6. Adaptasi (Lingga-SIP)

4
0
Deskripsi

Dua minggu berlalu Lingga tinggal di Bandung. Rumah baru yang dibeli bos barunya ini berlokasi di pinggiran kota sehingga masih terasa suasana perkampungan. 

Dua minggu berlalu Lingga tinggal di Bandung. Rumah baru yang dibeli bos barunya ini berlokasi di pinggiran kota sehingga masih terasa suasana perkampungan.  Sekitar kurang lebih setengah jam bila ingin ke Dago dan ke beberapa mall-mall terhits di Kota Bandung. Di sini terhindar dari macet, lampu merah dan tidak ada satu jalur. Tapi akses aplikasi ojol, makanan siap antar sangatlah mudah. Tak seperti perkiraaan dirinya yang akan tinggal di perkampungan daerah terpencil. Sangatlah berbeda dengan lingkungan di perumahan elit milik bosnya dulu, Bu Laila.

Di sini, jarak antar rumah berdampingan sehingga saling bertukar sapa, obrolan basa-basi seperti: "Habis dari mana?", "Mau kemana?", "Sini mampir dulu," dan obrolan basa-basi lainnya yang sudah menjadi adat kebiasaan. Tak heran jika isu apapun cepat tersebar. Namun dibalik itu semua, para warga saling gotong royong, entah itu opsih kerja bakti, perayaan agustusan bahkan maupun menengok orang yang sakit. Di rumah Bu Laila boro-boro, wajah tetangga sebelah saja tidak kenal walau sudah tinggal dua bulan.

Dari sini, Lingga bisa menilai jika kondisi finansial Pak Radit tidak sekaya suami Bu Laila. Dia jadi berpikir jika alasan lain perceraian mereka adalah masalah finansial. Lingga tahu betul gaya hidup Bu Laila sangatlah royal. Dan dia baru tahu jika gaya hidup Pak Radit begitu sederhana. Tapi, bukan maksud dirinya membanding-bandingkan kekayaan antara Pak Radit dan suami Bu Laila, Lingga hanya sekedar mengamati saja sebagai pelajaran hidupnya nanti jika mencari pendamping hidup. Modal cinta saja nyatanya tidaklah cukup. Tapi bukan berarti semua harus dibeli dengan uang. Dia hanya menilai jika menikah nanti harus betul-betul memahami dan menghargai profesi dan penghasilan dari calon suaminya.

"Teh Lingga itu ada anak-anak koas, katanya mau ketemu Dokter Radit. Sekalian mau nyerahin berkas katanya," lapor Elis secara rinci.

"Pak Radit, Eh.. Dokter Raditnya lagi seminar ke Garut."

Pasti sengaja tuh orang gak bilang. Kasihan kan mereka udah pada jauh-jauh dateng ke sini. Cerocos Lingga dalam hati.

"Terus gimana? Kasihan pada nunggu." Balas Elis agak telmi aka telat mikir alias agak lemot. Seharusnya tanpa disuruh, para anak koas itu dipersilahkan masuk dahulu. Tapi si Elis malah membiarkan mereka menunggu di teras.

"Ya suruh masuk dulu Elissss .... Ya Allah... kasihan pada berdiri dari tadi, ck!" Ujar Lingga geregetan setengah emosi.

"Ii..ya Teh." Sahut ART itu yang ketakutan terkena omelan pedas.

"Tawarin dulu mau minum apa, terus ambil berkasnya. Biar entar saya yang simpenin."  Ujar Lingga yang sedang kerepotan menina-bobo baby Riza.

"Siap Teh!!" Seru Elis.

Lingga mengumpat kesal dalam hati teruntuk si Dokter Spesialis Jantung yang bernama Raditya Bima Bagaskara.

🌻🌻🌻

Radit seolah acuh tak acuh dengan anaknya sendiri. Pukul 7 pagi sudah berangkat kerja dan pulang sekitar pukul 4-5 sore. Di waktu malam pun kadang masih dirinya yang menjaga baby Riza hingga tidur lelap. Terkadang di malam hari pun dirinya harus bolak balik kamar Pak Radit karena mendengar baby Riza menangis. Entah itu kehausan, poop atau ganti popok. Sedangkan pria itu tak selalu bangun ketika anaknya menangis di malam hari.

"Lingga, Riza kayaknya haus. Tolong disusuin."

"Lingga, stok ASI habis."

"Lingga, Riza rewel. Tolong susuin."

Begitulah kelakuan pria itu padanya. 180 derajat kehidupan Lingga berubah total. Dia merasa bukan lagi dirinya yang bebas dan berjiwa wanita karir. Kini ia sudah menjelma layaknya istri dan ibu anak satu. Dunianya terasa jungkir balik sejak memutuskan diri sebagai ibu pengganti. Naas sekali hidupnya sekarang. Kadang dia merasa menyesal telah menyetujui untuk menjadi Ibu ASI. Kadang dia menyalahkan diri, mengapa waktu Pak Radit datang menggiring paksa baby Riza, dia tidak menolak ajakan pria itu?

Memang gaji yang didapatkannya lebih besar dari gaji yang diberikan Bu Laila. Namun tetap saja lebih baik saat bekerja dengan Bu Laila. Dirinya masih memiliki waktu untuk bekerja, untuk me time, family time besama adiknya Rian dan sang kakek juga bertemu dengan teman-temannya.

Dia sudah kehilangan waktu dan kebebasannya sekarang. Dia merasa benar-benar menjadi ibu. Percuma jika gaji lebih besar dari Bu Laila tapi jika mendapat tugas seberat ini. Maka dia lebih baik bekerja seperti dulu saja. Dia masih perlu waktu untuk adaptasi. Tidak mudah menjalani hidup seperti ini. Apalagi bukan di kampung halaman, kanan-kiri orang asing, tidak tahu harus meminta tolong pada siapa.

"Hiks... Riza... kamu kenapa sih?Hiks... Tante jadi stress hiks..." Lingga menangis sesegukkan dengan baby Riza yang meronta dalam gendongan.

Lingga kembali menenangkan bayi itu yang sedang rewel akibat demam. Dia sudah pusing harus melakukan apa karena masih amatir dalam menjaga bayi. Walau dibantu Elis tetap saja dia merasa butuh orang lain yang lebih ahli. Lingga butuh sosok Asri yang tahu bagaimana cara mengasuh bayi. Dia sampai stress dan ikut menangis mana kala baby Riza menangis kencang.

"Teh Ling— Teh Lingga ya Allah kenapa?"

Dengan sigap Elis membantu Lingga. ART itu meraih baby Riza, mencoba menenangkan bayi itu. "Cup...cup... sayang. Dedek Riza sakitnya yang mana? Padahal panasnya udah turun..."

"Aku telepon Pak Radit dulu," Lingga meraih smartphone lantas mendial nomor Radit.

"Ya Lingga?"

"Pak, Riza sakit. Demamnya udah turun, tapi masih nangis kenceng. Gak tahu dia kesakitan bagian mana. Lingga pusing Pak. Lingga gak tahu jaga bayi, hiks," ujarnya diakhiri tangisan.

Radit yang sedang menunggu giliran pasien lain masuk ke polikliniknya, meminta koas dan perawat untuk meng-handle sementara.

"Saya kesana sekarang. Coba kasih dulu minyak telon di punggung, dada dan perutnya."

Radit memutuskan panggilan, dia segera meraih kunci mobil dan meminta perawat untuk mengalihkan pada jadwal di lain hari. Perkara anak, dia tak bisa menunda-nunda. Apalagi dia seorang dokter, walau dokter spesialis jantung.

🌻🌻🌻

"Riza mana Lis?" Tanya Radit begitu memasuki rumah.

Dia mengerutkan dahi karena mendadak rumahnya ramai banyak orang, tidak terlalu banyak hanya saja tujuh orang tamu yang tak lain tetangganya sendiri dan Bu RT. Dilihatnya seorang Ibu usia 50-an sedang melakukan pijatan bayi pada anaknya.

Radit mengamati tanpa ada niatan untuk menginstruksi. Apa yang dilakukan dukun bayi itu, tidak ada unsur membahayakan anaknya.

"Pak Radit." Lingga beranjak dari dudukannya lantas menghampiri pria itu.

"Pak, Riza lagi dipijat sama dukun bayi. Bu RT dateng nolongin karena kedengeran keluar tangisan Riza..." tutur Lingga menjelaskan.

Lalu Bu RT yang merasa disebutpun berdiri dan ikut menjelaskan pada Radit agar tidak salah atas niatan baiknya itu.

Radit mengangguk mengerti dan mengucapkan terima kasih pada ibu-ibu itu yang telah menolong anaknya. Rupanya masih ada ibu-ibu yang peduli dan berempati di kompleks ini. Tidak hanya ibu-ibu tukang ghibah yang kerap kali berbisik-bisik saat melewati atau bertemu tak sengaja dengannya atau Lingga.

"Elis, itu di kulkas kan ada anggur, pir sama melon. Bawa kesini buat menjamu tamu." Tukas Radit selesai pamit untuk menaruh ranselnya di kamar.

"Baik Pak."

"Jangan lupa dipotongin melonnya Lis."

"Iya Bapak. Masa iya langsung ditereuy buleud Pak. Hahaha," oceh ART tersebut tertawa ngakak.

*Ditereuy buleud: ditelan bulat-bulat.

Radit yang tak paham melengos acuh memasuki kamarnya.

"Pak Radit... Pak Radit... kaku bener kayak papan triplek," oceh lagi Elis menilai karakter majikannya yang sekarang.

🌻🌻🌻

Lima menit kemudian, Radit kembali bergabung. Walaupun merasa tidak nyaman karena dikelilingi ibu-ibu, sebisa mungkin dia tahan demi menemani sang anak. Masa bodoh dengan kerempongan dan kehebohan ibu-ibu itu yang entah menggosip soal apa. Dia tak mau tahu, fokusnya adalah pada sang anak.

"Riza... enak ya dipijet, Nak?"

Baby Riza bercho-cho ria sembari kedua tangannya menggapai-gapai sesuatu ke atas.

"Tadi pas awal-awal ngamuk Pak. Perutnya gak enak ya Dek? Masuk angin nih Si Ganteng. Sekarang udah enakan, dipijetin sama Ibu," seru sang dukun bayi.

"Makanya Pak Radit, cepet-cepet deh cari istri lagi. Biar Dedek Riza ada yang urusin. Kasihan lho ini masih gadis adiknya tapi udah ngurus bayi. Tadi panik bukan main si Neng Lingga," ujar salah satu ibu-ibu berkomentar.

Radit mengerutkan dahi. Adik? Dia mencerna omongan ibu itu tadi. Matanya melirik ke arah Lingga, pertanda ingin meminta penjelasan.

Lingga tersenyum kikuk. Tadi ketika Ibu RT datang ke rumah bersama beberapa ibu-ibu sempat salah sangka jika dirinya adalah Ibu dari baby Riza. Karena Lingga tak mau digosipkan sebagai istri simpanan yang menjadi trending topic minggu-minggu ini di kompleks, akhirnya ia pun mengaku sebagai adik dari Radit. Dan segerombol ibu-ibu itu pun ber-oh ria sempat salah paham padanya.

Radit tersenyum simpul saja sebagai jawaban. Supaya bahasan tersebut beres dan tidak diperpanjang. Malas dia untuk meladeni hal-hal yang bersifat pribadi.

Selesai kepergian ibu-ibu itu, Radit melengos pergi menuju kamar. Rasanya pusing berhadapan dengan banyak orang. Dia kurang suka keramaian, terlalu menguras energi bila berinteraksi dengan banyak orang apalagi ibu-ibu. Meskipun hampir tiap hari dia bertemu pasien, tapi tidak sebanyak segerombolan tadi yang sungguh melelahkan. Apalagi meladeni pertanyaan-pertanyaan kepo dari ibu-ibu tadi.

"Elis, siapin makanan. Saya lapar." Titah Radit begitu keluar dari kamar dengan pakaian santai dan keadaan segar.

"Baik Pak." Jawab Si ART.

Radit menunggu di ruang TV sementara sang ART menyiapkan makan sore untuknya.

"Pak, tadi saya kasih 100 ribu ke dukun bayi, upah pijitin Riza. Buah-buahan sama bolu susu juga saya bagi dua buat dibawa pulang Bu RT sama dukun bayi. Soalnya mereka udah bantuin..." lapor Lingga dengan perasaan tak enak. Dia takut dikira berlaga bak nyonya rumah.

"Gakpapa. Nanti saya ganti."

Sekarang mereka bisa duduk bersantai karena baby Riza sudah tertidur pulas.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 7. Perang Ala Pasutri (Lingga-SIP)**
4
0
Kenapa kamu bilang kita kakak-adik? Mana ada adik tapi nyusuin anak kakaknya,tanya Radit tanpa basa-basi. Tanpa sadar nada bicaranya tersebut terdengar menyindir, memancing emosi Lingga.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan