
"Mikaaaa..." geram Zaid tertahan. Menahan hasrat juga kekesalan pada gadis ceroboh dan aneh itu. Padahal belum 24 jam pertemuan mereka, tapi gadis itu sudah banyak berulah.
*Cover Image from www.freepik.com
Chapter - 1
"Lu yakin ini beneran?" Tanya Mika pada sahabatnya. Sang sahabat memberikan kabar bagus terkait nasibnya yang hingga kini masih menjadi pengangguran.
Sudah dua bulan dia menganggur dan tak ada satupun lamaran pekerjaan yang memanggilnya wawancara. Meskipun cita-citanya menjadi supermodel, dia masih berpikir rasional dengan bekerja kantoran. Kalau saja insiden pelecehan itu tak terjadi, mungkin saat ini dirinya masih memiliki pemasukan bulanan. Tidak lontang-lantung tak jelas dan hanya mengandalkan sisa gaji selama dua bulan ini.
Selalu emosi jika mengingat kejadian sialan itu. Untung saja dirinya tak sampai trauma lantaran aksi pelecehan yang dilakukan atasannya gagal setelah dirinya berhasil melawan dengan menendang kemaluan orang tersebut hingga jatuh tersungkur. Ya itulah mengapa dirinya saat ini menganggur hingga tergiur dengan ajakan sahabat untuk mengikuti casting di sebuah agensi.
"Yakinlah! Nih lihat. Lu tahu 'kan Stevy Agnesia aja di bawah naungannya." Seru sang sahabat meyakinkan.
"Ya tapi ‘kan dia terkenal gegara viral gelut di club malam sama selebgram itu." Mika masih meragu.
"Ih, lo mah kebanyakan mikir Mika! Gas ajalah dari pada lo nganggur mulu ya ‘kan?" telak sang sahabat menyindir keras.
"Sialan lo!" Mika menoyor kepala sahabatnya. "Masalahnya Bapak gue pasti gak bakalan izinin Rara!"
"Ck, Bapak lo tuh emang kuno, Mika. Gue sih terserah lo. Lo gak ikut, gue tetep berangkat ke Jakarta." Ujar Rara yang merasa jengah dengan cara pandang ayahnya Mika yang terkesan sangat otoriter dan kolot.
"Eee... jangan dong! Gue juga ikut Ra! Lo tahu 'kan gue 'war' mulu sama tuh emak-emak. Gue udah empet. Tuh orang nyari-nyari mulu kesalahan gue. Gue pengen bebas, gak nyaman gue tinggal di sana." Ujar Mika dengan nada bersungut-sungut.
Dan seminggu kemudian dia minggat dari rumah dengan hanya membawa pakaian dan barang yang penting saja dalam satu koper berukuran sedang. Dia bersama sahabatnya yang bernama Rara pergi meninggalkan Kota Semarang menuju Kota Metropolitan dengan tujuan yang sama, yakni menjadi supermodel.
❤️❤️❤️
Selesai casting, semua kontestan dibimbing menuju suatu ruangan tertutup. Dua orang pengawal yang menjaga mengatakan jika mereka semua diminta menunggu di sana sampai tim mengumumkan siapa saja yang terpilih. Nyatanya itu adalah jebakan. Sebanyak 30 gadis bergiliran dipanggil nama oleh seorang pengawal untuk pergi menuju ruangan khusus di mana akan melakukan sesi interview lanjutan. Nyatanya itu adalah jebakan kedua. Setiap gadis yang pergi ke ruangan yang disebutkan, langsung dibekap oleh para body guard hingga pingsan. Semua gadis itu diringkus dalam keadaan tangan diikat dan mulut dibekap lakban. Termasuk Mika dan sahabatnya, Rara.
Mika yang merasa ada kejanggalan sedari awal acara, sudah mencium ada hal yang tidak beres. Sehingga dia tidak betul-betul pingsan dan hanya merasakan lemas serta pusing saja. Efek dari obat bius yang sedikitnya telah masuk ke dalam indra penciumannya.
"Ra... bangun Ra..." ujar Mika berbisik pelan setelah sebelumnya dia pura-pura pingsan.
Dia berusaha untuk tidak panik ketika para penjahat itu meringkus dirinya dan semua kontestan dari kantor agensi hingga berada di sebuah mobil travel yang jendelanya ditutup rapat. Dia menilik ke celah jendela jika hari sudah gelap. Seketika dirinya mulai panik karena mendengar dua pengawal yang duduk di kemudi dan jok depan sedang berbincang mengenai nasib mereka.
"Jadi yang di mobil ini mau dilempar ke Itali?"
"Iya, bos bilang gitu. Ini hasil sortir. Barang bagus semua buat bule katanya."
Dua komplotan itu tertawa jumawa. Menertawakan nasib ke-10 gadis cantik dengan tubuh proporsional yang akan dijual ke para mafia kelas kakap di Itali. Untuk dijadikan pelacur, sex slave dan bintang porno. Benar-benar keji!
Mika yang duduk di jok paling belakang tak hentinya berusaha membangunkan si sahabat. Untuk segera mencari jalan keluar agar tidak sampai dijual ke Itali.
"Ra..." ujarnya pelan dengan tubuh gemetaran hebat. Terasa mencekam hingga wajahnya berubah pucat pasi. Demi apa, dia sangat menyesal karena telah membangkang aturan sang ayah. Andai saja dia menjadi anak penurut mungkin nasibnya akan lebih baik walau harus tinggal di rumah itu dan cekcok bersama ibu sambungnya. Lebih baik nasibnya seperti itu ketimbang harus menjadi pelacur, sex slave atau bintang porno.
"Ra.... Hiks..." cicitnya menahan isak tangis. Takut sampai terdengar dua komplotan itu.
"Ah sampai juga. Udah Bro. di sini. Entar ada yang handle gantian. Capek kali kita kerja dari pagi." Ujar salah satu komplotan itu.
Mika semakin panik, air matanya terus mengalir. Dia sangat ketakutan. Dia tidak mau dibawa ke Itali. Demi apa, dirinya ini manusia, bukan barang. Mengapa mereka semua sekeji itu sampai menjual manusia?
Mika hanya bisa berdoa sekuat-kuatnya memohon ampun dan perlindungan pada Sang Maha Kuasa. Hanya itu yang dia bisa lakukan karena tubuhnya diikat kuat, mulutnya pun ditutup rapat.
"Wah ada yang nakal satu rupanya. Sialan! Gak manjur biusnya! Bro mana sapu tangan tadi? Nih ada satu yang bangun. Urus dia!" Ujar salah satu komplotan itu yang menciduk Mika saat akan digotong ke kapal.
Mika melotot takut. Sebisa mungkin dia meronta, menendang tubuh penjahat itu namun nihil, mulut dan hidungnya dibekap kain yang mengandung obat bius. Perlahan kekuatannya melemah dan kesadarannya pun hilang. Dia pun sadar kembali karena mendapat teriakan juga tendangan di tubuhnya.
"Bangun sia**n!"
Mika terbangun dan bertanya-tanya, mengapa bisa berada di sebuah ruangan seperti meeting room bersama ke-10 gadis lainnya.
"Yang lain udah pada dandan cantik, lo masih kebo. Bangun lo!" Teriak seorang transgender asal Indonesia yang memiliki kuasa penuh mendandani ke-10 gadis itu supaya terlihat cantik dan menggoda para kliennya.
Brrrttt...
Dengan kasar, lady boy itu melepas lakban yang menempel erat di mulut Mika.
"Akhh.... Hiks." Mika merintih kesakitan dan perih di bagian mulut juga wajahnya.
"Manja lo! Cepat ganti. Dan ngantri dandan di sana!" Ujar si lady boy itu lagi dengan sarkas dan kejam, melempar baju minim dengan belahan dada rendah.
Mika menangis sesegukkan. Dia hanya berharap ini mimpi buruk saja. Dia amat ketakutan dan syok jika nasibnya berakhir pahit seperti ini.
"Malah mewek lo! Cepet bangun anj***! Ganti baju!" Bentak si lady boy itu lagi seraya menendang tubuh Mika dengan sepatu hak tingginya.
❤️❤️❤️
Di tempat yang sama, Zaid bersama beberapa kaki kanannya sedang melakukan perjalanan bisnis di kapal pesiar mewah 'cruise' dari Singapura menuju Itali. Saat ini dia sedang hangout bersama para rekan bisnisnya di sebuah club malam yang ada di 'kapal megah' itu.
Dia sendiri tidak begitu menyukai keramaian. Dia lebih senang menghabiskan waktu me-time-nya sendirian. Tidak bising dan ramai seperti sekarang. Duduk dengan tidak nyaman dan sesekali melirik arloji mahalnya. Berharap waktu berjalan cepat sehingga dirinya bisa segera istirahat.
Sebenarnya dia ingin menolak ajakan rekan bisnisnya itu, tapi dia takut hal tersebut akan berpengaruh buruk terhadap kerjasama yang sudah terjalin. Mau tak mau dia harus menghargai para kolega bisnisnya tersebut.
"Sorry guys! I'm out. I have to check many files from my assistant." (Maaf kawan, Aku cabut aja. Aku mesti periksa banyak berkas dari asistenku)
Pamit Zaid pada ketiga kolega bisnisnya. Dia sendiri sudah tak tahan apalagi tak bisa minum apapun karena takut minuman yang ditawarkan mengandung obat-obatan terlarang. Meskipun mereka mengatakan non-alcohol. Dia selalu waspada karena musuh kadang tak terduga dan tak kita kira.
"Hey dude! Chill! Find out and pick some beautiful girl! You are handsome and charismatic, Zaid. You will get them easier." (Hey Bung! Santuy! Carilah dan comot salah satu gadis cantik. Kamu tampan dan kharismatik, Zaid. Kamu bakalan lebih mudah mendapatkan mereka).
"Yeah, for you! Those are piece of cake, buddy!" (Ya, untukmu! Itu sih enteng banget, kawan!)
Zaid terkekeh, menghiraukan obrolan melantur orang-orang itu. Dia memang akrab dan cukup dekat tapi mereka bukanlah teman. Dia tak akan mudah percaya dan selalu waspada. Dia tak ingin salah satu dari mereka menjebaknya. Who knows? Di dunia bisnis dan pekerjaan tidak ada kata pertemanan. Karena semua bersaing. Itulah pemikiran realistis Zaid.
"Ck, lo pikir gue kayak lo pada? Doyan apem! Sesat lama-lama gue di sini." Ocehnya cuek, lantaran sudah pasti orang-orang itu tidak akan paham bahasa yang diucapkannya.
Chapter - 2
"Mr. Marvin don't take me out. (Tuan Marvin, jangan bawa saya. Saya terkena aids. Saya memiliki penyakit menular. Dia saja!" Tunjuk Rara dengan tak ada belas kasihnya mengorbankan sang sahabat untuk dijadikan tumbal. Tak ada pilihan karena dirinya ingin bebas dari jeratan mafia itu.
"Ra?!" Mika melotot tak percaya dengan tindakan sahabatnya itu. Sungguh teganya sampai memfitnah dan menumbalkan dirinya saja agar dijadikan budak seks pada seorang mafia yang telah membeli mereka berdua.
"Sorry Mika. Gue gak ada pilihan lain. Gue pengen hidup bebas." Ujar Rara dengan tampang tak peduli saking paniknya sampai egois tak memikirkan nasib sahabatnya. "Just take her out. She's more beautiful and sexier than me, right? (Bawa dia saja. Dia lebih cantik dan seksi dariku kan?). Bawa dia saja. Hidupku tak akan lama lagi."
Mika menggelengkan kepala dengan wajah berkaca-kaca. Tak habis pikir dengan sahabatnya itu, bisa-bisanya berbohong dan menumbalkan dirinya. Air matanya lolos mengalir di wajah cantiknya. Dia meronta ketika dua body guard si mafia itu menahan pergerakannya.
Sekuat tenaga dengan diiringi doa pada Sang Maha Kuasa, dia memberontak melawan dua pria berbadan kekar dan garang itu. Hingga kakinya berhasil menendang kemaluan dua body guard itu dan tersungkur meraung kesakitan. Tanpa babibu dia langsung berlari sekencang mungkin.
Dia sendiri tak tahu di mana jalan keluar dari kapal itu. Dia tak tahu akan bersembunyi di mana sampai kapal itu berhenti di pelabuhan. Yang dia lakukan hanya lari secepat mungkin, kabur dari kejaran mereka. Dan di tengah lorong-lorong hotel, dia tak sengaja menubruk seorang pria tinggi.
Brukk
Saking panik dan takut akan kejaran para penjahat itu, Mika tak melihat jika di depannya ada orang. "Aduh, maaf. Mmmm… Sorry. Sorry Sir!" Ujarnya keceplosan menggunakan Bahasa Indonesia. Dia tak melihat pria tinggi di depannya. Fokusnya selalu menoleh ke belakang, was-was jika para penjahat itu ada di belakangnya.
"Kamu WNI?" Sahut pria tinggi itu mengabaikan permintaan maafnya.
Seketika kepala Mika langsung menengadah, menatap pria itu. Entah kenapa dia melihat secercah harapan dari pria tinggi beparas timur-tengah dengan kumis dan jambang yang terlihat sungguh maskulin. Seperti seleb Turki atau bintang Hollywood Nick bateman, Chris Hemsworth dan William Levy.
Gila lo Mika! Sempet-sempetnya lo kesemsem ama laki orang! Umpatnya saat sadar telah mengagumi pria matang yang diperkirakan usianya lebih dari 37 tahun. Dan dipastikan sudah beristri.
Di tengah kegentingan, masih sempat-sempatnya dia terpana akan sosok pria brewokan itu. Suara baritonnya, begitu seksi sampai dia mematung beberapa detik.
"Oh... There you are! I got you. Excuse me, Sir. She is my boss property." (Oh kamu di sana! Aku mendapatkanmu. Maaf, Tuan. Dia ini barang bosku). Kata salah satu penjahat itu saat berhasil menemukan Mika.
Mika panik luar biasa hingga tubuhnya gemetaran hebat. Berlindung dibalik tubuh pria brewok itu. Dia amat ketakutan sampai berucap pun gagu. "Tolong... tolong saya Pak, hiks. Saya korban human trafficking. Mereka telah membeli saya. Tolong saya, Pak."
"Leave the girl!" (Tinggalkan gadis itu). Sambung penjahat lain seraya menodongkan pistol.
Mika ketakutan hebat dan aura semakin mencekam. Dia menangis memohon pertolongan pada pria sewarga negara-an dengannya itu. Tangannya mengalung erat di lengan pria itu.
"Pak, tolong saya... hiks. Saya gak mau dijadiin budak seks, hiks. Tolong saya. Saya akan melakukan apapun asalkan Bapak selamatin saya." Mika memelas dengan air mata yang terus berjatuhan. Terlihat begitu malang.
Zaid menatapnya lekat, menelusuri kejujuran lewat pandangan mata gadis itu.
"Three..." orang itu mulai menghitung mundur.
"Who is your big boss?" (Siapa Bos besar kalian?). Tanya Zaid dengan tenang. Tak ada rasa ketakutan darinya meskipun senapan mengarah padanya.
Dua komplotan itu berdecak, tertawa meremehkan. "Mr. Marvin. Don't bother him! Or... You'll die." (Tuan Marvin. Jangan mengusiknya. Atau… kau akan mati).
Zaid terkekeh. Tidak salahkan bos yang mereka sebut? Yang mereka banggakan itu hanyalah seorang kacung dari kolega bisnisnya. Bahkan barusan tadi dia bersenang-senang dengan bosnya si Marvin itu.
"Why are you smiling?" (Kenapa kau tertawa?).
Zaid menghentikan tawanya. Lalu kembali pada mode seriusnya seorang Zaid Emran Al-Rashid—yang memiliki tatapan tajam, garang dan aura begitu dominan seperti raja rimba alias The Lion King.
"Apparently, You guys didn't know him. Chh... Your boss has a big boss. He is nothing for me." (Tampaknya, kalian tidak mengenalinya. Chh... Bosmu memiliki bos besar. Dia bukan apa-apa buatku). Ujarnya menatap angkuh dua manusia itu. "Tell him. Tell Marvin. The man who disturb his business is Zaid Emran Al-Rashid." (Katakan padanya. Katakan pada Marvin. Pria yang mengganggu urusannya adalah Zaid Emran Al-Rashid). Lanjutnya menghunus tajam. Salah satu tangan berada di belakang, di bawah punggungnya. Memegang pistol yang tersembunyi tertutup jas. Sehingga orang tidak akan mengetahui dibalik jas itu tersemat senjata api.
Dan reaksi dua komplotan itu mematung kaku, merasakan tanda bahaya berbalik ke arah mereka. Keduanya bahkan langsung menurunkan senjata.
"Call him... now!" Tukas Zaid dengan nada tenang namun tatapannya seperti peluru yang akan menembus jantung kedua manusia itu.
Lalu salah satu dari mereka menghubungi si mafia itu. Terdengar makian dan umpatan kasar yang terlontar dari mulut si mafia, bos dua orang itu.
"Sir, he wants to tell you something..." (Tuan, dia ingin mengatakan sesuatu…) Dengan gerakkan kaku dan perasaan takut, orang itu menyerahkan smartphone pada Zaid.
"I will let her go. (Aku akan melepasnya) Asalkan kau mengganti kerugianku. Kau sepakat Mr. Zaid? You know, I've lost around XXX dolar untuk mendapatkannya. Aku sudah mengeluarkan banyak uang untuk memilikinya. She is so precious ... for me." (Dia sangat berharga … untukku). Ujar si mafia bernama Marvin. Memberi opsi penawaran yang sungguh membuat Mika geram.
Dalam hati Mika mengutuk keras perlakuan mafia itu. "Pak tolong saya...." Cicitnya dengan wajah pias. Takut bila Zaid melepaskannya dan membiarkan dirinya jatuh ke tangan mafia itu. Demi apapun dia akan rela melakukan apa saja untuk Zaid. Asalkan pria itu mau menolongnya, menyelamatkannya.
"Pak, kita 'kan saudara setanah air Pak. Bapak tahukan Sila ke dua dari Pancasila?"
Zaid menoleh aneh pada gadis itu. Mengapa malah jadi bahas Pancasila? Mereka bukan sedang belajar kewarganegaraan bukan? Aneh sekali gadis yang akan ditolongnya ini.
"Pak... kalo Bapak selamatin saya berarti Bapak udah mengamalkan sila kedua dari Pancasila." Ujarnya bernegosiasi. Pikirannya sudah stuck, kalimat-kalimat apa yang bisa membuat pria itu terketuk hati agar mau menolongnya.
"Kita tidak sedang belajar KWN, Nona!" balas Zaid jengah.
"Halo... Mr. Zaid. Kau masih di sana?"
Mika menegang, keringat dingin mengucur di kedua pelipisnya. Dengan memasang wajah rapuh, malang dan terlihat mengenaskan, dia merayu pria itu lagi agar mau menyelamatkannya.
"Pak, saya janji. Saya akan melakukan apapun asalkan Bapak selamatin saya. Saya jadi kacung pun, gakpapa. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Bapak kalo selamatin saya berarti Bapak sudah mengamalkan Pancasila, Pak. Bapak warga negara yang baik, yang sesungguhnya."
Cerocos Mika untuk terakhir kalinya berharap pria itu terketuk hati, mau menolongnya. Karena sedari tadi kalimatnya ambigu. Belum ada keputusan tegas apakah akan menolongnya atau tidak.
"Ok... Sepertinya kau keberatan atas penawaranku itu. Baiklah kalau begitu serahkan dia pada bawahanku."
Mika menggeleng ketakutan, berurai air mata lagi. Dia tak mau, tak rela jika harus kembali ke tangan mafia itu.
"Baiklah. Aku akan memberikan cek padamu. Aku tidak membawa uang tunai yang banyak." Jawab Zaid yang membuat gadis di sebelahnya bernapas lega. Sambungan pun terputus. Zaid membawa Mika beserta kedua orang itu untuk ikut dengannya.
Sesampainya di pintu kamar hotel, dia meminta dua orang itu untuk menunggu di luar. Sedangkan dirinya dan gadis itu masuk ke dalam. Dia akan mengambil cek yang berada dalam tas kerjanya.
"Give this to your stupid boss!" (Berikan ini pada bosmu yang bodoh!) Ujar Zaid pada dua orang itu agar segera pergi.
Chapter - 3
Selepas kepergian dua komplotan itu, Zaid mulai menginterogasi gadis yang ditolongnya. Siapa namanya, asalnya, dan mengapa bisa sampai menjadi korban human trafficking.
"Saya Mika Aubrie. Saya lahir di Jati Asih, Kota Bekasi. 10 Mei 199—"
"Intinya saja. Ceritakan secara singkat. Saya bukan mau interview pekerjaan." Sela Zaid dengan nada datar namun terkesan seperti memarahi gadis itu. Hingga Mika pun memberenggut takut. Kepalanya terus menunduk tidak berani bersitatap langsung dengannya.
Salah ngomong gue! Terus gue mesti cerita dari mana coba? Dia bilang certain gue siapa, asal mana terus kenapa gue bisa ampe begini.
Dalam hati gadis itu mengutuk dirinya yang selalu bertindak sembrono bila dalam situasi canggung, cemas, dan gerogi akut seperti sekarang.
"Cepat ceritakan Mika ini sudah malam. Saya mau istirahat." Ujar Zaid seraya memijit pelipisnya. Lelah dengan pekerjaan dan pertemuan tadi bersama kolega bisnisnya. Niat istirahat malah mendapat pekerjaan baru. Benar-benar lelah dirinya.
Istirahat? Mika sontak melotot kaget. Kedua tanganya refleks menyilang dada. Menatap horor pria yang duduk berseberangan dengannya. "Pak, saya memang janji akan melakukan apapun. Tapi tidak untuk itu. Kalo Bapak..."
"Mikir apa sih kamu? Aneh. Suka overthinking. Saya ngantuk mau tidur. Kamu mau tidur di karpet kek, di sofa kek, terserah. Asal jangan di kasur bersama saya." Telak Zaid yang langsung membuat gadis itu malu.
"Maaf..." Cicit Mika menunduk malu. Mengapa pula dia sampai berpikir jauh seperti itu? Tentu Zaid memiliki selera tinggi soal perempuan. Sedangkan dirinya? Dirinya sama sekali bukan tipe pria itu.
Lalu dia pun mulai bercerita "Awalnya saya diajak temen buat ikut casting jadi model di agensi xxx. Tapi ternyata itu bukan agensi, tapi sindikat perdagangan manusia..." cerita pun mengalir hingga dia bisa sampai berada di sini bersama Zaid.
"Kamu jangan jauh dari saya. Di sini tidak aman. Mereka semua masih berada satu kapal dengan kita."
Mika mengangguk patuh. "Terima kasih, Pak."
"Identitas kamu. KTP, Paspor dan barang penting lainnya. Apakah disita oleh mereka?"
Mika menggeleng pelan. "Pas ke agensi saya hanya membawa hape saja Pak. Dompet saya ketinggalan di kostan. Padahal saya baru sewa sebulan. Gimana kalo Ibu kost anggep saya kabur Pak? Terus barang-barang saya dibuang..." lagi-lagi gadis itu malah overthinking.
"Bisa tidak berpikir logis dan rasional? Kamu selalu overthinking. Belum kejadian udah cemas duluan." Balas Zaid dengan nada ketus. Orang yang tidak kenal akrab pasti langsung tersinggung dengan ucapannya.
Lagi dan lagi Mika memberenggut takut, orang yang dihadapinya ini mirip sekali dengan dosen killer-nya ketika kuliah. Benar-benar atmosfir seperti sedang disidang skripsi. Menegangkan namun tidak mencekam sebelum bertemu pria itu.
"Ya 'kan saya gak punya apa-apa lagi Pak. Saya mau pulang bingung. Paspor gak ada. KTP ketinggalan. Saya ke luar negeri secara ilegal. Gimana saya bisa pulang Pak..." Mika mengerucutkan bibirnya. Wajahnya sengaja dibuat semenyedihkan mungkin agar pria itu terenyuh dan membantunya lagi untuk bisa kembali ke tanah air.
Zaid mengerutkan dahi, merasa aneh dengan gadis yang telah ditolongnya ini. Aneh dan entahlah dia baru menemukan spesies perempuan tipikal si Mika ini. Dengan malas dia mengambil smartphone-nya di nakas, lalu meminta gadis itu untuk menuliskan domisilinya saat ini, alias alamat indekost-nya di Jakarta.
"Untuk apa Pak?" Tanya gadis itu antara polos atau memang telmi, lemot atau juga kelewat bodoh.
"Nanti ajudan saya yang amanin barang-barang kamu. Semua barang-barang milik kamu yang ada di kostan itu akan dipindahkan ke apartemen saya. Sampai kamu balik ke Indonesia." Jelas Zaid menahan sabar. Rupanya dia harus banyak bersabar dalam menghadapi gadis unik tanda kutip ini.
Ekspresi wajah Mika langsung berubah 180 derajat dari murung menjadi berseri-seri. "Makasih banyak Pak." Balasnya lagi. "Mmm... Pak." Panggilnya segan, takut bila mengatakan hal yang ada dipikirannya bisa menyinggung perasaan pria itu. Tapi dia juga perlu tahu status pria itu apakah masih beristri atau tidak? Supaya dia bisa menempatkan diri. Demi apa, dia sama sekali tidak ada niatan jahat untuk menjadi seorang pelakor.
"Apa..." jawab Zaid sekenanya. Dia sendiri sudah berbaring, mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
"Mmm... gak ada selimut ya Pak?" Tanya Mika hati-hati. Alih-alih menanyakan status pria itu malah mengalihkan topik lain.
"Ck, kamu udah pakai coat. Gak bakal kedinginan." Balas pria itu masa bodoh. Toh gadis itu hanya menumpang. Dia sudah banyak menolongnya bukan? Apakah itu tidak cukup?
"Saya gak bisa tidur kalau gak pakai selimut." Oceh Mika lagi antara manja atau tidak tahu malu, dikasih hati minta jantung.
"Ck..." Zaid hanya berdecak kesal. Tanpa babibu dia men-dial room service untuk membawakan selimut. "Tunggu bentar, selimutnya lagi dibawain." Lanjutnya lagi setelah selesai menghubungi room service.
"Makasih..."
Mika semakin merasa canggung. Dia benar-benar telah berhutang banyak pada pria itu. Dia bahkan sampai tak bisa berbaring dengan nyaman di sofa tersebut. Bukan berarti sofanya keras, tentu tidak. Sofa itu sangat lembut dan nyaman, tapi tidak nyaman yang dimaksud adalah dia merasa canggung dan tidak bebas berada dalam satu ruangan dengan pria asing. Ini pengalaman pertama dalam hidupnya.
"Mm... kalau ketahuan istri Bapak bagaimana? Saya gak enak dan gak nyaman satu ruangan dengan suami orang. Saya gak mau dikira pelakor." Tutur Mika yang akhirnya berkata jujur.
Sambil memejamkan kedua matanya Zaid berujar, "saya gak punya istri."
"Cerai atau masih lajang?" Tanya Mika yang pada ujungnya malah menjadi kepomania.
"Kepo banget kamu!" Balas Zaid dengan nada ketus. Dia paling tidak suka jika ada orang asing yang mengorek-orek privasinya.
"Nanya doang Pak. Galak amat. Saya cuman penasaran aja. Maaf-maaf nih ya Pak. Dari pengamatan saya berdasarkan nada suara dan penampilan Bapak. Pasti usianya jauh banget dengan saya." Jelas Mika agar pria itu tak salah paham.
"Memang berapa usia kamu?" Zaid malah balik bertanya.
"25. Bapak?"
Si Mika ini tidak tahan untuk kepo.
"41."
Ting Tong!
Bunyi bel dari staf room service menghentikan perbincangan mereka. Mika pun segera beranjak untuk membukakan pintu.
"Kasihin." Zaid melempar dua lembar uang kertas ke sisi ranjang. Terlalu malas untuk sekedar beranjak.
Mika pun menurut tanpa protes, mengambil uang tersebut lantas memberikannya pada staf room service sebagai uang tip. Dia pun bisa tidur lelap setelah mendapatkan selimut. Dia berbaring kembali di atas sofa dengan selimut yang menutupi tubuhnya.
"Kamu gak kegerahan diselimut dengan pakaian tebel gitu? Kenapa gak dilepas dulu coat-nya. Saya ngelihatnya aja ribet." Ujar Zaid berkomentar.
Mika menoleh ke arah pria itu, mendelik kesal. Mulutnya ingin berujar, melakukan protesan. Tapi seketika kesadarannya muncul. Dia tidak boleh membantah dan harus patuh pada Zaid. Dia telah berhutang banyak pada pria berparas Arab dan hot guy itu. Terpaksa dia pun beranjak dari tidurnya untuk melepas coat berwarna khaki yang dikenakannya.
Deg!
Tubuhnya menegang, dia lupa jika dirinya tengah mengenakan pakaian minim dan seksi. Fungsi coat itu adalah untuk menutupi kemolekan tubuhnya.
"Kenapa?" Tanya Zaid melihat gerak-gerik aneh dari gadis itu.
"Eng... begini aja deh Pak. Gakpapa gak gerah kok." Ujar Mika cengengesan. Menyembunyikan kegundahan dalam hatinya. Jika dia melepas coat tersebut, maka terpampanglah beberapa bagian tubuhnya yang terekspos. Dia bahkan tidak memakai bra, sehingga payudaranya sedikit menyembul keluar akibat model mini dress itu dengan model dada rendah. Cari mati. Bisa gawat dirinya. Bisa-bisa langsung diterkam pria matang itu.
Amit amit! Rutuknya dalam hati.
"Aneh." Ucap Zaid yang heran dengan tingkah gadis itu. Masa bodoh, dirinya hanya merasa kasihan saja.
Chapter - 4
Drrttt...Drrttt...
Alarm di smartphone milik Zaid berbunyi nyaring. Zaid langsung terbangun dan mengumpulkan seluruh kesadarannya dari alam mimpi. Dia melakukan peregangan-peregangan pada anggota tubuhnya sebelum beranjak dan membersihkan diri. Kadang mengotak-atik smartphone bila banyak notifikasi penting. Entah itu pesan WhatsApp, email ataupun panggilan tak terjawab.
Pandangan matanya refleks menoleh ke arah sofa. Tampak seorang gadis tengah tertidur sangat nyenyak hingga selimut yang dikenakannya pun jatuh ke lantai, tidak lagi membelit tubuhnya. Zaid pun terkekeh, "dasar cewek aneh. Tidur gak bisa tanpa selimut. Tapi pas tidur selimutnya ditendang sampe ke lantai. Ck, aneh!"
Lantas dia pun beranjak dari ranjang lalu menghampiri Mika. Berniat ingin membetulkan posisi tidurnya yang agak lasak. Sampai kepala gadis itu hampir jatuh ke bawah.
Deg!
Begitu mendekat, refleks dia menghentikan langkahnya, mematung bak patung manekin. Matanya membulat sempurna saking terkejutnya melihat pemandangan aduhai. Dia ini laki-laki normal. Apalagi pagi-pagi begini diberikan suguhan seperti itu otomatis dirinya langsung terpancing gairah.
Mika, gadis itu tidak sadar jika selama tidur mengigau melepas coat yang dipakainya. Hingga dia pun tidur dengan memakai mini dress yang belahan dadanya sangat rendah hingga dalam posisi tidur miring, sebelah payudaranya menyembul keluar dari sangkar. Dan mempertontonkan nip**-nya dengan sangat jelas bentuk, warna dan ukurannya. Yang otomatis membuat seorang Zaid panas dingin, matanya sampai tak bisa berkedip. Apalagi mini dress itu hanya sebatas paha sehingga dengan posisi tidur seperti itu, kaki mulusnya sudah terekspos sangat jelas. Sedikit saja bergeser, maka dalamannya pun akan terlihat.
"Mikaaaa..." geram Zaid tertahan. Menahan hasrat juga kekesalan pada gadis ceroboh dan aneh itu. Padahal belum 24 jam pertemuan mereka, tapi gadis itu sudah banyak berulah.
Setan dalam hati terus menyerukan, menyuruh dirinya untuk merealisasikan hal mesum yang terlintas dipikirannya kala melihat tubuh Mika. Tangannya bergerak tidak nyaman, ingin sekali menjamah gundukan kenyal itu. Meremasnya, memilin nip**, mengulumnya dan memberikan tanda kemerahan di sana.
Dengan menahan seribu hasutan setan dalam dirinya, meskipun gemetaran, dia menggerakkan tangan ke arah dada gadis itu lalu secepat kilat memasukan kembali salah satu payudara Mika yang keluar. Hingga tertutup oleh dress-nya lagi. Walau hal itu tidak sepenuhnya tertutup akibat model baju tersebut memang style belahan rendah. Tapi setidaknya tidak separah tadi.
"Fu*k off!" Umpatnya kesal keubun-ubun, menahan hasrat yang menggunung Lalu meraih selimut tebal yang terkapar di lantai dan melemparnya ke atas tubuh gadis itu. Kemudian melengos ke toilet dengan langkah terburu-buru.
Gegara gadis itu dirinya harus bermain solo. Padahal waktu sedang memburunya karena hari ini ada jamuan penting bersama para kolega bisnis. Bisa-bisa dia datang terlambat.
"Aarghhh!! Mika sia***!!!" Berkali-kali dia mengumpat teruntuk gadis itu selama sesi bermain solo.
❤️❤️❤️
Satu jam kemudian...
Mika baru bangun dari tidurnya. Dia menguap lebar, merentangkan kedua tangannya lebar.
Tersenyum cerah lantaran dia terbangun dalam keadaan selamat. Tidak berada di ruangan pengap atau gelap gulita lagi. Dia begitu lega dan bersyukur terbebas dari jeratan para penjahat itu. "Pak Zaid ke mana?"
Dia mencari keberadaan pria itu. "Pak?" Panggilnya lagi seraya beranjak dari sofa lalu melangkah menuju toilet.
Tak ada. Pintu toilet yang terbuka tak menampakkan batang hidung pria itu. Lalu Mika pun keluar dari sana dan menemukan secarik kertas di atas kasur. Memo dari Zaid.
Saya ada urusan. Sebelum jam 12 saya balik. Jangan kemana-mana! Sarapan ada di meja. Kalau butuh apa-apa minta room service.
Zaid
Mika mengangkat bahunya acuh. Tak mau tahu dan masa bodoh dengan urusan pria itu. Bibirnya menyungging senyum kala melihat beberapa makanan, jus juga buah-buahan potong tersaji di meja makan ukuran mini. Perutnya sedari tadi memang sudah keroncongan.
Namun saat melangkah menuju meja makan, dia melihat pantulan dirinya di cermin. Cermin yang menyatu menjadi pintu lemari. Dia shock luar biasa melihat penampilannya seperti itu. Refleks kedua tangannya menyilangkan dada.
"Gila!! Gimana kalo dia lihat gue kek gini?"
Mika bermonolog sendiri di depan cermin. Wajahnya memerah seperti kepiting rebus. Malu bukan main. Bagaimana reaksi pria itu jika benar-benar melihat dirinya berpenampilan hampir bugil seperti itu?
Sial! Mengapa dirinya sampai tidak sadar melepaskan coat ketika tertidur. Berkali-kali dia mengumpat, merutuki kebodohannya.
"Moga aja dia gak lihat. Hiks..." ocehnya lagi seraya menunduk, melihat belahan dadanya yang tampak jelas. Segera dia meraih coat-nya yang tersampir di ujung sofa lalu mengenakannya lagi. Nafsu makan pun sirna karena insiden memalukan tersebut.
❤️❤️❤️
"Sebentar lagi kapal akan berlabuh. Kita menginap dua hari di hotel. Baru pulang ke Indo."
Mika mengangguk. Dia tak tahu dan harus ke mana di negera tersebut. Dia mencari aman saja, menurut dan mengikuti instruksi pria itu. Yang penting dia bisa pulang kembali ke tanah air.
"Nanti kita mampir ke outlet terdekat hotel. Beli baju buat kamu. Yang lebih nyaman." Tutur Zaid tak bermaksud menyinggung-nyinggung perihal pakaian minim dibalik coat yang dikenakan gadis itu.
"Ha?" Mika yang sedari tadi menunduk langsung menengadah dengan ekspresi kaget. Dia pun refleks mencengkram kerah coat-nya. "Bapak lihat..." ucapannya menganggantung lantaran terlalu malu membahas hal tersebut.
Dengan enteng dan tampang cuek, Zaid mengangguk. "Biasa aja. Di sini banyak yang lebih terbuka dari pada kamu." Ujarnya dengan nada gengsi. Berpura-pura tidak tertarik padahal aslinya sampai turn-on.
"Oh... iya. Saya lupa. Badan standar kayak saya mana mungkin bikin cowok sekelas Bapak tertarik. Saya terlalu kepedean. Maaf ya Pak." Tutur gadis itu merendahkan diri. Dalam hati memaki dirinya sendiri yang tidak habis pikir ke arah sana.
Bego lo Mika. Yaiyalah dia 'B' aja. Orang di sini cewek bule lebih seksi dan menarik dari pada lo. Kenapa gue gak mikir sampe situ sih? Kan tengsin jadinya 'kan? Ah sumpah muka gue mau ditaro di mana?
"Mika!"
"Eh iya Pak? Kenapa?" Mika terhanyut dengan hal-hal yang ada dipikirannya sampai-sampai tidak mendengar panggilan pria itu.
"Ck... melamun mulu. Saya dari tadi minta tolong ambilin air minum." Tegur Zaid dengan nada galak.
"Ck, yaelah... Pak. Tinggal ambil di situ. Gak sampe satu meter Pak. Jauhan saya malah." balas Mika dengan nada keki.
Zaid yang terlalu mager lantaran fokus pada layar laptopnya sampai enggan beranjak dari ranjang. Toh gadis itu berhutang padanya. Mengapa tidak, untuk sekedar membantu meringankan bebannya.
"Ingat kamu hutang nyawa sama saya. Kamu bilang rela jadi kacung saya. Mana buktinya? Disuruh ambil air saja malah protes." Ujarnya dengan nada tinggi.
Mika mengalah, mengelus dada berkali-kali seraya beranjak dari sofa. Melangkah menuju kulkas mini dan mengambil sebotol air mineral untuk pria itu.
"Ini." Ucapnya pelan. Berusaha untuk sesabar mungkin menghadapi pria emosian seperti Zaid. "Gak usah diingetin juga saya gak akan lupa. Saya berhutang banyak sama Bapak. Gak akan sanggup saya bayarnya juga. Maafkan atas sikap saya." Lanjutnya lagi merendah. Sadar akan posisinya saat ini.
Zaid diam saja tidak membalas ocehan gadis itu. Dia langsung meneguk air mineral tersebut hingga tandas. Tak memperdulikan gadis itu yang senantiasa berdiri menanti instruksi berikutnya.
Chapter - 5
Selesai membeli pakaian ganti, Mika pun lanjut diajak membeli sneakers. Zaid merasa kasihan melihat kaki gadis itu yang lecet dan sering pegal-pegal karena selalu memakai sepatu hak tinggi.
"Pilih sepatu yang nyaman, yang gak bikin kakimu lecet dan pegal-pegal lagi." Tukas Zaid ketika sampai di outlet sepatu merek terkenal.
Mika sampat takjub, menganga lebar saking tak percayanya dia dibelikan barang-barang branded. Bahkan sekarang pria itu mengajaknya ke toko sepatu brand terkenal. Dia tak enak hati karena terlalu banyak merepotkan pria itu. Bagaimana dia membayar hutangnya?
"Ayok masuk!" titah Zaid dengan laga songong-nya.
"Makin banyak dong hutang saya. Tadi aja habis berapa kalo dirupiahin." Mika enggan masuk ke dalam. "Cari toko lain ajalah Pak. Yang murah." Pintanya memelas. Sumpah dirinya memang bersyukur telah ditolong pria itu. Tapi sama sekali tidak ada niatan buruk untuk menjadi seorang gold digger.
"Udah cepet masuk. Kamu berhutang nyawa bukan uang. Uang saya masih ada." Ketus Zaid seraya menggiring paksa gadis itu masuk ke dalam toko.
Mika memaklumi atas sikap angkuh bin songong pria itu. Orang kaya mah bebas, Mika! Ocehnya membatin
❤️❤️❤️
Selesai berbelanja, lanjut Zaid mengajak gadis itu makan siang di kafe yang tak jauh dari toko tersebut.
"Kamu mau jalan-jalan dulu sebelum balik ke Indo?" Tanyanya ketika sedang menikmati santapan. Kadang dia terkekeh melihat Mika yang begitu lahap menyantap hidangan pasta dan pizza.
Mika mengangkat wajahnya dengan senyuman berbinar. Ah sedari tadi dirinya ingin sekali jalan-jalan. Tapi apa daya dirinya tak membawa identitas dan tak punya uang. Smartphone pun lenyap saat dibius sebelum diseludupkan ke dalam kapal.
Saya pengen banget, difotoin di sana, di patung itu, dibangunan itu. Ucap mika membatin seraya matanya menunjuk ke arah objek-objek yang dimaksud dalam benaknya.
"Mika?"
"Hemm..." Mika tersenyum canggung lalu menggeleng pelan. Segan karena tak mau banyak merepotkan pria itu.
"Beneran? Mumpung masih di Itali. Mumpung saya lagi santai." Tawar Zaid lagi, merasa ragu dari mimik gadis itu.
Mika tersenyum lagi. "Saya terserah Bapak aja, ikut aja. Kan saya sekarang kacung Bapak." Ucapnya merendah.
Zaid mengangkat bahu acuh. Yasudah jika gadis itu tak ada permintaan. Toh dirinya hanya menawari, mumpung masih berada di Itali. Takut gadis itu menyesal jika sudah pulang kembali ke tanah air.
Selesai makan siang menjelang sore, keduanya berjalan-jalan sekitar Kota Roma dan menjajal dessert terkenal di sana, salah satunya gelato.
"Kamu tunggu di sini bentar ya, saya mau beli gelato dulu. Kamu mau rasa apa?" Ujar Zaid menawari.
"Vanila aja," jawab Mika terasa canggung. Dia merasa tak enak hati karena terus merepotkan pria brewok itu.
Zaid mengangguk lalu pergi.
Tiba-tiba seorang turis nyasar menghampiri Mika. "Excuse me, I'm Japanese, saya baru ke sini. Dan saya terpisah dari rombongan. Saya mau tanya, kafe xxx ini sebelah mana ya? Smartphone saya habis baterai. Jadi tidak bisa menghubungi teman saya."
Sebagai sesama turis dan berasal dari Asia juga Mika pun dengan senang hati membantu. Kebetulan kafe yang dimaksud adalah kafe tempat dia dan Zaid makan siang tadi. Jadi dia pun masih ingat di mana lokasinya.
"Barusan aku makan di sana. Mari ku antar."
Orang itu sedikit membungkukkan badan, ciri khas dan budaya orang Jepang sebagai bentuk kesopanan. "Hai! Doumo Arigatou, (ya, terima kasih banyak) Thank you so much."
"It's Okay... Sir. I'm Indonesian. So, we are the same region." (Tidak apa-apa Tuan. Aku orang Indonesia. Jadi kita masih di benua yang sama.) Seloroh Mika ramah.
"Indonesia... By the way, I'm Yuto Hashigawa." Orang Jepang itu pun mengajak berkenalan dengan penuh keramahan.
Mika pun membalas jabatan tangannya. "I'm Mika Aubrie. You can call me, Mika."
"Aa... hai (ah...iya), Mika."
Sepanjang jalan mereka pun bercengkrama mengenai obrolan ringan tentang asal-usul negara masing-masing. Agar Zaid tak bingung mencarinya, Mika pun menyusul pria itu bermaksud meminta izin. Smartphone tak ada jadi terpaksa dia harus memberikan kabar secara manual.
"Ngapain dia nyusul?" Oceh Zaid mengerutkan dahi. Heran, mengapa pula gadis itu malah menyusulnya?
"Pak Zaid! Ya ampun ya ampun! Untung ketemu di sini, baru aja mau nyamperin." Ujar Mika begitu heboh bin rempong.Tahu ‘kan ciri khas orang seperti itu? Tangan dan kepala tidak bisa diam.
Dan tingkah konyol gadis itu membuat Zaid sering kali mengerutkan dahi. Berbeda dengan respon orang Jepang yang terkekeh geli melihat tingkah Mika yang lucu.
"Ini lho, ada orang Jepang nyasar, kepisah sama rombongannya. Dia baru ke sini. Hapenya low bat." Jelas Mika masih dengan gaya heboh dan tingkah rempongnya.
Orang Jepang itu hanya tersenyum kuda karena tak paham apa yang sedang mereka bicarakan. "Your uncle, Mika?" Tanya orang itu, seraya tersenyum ramah pada Zaid. Namun sayang sekali senyuman ramahnya malah dibalas dengan tatapan garang, 100% tidak ramah.
Si Mika spontan tertawa lepas. "Hahaha."
"I'm her husband." Ujar Zaid merasa tersinggung. Enak saja dirinya dianggap om! Setua itukah dirinya?
Seketika Mika melotot kaget. Ingin menyanggah tapi langsung disela cepat oleh pria berparas Arab itu.
"She's my wife." Lanjutnya tegas seraya menarik pinggang gadis itu agar berdekatan dengannya. Dongkol parah gegara dicap 'om-om'.
"Pak ih! Kok ngawur sih! Ya emang Bapak udah Om-om 'kan? Menolak lupa." Balas si Mika semakin membuat Zaid emosi jiwa. Dia juga merasa risih karena pinggangnya dirangkul posesif. Padahal baru kenal dua hari dua malam tapi pria itu sudah semena-mena padanya.
"Diem atau kamu gak bisa pulang!" Desis Zaid berbisik pelan namun tatapannya terlihat santuy di hadapan orang Jepang itu. "Nih, makan gelatonya." Lalu dia menyerahkan satu cup gelato rasa vanilla.
Mika pun menerimanya dengan wajah tertekuk. Anehnya, Zaid malah terkekeh geli, lucu sekali melihat ekspresi Mika yang sedang kesal padanya.
"Sumimasen. (Maaf) " Orang itu membungkuk lagi. "I'm sorry. Mika tidak memberitahu jika dia sudah memiliki suami."
"No... He's just—"
Cupp
Dengan tidak tahu malunya Zaid tiba-tiba mencium pipi Mika di hadapan orang Jepang itu. "I'm sorry, istriku ini emang agak pemalu." Hal itu dia lakukan agar si Mika berhenti melakukan protesan.
Tentu saja respon si Mika melotot tak percaya. Menatap sengit ke arah wajah pria brewok itu yang sialnya malah terlihat tampan. Mau marah tapi malah salting habis dicium pipi.
"Mari kami antar." Dengan senyuman jumawa, Zaid mengajak turis asal Jepang itu menuju restoran tadi. Tangan kanannya memegang cup gelato, sedangkan tangan kirinya merangkul erat pinggang gadis itu.
"Ingat jangan mudah percaya dan jangan terlalu welcome dengan orang baru. Kita gak tahu mereka punya niat jahat atau gak. Jadikan pelajaran kejadian kemarin Mika." Bisik Zaid pada gadis itu.
❤️❤️❤️
Siang menjelang sore, Zaid bersama rombongan dari perusahaan mengunjungi danau terkenal dengan pemandangan sangat indah di Lake Como, Italy. Tak lupa dia juga memboyong Mika untuk ikut jalan-jalan bersamanya.
Dari mulai sekretarisnya, para pejabat perusahaan beserta sekretaris yang ikut ramai-ramai bertanya seperti wartawan. Siapakah gadis muda nan cantik yang bersamanya? Apakah calon istrinya?
"Mbak Mika, kenal Pak Zaid udah lama? Kayaknya pas masih di Caribbean Cruise gak ketemu ya?"
"Iya, gak nyangka aja. Kemarin Pak Zaid masih ke mana-mana sendiri tapi sekarang, wow!! Bikin kejutan."
Selidik dua perempuan berdandan tebal dengan outfit mahal. Dua sekretaris yang hanya ikut dalam perjalanan bisnis tersebut. Dengan agenda menemani atasan masing-masing dan nyambi dalam tanda kutip.
Mika mulai panik, merasa ditodong oleh dua sekretaris dari Direktur Keuangan dan Direktur Operasional itu. Ditambah lagi Zaid tak ada di sampingnya. Pria itu tengah berbincang serius dengan kelima orang penting di perusahaan tersebut.
"Ingat selama di sana, jaga ucapan kamu! Jangan bilang alasan yang sebenarnya kenapa kita bertemu. Katakan kalo kamu asisten pribadi saya, yang baru direkrut. Di sini yang tahu kamu hanyalah Dimas. Minta tolong ke dia dulu, baru ke saya. Saya pemimpin kedua di perusahaan. Saya dituntut untuk selalu menjaga citra positif demi perusahaan."
Peringatan keras dari Zaid terngiang selalu dibenaknya. Siapapun tidak boleh ada yang tahu tentang alasan dirinya bisa bersama pria itu. Atau karir pria itu akan hancur. Dan mungkin dirinya terancam mati dibunuh oleh pria itu. Dia ingat betul ketika kejadian mencekam kemarin, Zaid menyimpan senjata api dibalik punggungnya. Apalagi sorot mata tajam pria itu yang seakan-akan ingin mencekik atau memutilasi tubuhnya.
"Saya sama kaya Mbak Trisha dan Mbak Oliv kok." Jawabnya polos dan malah membuat dua wanita itu salah paham. Mengira jika dirinya sama senasib dan se-frekuensi. It's a big no! Dirinya ini perempuan baik-baik, masih paham norma dan adat ketimuran. Juga masih memiliki kewarasan dan rasa kepedulian terhadap sesama perempuan. Gila saja jika dua wanita itu menganggapnya sama, sebagai cem-ceman atasan.
"Bukan! Bukan itu." Dia langsung menepis cepat. "Saya emang asisten pribadinya. Absolutely personal assistant-nya."
"Masa?" Ejek salah satu dari wanita itu seraya tersenyum meremehkan.
"Tanya aja sama Mas Dimas. Saya direkrut karena kerjaan Mas Dimas kelabakan. Jadi job desk saya membantu meringankan beban pekerjaannya Mas Dimas." Terang Mika sejelas-jelasnya membungkam mulut nyinyir dua wanita berdandan menor itu.
Dasar pelakor! Sengene nyamain gue sama lo berdua. Umpatnya dalam hati.
Lalu dua wanita itu pun pergi menjauh dengan memasang wajah jutek. Mengibaskan rambut ala iklan shampoo, seolah-olah Mika tak selevel dengan mereka.
Mika acuh saja, masa bodoh. Tak merasa kalah saing dengan dua sekretaris itu. Diabaikan dan sendirian tidak ada teman, dia tak peduli walaupun dari kejauhan dua wanita itu berfoto ria di berbagai spot menarik di Lake Como. Dia santuy saja tidak merasa iri dengki dengan mereka.
"Mas Dimas..." Mika memanggil pelan pada sekretarisnya Zaid. Dia bermaksud ingin meminjam smartphone untuk berfoto dengan latar panorama indah Lake Como.
"Mas Dimas," ulangnya lagi.
"Eh Mika, kenapa?" Sahut si sekretaris setengah kaget. Lalu mundur ke belakang, sedikit berjarak dari circle para bos.
Mika sempat melihat Zaid menoleh lalu kembali mengobrol dengan rekan kerjanya. Dia mengangkat bahu acuh dan tidak memperdulikan hal itu.
"Mas boleh gak aku pinjem hape Mas Dimas? Aku pengen foto-foto di sana. Bagus banget view-nya. Nanti kalo udah aku kirim ke email aku, aku langsung hapusin deh. Please..." ucapnya memelas manja dengan memasang wajah puppy eyes.
Karena iba akan nasib naas yang menimpa si Mika, sekretaris itu pun merogoh saku dibalik celananya, mengambil smartphone.
"Ada apa?"
Tiba-tiba Zaid datang menginterupsi. Dengan tatapan penasaran yang malah disalah-artikan sebagai pertanda kemarahan karena sorot mata tajamnya setiap kali memandangi Mika.
"Mika mau pinjam hape buat foto-foto Pak." Sang sekretaris menjelaskan, takut si bos marah.
"Pake hape saya aja." Zaid langsung mengambil smartphone-nya di balik saku jas. "Jangan punya Dimas. Dia banyak kontak dan data-data penting. Nanti kalo kehapus sama kamu gimana? Ini aja. Ini hape pribadi saya. Gak ada data penting." Lanjutnya memberikan secara paksa ke tangan gadis itu agar menerimanya. Karena sedari tadi gadis itu hanya diam saja.
Mika menerimanya dengan sungkan. Dia baru tahu jika pria itu memiliki smartphone lain. Selain smartphone mahal berkamera boba 3, ternyata pria tajir melintir itu memiliki satunya lagi namun seri yang lama.
"Jangan sembarangan kasih hape ke orang Dimas. Kecuali kamu punya cadangan dan memastikan tidak ada data penting."
"Maaf Pak. Kedepannya saya akan lebih berhat-hati." Ucap si sekretaris menunduk patuh.
Melihat demikian, Mika menjadi geram pada pria berparas Arab itu. Mengapa perkara hal sepele saja sampai dimarahi? Dia jadi merasa bersalah. Gegara dirinya, si Dimas malah terkena omelan pedas.
"Udah Pak, jangan omelin Mas Dimas. Saya yang salah kok. Yaudah saya mau ke sana dulu. Maaf ya Mas Dimas." Pamitnya tak mau memperpanjang masalah.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
