Chapter 11-15 Sang Pewaris Al-Rashid

0
0
Deskripsi

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Zaid setengah bangkit dari tempat duduknya lalu membungkuk untuk mencium bibir Mika. "Makanannya enak. Kamu emang berbakat."

 

*Cover Image from www.freepik.com

Chapter - 11

 

 

Setelah setengah jam lebih bersiap-siap, Mika pun akhirnya keluar dari kamar. Dia begitu cantik dan memukau dengan mengenakan dress berwarna merah. Dress mahal yang dibelikan Zaid saat berada di Itali. Mana ada uang dirinya membeli dress mahal. Adapun harganya tergolong standar saja. Dia pun berjalan malu-malu dan canggung menghadapi Zaid yang sekarang telah resmi berstatus menjadi suaminya.

"Ayok." Zaid yang sedang membalas pesan temannya seketika menatap takjub pada penampilan gadis itu.

Memukau.

Sungguh cantik dan mempesona hingga dirinya terpana. "Ehm! Ayo kita berangkat."

Dia pun memalingkan wajah ke arah arloji. Tiba-tiba salah tingkah hanya karena kagum dan terpesona dengan gadis bar-bar yang malam ini berubah cantik, anggun dan elegan. Dia pun beranjak cepat demi menutupi jantungnya yang tiba-tiba berdetak cepat. Melangkah terburu-buru dan membiarkan gadis itu berjalan mengekorinya.

Apa gue keliatan jelek ya? Ucap Mika dalam hati. Kepalanya menunduk, menilai penampilannya sendiri. Bahkan sampai bercermin di layar smartphone tapi saat dicek sendiri tidak ada kesalahan apapun.

Gue malah ngerasa tampilan gue paling cetar dari pada sebelum-sebelumnya. Ah lagian biarpun gue udah jadi bininya. Tetep aja tuh bapak-bapak gak akan tergoda ama gue... jangan ngimpi Mika! Inget dia udah bapak-bapak. Jangan silau ama hartanya Mika Aubrie!

Lanjutnya lagi membatin. Dia sendiri masih bingung dengan status barunya sekarang. Kejadian demi kejadian terasa berjalan sangat cepat. Dia pikir, saat ini masih bersenang-senang, haha-hahi dengan mendiang temannya Rara. Ah, terkait temannya yang sudah meninggal itu, bagaimana dia mengabari keluarganya? Bagaimana dia menjelaskan pada mereka jika Rara sudah tiada? Mika bingung sendiri, ingin sedih tapi ingat bagaimana perlakuan Rara padanya.

"Kamu kenapa Mika?" Zaid menoleh mendapati istrinya yang sedang termenung entah memikirkan soal apa.

"Ha? Oh... gakpapa. Cuma keinget si Rara Pak. Gimana ya kalo orang tuanya nyariin?"

"Kamu deket juga sama keluarganya?"

Mika menggeleng. "Gak sih. Saya belum pernah ke rumahnya. Waktu kuliah juga belum pernah satu kostan."

"Yaudah, gak usah cari tahu. Nanti urusannya panjang. Lagipula kamu sekarang sudah menjadi istri saya. Menantu Al-Rashid. Jadi kamu juga harus menjaga nama baik saya dan keluarga." Tutur Zaid tegas.

Mika mengangguk saja tak membantah atau menyanggah. Dirinya tidak ada kapasitas apapun untuk melawan.

"Kita jalan aja. Restorannya di Hotel Valencia."

Mereka pun berjalan dari gedung apartemen menuju restoran yang dituju. Jaraknya cukup dekat sekitar 500meter dari apartemen. Tak ada perbincangan selama berjalan kaki menuju sana. Keduanya tampak bungkam dengan pikiran masing-masing.

❤️❤️❤️

Sesampainya di restoran...

Zaid dan Mika disambut hangat oleh pelayan. Mereka diantar langsung menuju meja yang sudah di-booking. Suasana restoran yang mewah dan berkelas. Terlihat dari interior, dekorasi, furnitur dan makanan yang disajikan.

Mika sampai takjub dan sedikit gerogi ketika makan ala table manner. Dia sendiri lupa-lupa ingat alat makan mana yang harus digunakan. Lantaran semuanya baik sendok, garpu maupun pisau berjejer rapi di masing-masing sisi hidangan yang akan dimakan.

Pantas saja Zaid menyuruhnya untuk berpakaian rapi. Dia tidak habis pikir jika memakai outfit sebelumnya yang hanya memakai sweater, skinny jeans dan sneakers. Alamat dikira anak bukan istri dari suaminya itu.

"Liatin saya pakai yang mana." Zaid sepertinya tahu apa yang sedang dihadapi istrinya.

Mika pun menoleh ke depan lantas mengambil garpu juga pisau yang sama dengan suaminya. Dengan perasan kikuk dan sangat canggung, dia pun menikmati hidangan makan malam tersebut.

"Kamu harus terbiasa mulai sekarang. Kamu akan lebih sering makan dengan cara seperti ini. Saya banyak undangan dari orang-orang penting." Tutur Zaid sembari menyantap makanan dengan rapi juga elegan.

Mika hanya mengangguk saja tidak berani menyanggah. Sudah menjadi nasib dirinya berada dalam circle seperti ini. Dia hanya bisa bersyukur daripada nasibnya jatuh di tangan mafia Itali.

Demi apa?! Lebih enak ketoprak di deket kampus gue, ck! Oceh Mika membatin.

❤️❤️❤️

Selesai makan malam, keduanya pun kembali pulang ke apartemen. Zaid sendiri sibuk menerima telepon dari seseorang. Entahlah, Mika sendiri tidak paham pria itu sedang membahas soal apa karena menggunakan bahasa Arab.

"Kamu mau mampir dulu ke minimarket?" Tanya Zaid setelah memutuskan panggilan.

"Gak deh Pak. Udah malem banget. Mending langsung pulang aja."

Ketika baru saja keluar dari hotel, Mika tak sengaja melihat germo dari agensi abal-abal. Yang menyekap dan menjual dirinya juga Rara ke mafia Itali. Mika panik luar biasa kala seorang tante-tante berpakaian seksi ditemani seorang pria brondong tengah berjalan ke arahnya.

Cupp

Karena ketakutan dan dilanda kepanikan parah, dia pun nekad mencium bibir Zaid. Demi menyamarkan wajahnya ketika dua orang itu hendak melintas.

Sontak saja Zaid melotot kaget dengan apa yang dilakukan gadis itu padanya.

"Wow... hot banget. Beb, kamu kayak gitu dong dibrewokin. 'Kan biar pas ciuman ada sensasi menggelitik gitu. Ah... jadi pengen." Ujar tante girang itu saat melintasi Mika dan Zaid. Si mucikari tak tahu jika gadis yang dilewatinya tadi adalah gadis yang pernah dia 'sortir' untuk dikirim ke Itali.

Mika lantas melepas ciumannya lalu memeluk erat Zaid, menyembunyikan wajahnya di ceruk leher pria tinggi itu. "Hiks... Pak, maafin saya. Saya takut. Biarkan saya begini sebentar. Saya takut. Hiks... yang barusan lewat itu germo yang sekap saya, bius saya hingga jual saya, hiks." bisik Mika menangis pelan. Kedua tangannya mengalung erat di leher pria itu.

Zaid diam beberapa saat, matanya melirik ke arah dua orang tadi. Dia mengusap punggung istrinya untuk menenangkan. Mata tajamnya terus mengarah pada dua orang itu. Mereka masih di sana bahkan tante girang berpakaian seksi juga menor itu malah curi-curi pandang padanya. Dan entah insting dari mana, Zaid malah balas mencium Mika saat dua orang itu berbalik kembali, berjalan ke arah mereka.

Cupp

Tak memperdulikan kekagetan dari sang istri, dia membawanya berbelok ke lorong sebelah, lalu mendorongnya hingga mentok ke dinding. Lantas mencium Mika lebih lama dan lebih dalam. Kedua tangannya merangkum wajah gadis itu agar tersamarkan saat dua orang tadi kembali melintas.

"Mereka balik lagi." Jelasnya lalu mencium bibir Mika lagi.

Cupp

Zaid menciumnya semakin dalam dan menutut. Bahkan dia bisa merasakan detak jantung Mika yang berdetak kencang, sama seperti dirinya karena tubuh mereka saling bertubrukan. Menempel erat hingga payudara gadis itu terasa terhimpit olehnya.

"Wow... bener kata anak-anak gue, yang brewokan lebih bringas." Oceh si mucikari itu dengan nada jahil.

"Beb, malu beb! Udah gak usah ganggu privasi orang napa!" Tegur kekasih brondongnya menarik paksa wanita itu agar segera pergi.

❤️❤️❤️

Zaid pun melepas ciumannya lantaran pasokan oksigen sudah menipis. Dia terengah-engah. Matanya menoleh ke samping, memastikan dua orang tadi benar-benar sudah pergi.

"Maaf. Tadi saya juga gak ada cara lain buat selamatin wajah kamu." Ucapnya dengan perasaan canggung. Entah setan dari mana, dirinya malah menikmati dan terhanyut dalam kenikmatan ciuman tersebut.

Mika menunduk malu, tak berani menatap langsung wajah suaminya. Tangannya terulur mengelap bekas saliva di sekitar bibirnya. Jangan lupakan soal kesehatan jantungnya yang malah semakin parah, berdetak tidak karuan setelah insiden ciuman kedua kali itu.

Mika baru merasakannya.

Baru merasakan ciuman panas seperti tadi.

Pipinya pasti sudah merah merona akibat ciuman barusan. Mau disembunyikan di mana wajahnya ini? Sekarang dirinya ingin kabur saja. Malu seribu kali malu berhadapan dengan pria itu. Pria berparas Arab dengan wajah brewokannya yang dinilai hot guy malah tak berhenti menatapnya.

"Udah gak usah cemas. Mereka sudah pergi." Tangan Zaid terulur merangkum kembali wajah istrinya. Yang sedari tadi menunduk saja tak berani menatapnya.

"Gak usah takut. Ada saya. Saya yang jagain kamu, Mika. Even though our married is fake. (Meskipun pernikahan kita palsu), Saya tetap suami kamu dan kamu istri saya." Lanjutnya lagi menenangkan gadis itu.

Dia tersenyum demi mencairkan suasana. Dia juga sebenarnya sedang dilanda gelisah, dan tadi itu membuatnya lepas kendali dan berefek sampai sekarang. Sebisa mungkin dia menyembunyikan kegelisahan itu agar membuat Mika merasa nyaman.

"Ayok pulang." Ajak Zaid lagi sembari melepas jas berwarna navy yang dikenakannya kemudian dipakaikan pada Mika. Lalu merangkulnya dari tempat kejadian hingga sampai apartemen.

❤️❤️❤️

"Sementara waktu kamu jangan keluar dulu. Keluar jika bersama saya atau Dimas atau suruhan saya untuk menjaga kamu." Ucap Zaid sebelum masuk ke kamarnya. Dia tahu pasti gadis itu masih syok dan trauma bertemu dengan dua orang tadi.

Mika tak menjawab, hanya mengangguk saja lalu pamit lebih dulu, masuk ke dalam kamar.

"Manis juga," monolog Zaid tersenyum lucu memergoki gadis itu salting karenanya.

 

Chapter - 12

 

 

Mika memegangi dadanya. Masih berdetak kencang tak karuan. Kilas balik ciuman bersama Zaid terus-menerus berputar di otaknya. Cara pria itu menciumnya, melumat bibirnya, menggigit kecil bibir bawahnya. Sungguh masih terasa hingga sekarang. Sampai-sampai ketakutannya pada si mucikari seolah hilang begitu saja.

"Tadi itu..." ocehnya menggantung mengingat kembali setiap detik dan langkah demi langkah saat pria itu menciumnya.

"Ya ampun Mikaaaa!!!! Oon! Gara-gara lo tadi duluan kan..." ocehnya lagi memarahi diri sendiri. Menampar pipinya yang sedang bersemu merah.

"Jadi gini ya rasanya ciuman sama brewokan?"

Si Mika sudah seperti orang gila saja mengoceh sendiri, heboh sendiri. Berbaring di kasur hingga sprei yang semula rapi kini kusut. Bantal guling pun berjatuhan ke lantai. Kakinya bergerak dan mengayuh ke atas tidak beraturan. Selalu salting setiap kali mengingat momen ciuman itu.

Tokk

Tokk

Tiba-tiba saja Zaid mengetuk pintu kamar. "Mika?"

Seketika Mika yang masih guling-gulingan tidak jelas di atas ranjang langsung bangkit dan bediri tegak. Jantungnya berpacu lebih cepat lagi kala pria itu memanggilnya.

"Ii—ya. Pak. Kenapa?" Ujarnya berubah jadi gerogi akut.

"Bisa buka pintunya?"

Mika membeo pelan was-was, "mau ngapain nih? Ngapain lagi nih?"

"Mika?"

"Ah iya. Sebentar."

Segera Mika membukanya pelan. "Iya Pak?" Tanyanya canggung. Jangan tanyakan jantungnya yang sedari tadi tidak bisa berdetak santuy.

"Ini, saya lupa ngasih ini ke kamu." Zaid memberikan smartphone baru berkamera boba, ponsel teranyar yang berasuransi dan menyaingi harga motor matic.

Benda canggih impian si Mika namun belum terbeli juga. "Makasih banyak Pak." Ucap Mika tersenyum sumringah.

"Nanti kalo udah di-setting. Masukin nomor saya yang ada di kertas itu. Tulisan kantor itu buat kerjaan. Yang bawahnya buat urusan pribadi. Kamu simpan dua-duanya." Zaid hendak pergi namun segera dicegah oleh Mika.

"Pak, mm... saya gak bisa otak-atiknya hehe..." aku Mika jujur tersenyum kuda, malu jika mendapati dirinya ini gaptek.

"Yaudah sini." Zaid mengambilnya lagi lalu mengajak Mika ke ruang TV.

Tak butuh waktu yang lama, dia selesai set-up smartphone milik istrinya. Tak lupa dia juga sekalian memasukkan nomornya. "Email & password dan semua aplikasi yang kamu download jangan lupa dicatat, biar gak lupa. Jadi kalo tiba-tiba lupa password atau pin kamu bisa nyontek." Tukasnya memberi saran.

"Ah iya bener banget. Saya suka lupa password. Bentar Pak." Mika membenarkan argumen suaminya. Lantas berlari kecil menuju kamar untuk mengambil buku agenda.

Zaid terkekeh geli melihat kelakuan istrinya itu. Matanya mengikuti setiap gerak mondar-mandir istrinya yang sungguh rempong. Kehadiran Mika kini membuatnya lebih banyak tersenyum dan tertawa.

❤️❤️❤️

Alarm di smartphone langsung membangunkan tidur Mika yang lelap. Gadis itu segera bangkit dan mengumpulkan kesadarannya. Dia segera ke toilet untuk mandi sekaligus bersiap-siap untuk ibadah subuh. Entah dapat hidayah dari mana, semenjak terselamatkan dari tindak kriminal, human trafficking dan hampir menjadi budak seks, dirinya perlahan sadar dan mulai memperbaiki ibadahnya.

Saat keluar dari toilet, matanya menengok ke arah kamar Zaid. Masih tertutup rapat. Dia tak tahu apakah pria itu sudah bangun untuk sholat subuh ataukah masih tidur. Selesai beribadah, Mika langsung bersih-bersih apartemen. Dia tak boleh malas walau inginnya malas-malasan di kamar sembari memainkan smartphone barunya itu.

"Ah iya! Kopi. Pak Zaid suka kopi." Dia pun buru-buru membuka gorden lalu berlari kecil menuju pantry.

"Aduh! Lupa gue." Mika menepuk jidatnya. "Pak Zaid 'kan kagak suka sarapan roti. Gue mesti googling nih." Dia begitu bersemangat di pagi ini, menyiapkan sarapan sehat untuk suaminya. Berlari kecil menuju kamar, mengambil smartphone-nya.

Selama 10 menit dia berselancar di dunia maya, mencari menu sarapan sehat hari ini. Setelah didapat, dia pun mulai menyiapkan bahan-bahannya. Lalu mulai memasak sesuai instruksi dari video yang diputar di kanal YouTube. Tak lupa dia juga membuatkan kopi panas karena pria brewok itu aka suaminya sangat menyukai kopi hitam.

Dia sendiri sudah lulus uji kelayakan dalam membuat kopi hitam kesukaan Zaid. Saat berada di Itali, dirinya di-training langsung oleh Zaid bagaimana cara membuat kopi yang enak dengan menggunakan mesin espresso.

❤️❤️❤️

Seperti biasanya Zaid akan keluar dari peraduan sekitar pukul 6 pagi. Sudah mengenakan pakaian olahraga dan bersiap jogging. Dan jika masih ada waktu luang, dia akan menyempatkan diri untuk fitnes.

"Kamu lagi ngapain?" Tanya Zaid ketika memasuki pantry. Bermaksud mengambil tumbler.

"Masak buat Bapak." Mika menoleh singkat lantas melanjutkan kembali aktivitasnya, mencuci sayur dan buah-buahan.

"Bikin apa? 'Kan udah dibilangin saya gak makan sembarang—."

Mika menyela dengan cepat sebelum pria itu mengoceh panjang lebar. "Ini lihat tuh! Ini makanan sembarangan bukan? Saya mau bikin oatmeal sama salad buat Bapak. Jangan sewot dulu napa Pak? Ck... Bapak suka pakai olive oil gak?" Balasnya begitu bawel ala emak-emak.

"Suka." Zaid langsung menjawab cepat dan tak mengoceh lagi. Dia terpaku sekaligus terpukau dengan apa yang sedang dilakukan gadis itu.

"Yaudah sana. Mau jogging 'kan?"

Zaid seperti terhipnotis, langsung mengangguk tanpa menyanggah.

"Yaudah sana. Biar entar pas pulang sarapan udah jadi. Ah iya lupa. Air minumnya ya?" Mika begitu cekatan mengisi air ke dalam tumbler.

Sedangkan Zaid, dia malah diam saja memandangi gadis itu yang hilir mudik. Terlihat rempong melayani keperluannya. Dan sukses pemandangan seperti itu membuatnya bahagia dan merasa bersyukur atas pernikahan tersebut.

Alhamdulillah ada gunanya nikahin si Mika, ujarnya membatin.

"Ini. Gih, pergi. Keburu sarapannya jadi. Entar gak enak kalo didiemin dulu." Mika mendorong pelan punggung tegap pria itu agar segera keluar untuk berolahraga.

Zaid melongo seperti orang bodoh. Sedari tadi menurut apapun yang dikatakan istrinya. Sama sekali bukan Zaid yang biasanya galak, tegas dan dominan.

❤️❤️❤️

Zaid melirik smartwatch yang dipakainya. Sepertinya gadis itu telah selesai memasak menu sarapan sehat untuknya. Dan untuk memastikan apakah benar atau tidak, dia pun menelpon sang istri melalui earphone yang tersambung langsung dengan smartphone di saku celananya.

"Halo Mika?"

"Kenapa Pak? Saya lagi bikin oatmeal, kenapa emang? Udah belum jogging-nya? Udah berapa putaran? Udah cukup kayaknya ya? Udah setengah jam juga. Bapak udah capek sama laper 'kan? Yaudah pulang... bentar lagi selesai. Tinggal bikin kopi." Cerocos Mika tanpa titik koma. Sampai-sampai suaminya itu tak diberikan kesempatan sedetik pun untuk berbicara.

Tuttt....

Sambungan terputus sepihak. Zaid sampai melongo tak percaya, diperlakukan super unik dan pertama kali dalam hidupnya. Gadis aneh yang langka yang pernah dia temui seumur hidupnya. Zaid tekekeh geli.

"Bang Zaid? Bang Zaid.... ya ampun! Kebetulan banget bisa ketemunya di sini. Baru aja aku mau ke apartemen Abang. Untung aja mampir dulu ke Hola Bakery, beli sesuatu buat Bang Zaid." Sapa seorang wanita yang tak lain tak bukan wanita yang dijodohkan orang tuanya sebagai calon istri.

Pasti Mami yang ngabarin, ck! Ocehnya dalam hati.

Gawat! Bisa gawat jika wanita ini berkunjung ke apartemennya. Alamat gempar sekeluarga Al-Rashid. Dia sendiri baru besok akan memberikan kejutan itu pada keluarganya. Tidak bisa dari mulut wanita ini. Akan lain lagi ceritanya.

"Tapi saya lagi ada tamu Alya. Lain kali aja ya?" Zaid menolak halus.

"Bang Zaid kok gitu. Gak ngehargain Alya. Udah lama kita gak ketemu lho. Sampe Alya gak tahu Bang Zaid ke Itali," wanita itu merespon lebay, menampilkan raut kecewa seimut mungkin.

Namun sayangnya Zaid merespon biasa saja. "Lain kali." Tolaknya dengan tegas. Dia langsung melengos pergi, berjalan cepat agar wanita itu tak mengekorinya. Namun sayang, tampaknya wanita itu tak gentar meski telah ditolak sekalipun. Dia mengejar Zaid, berlari kecil menyusulnya.

❤️❤️❤️

Begitu masuk apartemen, Zaid mulai was-was. Dia takut wanita bernama Alya ini bertindak macam-macam terhadap Mika.

"Terakhir kali ke sini pas sama Mami kamu. Udah lama banget..." sambut wanita itu sumringah, masuk begitu saja seolah apartemen itu miliknya.

Zaid melirik ke arah pantry, was-was dan bingung bagaimana menjelaskannya pada Mika. Dia juga takut si Alya ini melapor pada orang tuanya jika sekarang dirinya sudah menikah diam-diam.

"Gercep amat Pak. Ini saya baru mau sajiin sara—," ucap Mika menggantung kala melihat ada wanita yang berkunjung ke apartemen. Entah siapanya Zaid. Dari penampilannya begitu cantik paripurna. Berbanding terbalik dengan dirinya yang masih dandanan ala babu. Seketika dirinya merasa minder.

"Kamu siapa?" Tanya wanita itu super jutek.

"Saya..." Mika bingung mau menjawab jujur, takut disalahkan oleh Zaid. Dia memandang suaminya agar pria itu saja yang menjelaskan.

"Istri saya." Enteng Zaid seraya meraih semangkuk salad dari tangan sang istri. Lantas menaruhnya di meja makan bersama semangkuk oatmeal yang menggoyang lidah.

"HAH? Istri?" Wanita itu terkejut bukan main.

Tapi sayangnya Zaid tak peduli akan responnya itu. Dia santai saja menyantap sarapan buatan istrinya. "Mika kopinya mana?" Tanyanya pada sang istri. 100% Mengabaikan keberadaan wanita itu.

"Ha? Oh, iya sebentar." Mika sempat bergeming melihat keterkejutan wanita itu. Lalu pergi ke pantry untuk membuatkan kopi.

"Itu pasti cewek yang dijodohin ortunya Pak Zaid." Oceh Mika sesampainya di pantry. Samar-samar dia mendengar percakapan wanita itu dengan Zaid yang sedang berlangsung sengit. Terdengar wanita itu tak setuju atas pernikahan mereka yang dilaksanakan secara diam-diam.

Saat kembali, Mika mendapat pandangan sangat sinis dari wanita itu. Tapi dia biasa saja, mengabaikan. "Ini kopinya."

"Makasih."

Dengan gerakan cepat, Zaid menarik lengan Mika agar lekas duduk di sampingnya. Tentu dia langsung menyesap kopi panas tersebut.

Wanita yang juga tengah duduk di sebelah Zaid seketika langsung meradang melihat kebersamaan mereka. Dia tak rela jika Zaid telah menikah. Apalagi istrinya Zaid ini menurutnya sangat di bawah level standar.

Sementara Mika tampak kebingungan dalam posisi seperti ini. Dia tak mau berada dalam situasi yang tidak menyenangkan ini. Dia tak peduli dengan urusan Zaid dengan wanita ini. Karena toh pernikahan ini hanyalah status saja. Dia pun tak menaruh perasaan pada pria itu.

Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba saja Zaid setengah bangkit dari tempat duduknya lalu membungkuk untuk mencium bibir Mika.

Cupp

Dia mencium bibirnya singkat lantas tersenyum hangat. "Makanannya enak. Kamu emang berbakat."

Mika berkedip beberapa kali demi memastikan apa yang barusan terjadi. Kejadian tadi begitu cepat hingga dia terlambat menyadari.

Dan aksi Zaid itu sontak membuat wanita bernama Alya semakin meradang. Terlihat sekali aura kekesalan dan kemarahannya yang tertahan. Zaid tersenyum puas melihat wanita itu marah. Semoga saja dengan cara ini wanita itu sadar dan menjauh darinya.

"Kenapa? Pengen juga?" Tanya Zaid dengan nada songong menyebalkan. "Cari pendamping, makanya." Lanjutnya lagi semakin membuat wanita itu marah besar hingga menggebrak meja.

"Brengsek kamu, Bang!" Sentak wanita itu seraya berdiri. "Selera kamu ternyata rendahan banget! Aku pastikan kalian enggak akan bertahan lama!" Lanjutnya lagi dengan nada tinggi, memandang rendah pada Mika lalu pergi dari sana.

"Pak, itu...!" Mika menunjuk ke arah pintu yang terbuka. "Saya gak mau ikut-ikutan ah. Bapak selesein urusan sama mbak-mbak tadi," ketus Mika lantaran dongkol dengan sikap Zaid yang sedari tadi cuek saja.

"Iya..." singkat Zaid yang terlihat cuek saja dan malah enjoy menghabiskan sarapannya. "Makasih sarapannya." Lanjutnya seraya melangkah masuk ke dalam kamar. Meninggalkan Mika yang sudah memasang wajah gondok dan emosi jiwa.

"As#%**!!!" Umpat gadis itu mengeluarkan semua kata hewan dan umpatan kasar selepas pria itu menutup pintu kamarnya. "Dia yang punya masalah gue yang kena getahnya!" Gerutunya seraya menutup pintu kencang.

"Suka maen nyosor aja tuh bapak-bapak! Untung gue tadi kagak latah, hihhh!!" Mika mendumel kesal sembari memegangi bibirnya. Tapi anehnya, dia justru malah menikmati ciuman singkat tadi hingga membuat pipinya bersemu merah.

"Udah error otak gue, mikirnya ke arah sana mulu!!!"

 

Chapter - 13

 

 

Belum satu jam sejak kedatangan Alya yang digadang-gadang akan menjadi calon istri, Zaid sudah ditelepon oleh orang tuanya. Didesak agar segera datang ke kediaman Al-Rashid. Sudah pasti orang tuanya tahu kabar pernikahannya dari Alya. Jadwal bertemu klien dan rapat internal pun harus tertunda karena hal tersebut.

"Kamu siap-siap. Pakai pakaian yang formal dan sopan. Jangan pakai sneakers. Pakai heels yang tertutup jarinya." ujar Zaid membuat Mika mengerutkan dahi.

"Stilleto? Pump?" Tanya Mika memastikan.

"Iya, mungkin. Saya gak tahu jenisnya. Pokoknya yang suka dipakai sekretaris." Tutur Zaid lagi. Dia hanya tahu fashion pria saja mana tahu soal fashion wanita.

"Ck, iya stilleto atau pump namanya. Kenapa sih Pak? Pakai heels yang suka saya pake juga masih matching. Toh mau ketemu orang tua Bapak 'kan? Bukan mau ketemu menteri atau presiden." cerocos Mika panjang lebar.

Zaid berdecak. "That is our rules! Menjadi istri saya berarti kamu menjadi menantu Al-Rashid. Dan di keluarga kami ada aturan-aturan khusus baik dari tata krama, cara berpakaian maupun kegiatan-kegiatan rutin yang harus diikuti."

"What the hell! Di Indo ada keluarga seperti itu? Waww!! Mengalahkan keluarga cendana!" Mika menyindir terang-terangan.

"Leluhur saya masih satu kekerabatan dengan keluarga kerajaan Uni Emirat Arab. Kami keluarga bangsawan memiliki adat, kebiasaan dan aturan khusus. Tidak seperti keluarga pada umumnya." Jelas Zaid dengan nada serius.

"Iya saya tahu. Mas Dimas udah kasih tahu waktu di Itali. Tapi Pak, ini udah tahun 2022 lho?"

"Itu aturan kami. Kamu menikah dengan saya mau tidak mau harus mematuhi itu." Telak Zaid yang langsung membuat istrinya yang super bawel itu diam membisu.

Merasa tak ada yang perlu diperdebatkan lagi, Mika pun melengos masuk ke kamarnya.

"Baju gue gini-gini doang lagi, ck! Pake yang mana dong? Mana mesti rapi, sopan, formal lagi. Huh!" Cerocosnya seraya mengobrak-abrik lemari.

❤️❤️❤️

"Jangan dulu ngomong kalo belum ditanya. Bilang aja kita kenal udah lama waktu kamu masih kuliah di xx. Ortu saya pasti percaya kok karena kami tiap tahun kasih beasiswa." Peringat Zaid ketika dalam perjalanan menuju kediaman Al-Rashid.

Mika mengangguk paham. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan dalam benaknya. Tapi rasanya waktu tidak tepat. Pastinya Zaid sedang stres menghadapi orang tuanya. Menjelaskan mengapa menikah diam-diam tanpa restu orang tua. Mika membayangkan bagaimana marahnya sang mertua. Dia bergidik ngeri berkali-kali mengusir pikiran buruk itu.

"Satu lagi, saya memiliki keponakan dan sudah saya angkat sebagai anak. Namanya Salsabila. Dia kelas 1 SMP, anaknya agak manja dan bawel kayak kamu. Sejak balita orang tuanya cerai. Ibunya, alias adik saya, menikah lagi dan tinggal di Inggris. Salsa tidak ingin ikut ayah atau ibunya. Dia lebih nyaman tinggal bersama kami. Jadi tolong bersikap baik padanya. Anak itu sangat kurang perhatian dan kasih sayang dari Mommy dan Baba-nya." Tukas Zaid menceritakan sedikit keadaan keluarganya.

Mika pun mengangguk paham. Tentu dia sedikitnya tahu karena sewaktu di Itali pernah bertanya pada Dimas tentang siapa itu Salsa.

"Semoga Salsa bisa nyaman dengan saya."

"Pasti dia akan senang, karena kalian banyak kemiripan. Sama-sama cerewet dan lucu. Tapi dia tidak lemot dan gaptek." Tanpa sengaja Zaid telah menyindir Mika secara terang-terangan.

Tentu saja hal itu mendapat delikan tajam dari empunya. "Ck, saya? Yang penting saya cantik." Puji Mika untuk dirinya sendiri sebagai pembelaan diri.

Zaid tersenyum tipis, sangat tipis hingga hampir tak terlihat. "Iya cantik dan enerjik." Gumamnya pelan.

Otomatis hal itu membuat wajah Mika bersemu merah. Merasa senang dan bahagia karena pria itu telah memujinya walau gengsi tingkat dewa.

❤️❤️❤️

Pintu gerbang terbuka otomatis kala mobil Zaid akan memasuki kediaman mewah itu. Dia sendiri sudah membayangkan bagaimana reaksi orang tuanya tentang pernikahannya dengan Mika yang digelar tanpa sepengetahuan mereka. Dan Zaid sudah siap menerima omelan-omelan juga kalimat penentangan keras dari orang tuanya. Toh nasi sudah menjadi bubur. Dia membawa buku nikah sebagai bukti. Dan baik ibu sambungnya ataupun ayahnya sudah tidak bisa lagi dan tidak ada hak untuk menjodoh-jodohkannya lagi. Apalagi dengan wanita bernama Alya, wanita yang hanya mengejar pamor juga harta darinya.

"Selamat datang Pak Zaid. Pak Hussein dan Ibu sedang menunggu dari tadi." Sambut seorang satpam.

Zaid mengangguk sebagai jawaban. Lalu dia meminta supir pribadi di rumah itu untuk memarkirkan mobilnya di basement.

"Pak, saya takut." Cicit Mika sembari menarik lengan suaminya.

Zaid menoleh sekilas, "santuy!" Entengnya tanpa beban. Berjalan lebih dulu memasuki rumah dan membiarkan sang istri mengekorinya dari belakang.

"Santuy! Santuy! Pale lu peang pake bilang santuy! Nih orang pake gak bilang ortunya lagi. Gue kira pada tahu dan gak setuju makanya gak dateng. Ck! Kampret tuh laki!" Mika mengoceh pelan hingga ketinggalan. Dia pun berlari kecil menyusulnya.

"Selamat pagi Pak Zaid." Sapa seorang ART.

"Baba di mana?" Tanya Zaid to the point.

Si ART melirik ke arah gadis yang bersama tuan mudanya, kemudian baru menjawab, "di ruang kerjanya Pak. Barusan diamanatin kalo Bapak udah dateng langsung ke ruangan beliau aja katanya." Jelas ART itu dengan mimik penasaran pada Mika.

Beberapa ART yang tak sengaja lewat pun sempat melirik dan memasang wajah penasaran tentang siapa gadis muda yang bersama tuannya. Pasalnya yang semua ART tahu, Zaid hanya dekat dengan perempuan bernama Alya.

Zaid tak peduli dengan ke-kepo-an para ART. Dia acuh saja dan langsung menaiki tangga, menuju ruangan ayahnya di lantai 2.

Dan Mika, gadis itu bingung dan kikuk berada di tempat asing. Dia sangat gugup dan takut akan bertemu langsung mertuanya. Bagaimana kalo mereka mengusirnya?

❤️❤️❤️

"Malu-maluin Baba, kamu! Pak Mufti itu sahabat Baba, Zaid. Baba gimana hadepin beliau nanti? Hah!" Sentak sang ayah kala Zaid usai menjelaskan secara ringkas mengenai pernikahannya dengan Mika.

Mika menunduk takut tak berani menatap langsung wajah ayah mertua. Apalagi delikan sinis dari ibu mertua yang sedari tadi mencibir penampilannya.

"Gimana nanti Baba jelasin ke Pak Mufti, hah? Gimana kalo kerabat keluarga dan kolega bisnis kita pada tahu?" Sambung sang ayah lagi masih belum puas memarahi sang putra.

"Alya jauh lebih dewasa dan mapan, Zaid. Walaupun dia juga pernah menikah. Tapi dia belum memiliki anak. Karirnya pun bagus, kita tahu bibit-bebet-bobotnya. Sedangkan dia..." tambah sang ibu sambung, menggantung. Menilai rendah Mika secara terang-terangan.

Zaid geram, tak terima saat ibu sambungnya merendahkan harga dirinya juga Mika. "Mika udah sah jadi istriku. Dan Mika ini walau usianya lebih muda dari Alya dan terpaut jauh denganku, dia bisa menyeimbangi. Mika mampu menjadi istri yang baik, yang Zaid butuhkan yang Zaid cari selama ini." Dia mengenggam tangan istrinya demi meyakinkan argumennya tersebut.

"Tapi dia bukan berasal dari keluarga sepadan dengan kita, Zaid." Ujar sang ibu sambung masih tak terima jika perjodohan itu gagal. "Dan kamu," tunjuknya pada Mika, menatap sinis. "Kamu belum tahu 'kan kalo di keluarga ini ada aturan dan kebiasaan yang harus ditaati. Keluarga kami ini berasal dari..."

Zaid menyela cepat. "Mika sudah tahu semuanya, Mami."

"Lalu, Salsa? Kamu gak mikirin gimana nanti perasaan Salsa?" Sang ayah berkomentar pedas lagi.

"Zaid yakin pasti Salsa senang." Jawab Zaid lugas, menoleh sekilas pada istrinya.

"Istrimu itu dengan Salsa lebih cocok seperti kakak-adik. Bukan Tante atau ibu." Balas sang ayah semakin geram. "Kamu memang bisa menjadi sosok figur ibu bagi Salsa?" Sang ayah begitu meragukan kemampuan menantunya.

"Mas Zaid sudah cerita banyak soal Salsa. Insya Allah Mika bakal berusaha menyayangi Salsa seperti anak sendiri. Walaupun Mika belum ada pengalaman mengurus anak. Mika akan berusaha Baba," ujar Mika dengan tangan berkeringat dingin. Gugup dan takut salah berbicara.

Merasa kalah telak dan tak ada pembelaan lagi, sang ayah pun keluar dari ruangan tersebut. Sedangkan sang ibu masih di sana memandang tak suka pada menantunya.

Zaid pun beranjak dan mengajak Mika untuk segera pergi dari ruangan itu. Namun begitu mereka hendak keluar, sang ibu sambung bersuara, "dia harus belajar etiket dan beberapa peraturan juga kegiataan rutin keluarga kita. Nindy akan mengajarinya mulai besok. Dan kalian mulai hari ini harus tinggal di sini!"

Zaid menahan emosinya, tangannya terkepal dan urat lehernya terlihat jelas. Juga sorot matanya yang berubah sangat tajam. "Kami akan pindah 3 hari lagi."

"Terserah. Jika ingin Babamu marah lagi. Ingat Zaid, kamu ini pewaris Al-Rashid. Kamu harus tahu posisimu. Apa kamu mau posisi itu diganti oleh adikmu?" Ancam sang ibu sambung membuat amarah Zaid semakin memuncak. Merasa putra sambungnya sedang marah besar, beliau pun keluar lebih dulu dari ruangan itu. Tentu dengan delikan sinis saat melewati menantunya.

 

Chapter - 14

 

 

Saat ini pasutri itu sedang berisitirahat di kamar milik Zaid. Setelah beradu debat yang berlangsung sengit dengan ayahnya, Zaid tak langsung pulang. Dia menunggu kedatangan keponakannya pulang.

Mika sendiri tak bisa berekspresi dengan bebas karena suaminya itu sedang dalam keadaan emosi. Dia takut jika banyak mengoceh akan terkena omelan pedas dari pria itu. Jadi dirinya cari aman saja dengan duduk di sisi ranjang seraya memainkan gadget. Ingin rebahan di kasur empuk itu pun tak berani karena takut dituding lancang. Beberapa kali matanya melirik, mencuri-curi pandang pada pria itu yang sibuk mondar-mandir melampiaskan emosinya.

Tak lama kemudian bunyi smartphone milik Zaid berdering. Sepertinya telepon dari kantor karena dari ringtone-nya berbeda. Meskipun belum genap sebulan mengenalnya, si Mika sudah hapal mana smartphone kantor dan mana yang pribadi.

"Halo..." Zaid tampak serius menerima telepon tersebut.

"Mika, saya mesti ke kantor. Ada urusan mendadak. Kamu di sini dulu ya. Kalo mau makan atau minum minta ART aja. Saya udah broadcast ke semua ART kalo kamu istri saya. Jadi mereka gak akan nanya siapa kamu."

Mika langsung kaget kala Zaid akan pergi meninggalkannya. Hello? Ini pertama kali dia bertandang ke rumah megah tersebut sebagai istri dari pria brewokan itu. Apalagi kehadirannya mendapat penolakan dari si pemilik rumah. Apa mau dikata? Dia begitu gelisah dan panik mana kala suaminya hendak pergi.

"Hah? Bapak mau ninggalin saya?"

Zaid berdecak, "pergi sebentar Mika. Nanti sore pulang ke sini lagi. Jemput kamu."

Demi apa? Pria itu akan meninggalkan dirinya begitu saja di rumah ini? Dia sendiri belum tahu tata letak setiap ruangannya. Dia juga tak tahu mana saja dan seberapa banyak ART di rumah ini. Dan siapa saja anggota keluarga tinggal di sini selain mertua juga Salsa dan adik sambung pria itu. Hello... dia hanya baru bertemu dengan mertuanya saja, tidak tahu wajah Salsa dan adik sambungnya itu.

"Saya ikut Bapak aja ya? Gak akan ganggu kok," ucap Mika memelas dengan puppy eyes.

"Gak, kamu di sini aja. Saya mau ninjau pembangunan gedung baru. Bahaya kalo ikut. Di sini aja tungguin Salsa. Udah ya saya buru-buru." Zaid melangkah cepat keluar dari kamarnya. Meninggalkan istrinya yang dilanda kegelisahan dan ketidaknyamanan.

❤️❤️❤️

Akhirnya Mika diam mengurung diri di kamar suaminya itu. Dia tak berani keluar walau sedari tadi perutnya keroncongan dan mulutnya kehausan. Dia merasa sangat asing berada di sana. Yang dia lakukan hanyalah rebahan, main smartphone hingga bosan.

Jenuh dan membosankan.

Dia pun membuka pintu balkon yang pemandangannya menghadap langsung ke area belakang rumah. Udara segar dan hembusan angin terasa menyejukkan. Dia memejamkan mata sejenak, menikmati sejuknya angin yang menerpa wajahnya.

"Gak nyangka gue bisa berada diposisi ini sekarang. Padahal tujuan gue ke kota ini buat ngejar cita-cita jadi model. Eh sekarang malah udah jadi istri orang walau nyatanya fake. Bakalan jadi ibu angkat anak ABG. Tinggal di istana kayak negeri dongeng ini... huftt!"

Mika bermonolog sendiri seraya melihat sekeliling area belakang rumah. Betapa luasnya seperti area depan. Di bagian belakang ini terdapat kolam renang, taman bunga mawar dan bonsai yang begitu indah. Pohon-pohon yang menjulang tinggi dari mulai pohon mangga, jambu air dan entah pohon apa lagi dia tak hapal. Disana juga ada kebun binatang mini yang menurut Mika sangat luas seperti kebun binatang milik artis Irfan Hakim.

Mika sangat takjub dengan kekayaan yang dimiliki keluarga Al-Rashid ini. Benar-benar mencirikan seorang bangsawan.

Tokk

Tokk

Suara ketukan pintu membuyarkan kekagumannya akan kemewahan dan keindahan rumah tersebut. Mika pun masuk ke dalam dan menutup pintu kaca. Lantas segera membukakan pintu.

"Maaf Non Mika ya?" Sapa seorang ART.

Mika mengangguk sebagai jawaban.

"Itu kata Nyonya, ditunggu di orenjer," ucap si ART sekenanya.

Mika mengerutkan dahi. Orenjer? Ya kali power ranger!

"Orangery?" Tanyanya memastikan maksud si ART.

"Hehehe... iya itu Non. Aduh maklum bibir orang kampung susah kalo ngucap bahasa Inggris." Ujar ART itu terkekeh geli, malu telah salah ucap.

Mika pun ikut terkekeh dan memaklumi. Lantas dia pun meminta ART itu untuk mengantarnya ke ruangan tersebut. Karena dia sendiri belum tahu tata letak seisi kediaman Al-Rashid.

"Bibi kaget lho Non, tahu-tahu dapet WA dari Pak Zaid, kalo Pak Zaid udah nikah dan Non cantik ini. Pantesan ya, Pak Zaid ogah-ogahan mulu dijodohin sama Tuan-Nyonya. Eh tahunya seleranya daun muda. Hihi," oceh ART cengengesan.

"Semua orang di sini lagi pada ngomongin, pada terheran-heran Non. Angkat dua jempol pokoknya mah buat Pak Zaid. Bisaan bener cari bini kayak Non Mika. Udah cantik, bening gini, masih muda, perawan lagi bukan janda kayak yang dijodohin. Si Non Alya. Hihi... bibi masih gak nyangka Non... Ikut seneng Bibi." Lanjut ART itu mengoceh panjang lebar.

Sementara Mika hanya merespon dengan senyuman canggung. Dia sendiri mana mau menikah dengan bapack-bapack. Umur saja kelewaat sangat jauh. Kalau bukan karena hutang nyawa dan ditodong sekte sekretaris Al-Rashid Holding, mana mau dia menikah dengan pria brewok itu. Mana kaku, emosian, baperan, menyebalkan lagi.

"Bi…" Mika menghentikan aksi ngoceh si ART.

"Ya Non?"

"Ibu mertua saya galak banget ya?"

Si ART malah merespon dengan cengiran. "Maklumin aja Non, namanya juga ibu-ibu pasti cerewet. Hehe..."

"Selamat sore Bu Mika." Beberapa ART yang lewat menyapa dengan sopan.

Mika tersenyum sebagai balasan. the power of social media, semua ART cepat mengetahui siapa dirinya. "Bi, kok kayak denger suara binatang buas ya?"

"Memang di sini pelihara harimau putih Non, sama leopard."

"HAA??" Mika tercengang kaget. Hingga badannya sedikit terjungkang ke belakang.

Si ART terkekeh geli melihat reaksi kaget majikan barunya. "Hehe, Pak Zaid waktu masih remaja udah pelihara leopard, pemberian dari kerabatnya di Arab. Itu udah generasi ke berapa. Kalo harimau putih itu nemu di hutan kayaknya? Bibi lupa lagi Non. Hehe Non tanyain langsung aja ke suami Non."

Mika mengangguk-angguk paham. Satu hal lagi yang baru dia ketahui tentang suaminya. Yakni pecinta hewan. Hewan buas lho... roarrrr!!!

Si Mika bergidik ngeri membayangkan binatang buas itu kabur lalu memangsanya.

"Dulu waktu dibawa ke sini Azura—si macan putih masih segede kucing Non. Eh sekarang udah besar dan bringas. Hehe... maaf ya Non bibi banyak ngomong. Hehe, soalnya Bibi bahagia banget Pak Zaid udah nemuin pendamping hidupnya."

Mika manut-manut saja, mendengarkan kisah hidup sang suami. Tiba di ruangan yang dituju, Mika langsung dipersilahkan masuk oleh ART satunya lagi. Dia sampai geleng-geleng, berapa banyak jumlah ART di rumah megah ini? Dari satpam di depan, orang yang memarkirkan mobil Zaid ke basemet, lalu yang menyapa begitu memasuki rumah. Lalu juga ART yang mengantarnya ke ruangan ini. Entahlah, Mika sampai pusing dan tak sanggup mengingatnya dalam waktu sebulan.

"Duduk!" Tukas ibu mertuanya memasang wajah super judes.

Mika pun duduk di kursi sebrangnya.

Lalu seorang ART yang lainnya lagi datang seraya membawa cangkir dari bahan porcelain beserta poci-nya yang sangat antik. Kemudian menuangkannya untuk Mika.

Ah iya, jangan lupakan, semua ART itu memakai seragam yang sama seperti layaknya pelayan di toko atau kafe. Benar-benar sultan! Berapa banyak yang digelontorkan keluarga ini untuk menggaji semua ART itu? Bukan main!

"Silahkan Bu Mika." Ucap ART itu lalu menoleh sopan pada si nyonya besar. "Ibu mau tambah lagi?"

Sang ibu mertua mengangguk sebagai jawaban.

"Selamat menikmati." Pamit ART itu undur diri.

Kini di ruangan berjendela kaca dan bernuansa tropikal itu hanya ada Mika dan ibu mertuanya saja.

"Langsung saja. Saya mau kasih tahu kamu kalo di sini ada aturan penting menjadi menantu Al-Rashid."

Welcome to the dungeon, Mika! Oceh Mika dalam hati. Hal yang dia bayangkan jika menjadi istri Zaid sekarang sedang terjadi.

"Pertama, menjadi menantu Al-Rashid berarti dilarang berkarir mau apapun profesinya."

Mika langsung tercengang dan menyanggah, "Maaf Tante, emm... Maksud Mika, Mami. Soal berkarir, Mika dan Mas Zaid udah bikin kesepakatan. Dan dia gak keberatan kalo Mika berkarir. Selama diizinkan Mas Zaid." Koreksi Mika dengan mimik takut-takut.

"Ini aturan mutlak turun-temurun. Suami kamu terlalu cuek. Suka tidak suka, kamu harus ikuti!" Tegas sang ibu mertua.

"Tapi..."

"Kedua." Sang mertua menyela cepat, mengabaikan aksi protes menantunya. "Kamu wajib melayani suami kamu. Dari menyiapkan pakaian ganti, berangkat ke kantor, membuat kopi, teh dan melayaninya saat sarapan dan makan. Tidak boleh diwakilkan siapapun! Kecuali jika sakit."

Mika mengangguk, untuk poin kedua dirinya sudah melaksanakannya sebelum sang mertua memberi tahu.

"Ketiga, dilarang memakai daster, rok mini, skinny jeans, tank top, crop top, hot pants dan pakaian terlalu terbuka di rumah ini."

"Maaf Mami, boleh tanya mengapa tidak boleh pakai daster?" Tanya Mika hati-hati.

"Kita harus membedakan cara berpakaian kita dengan ART di rumah ini. Mengerti?"

Mika sempat bergeming dengan maksud kalimat mertuanya. Bilang aja takut dikira babu. Gak semua daster kuno kali, banyak yang modis dan kekinian! Oceh Mika membantin. "Mengerti, Mami."

"Celana hanya boleh dipakai saat olahraga dan celana formal diperbolehkan ketika ada kegiatan di luar. Untuk sneakers hanya boleh dipakai saat berolahraga. Selebihnya kamu harus memakai heels model stilleto atau pump jika pergi keluar atau di rumah bila menyambut tamu. Untuk di rumah kamu bisa memakai sandal. Tentu bukan sandal jepit!"

Mika mengerutkan dahi dengan aturan aneh Al-Rashid ini. Sampai gaya busana pun ada aturannya. Alamakk!!! Ribet banget hidup dimari, berasa di kerajaan gue! Mika membatin.

"Terus saya mesti pakai style apa Mami, kalo di rumah? Ala Kate Middleton begitu?" Terka Mika hati-hati. Takut terkena omelan bila salah menduga.

"Seperti yang kamu kenakan sekarang. Always stunning and elegant. Jadi semua orang akan segan dan menghormati kamu tanpa harus bilang ke mereka kamu siapa."

Mika memejamkan mata sekejap. Mencoba bersabar dan menerima takdir baru dalam hidupnya ini. Yakni kehidupan yang semakin terkekang. Jauh dari ekspektasi bisa hidup bebas dan mengejar cita-citanya menjadi super model.

"Menikah dengan Zaid, berarti kamu membawa nama belakang suamimu juga. Jadi berhati-hati dalam tutur kata. Bertingkah laku dan berteman. Ini rules penting di Al-Rashid yang harus kamu pahami. Ada rules lain tapi belum waktunya. Besok asisten pribadi saya, Nindy akan mengajarkan kamu perihal etiket dan tata krama."

Ok, Mika say good bye to your freedom!

 

Chapter - 15

 

 

Anda

Pak, pulang kapan?

Anda

Paakkkk!!😭😭😭

Pengen pulanggg....

Anda

Pak ih jawabbbbb!!!

Mika melempar smartphone-nya ke atas ranjang. Kesal lantaran suaminya itu tak merespon satupun chat darinya. Sumpah! Dia ingin menangis jika lama-lama sendirian di kediaman itu. Belum satu jam saja sudah dihadiahi serentetan aturan ketat yang membatasi hidupnya.

Dia ingin tinggal di apartemen saja biarpun tanpa ART. Biarpun dirinya harus capek bersih-bersih rumah sekaligus mengurus pria itu. Tidak apa, dari pada tinggal di rumah mewah bak istana tapi seperti di dalam sel tahanan.

Drrtt... Drrtt...

Tak lama kemudian smartphone berdering, lantas Mika meraihnya dan terpampang jelas panggilan masuk dari sang suami. Segera dia menjawab dengan nada sewot bin nyolot.

"Saya mau pulang pokoknya! Bapak gak tahu ya, belum satu jam aja saya di sini, udah langsung dipanggil Mami. Udah diomelin ini-itu. Dilarang ini-itu. Apalagi saya gak dibolehin berkarir. Gak bisa ya Pak! Kita udah sepakat lho!"

Zaid terkekeh mendengarkan ocehan istrinya yang begitu bawel. Saat ini dia sedang berada di lokasi pembangunan gedung baru bersama sekretarisnya, Dimas. "Kamu udah makan belum? Udah lewat jam makan siang lho."

Dia mengalihkan topik karena dirasa percuma jika ingin menentang peraturan tersebut. Istrinya itu hanya perlu adaptasi saja. Toh pernikahan mereka tidak sungguhan, suatu hari jika dirasa situasi aman. Dia akan melepaskan gadis itu.

Melepaskan?

Entahlah untuk saat ini dia tidak ingin memikirkan hal itu.

"Udah! Makan pun gak enak dilihatin mulu sama Mami. 'Kan gak nyaman jadinya, ck!"

Zaid tertawa lepas mendengar curhatan gadis itu. Sampai-sampai para pegawai yang ada di sana terheran-heran dengan si bos yang biasanya dingin, galak, tegas dan kaku tenyata bisa berubah hangat. "Terus udah ketemu Salsa?"

"Belum, saya udah nanya katanya lagi ada les."

"Oh, yaudah. Yang sabar ya. Habis dari sini saya pulang kok."

"Yaudah!" Balas Mika ketus lalu memutus panggilan tanpa perlu ribet-ribet menunggu kalimat penutup dari pria itu.

Mika kembali melempar smartphone-nya ke atas ranjang dengan perasaan dongkol parah. Dari pada bosan sampai mati gaya, dia pun keluar dari kamar untuk mencari udara segar. Sepertinya melihat ikan-ikan koi dan memberinya makan akan mengasyikan.

❤️❤️❤️

Mika bermain air di kolam ikan koi yang cukup luas dan memanjang. Gemericik air yang jatuh dari bebatuan membuat pikirannya tenang. Angin sepoi-sepoi dan pemandangan hijau nan indah di area belakang rumah itu seperti meditasi baginya. Tak lama berselang terdengar kericuhan kecil di dalam rumah. Lantas dia pun beranjak dan masuk ke dalam.

"Aku bilang gak mau makan! Mbak Siti gak ngerasain posisi aku. Coba kalo Ayah Mbak Siti nikah gak bilang-bilang? Marah gak? Kesel gak? Semua orang gak ada yang peduliin aku. Mommy sama Baba pisah. Sekarang orang yang udah aku anggep pengganti Baba malah nikah gak bilang-bilang. Aku dianggapnya apa coba?"

"Ya Non, Maaf. Mbak Siti salah, tapi Non Salsa belum makan. Nanti kalo sakit gimana? Mbak Siti khawatir."

"Bodo amat! Aku masih kesel sama Papa. Mbak Siti kerja aja gak usah maksa-maksa aku lagi. Aku lagi bete."

Mika dapat mendengar jelas percekcokan itu. Rupanya ini perkara soal pernikahannya dengan Zaid yang tak bisa diterima oleh anak itu. Dia pun memberanikan diri untuk menghampirinya.

"Hai Salsa..." Mika ikut bergabung duduk di sofa yang pemandangannya menghadap langsung ke area taman belakang rumah. "Baru pulang sekolah ya? Papa kamu udah cerita kalo aku ini..."

"Udah tahu. Gak usah dibahas!" Balas anak itu super duper jutek. Menilai penampilan Mika from head to toe. Lalu memutar bola malas. Entah apa yang ada dipikiran anak itu yang pasti menilai Mika jelek.

Mika pun berusaha seramah mungkin. Tidak tersinggung dengan respon penolakan dari anak itu. "Aku tahu pasti kamu kesel dan marah karena kami menikah gak bilang-bilang."

"Pasti hamil duluan 'kan? Ck!" Tuding anak itu sarkastik.

Sontak saja Mika langsung menepis cepat. "Amit-amit! Gaklah Salsa. Tapi karena desakan Oma sama Opa kamu..." Mika menjeda sejenak. "Kamu tahu ‘kan Papa Zaid gak mau menikah dengan Tante Alya. Katanya kamu juga gak suka sama dia ‘kan?"

Anak itu tampak bergeming sejenak, membenarkan argumen istri Om-nya itu. "Aku gak mau panggil kamu Mama." Tukas anak itu mengalihkan topik.

Mika tersenyum mengangguk. Memang dia juga tidak mau dipanggil seperti itu. Rasanya aneh dan tidak nyaman apalagi dirinya masih muda, masih perawan ting-ting, belum mengalami hamil dan melahirkan. "Iya, tentu. Tante pengennya begitu lho. Oh ya kamu sekolah di mana? Papa Zaid sayang banget sama kamu lho sampe prioritasin kamu banget." Tukas Mika mengakrabkan diri.

Namun sayang sekali, anak itu malah merespon dengan acuh, 100% mengabaikan antensinya.

Oke gue dikacangin. Sabar Mika, sabar.... ucap Mika dalam hati.

"Yaudah Tante ke atas dulu ya. Oma kamu lagi pergi. Kalo ada apa-apa jangan sungkan bilang ke Tante ya?"

Salsa tak menjawab dan malah asyik bermain gadget.

Oke, sabar Mika, sabar. Maklumin aja cabe-cabean. Mika pun hanya bisa mengelus dada, memaklumi atas sikap songong anak itu.

❤️❤️❤️

Menunggu suami pulang rasanya membosankan, Mika pun sampai ketiduran di ranjang. Apalagi di kamar tersebut tidak ada TV, terasa aneh padahal kamarnya begitu luas dan furnitur pendukung yang tertata rapi tidak bisa dibilang murah. Hal itu membuat si Mika merasa bosan akut dan tertidur pulas.

Suara auman harimau putih, membangunkannya dari tidur siang. Diliriknya arah jarum jam menunjukkan pukul 4 sore. Dia pun menoleh ke arah balkon, ingin melihat harimau itu sedang apa. Dan betapa kagetnya, saat melihat sang suami tengah bermain-main dengan kucing besar itu. Mika bergidik ngeri mengapa pria brewok itu tidak ada takutnya dengan hewan buas?

"Hihh... gak takut diterkam apa tuh orang? Itu gigi sama taringnya aja tajem gitu, hihh!" Oceh Mika dengan bergidik ngeri. Apalagi harimau itu dilepas dari kandangnya dan dibiarkan bermain-main bebas di area belakang rumah.

Dan mulai sekarang, dia harus memastikan dulu jika hendak keluar rumah. Takut bila sewaktu-waktu dua binatang buas itu sedang dikeluarkan dari kandang. Nyawa taruhannya coy!

"Good job Azur!"

Zaid begitu bahagia dan bangga saat peliharaannya berhasil melompat, menangkap daging mentah santapannya. Meskipun sibuk, dia tak lupa untuk meluangkan waktu bermain dengan dua peliharaannya.

"Ya Ampun! Tuh orang kagak ada takut-takutnya!" Mika menggelengkan kepala heran dengan tingkah sang suami. Lain daripada paksu yang lain.

"Mika!! Sini..." Teriak Zaid saat tahu istrinya sedang memperhatikan dari lantai atas. Sontak saja si Mika langsung menolak cepat. "Bapak mau numbalin saya ya?! Jangan gila dong Pak!" Sewotnya dengan nada nyolot.

Zaid terkikik geli melihat ekspresi parno gadis itu. "Dia gak buas Mika. Udah jinak. Udah kenyang makan juga. Gak bakalan gigit kamu kok. Tuh tanyain aja sama keeper-nya."

"Betul Bu Mika. Azura gak galak kok. Saya sering melatihnya." Tutur si keeper harimau putih yang khusus Zaid rekrut untuk menjaga dan melatih Azura. Masing-masing peliharaannya ada pelatih khusus yang dia pekerjakan. Jadi dijamin aman.

"Tuh, kata Eri juga gakpapa. Ayo sini. Kenalan sama Azura." Bujuk Zaid lagi sedikit usil. Sepertinya seru menjahili istrinya ini.

"Si Salsa aja berani, sering ajak main." Ocehnya lagi sambil tertawa.

"Gak lucu Pak becandaannya, sumpah!" Mika merajuk lalu memutar tubuhnya, hendak masuk kembali ke dalam kamar.

"Azur! Lihat Mamamu ngambek tuh. Kita samperin ke atas gimana?" Zaid malah semakin jahil. Mika langsung membalikkan tubuhnya, lantas melotot galak. "Gila!! Awas aja lho Pak kalo berani!" Teriaknya, super panik.

Zaid malah tertawa lepas, lucu sekali melihat wajah parno istrinya itu.

"Udah Pak kasihan istrinya. Nanti gak dikasih jatah lho. 'Kan masih pengatin baru. Hehe," si keeper ikut terkekeh geli menyaksikan romansa sang majikan dengan istri barunya.

"Hahaha... iya bahaya." Zaid masih tertawa renyah. "Yaudah titip Azura ya. Saya mau nyamperin istri. Ngambek kayaknya haha," lanjutnya meninggalkan si harimau putih bersama sang keeper.

"Siap Pak Bos. Saya ngertilah kalo pengantin baru, hehe." Ujar si keeper terkekeh geli, tahu maksud kode dari majikannya itu.

❤️❤️❤️

Zaid membuka pintu pelan dan langsung menutupnya lagi. "Mika?" Dia melirik sekeliling kamar tak ada sosok gadis itu.

Padahal nyatanya Mika sedang berada di ruang wardrobe yang menyatu dengan kamar tersebut. "Ck, jangan bawa macan ke sini!" Teriaknya galak.

Zaid terkekeh geli. Lantas dia pun menghampirinya bermaksud mengajak pulang ke apartemen. "Ayok kita pul—." Zaid menggantungkan kalimat saat melihat istrinya berpenampilan aduhai menggoda dengan hanya berbalut kemeja putih miliknya yang terlihat kebesaran. Dua kancing dibiarkan terbuka hingga terlihat warna bra yang dikenakan. Ujung kemeja yang hanya sebatas sejengkal dari pinggang, otomatis memperlihatkan paha putih nan mulus tubuh si Mika.

"Kamu ngapain pake baju saya?" Tanya Zaid yang matanya tak bisa lepas dari pemandangan indah nan menggoda.

"Baju saya basah lihat nih! Bapak sih nakut-nakutin. Saya pegang gelas jadi oleng." Cerocos Mika masih dongkol parah. Dengan tampang cuek dan masa bodoh, dia hanya mengenakan kemeja saja tanpa celana sembari mengeringkan pakaiannya memakai hair dryer.

"Kenapa gak pakai celana?" Zaid menahan dorongan gairah dalam dirinya. Mengapa gadis itu cuek saja dengan penampilan seksi seperti itu? Apa si Mika ini tidak takut bila dirinya tiba-tiba menerkam?

"Gakpapa. Gini juga. Toh cuman Bapak doang yang lihat. Bapak 'kan bilang sendiri biasa aja lihat cewek pakai baju seksi. Segini mah masih wajar kali dari pada baju saya waktu di Itali." Oceh Mika benar-benar cuek. Tidak melihat perubahan tatapan suaminya itu yang kini berubah tajam, gelap berkabut gairah.

Zaid tak bisa tinggal diam lagi. Perkataannya sewaktu di Itali hanyalah gengsi saja. Tidak mau dicap mesum oleh gadis itu. Juga, waktu itu dan sekarang statusnya sudah berubah. Gadis itu sudah menjadi istrinya sekarang. Jadi sah-sah saja bila dia melakukan hal-hal mesum bukan?

Tak membuang-buang waktu, dia pun berjalan cepat lalu memerangkap gadis itu dalam dekapannya.

"Kyaaakkk!!!" Mika terjengkit kaget sampai-sampai kabel hair dryer tertarik dan lepas dari colokan listrik lalu terjatuh ke lantai.

Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja pintu kamar terbuka. "Bang Zaid? Katanya kamu di sini..." Terdengar suara Alya yang lancang masuk lantaran pintu tidak dikunci.

Dua manusia yang sedang berada di ruang wardrobe itu pun lantas panik. Baik Mika maupun Zaid sama-sama membulatkan mata, cukup kaget dan tak menyangka bila Alya sampai berani masuk ke ranah pribadi mereka.

Cupp

Tak ada cara lain yang terlintas dipikiran Zaid selain mencium istrinya. Demi mengusir wanita itu secara cepat. Tanpa harus berkoar-koar. Sedangkan Mika, sangat kaget ketika suaminya mendadak menciumnya. Dia ingin memberontak, melepaskan jeratan kedua tangan pria itu yang melingkar erat dipinggangnya.

"Pak..." Mika berhasil melepaskan ciuman.

"Diamlah Mika. Biar dia tidak mengganggu saya lagi." Balas Zaid berbisik, hembusan napasnya dan Mika saling bersahutan.

Keduanya saling perang tatap, Zaid menatap Mika karena diliputi gairah sedangkan Mika menatapnya karena penuh tanda tanya. Mengapa selalu dengan ciuman untuk mengusir wanita itu?

Cupp

"Ahhh!" Mika mendesah bercampur kaget luar biasa kala suaminya itu menerjang lehernya. Juga meremas-remas bokongnya. Bahkan ujung jari telunjuk dan tengah pria itu sampai menusuk kewanitaannya. 🔥🔥

Saat bersamaan, Alya muncul di depan pintu dengan keterkejutan luar biasa. "KALIAN!!!"

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chapter 16-20 Sang Pewaris Al-Rashid
0
0
JANGAN MACAM-MACAM LO! Gue istri Om lo, Arkan! Gertak Mika sembari melangkah mundur, menjaga jarak. *Cover Image from www.freepik.com
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan