah bos yang luar biasa baik. Hampir semua karyawannya yang berjumlah tujuh orang adalah karyawan lama. Jarang sekali karyawannya keluar karena tidak betah atau hal menyakitkan lainnya. Dulu, Riby pernah berpikir untuk meminjam uang kepada Ibu Martha, ketika membutuhkan biaya untuk pengobatan Ibunya, tetapi diurungkannya karena malu. Dan malah meminjam kepada sang Tante, tapi lihatlah sekarang?

Ia kalang kabut untuk membayar hutangnya.

 

***

Ini masih jam setengah enam di pagi hari, tapi Riby sudah duduk lesehan di depan kontrakannya dengan ditemani sebungkus roti dan segelas teh hangat. Lumayan untuk mengganjal perut sebelum berangkat kerja. Bukan tanpa alasan ia sepagi ini sudah lesehan di depan kontrakannya, sebenarnya ia masih punya banyak waktu sebelum berangkat kerja. Hanya saja, tadi malam ketika ia sudah tertidur, Mitha mengiriminya pesan memberitahukan kalau ada hal penting yang ingin disampaikannya.

Dan di sinilah ia sekarang, dengan mata yang sesekali melirik pintu kontrakan Mitha. Seolah tidak sabar, dengan berita yang ingin disampaikan janda beranak dua tersebut. Nasib mereka sebenarnya hampir mirip, Riby seorang janda tanpa anak dan Mitha yang memiliki dua anak tetapi memilih bercerai dari suaminya. Suami kurang ajar, yang membuatnya harus bekerja seperti ini. Ia bercerai dengan suaminya yang baru diketahui memiliki banyak hutang bahkan menggadaikan rumah tempat tinggal mereka di kampung. Dan sialnya hutang itu harus ditanggung seorang diri oleh Mitha karena mantan suami memilih kabur entah kemana.

Jangan menghakiminya karena bekerja di tempat yang di anggap kotor oleh banyak orang, mereka yang berdasi atau bekerja dibalik gedung yang megah itu, belum tentu mendapatkan uang halal untuk menghidupi diri dan keluarga mereka. Iya kan?

Riby mengunyah rotinya dengan cepat, ketika mendengar suara pintu yang dibuka dengan kasar. Bukan karena Mitha sedang marah, tetapi memang pintunya yang sudah mulai rusak. Maklum mereka tinggal dikontrakan murah, yang biaya sewanya tidak lebih dari lima ratus ribu perbulan.

"Sorry By, bikin lo nunggu." Mitha tanpa malu menguap lebar, dengan rambut yang masih acak acakan. "Gue pulang jam tiga, tadi malam." Lanjutnya, yang kini ikut duduk lesehan di samping Riby.

Riby menggelengkan kepalanya pelan. "Gue yang seharusnya minta maaf, ganggu waktu tidur lo."

Mitha mengibaskan tangannya, setelahnya mengotak atik ponsel yang dari tadi ada digenggamannya. Beberapa detik hanya diisi dengan keterdiaman mereka, sampai Riby mendengar ponselnya berbunyi, tanda ada pesan masuk.

"Tuh, udah gue kirim nomor pelanggan lo, dia minta entar malam, siap - siap aja."

Riby dengan cepat membuka tas selempangnya dengan tangan yang bergetar, ia merasa badannya panas dingin sekarang. Wajar saja, ini pertama kali untuknya.

Napasnya bahkan memburu dengan cepat, ketika membuka ponsel yang sudah ketinggalan jaman itu, ponsel yang sudah menemaninya selama delapan tahun ini, yang ia jaga seperti anak sendiri.

"Ini nanti gimana?" Tanyanya, ketika sudah menyimpan nomor lelaki yang katanya bakal menjadi pelanggannya itu.

"Ntar lo WA aja, basa basi bentar, nanya mau ketemuan di mana, syukur - syukur kalau dia mau jemput lo." Jelas Mitha, yang ternyata dari tadi tidak melepaskan tatapannya dari wajah Riby.

Riby mengangguk anggukan kepalanya, seolah mengerti, padahal sebenarnya ia sangat gugup.

"By."

"Hah?"

"Lo beruntung."

Riby mengerutkan keningnya bingung, dia beruntung tentang apa.

"Lelaki yang booking lo, selama yang gue tahu, dia nggak pernah mau tidur sama wanita mana pun di club, dia cuma datang buat minum atau kumpul - kumpul sama temannya doang, bahkan selama ini nggak pernah ada yang berhasil buat deketin dia." Jelas Mitha panjang lebar.

"Dan....dia sendiri yang datangin gue, buat minta lo." Tepukan pelan Riby rasakan di bahunya. "Gue perlu waktu tiga hari, buat nyeleksi laki - laki yang mau nyentuh lo, sampai gue yakin buat ngelepasin lo sama dia."

"Satu lagi, lo cuma perlu main sekali, karena dia udah deal buat bayar lo dengan nominal yang besar."

Detak jantung Riby terasa cepat bertalu, ia tidak bermimpi kan. Tangannya terasa bergetar menggenggam telapak tangan Mitha yang baru saja ia raih.

"Mit, thanks ya, lo baik banget sama gue, gue janji habis ini gue bakalan bantuin lo." Suara Riby bahkan tercekat sekarang. Ia berjanji akan  membantu Mitha keluar dari dunia yang kini digelutinya.

"Halah...jangan sok dramatis deh By, geli gue." Mitha mengedikan bahunya jijik, membuat Riby mengerucutkan bibirnya tapi kemudian ia tertawa. Mereka sudah biasa seperti ini.

"Aaaa...pokoknya terima kasih Mithaaaa!!!" Serunya, yang kini sudah memeluk erat tubuh janda seksi beranak dua itu.


~~~~

Part 3

Riby menatap dress yang kini dikenakannya, dress yang sempat ia bawa ketika mereka meninggalkan rumah. Sejak orang tuanya bangkrut, ia hampir tidak pernah membeli baju, kecuali baju murah yang dibelinya dipasar.

Ia berharap, kalau nanti mereka bertemu, lelaki itu tidak akan mundur dan membatalkan niatnya, karena jujur saja Riby sedikit tidak percaya diri. Ia tidak punya alat make up yang memadai, ditambah tiga jerawat di keningnya meninggalkan bekas yang tidak enak di lihat. Untungnya rambut sepunggungnya gampang di atur, lumayan mempercantik penampilannya sehingga membuatnya tidak terlalu pusing.

Setelah merasa yakin dengan penampilannya, Riby bergegas menenteng tas murahan yang ia beli lima bulan lalu, bukan karena ingin bergaya, tetapi karena tas yang sebelumnya sudah rusak.

Ia tarik napas panjang dan mengeluarkan dengan pelan dari mulutnya, tidak lupa berdoa dalam hati meminta dilindungi dari kejahatan kalau saja lelaki itu berbuat jahat padanya, tetapi kemudian ia tersadar, Ia meminta kebaikan Tuhan, tapi sebentar lagi ia akan berbuat maksiat.

Drama kehidupan macam apa ini?

***

Pak pelanggan.

Lexus hitam

Riby membaca sekali lagi pesan yang masuk ke ponselnya. Astaga, ia sudah lama tidak memperhatikan jenis mobil, bahkan ia sudah lama tidak merasakan naik mobil selain angkot yang kadang ia naiki kalau ingin ke pasar.

Ia memang menunggu di pinggir jalan yang lumayan jauh dari gang kontrakannya, seperti kata Mitha tadi, bisa saja pelanggannya berinisiatif menjemput. Dan seperti inilah ia sekarang, sedang celingukan mencari mobil hitam seperti pesan lelaki itu.

Matanya dengan teliti membaca nama - nama mobil, tetapi tetap tidak menemukannya. Ia hembuskan napas panjang, ini sudah sepuluh menit berlalu tapi ia belum juga menemukan mobil lelaki itu. Kenapa juga dia tidak dengan segera menampakan dirinya, malah dengan sengaja seperti ini.

Baru saja ia ingin mengirimi pesan, ketika sebuah mobil berwarna hitam metalik perlahan menghampirinya. Riby mengeratkan pegangannya pada tali tas, ketika yakin bahwa mobil ini adalah mobil pelanggannya. Wajahnya terasa kaku, lupa bagaimana cara untuk tersenyum dengan manis, seperti yang diajarkan Mitha tadi pagi padanya.

Matanya tertuju pada kaca mobil samping kemudi yang perlahan diturunkan, sampai kemudian terlihat wajah seorang lelaki yang berada dibalik kemudi yang kini juga tengah menatapnya. Pandangan mereka sempat bertemu beberapa detik, sebelum lelaki tersebut membukakan pintu dari dalam dan meminta Riby untuk masuk.

Riby sempat tertegun beberapa detik, ketika sudah duduk di kursi samping kemudi. Matanya mengerjap beberapa kali dan sesekali mencuri pandang pada lelaki yang kini mulai fokus menyetir. Wajah itu mengingatkannya pada seseorang, yang dulu ikut andil melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. Riby menggeleng pelan, menyangkal tentang kemiripan lelaki yang ada di sampingnya ini dengan lelaki yang dulu pernah ada di kehidupannya walaupun hanya sebentar.

Lelaki ini jelas berbeda, tubuhnya walaupun tengah duduk terlihat tinggi tegap dengan proporsi yang mengagumkan, rambutnya terpangkas rapi dengan warna kulit sedikit kecokelatan yang malah membuatnya terlihat sangat manly. Sedangkan lelaki yang dulu pernah mengikat janji dengannya, memiliki tubuh tinggi tergolong kurus dan berambut sedikit gondrong, walaupun Riby akui wajah mereka terlihat sangat mirip. Tapi bukankah beberapa orang di dunia ini memang memiliki  wajah yang sangat mirip?

Riby menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir pikirannya yang tiba - tiba teringat lelaki itu, lelaki yang awalnya tidak ia kenal dan tanpa disangka menjadi suaminya, karena kesalahan satu malam yang mereka lakukan.

Ia ingin bersuara, karena suasana di dalam mobil yang terasa sunyi, bahkan suara musik pun tidak terdengar. Ingin mempraktekan apa yang tadi diajarkan Mitha padanya. Tetapi yang ia lakukan sekarang hanya membuka dan menutup mulutnya, karena suaranya terasa tersangkut di tenggorokan. Semoga saja, lelaki di sampingnya ini tidak berubah pikiran karena ia yang terdiam seperti patung.

Riby menatap lalu lalang kendaraan dari dalam mobil, yang kini sedang melaju dengan kecepatan sedang. Ia memutuskan untuk diam, seperti lelaki di sampingnya yang dari tadi tidak ikut mengeluarkan suara. Jari jemarinya saling bertaut erat, sedangkan jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Siapa yang tidak gugup kalau sebentar lagi ia akan melakukan hal yang tidak - tidak, dengan orang yang baru saja ia temui. Riby bahkan belum tahu nama lelaki yang terlihat fokus menyetir itu.

Biarlah, nanti mereka bisa saling berkenalan. Tetapi kata Mitha, dia kadang lupa bahkan tidak tahu nama pelanggannya. Apakah nanti mereka akan seperti itu?

Mereka memasuki jalan perumahan, yang dari tampilannya saja deretan rumah itu sudah pasti milik orang - orang  yang tidak kesulitan finansial seperti dirinya. Riby hela napasnya, kapan ia akan memiliki rumah yang bisa di tempati olehnya dan adiknya, Arby. Tidak perlu mewah, yang penting nyaman dihuni dan pastinya tidak seperti suasana di kontrakannya yang selalu gaduh dengan tetangga yang selalu bertengkar. Entah sampai kapan ia akan tinggal di kontrakan. Semoga saja tidak menghabiskan waktu seumur hidupnya.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah bergaya industrial, tidak terlalu besar tapi terlihat sangat nyaman untuk dihuni. Riby melepaskan seat beltnya ketika melihat lelaki di sampingnya sudah keluar lebih dulu. Ia membuka pintu mobil dengan cepat dan mengejar lelaki yang tanpa basa basi meninggalkannya. Langkahnya sedikit cepat bahkan bisa di katakan berlari, mengejar lelaki berkaki jenjang yang kini sudah membuka pintu rumah dan masuk ke dalamnya tanpa peduli kalau Riby masih berada di luar rumah.

Riby ikut masuk ke dalam rumah walaupun sang pemilik belum mengijinkan, tidak mungkin juga ia akan berdiri semalaman di luar rumah karena tujuannya ikut ke sini bukan untuk menjadi pajangan lelaki itu di halaman rumahnya.

Pandangan Riby yang sedang mengamati sekeliling ruangan terhenti, ketika merasakan tatapan dari lawan jenisnya yang kini sedang duduk di lengan sofa sambil bersedekap. Pandangan mereka sempat bertemu beberapa detik, sampai Riby mengalihkan tatapannya dan memilih untuk menunduk menatap kesepuluh jemarinya yang kini saling bertaut. Ia bukan Mitha yang akan agresif melakukan tugasnya, sepertinya berdiri mematung lebih baik daripada memilih mendekat dan merayu lelaki yang kini masih menatapnya dengan sorot mata tajam.

Tapi bukan hanya itu masalahnya, Riby kembali terbayang wajah mantan suaminya dulu ketika tadi tatapan mereka sempat bertemu. Sangat mirip, walaupun lelaki ini terlihat lebih dewasa dengan aura yang lebih baik. Apakah lelaki ini kembaran mantannya suaminya? Tapi sepertinya tidak mungkin.

Riby meringis ketika kembali memberanikan diri untuk menatap lelaki yang kini masih bersedekap di hadapannya, sampai kapan mereka dengan posisi seperti ini. Terasa melelahkan dengan suasana yang sangat hening dan canggung.

"Ada yang mau kamu tanyain?"

Tautan jemari Riby terlepas, ketika mendengar suara berat dan sedikit serak dari lelaki yang masih bersedekap di hadapannya ini. Riby menahan napasnya, detak jantungnya semakin cepat bertalu. Kalau tadi ia masih belum begitu yakin dengan kemiripan mereka, tapi sekarang ia tidak bisa membantah dengan suara yang ia hapal tanpa perlu melihat siapa pemiliknya.

"Mas!!" Seru Riby dengan suara yang bergetar tanpa berani melanjutkan ucapannya, sedangkan lelaki bertubuh tinggi itu mengangguk anggukan kepalanya dan memilih berdiri dengan benar sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Riby.

"Hai...Riby."


 

~~~~

Part 4

Riby kembali meneguk air putih dari botol yang tadi disuguhkan sang pemilik rumah, yang kini duduk di sampingnya dengan ponsel yang menempel di telinga. Tanpa peduli dengan Riby yang mencoba menetralkan detak jantungnya yang sialnya malah semakin cepat.

Mulut Riby komat kamit membaca doa apa saja yang ia hapal, entahlah kenapa ia bisa setakut ini. Padahal mereka sudah tidak punya hubungan apa - apa setelah bercerai. Jadi, kalau mereka bertemu dengan status seperti ini, sebenarnya tidak masalah bukan?

"Ok..gue absen malam ini, lo handle dulu."

".................."

"Iya ada urusan penting, thanks bro."

Riby menggigit bibir bawahnya, ketika tidak sengaja mendengar percakapan Langga dengan temannya. Urusan penting, kenapa ia menjadi takut mendengar kata - kata itu. Apa ia akan dihakimi setelah ini.

Sekali lagi, ia edarkan pandangannya kesekeliling ruangan, menatap apa saja yang bisa ia tatap. Mencoba tidak peduli dengan sorot tajam lelaki yang kini sudah menaruh ponsel di atas meja depan mereka.

Sedangkan Langga, nama lelaki itu. Kini bersandar di sandaran sofa dengan kaki kanan bertumpu di kaki kiri, tatapannya lurus menatap wanita di sampingnya yang terlihat sok sibuk menatap sekitarnya. Tidak banyak yang berubah dari wanita ini, hanya saja sorot matanya terlihat lelah, entah apa yang ia pikirkan sehingga seperti itu. Langga tidak habis pikir dengan wanita yang pernah menjadi istrinya ini, padahal seingatnya wanita ini sudah tidak berumur belasan tahun. Tetapi kenapa pola pikirnya masih ingin bermain - main, tidak mungkinkan ia melakukan ini semata karena uang.

"Sejak kapan kerja kayak gini?"

Riby yang ditanya memilih menundukan kepalanya, ia bingung harus menjawab apa. Apa ia harus jujur atau memilih berbohong saja. Tetapi kalau ia berbohong, apa akan menyelesaikan masalah?

"Emm...baru sekali." Jawabnya yang akhirnya memilih untuk jujur.

Hening beberapa saat.

"Kenapa?"

Riby terdiam cukup lama, ia harus menjawab apa. Jujur ia bingung dan sedikit takut sekarang. Walaupun lelaki di sampingnya ini malah terlihat santai tanpa beban dengan pertemuan mereka, berbanding terbalik dengan dirinya yang kini duduk saja terlihat sangat tegang.

"Ya... biar dapat uang." Ucapnya, yang disambut kekehan Langga. Apa perkataannya lucu sehingga harus ditertawakan.

"Uang dari orang tua kamu kurang, sampai harus kerja kayak gini?"

Riby mendengus mendengar pertanyaan lelaki di sampingnya ini, tapi ia harus marah dengan alasan apa? sedangkan lelaki ini tidak tahu sama sekali masalah hidupnya. Mereka memang tidak pernah bertemu lagi, setelah bercerai tujuh tahun yang lalu.
Ia dengan hidupnya dan Langga dengan kehidupannya yang tidak ia ketahui.

"Harus dijawab?"

Kedikan bahu Langga, ia terima sebagai jawaban. Ya sepertinya tidak ada yang perlu dijelaskan, sekarang yang ia pikirkan hanya bagaimana memulai pekerjaannya. Riby hanya ingin cepat menyelesaikan semuanya, mendapatkan uang, setelah itu pulang dan membayar hutangnya kepada Tante Vina.

Dan semuanya selesai.

***

"Kapan dimulai?"

Langga menatap Riby dengan senyuman jahil, matanya menatap tubuh Riby seperti menilai. Sedangkan Riby yang ditatap seperti itu, tentu saja merasa risih. Tetapi ia tahan mulutnya yang ingin mengumpat, anggap saja ini bagian dari pekerjaannya.

"Kamu kangen gituan sama aku."

Riby tanpa sadar berdecih, apa katanya? Riby merindukan hal yang tidak - tidak dengannya. Apa perlu Riby ingatkan, dulu mereka sampai melakukan hal itu bukan karena suka tapi karena sebuah insiden.

"Profesional kerja aja, lebih cepat lebih baik." Ucap Riby malas.

"Kalau aku nggak mau?"

Riby menatap lelaki di sampingnya dengan kesal, kenapa ia seperti dipermainkan, apa ia sehina itu di mata mantan suaminya ini.

"Kalau Mas emang nggak mau, aku bisa cari pelanggan lain."

Dengusan Langga terdengar meyebalkan untuk Riby, untuk apa ia di bawa ke sini kalau lelaki itu tidak mau. Riby sudah ingin berdiri ketika merasakan tarikan di dressnya. Matanya melotot menatap lelaki yang kini malah tersenyum jahil padanya.

"Kasih tahu aku, kenapa kamu sampai nekat kaya gini, ada masalah?"

Riby yang kembali duduk, tetap diam tanpa menjawab. Ia bimbang, apakah harus memberitahu atau tetap diam saja. Lelaki di sampingnya ini, hanyalah orang luar untuknya. Mereka hanya pernah ada di masa lalu yang tidak pernah diharapkan. Walaupun Langga bukanlah orang jahat atau pernah menyakitinya, akan tetapi tetap saja rasanya ia sungkan berbagi kisah dengan lelaki ini.

"Ibu sama Ayah tahu kelakuan kamu?"

Riby menggeleng pelan, bagaimana mereka bisa tahu, kalau sekarang hanya gundukan tanah yang bisa Riby kunjungi. Tatapan mereka kembali bertemu, tanpa ada yang berniat untuk mengalihkan. Riby juga sudah tidak setakut dan secanggung tadi, karena memang Langga bukanlah lelaki yang jahat, dia orang baik. Walaupun dulu gayanya slengean tapi dia selalu berlaku manis kepada Riby.

"Aku mau ketemu Ibu sama Ayah, boleh?"

"Ngapain?" Tanya Riby cepat, ia tentu saja terkejut.

"Mau kasih tahu kelakuan anaknya."

Riby menatap tajam wajah Langga, napasnya memburu pertanda emosi. Apa hak lelaki ini, ikut campur urusannya.

"Ibu sama Ayah udah meninggal." Ucap Riby pelan, akhirnya ia memilih berterus terang, percuma juga membohongi lelaki menyebalkan ini.

Hening tidak ada yang bersuara, sepertinya Langga terkejut dengan perkataannya. Tarikan napas Riby terdengar memecah keheningan di antara mereka. Ia tidak akan menangis hanya karena memberitahu tentang orang tuanya, tangisnya sudah habis beberapa bulan yang lalu untuk menangisi kepergian Ibunya, walaupun kenyataannya sang Ibu lebih baik pergi daripada menahan sakit. Teringat orang tuanya, ia sedikit terhenyak, di saat orang tuanya sudah berpulang ia malah ingin melakukan hal penuh dosa. Dengan sadar ingin berbuat dosa walaupun karena terpaksa.

Riby mengusap wajahnya, tidak ingin menyalahkan takdir hidupnya, tapi jujur saja ia lelah sekarang. Lelah diberi masalah selama bertahun tahun. Terdengar egois dan tidak bersyukur memang.

"Maaf." Langga berucap dengan nada yang terdengar bersalah, yang dibalas oleh Riby dengan anggukan. Bukan salahnya karena tidak tahu, karena mereka memang tidak pernah berhubungan lagi selama ini.

"Terus uangnya?"

Riby kembali terdiam, apa harus ia menceritakan semuanya pada lelaki.

"Aku punya hutang sama Tanteku dan jatuh temponya bulan depan, aku harus bayar kalau nggak mau hutangku semakin bertambah." Riby menghembuskan napasnya pelan, entah kenapa rasanya melegakan ketika ia sudah mengatakannya.

"Ayah bangkrut dan Ibu sakit sakitan, jadi apa yang diharapkan dari anak yang dari kecil sering dimanja ini, sekalinya menghasilkan uang, dengan cara berhutang dan menjual diri." Lanjut Riby dengan suara yang ia buat seriang mungkin. Ia tidak berharap belas kasihan dari mantan suaminya ini.

"Jadi...apa kita bisa mulai sekarang?" Tanyanya lagi, ia sangat ingin cepat selesai dan pulang ke kontrakannya. Berada dekat dekat dengan laki - laki yang dari tadi mengintrogasinya ini tidaklah nyaman.

Hembusan napas kasar Langga kembali terdengar, setelahnya ia melihat lelaki itu mengambil ponsel yang tadi berada di atas meja. "Berapa nomor rekening kamu?" Tanyanya sambil mengotak atik ponselnya.

Riby mengerutkan keningnya, apa ia akan dibayar sekarang. Tapi melihat tatapan tajam Langga membuatnya menyebutkan nomor rekeningnya dengan lancar.

Riby duduk dengan tegang, menanti detik - detik ia akan dijamah, sambil melihat sekitarnya. Apa mereka akan melakukannya di sini, bukan di kamar. Tetapi tidak apa, yang penting ia melakukan tugasnya dengan baik setelah itu ia berharap bisa pulang dengan selamat. Sampai ia melihat lelaki itu berdiri dari duduknya dan berjalan menuju pintu rumah.

"Ayo." Ucapnya dengan tangan yang meminta Riby ikut berdiri. Riby yang bingung, tetapi tetap mengikuti perintah lelaki itu. Berjalan di belakang sosok tinggi di depannya ini, dengan hati yang bertanya - tanya.

"Kita mau ke mana Mas?" Tanyanya bingung.

"Pulang."

Kerutan di kening Riby semakin bertambah, mereka pulang ke mana? Apa ada tempat lain selain rumah ini.

"Aku anterin kamu pulang." Ucap Langga santai, seperti tahu dengan isi otak Riby.

"Tapi kan kita belum me....."

"Jangan bego, dulu kita pernah melakukan kesalahan dan sekarang kamu mau nambah dosa lagi." Ucap Langga kesal melihat Riby yang semakin menyebalkan di matanya.

Riby tertegun menatap lelaki yang kini berjalan cepat di depannya itu.

 

~~~~

Part 5

Riby berjalan pelan dengan sesekali menoleh kebelakang, memperhatikan laki - laki yang ikut berjalan dibelakangnya ini. Padahal ia sudah mengatakan untuk jangan ikut turun dan mengantarkannya sampai ke kontrakan. Jalan menuju rumah kontrakannya memang sempit dan tidak bisa dilalui oleh mobil. Sehingga mereka harus berjalan dari depan gang menuju kontrakannya sekitar sepuluh menitan kalau berjalan kaki.

Riby menghentikan langkahnya, ketika kontrakannya sudah terlihat. Ia membalikan badan dan menatap lelaki bertubuh tinggi di depannya ini.

"Wah...udah nyampe ternyata, Mas Langga kalau mau pulang, boleh banget loh Mas." Ucapnya dengan nada penuh usiran. Terdengar tidak sopan memang dan tentunya tidak tahu berterima kasih, tetapi ia tidak peduli. Siapa suruh lelaki berstatus duda ini, mengatainya bodoh tadi.

Langga menatapnya dengan wajah datar tanpa peduli dengan usiran Riby. Tangannya dengan ringan mendorong bahu Riby, memintanya kembali berbalik dan berjalan menuju kontrakannya. Riby berdecih melihat kelakuannya, tetapi tak urung kembali berjalan menuju kontrakan sepuluh pintu yang sudah terisi oleh orang - orang butuh tempat berteduh seperti dirinya itu.

Riby mengambil kunci dari dalam tasnya, sambil sesekali melirik lelaki yang sedang memperhatikan kondisi sekeliling kontrakannya. Kalau Riby mengusirnya sekali lagi, apa lelaki ini akan menurutinya untuk pergi? Sepertinya tidak, karena ketika Riby berhasil membuka pintu rumah, Langga tanpa ijinnya langsung ikut masuk ke dalam rumah.

"Kamu tinggal sendirian di sini?" Langga bertanya sambil memperhatikan ruangan yang bisa dikatakan sempit itu. Riby tidak langsung menjawab, lebih memilih masuk ke dalam kamar untuk menaruh tasnya.
Tidak lama kemudian ia kembali keluar dan memperhatikan Langga yang kini lebih mirip seorang audit, mengecek hampir semua bagian dalam kontrakannya.

"Dulu sih berempat, tapi satu persatu udah pergi duluan." Katanya sambil berlalu ke belakang, mengambil toples berisi kerupuk yang masih tersisa banyak. Ia tidak punya makanan lain selain ini, syukur - syukur kalau di makan oleh tamu tidak diundangnya itu.

"Arby?" Langga bertanya dengan ekspresi kaget.

Riby yang sudah duduk di ruang tengah merangkap ruang makannya itu, mengulum senyum melihat wajah terkejut Langga.

"Oh, kalau Arby masih ada tapi sekarang aku titipin di Bandung, tinggal sama Pamanku." Jelasnya singkat.

Langga menghela napas lega mendengar penjelasan Riby, ikut duduk lesehan di depan Riby. Memperhatikan Riby yang membuka toples berisi kerupuk dan menatap nanar perubahan besar pada mantan istrinya ini. Ia mengangguk pelan ketika Riby menawarkan kerupuk padanya, mengambil satu dan dengan sekali suapan makanan renyah itu sudah ada di mulutnya.

"Di sini amankan?" Tanyanya dengan tangan yang kembali mengambil kerupuk di dalam toples, ternyata kerupuk yang ia makan lumayan enak. Riby hanya mengangguk singkat, kembali mengingat suasana kontrakannya, sepertinya sampai sekarang aman walaupun beberapa kali ada keributan dari tetangga sebelah kontrakannya yang sering membuatnya takut.

Suasana menjadi hening, karena mereka berdua yang memilih untuk diam sambil menikmati camilan kerupuk di hadapan mereka. Riby sesekali menatap Langga yang terlihat sibuk mengunyah kerupuk di depannya, tanpa sadar kalau ia sedang diperhatikan.

PRANGG!!!!

Riby terkejut mendengar suara benda yang sengaja dilempar, disusul suara teriakan seorang wanita yang terdengar kesakitan. Sedangkan Langga walaupun tidak terkejut seperti Riby, memilih memfokuskan pendengarannya. Suara yang berasal dari samping kiri rumah membuatnya menghentikan kunyahannya. Ia sudah ingin berdiri ketika pegangan di lengan kanannya menghentikan gerakannya yang ingin berdiri. Riby menggelengkan kepalanya pelan, memintanya untuk kembali duduk.

"Suaminya ganas, Mas."

"Terus?" Tanya Langga dengan kening berkerut.

Riby kembali menggeleng, terdiam sebentar. "Aku takut Mas di apa - apain sama suaminya Mbak Clara." Riby menjelaskan tanpa berani menatap Langga.

Langga menghembuskan napasnya gusar, dibandingkan dirinya, dia lebih khawatir dengan keselamatan wanita di hadapannya ini. Ia sudah ingin protes, ketika mendengar Riby kembali bersuara. "Selagi kita nggak ikut campur, bakalan aman kok di sini." Ujar Riby, sambil mengingat beberapa bulan yang lalu ada tetangga yang berusaha melerai, tetapi akhirnya mendapat bugeman mentah di muka dan perutnya. Sejak saat itu mereka memilih diam dan berusaha tidak peduli, walaupun sebenarnya kasihan dengan Clara, apalagi sekarang ia sedang hamil besar. Tetapi terkadang Riby geram dengan tetangganya itu yang lebih membela suaminya dan memilih untuk selalu bertahan dengan pria bertubuh besar dan bertato hampir di seluruh tubuhnya.

"Kamu nggak pernah di apa - apain kan sama suaminya?" Tanya Langga dengan tatapan menyelidik.

Riby menggaruk keningnya pelan, ia meringis mendengar pertanyaan Langga. Bohong kalau tidak pernah, beberapa kali mereka berpapasan dan tatapan penuh nafsu sering ia terima dari lelaki bernama Rama tersebut. Dan lebih parahnya, ia pernah hampir  dilecehkan dengan dadanya yang hampir dipegang, untungnya ia sempat menghindar dan memilih berlari ke dalam rumah.

"Pernah." Ucapnya jujur, sempat hening sejenak sampai ia mendengar hembusan napas kasar Langga.

Ia melotot kaget, melihat Langga yang kini berdiri dari duduknya, jangan bilang kalau ia nekat menghampiri pasutri yang sedang bertengkar hebat itu.

"Mas, jangan macam - ma......." gerakannya yang ingin ikut berdiri langsung terhenti, ketika melihat Langga mengunci pintu rumah dan kembali berbalik menghampirinya.

Ia bingung dengan kelakuan mantan suaminya itu, apa maksudnya?

"Bisa pinjam bantal sama selimut?" Tanyanya sambil melepaskan jaket yang dari tadi ia gunakan, membuat Riby kembali bingung.

"Aku jagain kamu malam ini." Jelasnya dengan tampang datar, menjelaskan maksud dan tujuannya kepada Riby.

Riby yang terkejut dan ingin protes tidak jadi ketika kembali mendengar suara lelaki yang kini sudah kembali duduk.

"Anggap aja ini cara kamu muasin aku." Ucapnya dengan sorot mata tajam, membuat Riby tidak berani untuk membantah.

 

***

Riby membuka pintu rumah, sambil memperhatikan sekitar kontrakannya. Padahal tidak akan ada yang peduli dengan kelakuannya, ia tinggal di kontrakan yang bisa dikatakan bebas. Para tetangganya sibuk dengan urusannya masing - masing tanpa peduli dengan apa yang ia lakukan.

Jam masih menunjukan pukul lima pagi, bahkan hari masih belum terlalu terang. Tadi malam Langga sempat berpesan kalau ia ada pekerjaan jam tujuh pagi, masih banyak waktu sebenarnya, tapi ia mengingat kalau lelaki tersebut harus pulang ke rumah untuk membersihkan diri sebelum bekerja.

Ia membalikan badan, menatap lelaki yang kini sedang mengeringkan wajahnya dengan handuk. Yang tanpa ijin darinya langsung masuk ke kamar mandi.

Riby sempat tertegun menatap Langga, entah kenapa wajah bangun tidurnya terlihat menyegarkan untuk dipandang. Ternyata benar, semakin bertambahnya usia, maka ada sebagian orang yang terlihat semakin berkharisma dan auranya semakin terpancar, seperti lelaki ini contohnya. Padahal seingat Riby, usia mantan suaminya ini kalau ia tidak salah hitung, tahun ini akan berusia tiga puluh lima tahun.

Tapi kenapa ia terlihat semakin muda dari usianya.

"Kenapa?" Langga bertanya, membuat Riby tersentak kaget dari pikirannya sendiri.

Riby menggelengkan kepalanya, tidak mungkin ia memberitahukan tentang apa yang baru saja mampir di otaknya.

"Mas mau langsung pulang?" Tanyanya, setelah melihat Langga yang sudah memasang jaket. Anggukan dari duda itu ia terima sebagai jawaban. Riby menggigit bibir bawahnya, bingung ingin mengucapkan apalagi kepada lelaki ini.

"Hmm...Mas, terima kasih ya buat uangnya. Aku janji kalau udah punya uang bakalan aku ganti."

Langga menggelengkan kepalanya pelan, sampai tatapan mereka kembali bertemu. "Cepat bayar hutang kamu dan jangan punya pikiran gila lagi." Ucapnya tegas.

Riby mengerucutkan bibirnya. Daripada kesal, ia sebenarnya malu mendengarkan perkataan Langga. Tapi akhirnya ia memilih mengangguk, mengiyakan permintaab lelaki itu.

Ia mengantarkan Langga sampai ke teras kontrakan, memperhatikan langkah lelaki yang tadi berpamitan padanya itu.

Riby meringis ketika merasakan tatapan seseorang di belakang tubuhnya. Ia berbalik dengan pelan dan tersenyum canggung pada wanita yang sudah membuatnya bertemu dengan mantan suaminya itu.

"Tumben, pagi banget bangunnya Mit?" Tanyanya mencoba berbasa basi pada temannya yang kini menatapnya dengan penuh selidik.

"Sengaja, soalnya Penasaran sama mobil yang ada di depan gang plus sepatu laki - laki di depan kontrakan lo?" Jawabnya santai.

Riby terkekeh pelan, mencoba menghilangkan rasa salah tingkahnya. "Hebat banget lo By, bisa bikin pelanggan lo ikut tidur di kontrakan, gue aja belum pernah loh." Lanjutnya dengan senyum jahil.

Ringisan Riby, membuktikan kalau ia bingung ingin menjawab apa. Suatu saat ia akan menceritakan pada temannya ini, tapi untuk sekarang biarkan saja Mitha berasumsi dengan apa yang barusan ia lihat.




●●●●●●●●●●●



 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Drama Cinta Aruna [Part 16, 17, 18, 19, 20 dan 21 END]
9
0
Aruna ingin meralat perkataannya yang mengatakan memiliki tetangga tampan dan mapan itu anugerah, karena nyatanya ia sakit hati ketika tahu tetangga yang disukainya itu akan menikahi wanita lain.Patah hati? Sudah pasti. Kecewa? Jangan ditanya.Tetapi ia bisa apa, selain mengucapkan Selamat menempuh hidup baru, Mas Kala.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan