BROKEN UP. [17]

36
19
Deskripsi

Spoiler :

“Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Sara. Setidaknya jangan sampai salah memilih pasangan.”

Perkataan ayahnya barusan membuat Sara menghentikan kegiatannya melepas seat belt. Matanya terpejam sejenak. Gemuruh di hatinya makin jadi bergejolak. Ia sampai mencengkeram tali seat belt dengan kuatnya. “Aku yang dikhianati tapi aku juga yang dituduh salah pilih pasangan, ya, Yah?” Sara tertawa pelan. “Andai aku tahu rasa seperti apa yang Elpida beri, Yah, aku tolak semuanya. Bahkan kalau perlu, enggak ada perjumpaan pertama dengan El dulu.”

Keping 17

“Kamu yakin enggak ada hubungan apa pun sama bosmu itu?” tanya Adrian untuk ke sekian kalinya. Mendengar pertanyaan itu kembali disuarakan sang ayah, Sara tertawa pelan.

“Ayah meragukan ucapanku?”

Adrian dengan tegas menggeleng. “Entah kenapa masa lalu itu masih terbayang.”

Perkataan sang ayah menyeret paksa Sara pada ingatannya mengenai hari di mana ia memperkenalkan seorang Elpida Jevera ke tengah keluarganya. Yang disambut penuh suka cita, yang ia rasa hubungan mereka berjalan mulus seperti doa dan asanya. Tak ia sangka, dari sanalah awal segala bencana bermula.

“Aku pulang bukan untuk diingatkan mengenai masa lalu, Yah.” Sara bersandar berusaha menyamankan dirinya. Padahal jauh di lubuk hatinya, luka itu serasa dibuka paksa. Sakit sekali. “Tanpa perlu Ayah minta, mengenai permintaan Kira yang menurutku enggak masuk akal, Ayah dan Ummah tenang saja. Aku enggak ada niat untuk kembali bersama El. Apa pun alasannya.”

Adrian memilih untuk tak lagi bersuara. Fokus pada jalan di depannya yang mulai padat merayap. Jakarta pagi hari memang momok tersendiri terutama untuk para pekerja. Hening merayap di antara keduanya. Suara audio mobil bervolume rendah sebagai peneman. 

Gedung perkantoran tempat Sara bekerja sudah terlihat. Mobil yang Adrian kendarai juga sudah mengarah ke area lobby. Sara bersiap untuk segera turun dan berusaha melenyapkan amarah yang mendadak melingkupinya. Pada akhirnya, semuanya hanya tentang Kira, kan?

“Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Sara. Setidaknya jangan sampai salah memilih pasangan.”

Perkataan ayahnya barusan membuat Sara menghentikan kegiatannya melepas seat belt. Matanya terpejam sejenak. Gemuruh di hatinya makin jadi bergejolak. Ia sampai mencengkeram tali seat belt dengan kuatnya. “Aku yang dikhianati tapi aku juga yang dituduh salah pilih pasangan, ya, Yah?” Sara tertawa pelan. “Andai aku tahu rasa seperti apa yang Elpida beri, Yah, aku tolak semuanya. Bahkan kalau perlu, enggak ada perjumpaan pertama dengan El dulu.”

Sara menatap lekat sang ayah sebelum melanjutkan bicara. “Pernahkah Ayah tanya, rasanya jadi aku empat tahun lalu?”

Tidak. Sara tak menutup pintu mobil ayahnya dengan keras. Ia masih punya sopan santu terhadap orang tua. Di benaknya terpatri kuat, berkah hidupnya ada di tiap doa orang tuanya. Meski jengkel dan sungguh rasanya Sara ingin berteriak sepuas mungkin, tapi ia tak bisa melakukan itu di depan ayahnya. Memilih beranjak dengan cepat setelah menyalim sekilas adalah yang ia lakukan demi menghindari banyak ucapan sang ayah.

Langkahnya sedikit tergesa menuju kantornya di lantai 21. Begitu ujung heelsnya menyentuh ruang kerjanya, ia segera duduk dan menyambar gelas minumnya. Meneguk tanpa menyisakan setetes air pun di sana. berkali-kali ia menghela panjang. memijat pangkal hidungnya demi mengembalikan mood yang terlanjur anjlok.

Dering ponsel yang cukup nyaring menyadarkan Sara kalau dirinya tak bisa seperti ini sepanjang hari. Penuh gegas ia ambil ponsel yang masih ada di dalam tasnya. Juga berpindah ke meja kerjanya, bersiap untuk memulai aktifitas yang ia anggap pengalihan. 

Nama Irawan muncul di layar yang mana segera Sara geser icon hijau. “Ya, Pak?”

“Sudah sampai di kantor?”

“Baru saja.” Dengan cepat mata Sara memperhatikan tampilan layar kerjanya. Siapa tahu ada sesuatu yang penting yang harus ia kerjakan. Termasuk benda kecil yang Irawan beri tadi pagi pun, Sara periksa.

“Tolong kirim email MoU terbaru yang ada di data saya, ya. Stempel saya ada di laci kedua. Sepertinya saya kembali ke kantor setelah makan siang. Kamu punya kunci ruangan saya, kan?”

“Ada, Pak.”

“Lepas makan siang kamu susul saya ke Menara Topaz, ya. Bawa salinan penjualan kuartal dua tahun lalu. Datanya juga ada di flashdics tadi.”

“Iya, Pak.”

“Kamu …. Baik-baik saja, Sara?”

***

Sara tak tahu harus bereaksi seperti apa melihat menu makan siangnya kali ini. Entah Irawan kerasukan atau memang kepalanya terbentur sesuatu? Aneka sushi tersaji di meja tempat biasa ia berdiskusi dengan Irawan. Pun satu kartu yang masih ia cerna kata-katanya di sana.

Selamat makan, Sara. Saya harap apa pun yang kamu rasa hari ini, enggak mengurangi binar semangat yang kamu punya. Saya tahu, kamu bisa.

“Bapak makin lama kenapa mengerikan, ya?” dumel Sara akhirnya. Mulai menikmati sajian yang ada karena dirinya diburu waktu. Jangan sampai ia terlambat menemani Irawan meeting dengan kliennya siang hari ini. Berkas yang bosnya minta sudah dipersiapkan. Jangan sampai ada sesuatu yang tertinggal dan membuat repot baik dirinya juga Irawan.

Ponselnya bergetar lembut di tepian meja. Sara memang tak pernah jauh dari ponselnya apalagi kegiatannya sekrnag membutuhkan mobilitas yang cukup tinggi. Diliriknya sekilas, satu pesan masuk yang mana membuatnya ragu untuk segera membalas.

Kira.Ayu : 

Malam ini lo pulang, kan? Gue tunggu, ya. Gue mau pamer sesuatu.

Sara resapi baik-baik tiap kata yang ada di layar ponselnya. Pun foto profil sang kakak yang tadinya tak pernah berminat untuk ia lihat. Entah dorongan dari mana, tangannya menyentuh foto di mana sosok sang kakak bersama suaminya, Elpida, tersenyum penuh bahagia.

Apa kebahagiaan itu palsu? Mengingat semua ucapan Elpida kala itu, membuat hatinya mendadak dipenuhi tanya. Benarkah kebahagiaan untuk Kira hanya semu semata?

Kira.Ayu :

Kenapa gak dibalas, Ra? Gue bantuin Ummah masak, lho. Lo harus pulang, ya. Plissss

Sara mengetik dengan sedikit ragu tapi obrolan dengan ayahnya kembali terngiang. Penekanan yang Adrian beri padanya membuat Sara merasa kedatangannya hanya menambah kemauan Kira agar terkabul. Padahal niat Sara ada di sini untuk Kira serta menegaskan tanpa perlu diminta, dirinya menolak penuh tegas.

Kesara:

Gak janji. Hari ini banyak meeting.

Lama tak ada balasan apa pun dari Kira. Yang membuat Sara sedikit banyak bersyukur. Ia pun mempercepat makan siang yang mendadak sudah tak terasa lagi enaknya. Padahal sushi yang Irawan kirimkan, terkenal dengan kelezatan serta sausnya yang membuat tiap potongan sushi ini terasa berbeda. 

Memutuskan untuk bersiap ke tempat yang Irawan minta, Sara memastikan sekali lagi tas kerjanya berisi lembaran yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Memeriksa sekali lagi layar kerjanya sudah kembali ke mode awal dan semua yang akan ia tinggalkan dalam keadaan aman. 

Baru juga langkahnya keluar ruangan, Irawan ternyata sudah ada di depannya. 

“Bapak!” Sumpah demi apa pun, Sara terkejut. Jantungnya serasa jatuh bergelindingan di lantai. Hal menyebalkan berikutnya justru sang bos tak merasa bersalah sedikitpun. Malah tertawa melihat wajah Sara yang mendadak cemberut ini.

“Kamu pasti melamun, kan?”

“Asal tebakannya dari mana coba?” Sara masih belum mau menanggalkan raut kesalnya. “Kenapa Bapak kembali? Bukannya saya diminta menyusul di Topaz?”

“Batal, Ra. Saya kirim kamu pesan? Enggak dibaca?”

Sara mengerjap pelan. “Iya, kah?”

Irawan berdecak. Membiarkan Sara mengekorinya memasuki ruangan di mana matanya terhenti begitu melihat sajian yang ia kirimkan, masih tersisa banyak. “Enggak kamu makan, Ra? Ini sushi yang kamu suka, kan?”

Pria berkacamata itu benar. Sushi adalah salah satu makanan favorit Sara dan gadis itu agak selektif mengenai restoran yang menyajikan menu sushi karena menurutnya, ada yang enak ada juga yang biasa saja. Dan restoran pilihan Irawan kali ini bisa dibilang enak. Tapi kenapa Sara tak menghabiskannya?

“Dimakan, Pak. tapi ini terlalu banyak.” Sara meringis. “Bapak pesan berapa menu coba? Perut saya bukan karung, Pak.”

“Tapi paling enggak separuhnya gitu, Ra.” Irawan duduk di sofa yang tersedia. “Ada yang bilang, kalau perempuan enggak enak hatinya, makan adalah salah satu obat. Makanya saya belikan agak banyak siapa tahu bisa buat kamu semangat lagi.”

Sara tertawa. “Ehm … enggak salah, sih. Cuma memang saya sudah kenyang, Pak. Tapi saya berterima kasih sekali, lho, Pak. Saya bawa pulang untuk makan malam nanti.”

“Memangnya enak dimakan nanti?”

Sara mengedikkan bahu.

“Ya sudah, siapkan untuk saya saja. Saya masih lapar.”

“Ta-tapi, Pak?” Sara terbeliak. Tangan Irawan dengan cepatnya membuka kotak yang ada. mengambil satu potong dan memakannya dengan lahap. “Bapak bagiannya yang ini saja.” Sara dibuat kelabakan jadinya. “Kotak ini bekas saya tadi. yang ini masih utuh, Pak.”

“Kamu punya penyakit menular memangnya?”

“Bapak!” Sara mencebik kesal. 

“Ya sudah. Kenapa, sih? Saya dilarang makan dari tempat yang sama dengan kamu?”

“Bukan begitu,” erang Sara penuh frustrasi.

“Ketimbang kamu berisik melarang saya makan kotak yang ini lah, itu lah. Lebih baik kamu ambilkan saya minum. Duduk, dan makan bersama saya lagi.”

Sara terpaksa, benar-benar terpaksa menuruti apa keinginan Irawan barusan. Kendati begitu, Sara tak pernah bisa berlama-lama memasang raut wajah jengkel. Ada saja pembicaraan Irawan yang membuat Sara teralih. Tak ada obrolan mengenai pekerjaan, hanya sebatas hal random yang menurut Sara menyenangkan untuk dibahas.

Termasuk film yang tengah diputar di bioskop di bulan ini.

“Free sepulang kerja?” tanya Irawan yang mendadak membuat Sara melenyapkan tawanya. Membicarakan Paul Rudd, tokoh utama di serial Ant-Man kali ini memang meluas pembahasannya. Bahkan sampai seorang Robert Downey Jr. pun masuk dalam lingkupan obrolan tadi.

Makanya pertanyaan Irawan ini membuat Sara mengerutkan kening.

“Kita nonton? Kamu masih berhutang permintaan maaf ke saya, lho.”

“Tapi saya belum menyetujui hal itu, Pak.”

Irawan melepas kacamatanya sejenak. “Yah … disetujui itu perkara mudah, kan?”

Sara berdecak pelan.

“Atau kamu ada janji? Pulang ke rumah misalnya?”

 

 

****

Komentarnya jangan lupa yaaa

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Broken Up
Selanjutnya BROKEN UP. [18]
35
10
Spoiler :“Dan saya hanya memperhatikan kamu menikmati es krim? Enggak ada yang lebih konyol dari hal itu, Ra?” Diletakkan cup es krim miliknya. Menyudahi kegiatan bergumul dengan rasa dingiin serta manis yang menyapa ujung lidahnya. “Not bad, lah, untuk saya yang enggak terlalu suka minuman dingin.”“Ini es krim, Pak, bukan minuman dingin.” Sara tertawa. “Chatime, Iced Frapucinno, Xio Boba, itu baru minuman dingin.”“Sama saja buat saya.” Irawan menarik sudut bibirnya tipis. “Merasa lebih baik?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan