
Sesosok gadis javanese muda yang bermimpi tentang kehidupannya yang lebih layak. “Suatu hari dalam pelukan mentari”, yang dicengkeram teralis besi dan men-jenak di dunia ilusi yang sekarat.
Ana gula ana semut ⟩ Panggonan sing akeh rejekine, mesti akeh sing nekani ⟩ Tempat yang memberi banyak rejeki, pasti banyak yang mendatangi.

Sudah 4 hari berturut-turut Kaia memberikan makanan pada anak tanpa identitas itu. Sampai hari ke-2, Kaia harus menunggu si anak datang ke sudut jalan di sana. Responnya masih brutal, seperti kali pertama. Kaia pun tidak bertanya atau mengucapkan sesuatu sebab ia tahu bahwa percuma melakukannya. Lagi, dia mendiamkan si anak hingga acara makannya selesai. Hal itu terus berputar, hingga hari ke-3, dan anak itu datang ke sudut jalan lebih cepat dari biasanya. Ketika biasanya sekitar pukul 22.10, maka hari itu si anak datang pada pukul 21.45.
Entah apa yang melatarbelakangi anak tersebut untuk datang lebih awal namun yang pasti tindakannya merupakan kemajuan. Kemarin, saat Kaia menuju boh di depan rumahnya 'tuk menunggu, tak disangka anak itu telah tiba. Ia sendiri tak menyadari sejak kapan dan berapa lama si anak berada di sana ... berdiri, sendirian, dan ... menghadap ke rumahnya.
Hari ini pun, ketika Kaia melihat ke seberang, dia menemukan anak itu telah sigap terjaga. Padahal sekarang pukul 21.00, masih ada setengah jam lagi bagi warung Bu Maksum sebelum tutup. Tanpa bisa berbuat banyak, Kaia tetap membantu Bu Maksum melayani pelanggan. Namun, sesekali netranya melirik pada sosok di sudut sana, seolah takut dia menghilang dalam sekejap.
"Ndhuk, sana, tidur," tegur Bu Maksum ketika melihat perhatian Kaia terus teralihkan pada anak jalanan itu, "aja terus-terusan ngasih makan ke pemulung, nanti tuman ke sini," pesan Bu Maksum, pasalnya belakangan ini, Kaia kepergok membungkus sisa makanan warung.
Kaia menoleh, "Tapi Kaia penasaran, Buk," jawabnya.
Alis Bu Maksum bertaut, "Penasaran nyapo?" tanyanya bingung.
"Kaia penasaran pie kehidupan anak itu di luaran sana," jawab Kaia sembari tangannya menyentong nasi yang tersisa.
Bu Maksum menghela napas pasrah. Sifat keras kepala putrinya memang sulit dihilangkan, "Ya uwes, sing penting, jangan terlalu kepo, bisa bahaya nanti," tuturnya sebelum berlalu membersihkan piring berlemak di meja.
Kaia mengangguk patuh, kemudian berjalan keluar tenda, setelah membungkus nasi, dan siap-siap menyebrang. Bahaya? Tidak, dia rasa tidak bahaya untuk saat ini.
Ketika Kaia menyodorkan nasi bungkus, anak itu segera merebutnya dan makan dengan lahap, seperti singa kelaparan. Ia sudah tidak seagresif dan semalu dulu. Buktinya, sekarang, anak itu telah berani makan menghadapnya meski tanpa suara.
Mungkin ... sudah bisa diajak bicara.
Baiklah, dimulai dari pertanyaan yang ringan. "Siapa namamu?" tanya Kaia. Ia tak terlalu berharap pertanyaannya akan ditanggapi tetapi bibirnya gatal ingin bertanya.
Perlu sekitar sepuluh menit bagi anak itu sebelum menjawab, "Janu."
Perkembangan yang signifikan. Kaia sekarang bisa memanggilnya dengan nama dan bukan si anak anonim lagi, "Nama lengkapmu?" lanjut Kaia. Ia tampak tak puas dengan jawaban singkat yang diberikan.
Janu malah tak menghiraukan pertanyaan Kaia. Dia tengah asyik menggigiti ayam goreng di tangannya. Ya, fokus pada santapan. Sebenarnya sejak kemarin, terakhir kali mereka bertemu, perut Janu belum di-jejeli makanan lagi. Ia sangat menanti-nanti sesi makan ini. Oleh karena itu, selalu memutuskan datang lebih awal. Njegogok di bawah lampu jalan, ditemani aroma harum khas masakan warung.
Dalam waktu lima menit saja, nasi bungkus itu ludes ditelan Janu. Ia sampai menjilati cairan hitam manis di jarinya. Sungguh lezat. Sejujurnya dia masih lapar, tapi melihat Kaia yang dengan baik hati membawakan makanan, itu sudah cukup menyumpal perutnya.
Sementara Kaia sendiri masih menunggu respon atas pertanyaan tadi. Ia tak mau memaksa Janu menjawab, biarkan saja. Entah mendapat angin segar darimana tetapi kali ini adalah kalimat terpanjang yang pernah Janu ucapkan.
"Janu Yudistira," jawab Janu.
"Umurmu?" desak Kaia.
Bukannya menjawab, Janu justru menatap Kaia dengan berani. Mulutnya terbuka sedikit ... namun menutup kembali, seperti sangsi untuk mengungkapkan, lalu ia menunduk. Tak lama kemudian, dahinya mengerut. Jemarinya melukis abstrak di tanah yang lembap itu.
Kaia pun ikut menunduk. Ia memerhatikan tangan kurus Janu yang menggambar angka "tujuh" yang lumayan besar, lalu membuat bentuk serupa di depannya sehingga terlihat bagai "double seven". Janu juga menambahkan garis pendek di tepi serta pucuknya. Berulang kali Janu menebali gambarnya yang absurd itu, berniat menekankan sesuatu.
Apa ada hubungannya dengan umur? Jam? Jumlah suatu barang? Penomoran suatu hal? Atau inisial sesuatu? Kaia belum paham. Ia gagal menafsirkan apa yang dimaksud Janu. Apakah di antara kalian ada yang mengerti maksud anak laki-laki ini?
Pada akhirnya Kaia bertanya, "Janu, kenapa dengan angka tujuh?"
Namun, lagi-lagi Janu setia menebali garis-garis yang dibuatnya. Ia tak membuka mulutnya barang sedetik saja. Hal itu semakin membuat kepala Kaia kebul-kebul memikirkan isyarat Janu.
"Gak papa, Janu, kamu bisa bilang apa yang kamu mau," bujuk Kaia bernada halus.
Tiba-tiba tangan kiri Janu memegang perut, kemudian tangan kanannya menengadah, dengan muka sedatar triplek ia berkata, "Lagi."
Hah? Dia sedang meminta makan, kan?
Kaia tak mempermasalahkan cara Janu meminta, tapi ia tak paham dengan gambaran di tanah itu. Apa hubungannya dengan makan?
Melihat Kaia yang membatu, Janu berinisiatif menunjuk angka "tujuh" di bawahnya seraya berucap, "ayam."
Oh, ternyata maksud angka "tujuh" tadi adalah swiwi, sayap, ayam goreng yang Kaia berikan sebagai lauk. Ia memang seringkali memberi gulu (leher), ceker, dan kadang, jika masih ada, memberi swiwi ayam pada Janu.
Jelas saja aku gak mudheng.
Kaia tersenyum tipis, merasa gemas dan lucu, "Astaga Januku masih lapar rupanya." Spontan, ia ingin menyentuh pucuk kepala Janu.
Tak disangka, akibat terlampau kaget, Janu terjungkal menghindari sentuhan dadakan itu. Ia rupanya tidak terbiasa dengan sentuhan orang lain pada tubuhnya. Rasanya sangat risih dan aneh. Apalagi saat terangkat, tangan Kaia seakan ingin memukul kepalanya.
Kaia menarik kembali tangannya. Ia terlalu gegabah dalam bertindak. Tak seharusnya ada kontak fisik antara orang asing. "Berapa kali Janu makan dalam sehari?" tanya Kaia mencoba mengalihkan topik percakapan.
Janu menggeleng, "Sa—".
"Kaia!" panggilan Bu Maksum menginterupsi. "Wes bengi iki lho, ndang mantuk, kene!" seru Bu Maksum agak geram kala tak mendapati Kaia di dalam rumah. Nyatanya, anak itu masih keliaran dengan sosok tak dikenal ... pun larut malam.
Kaia memejamkan mata dalam-dalam. Ia sampai lupa waktu, padahal sudah sepakat hanya sebentar bertemu Janu, "Nggih, Buk...!" balasnya sedikit berteriak. Dia menghadap Janu lagi sembari berpesan, "besok, datanglah siang, jam satu," sebelum berdiri meninggalkan area itu.
Janu hanya mengamati punggung rapuh Kaia yang tertelan di balik remang-remang jalan. Sebelum menghilang, tampak telinga Kaia di-jewer oleh wanita paruh baya di depan pintu diiringi mulutnya yang komat-kamit.
"—tu," ujar Janu melanjutkan perkataanya yang terpotong.
Di dalam rumah, Bu Maksum mencecar anaknya dengan berbagai pertanyaan, "Uwes bengi, Ndhuk, sesok sekolah. Ibuk tadi wes bilang apa?"
Yang dinasehati hanya bisa menunduk lesu. Memang, dia salah. Diliriknya jam di dinding yang menunjuk angka 22.38. Satu jam lebih delapan menit!? Selama itu, kah mereka bertemu? Pantas saja Bu Maksum memarahi anak sematawayangnya ini.
"Wes, ndang bobok."
Bukannya segera jatuh ke alam mimpi, Kaia malah dipusingkan dengan langkah apa yang akan diambilnya nanti. Dia belum memikirkan cara efektif supaya kegiatan barunya tidak menganggu keseharian.
Kaia ... cuma kasihan. Anak setinggi dagunya yang terlantar dan kelaparan, hingga mengais makanan dari tempat sampah. Tak ada yang peduli sekali pun raganya sedingin bongkahan es.
Setidaknya dia tak mengemis.
Terkadang, Kaia tak habis pikir dengan manusia yang masih muda dan sehat namun meminta belas kasihan dari pintu ke pintu. Mereka mampu bekerja, mampu mencari penghidupan yang layak, tapi malas bergerak sehingga bergantung pada empati orang lain. Bukankah sangat menyedihkan? Oleh sebab itu, di mata Kaia, Janu lebih tinggi derajatnya ketimbang pengemis-pengemis.
Besok harinya, karena janji kemarin malam, Kaia buru-buru pulang ke rumah. Sampai di sudut jalan, ia melihat figur anak mengenakan atasan putih dan celana merah khas SD. Ada pula tas yang tersampir di pundaknya.
Janu?
Benar saja dugaan Kaia. Detik selanjutnya, Janu berbalik dan menatapnya dari seberang jalan. Ia pikir Janu merupakan anak terlantar, nyatanya juga menempuh pendidikan.
Terkutuk kamu, Kaia! Bisa-bisane ngira Janu anak terlantar.
"Sejak kapan di sini?" heran Kaia di hadapan Janu. Ia pikir anak itu akan terlambat datang, ternyata si pembuat janjilah yang terlalu lelet.
Janu mengangguk sekali, memberi isyarat kalau dia juga baru tiba di sini.
Kaia tampaknya harus belajar memahami bahasa kalbu anak itu. Iya, harus! Biasanya orang mengangguk pertanda iya, kan? Tetapi ... kok gak nyambung sama pertanyaannya, ya. Kaia ber-oh ria saja, kemudian menggapai tangan Janu dan menariknya ke gang samping rumah. Ia sedikit tidak nyaman dengan perhatian orang yang berlalu lalang, juga bersembunyi dari pengamatan Bu Maksum. "Janu, aku belum menyiapkan makanannya," sesal Kaia merasa bersalah.
Tak mau tidur terlalu larut hingga mengganggu keseharian, tanpa pikir panjang, Kaia memutuskan pertemuan pukul 13.00. Semula dia ingin pulang awal dan menyisihkan makan siang untuk Janu jadi, tak perlu datang pada malam hari. Namun, tanpa diduga rencananya keluar jalur.
Kaia merogoh kantung roknya, "Ini, aku punya permen," menyerahkan tiga biji jajanan manis itu. Tadi, saat membeli pensil grosiran, jujul atau kembalian lima ratus rupiah diganti dengan gula-gula.
Teringat akan perkataan Bu Maksum bahwa kembalian uang tetaplah uang, sekalipun seratus rupiah. Toh, membelinya juga dengan uang, mengapa kembalian malah diganti permen? Padahal alat pembayaran yang sah saat ini adalah uang. Realitasnya, Kaia tak sempat memprotes aksi pelayan toko tersebut karena dikejar waktu janji. Memangnya, orang dewasa mana yang mau mendengarkan omelan anak kecil, sepertinya?
Sedangkan Janu memasang raut datar. Bukan, ia bukannya marah atau sebal, tapi memang sedari awal dia tak ekspresif. Hanya waktu tertentu dia mengeluarkan gestur, isyarat, tubuh. Lagipula ia suka apa pun yang diberikan oleh Kaia sebab hanya gadis itulah yang menjadi lumbung pangannya.
Bagi Kaia situasi ini makin membuatnya merasa tersudutkan. Tahu, kan rasanya? Ketika membuat kekeliruan dan lawan bicara hanya menampakkan wajah kosong, sangat menyentil hati. Alhasil, cepat-cepat berujar, "Tunggu sebentar." Dia masuk ke rumahnya dan menjumpai Bu Maksum di dapur.
"Maem, Ndhuk," tutur Bu Maksum seraya ripuh mengaduk kuah merah di kuali. Panasnya uap yang dihasilkan tak membuat Bu Maksum jera dalam memasak. Hal ini sudah menjadi makanannya sehari-hari, demi meneruskan hidup.
Kaia mengulurkan tangannya, "Nggih, Buk. Salim dulu." Selepas itu, dia ganti baju serta bersiap makan siang.
Tentunya Bu Maksum tidak membatasi waktu istirahat dan jatah konsumsi Kaia. Anaknya bebas melepas penat kapan pun serta makan sebanyak rongga perutnya. Tak ada porsi tertentu karena pada akhirnya, setiap tetes keringat Bu Maksum tetap untuk sang buah hati.
"Ayam," gumam Kaia sambil menyapit dua potong daging goreng di loyang, "perlu sambal tidak, ya?" monolognya. Ia suka rasa yang membakar lidah. Apakah Janu juga menyukainya atau tidak?
Ah, kesuwen.
Walhasil, menu kali ini seperti hari-hari kemarin. Kaia menghampiri Bu Maksum, "Buk, Kaia keluar sebentar ya," pamitnya, kemudian mencium tangan sang ibu. Dengan sigap kresek hitam di meja ia sembunyikan di balik tubuhnya. Untung, tidak ketahuan, kesibukan membelah fokus Bu Maksum sehingga tidak memerinci alasan Kaia.
"Ayo," ajak Kaia begitu mendapati Janu tidak bergeser dari tempatnya. Ia hendak meng-geret lengan Janu, tetapi Janu malah mengambil satu langkah ke belakang. Oh iya, Janu belum terbiasa dengan sentuhan orang lain.
Kaia berjalan lebih dulu, meninggalkan gang, diikuti Janu menuju lapangan rumput alami di sekitaran sana, "Kita makan di sini saja, ya," kata Kaia.
Mereka memilih duduk di pinggir lapangan, di bawah pohon dengan mahkota daun menyerupai payung, trembesi, nan rindang. Pohon ini banyak ditanam sebagai peneduh, di pelosok desa, serta bagian-bagiannya dapat dimanfaatkan, seperti kayu untuk berbagai furniture dengan harga yang miring, daun untuk pakan ternak, dan buah berupa polong yang tebal dan berdaging untuk bidang kesehatan.
Kaia memecah keheningan, "Janu suka sambal?"
Janu mengangguk ... kemudian menggeleng. Ia mengangguk karena Kaia yang bertanya dan menggeleng karena tak pernah merasakan sambal. Menyentuhnya pun tidak.
"Baiklah, ini." Kaia menyodorkan kertas minyak yang telah dibagi dua beserta isinya. Sengaja tidak membawa kotak makan sebab akan menjadi masalah ketika Bu Maksum mencurigai Kaia makan di luar, "besok pagi datanglah ke sini, jam enam," lanjutnya.
Kaia mengganti jadwal tatap muka agar tak keteteran serta menimbulkan masalah ke depannya. Kalau pagi hari, ia bisa membawa bekal sehingga Janu tak perlu menunggu sampai sore. Tampak lebih efektif.
Janu menggangguk ala kadarnya. Pusat perhatiannya seolah-olah tersedot pada segumpal nasi gurih ini. Enak sekali ... seperti biasa.
Interaksi mereka makin membaik dari hari ke hari. Kecanggungan yang semula melingkupi perlahan meluntur, menyisakan sosok Janu yang mulai menghangat. Perlu 5 hari bagi mereka, khususnya Janu, untuk berkomunikasi dua arah. Komunikasi di sini adalah mengucapkan kata "hai", "halo", "pagi", dan sapaan kecil lain ketika bertemu.
Kaia tersenyum ketika, seringkali, menangkap basah Janu sedang menatap ke arahnya. Tidak ada yang tahu isi kepala anak itu tetapi setiap dilayangkan senyuman, ia selalu mengalihkan pandangan, lalu menunduk, tersipu, malu. Kaia menganggap respon itu sebagai isyarat bahwa Janu sudah menerima kehadirannya sedikit demi sedikit.
Sejauh ini, informasi seputar Janu yang Kaia peroleh, yaitu usianya 9 tahun serta satu-satunya keluarga yang dia miliki ialah sang nenek, baru sebatas itu. Eh, ada satu lagi tetapi Kaia bingung pula bagaimana jawaban yang pasti.
Pernah suatu ketika Kaia bertanya, "Nenekmu di mana Janu?"
"Di rumahnya."
Hah?
"Di rumahmu?" tanya Kaia memastikan gendang telinganya.
Janu menggeleng ... detik berikutnya mengangguk dengan ragu-ragu. Ia mengunyah jajanan Chiki di genggamannya sebelum berucap, "Seminggu sekali."

Terima kasih sudah membaca cerita ini💐
Kalian bisa mengatakan "Hallo👋" padaku:
Akun YouTube» Brassica oleracea var. italica
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
