CLBK-38B

0
0
Deskripsi

Dia mendaratkan ciuman sekilas pada bibir istrinya "Gak salah pilih istri, saya." Dia tersenyum lagi, terpana memandangi wajah istrinya. "Saya baru sadar kalo dari dulu udah jatuh cinta sama kamu."

*Image by Senivpetro on  www.freepik.com

CLBK-38B

 

 

Pukul 4 sore, Pradipta sudah tiba di rumah. Karena mendapat kabar langsung dari sang ibu. Dia pun tak bisa berkonsentrasi selama bekerja. Dari mulai telepon, chat hingga video call tak satupun yang direspon sang istri. Nomornya saja langsung non aktif sehingga membuatnya cemas dan gelisah.

"Fira??" Panggilnya dengan langkah terburu-buru masuk ke dalam rumah.

Hening dan begitu sunyi sepi.

"Shafira???" Dia melangkah menuju kamar. 

"Fi..." ucapnya terhenti kala handle pintu tak bisa dibuka. Sang istri pasti menguncinya dari dalam, mengurung diri. Salahkan dirinya yang lupa tidak menggandakan kunci kamar. Sehingga ketika kondisi genting begini tak bisa meringsek masuk, menghampiri istrinya yang tengah marah besar.

Tokk

Tokk

"Fira buka pintunya."

"Fira..."

Masih tak ada jawaban.

"Saya tahu kamu di dalam. Buka pintunya. Kita bicarakan baik-baik. Jangan begini Fira."

Di dalam, Shafira tengah menangis sesegukkan. Memeluk lututnya sendiri, meratapi nasib. Sampai kapan dia akan menerima perlakuan kasar dari Ibu dan kakak suaminya itu. Sampai kapan?

Dia sudah lelah. Lelah karena sang suami terus membela mereka berdua dan meminta dirinya untuk selalu mengalah. Stok kesabarannya kini sudahlah habis!

Tokk

Tokk

"Fira buka pintunya!" Ujar Pradipta dengan nada keras. Tersulut emosi akibat sikap sang istri yang terus mengabaikan perhatiannya, tanpa menunggu penjelasan darinya.

"BUKA PINTUNYA ATAU SAYA DOBRAK, FIRA!!!"

Mendengar sentakkan dari suaminya, otomatis Shafira pun langsung naik pitam. Dia membalas ucapan sang suami tak kalah kerasnya. "AKU CAPEK MAS! AKU CAPEK DIPERLAKUKAN GINI TERUS!!

"Ya makanya kita bicara Fira. Buka pintunya!!" Pradipta menggedor pintu kamar semakin keras. Tak peduli jika nanti pintu itu rusak.

"Gak mau! Kamu samperin Ibu kamu itu! Tegasin soal komitmen kita berdua. Mana janjinya mau bawa anak-anak tinggal di sini?! Mana hah?!! Omong doang!!" Bentak Shafira dengan level amarah teratas. Bahunya sampai naik turun, dengan nafas yang memburu. Saking emosinya.

Merasa tertodong, Pradipta pun mengalah, emosinya perlahan menurun dan nada suaranya pun berubah melembut. "Saya perlu waktu Fira. Gak semudah itu menghadapi sifat keras Ibu."

"Ayok buka pintunya. Kita bicara baik-baik. Jangan kayak gini. Entar malu kalo kedengeran tetangga." Bujuknya dengan nada semakin melembut. Dia tahu dan salah strategi barusan. Jika dengan cara sama-sama keras, sama-sama pakai emosi maka tak akan bisa memecahkan masalah. Justru semakin memperbesar masalah.

Masa iya tadi pagi begitu intim dan mesra tiba-tiba sore harinya malah perang dunia ketiga? Konyol sekali menurutnya.

"Sayang... buka pintunya. Saya mau bicara. Kamu mau pukul saya, tampar saya kek. Silahkan. Luapkan emosi kamu itu ke saya." Bujuknya kembali tak pantang menyerah. "Buka pintunya dong Sayang, kalo gini terus gak akan nyelesein masalah."

Shafira akhirnya terayu juga dengan kata-kata manis suaminya itu. Logikanya juga mengatakan jika sikap seperti ini bukan hal bagus dan tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaiknya dibicarakan dan keluarkan unek-uneknya selama ini pada pria itu. Juga mengutarakan apa yang membuatnya merasa nyaman dan apa saja yang selama ini membuatnya tertekan.

Klekk

Dia memutar kunci lantas membuka pintu pelan. Dengan memalingkan wajah, ogah menatap wajah suaminya.  Tak ada senyuman, hanya ada tampang judes dan galaknya yang kentara.

Pradipta tersenyum lantas kedua tangannya meraih tubuh ramping istrinya itu. Mencium puncak kepalanya berkali-kali. Tak peduli dengan pukulan keras di dada bidangnya sebagai bukti kekesalan dan amarah wanita itu padanya juga ibunya.

"Kenapa kamu gak koar-koar? Gak bentak-bentak kayak dulu kalo kita lagi berantem, huh!? Kenapa kamu nyentak cuma karena aku gak bukain pintu? Kenapa sekarang kamu gak emosian Mas? Aku udah bentak-bentakin kamu. Kenapa kamu malah ngalah?"

Pertanyaan beruntun dari ibu dua anak ini yang merasakan perubahan sikap dari suaminya. Yang memang responnya berbeda ketika dulu sewaktu bercerai dan sekarang setelah rujuk lagi.

Pradipta memeluk istrinya semakin erat. "Saya kan udah kepala 4. Masa iya gitu terus. Kalo emosi dilawan emosi, emang bakal ada solusi? Gak kan? Yang ada masalah malah semakin tambah besar dan ruwet." Jedanya seraya merangkul sang istri untuk duduk di sisi ranjang. "Saya tahu Ibu sudah lancang sama kamu. Tindakan Ibu tadi emang gak dibenarkan. Secara langsung Ibu memperlihatkan figur yang buruk sebagai seorang nenek."

"Ibu ngancem aku Mas. Dia bilang pindah atau pisah sama kamu, hiks..." sela Shafira mengadu. Rasa sakit hati juga amarah masih membekas jika teringat kalimat itu lagi.

Pradipta semakin merekatkan pelukannya. Dielusnya dengan lembut surai panjang sang istri dan sesekali dikecupnya. "Sebelum ke sini, saya tadi ke Sailendra, nyamperin Ibu lho... sempet perang adu mulut sama Ibu. Saya tahu kamu nggak salah, tapi tetep Ibu gak mau ngalah Fira. Dia selalu merasa benar. Watak Ibu kan gitu. Keras, idealis, arogan. Percuma dibilangin... "

Shafira diam saja mendengarkan. Semua yang diutarakan suaminya memanglah benar. Dan dia merasa masih belum bisa bersikap dewasa dalam menghadapi setiap masalah.

"Saya sampai gak bisa konsen kerja tadi lho. Kamu susah banget dihubungin. Mana tadi saya lagi meeting sama menteri. Mana bisa saya cabut gitu aja kan?"

"Tadi ketemu Menteri? Menteri apa?" Tanya Shafira setengah kaget. Sejenak melupakan kesedihan, kekesalan dan amarah pada sang suami dan ibu mertua. Dalam hati dia merasa bangga suaminya ini sering bertemu orang penting. Padahal seharusnya tak perlu aneh lagi dengan jabatan suaminya itu.

Pradipta terkekeh geli lantas mengangguk. Sungguh lucu dan lugunya sang istri. Ekspresi wajahnya yang membuat dia selalu jatuh cinta. "Kominfo."

"Keren..." ucap Shafira hanya gerakan bibir saja dan dengan kepala menunduk. Merasa tak pede karena dirinya yang berasal dari keluarga menengah ke bawah. Yang tentu menjadi akar masalah juga dengan sang ibu mertua.

"Kak Tiara, dia terciduk selingkuh. Lebih tepatnya ketahuan suka mengencani brondong."

Shafira langsung mendongakkan kepala, menatap sang suami dengan keterkejutannya.

"Mas Fahmi juga sama, ketahuan punya istri simpenan. "

Shafira sampai melotot tak percaya. Ada berita besar seperti ini di Sailendra. Apa ini ada hubungannya dengan sikap sang mertua? Dia semakin penasaran. Posisi duduknya berpindah, lebih berhadapan dengan sang suami. Bersiap menjadi pendengar yang baik.

"Kacau. Di sana kacau Fira. Sampe Ibu stress. Ibu malu dengan berita aib ini. Takut sampai tembus ke media. Lebih takutnya Ibu mencemaskan kondisi mental Erica dan Shella.  Gimana kalo mereka tahu orang tuanya brengsek dua-duanya. Pasca kejadian itu Ibu sering uring-uringan. Adik sama keponakannya aja jadi kena semprotan. Sampe pindah sewa apartemen."

"Kejadiannya kapan?" Tanya Shafira mulai paham faktor pemicu sang mertua datang tiba-tiba dan membuat kerusuhan di rumah.

"Ada semingguan. Pas anak-anak kita tinggal di sini." Pradipta menjeda, tangannya menggenggam kedua tangan istrinya. "Fira... dengan kondisi seperti itu apa mungkin Ibu mau, dan setuju keputusan kita?"

Shafira hanya diam saja menatap lekat kedua manik mata suaminya.

"Orang tua saya tinggal Ibu saja Fira. Beliau udah tua, sendiri ditinggal suami. Apalagi sekarang dikecewakan sama putrinya. Gimana kondisi mental Ibu? Ibu kesepian Fira di sana. Erica sedang summer school di London. Shella langsung dibawa sama nenek-kakeknya. Ibu tinggal sendirian di sana. Rumah dua orang itu kosong melongpong. Bahkan sebagaian ruangannya tak layak huni karena rusak penuh barang pecah."

Pradipta kini memeluknya, menyalurkan rasa cinta dan sayangnya pada wanita itu. "Saya tahu rasa sakit hati kamu sama Ibu begitu banyak. Tapi saya gak bisa ninggalin ibu terus menerus sendirian di sana, Fira. Ibu butuh kita. "

Shafira melepas pelukan sang suami. "Tapi, Ibu gak akan bahagia dan nyaman kalo aku tinggal di sana Mas."

"Ibu hanya belum mengenal kamu lebih dekat Fira. Selama ini Tiara selalu memprovokasi dan mempengaruhi Ibu. Dan saya minta maaf atas sikap zalim Kakak saya. Rumah mereka udah disengketa pula sama KPK. Suaminya korupsi bansos (bantuan sosial). Dua orang itu udah gak tinggal di Sailendra. Ini kesempatan kamu untuk membuktikan pada Ibu. Ketulusan kamu, kebaikan kamu dan kemurahan hati kamu. Mau ya tinggal di sana?"

Shafira masih terdiam, meragu. Masih ada ketakutan dalam dirinya akan mendapat perlakuan tak pantas dari sang mertua. Atau tiba-tiba sang Kakak Ipar datang dan ikut tinggal di kediaman megah itu?

"Ibu udah ngusir Tiara dan suaminya Fira. Kamu gak perlu takut dengan kehadiran wanita gila itu." Sambung Pradipta menyakinkan sang istri. Ia sudah tak peduli dan tak menganggap kakaknya lagi.

"Harusnya tadi Ibu ngomong baik-baik. Bukan teriak-teriak dan ngancem-ngancem pisah segala! Ishh... kalo Ibu ngomongnya adem gini kayak kamu, aku pasti langsung mau kok." Gerutu Shafira dengan wajah keki. Terlihat lucu dan manis saat sedang mendumel tanpa titik koma seperti itu.

Semakin membuat hati Pradipta terFira-Fira. 😂

"Ah... istriku yang cantik, baik hati dan tidak sombong."

Cupp

Dia mendaratkan ciuman sekilas pada bibir istrinya. "Saya tahu Ibu banyak sekali nyakitin kamu. Saya minta maaf atas sikap Ibu. Saya gak bisa membenci atau menjauh dari orang yang telah melahirkan saya ke dunia Fira. Dibalik semua sikap buruknya, saya begitu menyayangi beliau. Tolong jangan benci Ibu ya Fira..." lanjutnya terdengar lirih. Getir kesedihan begitu kentara di wajahnya.

Walaupun terasa berat, Shafira berusaha untuk sabar dan berlapang dada. Dia tersenyum mengangguk pada suaminya. Menangkis segala kekhawatiran pria berkepala 4 itu. "Aku menerima kamu berarti aku juga harus menerima kehadiran Ibu kamu, Mas. Termasuk kakak kamu, semua keluarga Sailendra. Itu konsekuensi aku jika ingin hidup bersama kamu. Aku gak benci sama Ibu, Mas. Kalo sakit hati, iya." Jujurnya seraya mengenggam kedua tangan sang suami. Mengisyaratkan keteguhan cinta dan hatinya pada pria itu.

"Watak Ibu yang keras dan teguh dengan aturan keluarga Sailendra secara turun temurun, membentuk sikap dan sifat beliau seperti itu. Baik ke kamu, ke aku yang menantunya, bahkan ke cucunya."

Pradipta tersenyum haru, begitu kagum akan sosok istrinya ini yang selain berhati mulia, juga berjiwa besar. "Gak salah pilih istri, saya." Dia tersenyum lagi, terpana memandangi wajah istrinya. "Saya baru sadar kalo dari dulu udah jatuh cinta sama kamu." Ungkapnya jujur. Kata-katanya mengalir begitu saja. Terbawa perasaan dan atmosfir kekaguman akan sosok istrinya itu.

"Ha?" Kaget Shafira tiba-tiba. Apakah dia tidak salah dengar?

Hello.... everyone! Pria itu belum pernah menyatakan perasaan padanya. Baik dari dulu, hingga sekarang rujuk lagi. Sampai-sampai Shafira mengira cinta dirinya itu bertepuk sebelah tangan. Ternyata....

"Ka—Kamu barusan bilang apa?" Dia masih terkaget-kaget, tentu dengan wajah berbinarnya. Dia merasa ini mimpi.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CLBK-38C**
0
0
Saya sayang kamu Shafira Marwa. Jedanya seraya merekatkan tautan jari jemarinya dengan wanita itu. Dulu waktu kamu mau di DO, saya panik banget Fira. Hari itu saya pengen cepet-cepet ke sekolah kamu, bawa kamu pergi dari sana. Terus pas anterin kamu pulang, entah kenapa kok saya jadi gugup terus tiap kali lihat wajah kamu. Dari sejak itu, wajah kamu selalu memenuhi pikiran saya. Sampai saya lupa dengan Kirana. Tutur pria itu mencurahkan isi hatinya yang selama belasan tahun dipendam.*Image by Senivpetro on  www.freepik.com
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan