
Lingga—si single lady yang masih ingin hidup bebas tanpa ada pikiran menikah walaupun usia sudah menginjak mapan untuk menikah. Prioritasnya adalah karir, menyekolahkan sang adik hingga sarjana, dan menabung untuk berbisnis.
Lingga—si single lady yang masih ingin hidup bebas tanpa ada pikiran menikah walaupun usia sudah menginjak mapan untuk menikah. Prioritasnya adalah karir, menyekolahkan sang adik hingga sarjana, dan menabung untuk berbisnis. Karena menjadi tulang punggung dan harus membiayai sekolah sang adik, dia pun harus mengenyahkan egonya. Apalagi orang tuanya sudah lama tiada. Lingga tak ingin merepotkan kakeknya yang sudah renta dan mengandalkan gaji pensiunan serta ladang sawah.
Dan karena sedang terdesak ekonomi, dia tak bisa mengandalkan gajinya untuk membiayai kuliah sang adik. Lingga dan adiknya sudah lama ditinggal orang tua. Dan mereka tinggal bersama Kakek juga keluarga Tantenya. Agar bisa membantu mewujudkan cita-cita sang adik, maka Lingga pun harus mengambil pekerjaan sampingan dari atasannya yakni sebagai Ibu ASI. Honor yang sangat besar hingga tiga kali lipat dari gajinya sebagai customer servis. Membuat dara 28 tahun itu rela menjalani pekerjaan yang diniliai tak lazim ini. Yang terpenting dia mendapat uang agar bisa menyambung hidupnya juga sang adik.
Atasannya tak bisa menyusui lagi sang anak lantaran tengah hamil 12 minggu. Karena merasa iba dan sang atasan yang begitu baik memperlakukannya. Akhirnya tawaran menjadi Ibu ASI tak bisa dia tolak. Selain menolong orang, dia juga mendapat rezeki uang yang banyak.
🌻🌻🌻
Hari ini adalah terakhir Lingga bekerja di perusahaan provider. Sebagai customer service, selama dua tahun tak ada perkembangan berarti bagi jenjang karirnya, jauh berbeda dengan teman seangkatan SMA atau kuliah yang rata-rata sudah menjabat SPV, Kepala bagian, Kepala divisi dan jabatan lebih tinggi dari staff. Inginnya bisa bekerja di perusahaan besar dengan posisi jabatan yang bagus pula. Tapi lagi dan lagi lamaran kerja yang menerimanya hanya sebagai customer service. Padahal dia ini lulusan Manajemen. Entah mengapa dari sekian lamaran dengan posisi yang sesuai ijazahnya tidak ada satupun yang lolos seleksi. Dia selalu gugur di tahapan wawancara. Dia tak tahu faktor apa yang menjadikannya gugur dalam tahapan interview tersebut.
Yang jelas yang dia yakini sebagai pemicu adalah bentuk tubuhnya yang sediki berisi tidak langsing dan tidak tinggi. Ya dia memang minder dengan bentuk tubuhnya. Tinggi 157 dan berat badan 50kg dirasa tidak normal dan tidak proporsional sehingga tidak memenuhi kriteria perusahaan yang diincarnya. Padahal dia sudah melakukan diet ketat namun tetap saja berat badannya tidak menurun juga. Lingga sampai frustasi. Dia sangat minder dengan tubuhnya yang sedikit gemuk.
Padahal standar kecantikan tidak diukur dari bentuk tubuh dan tinggi perempuan. Namun Lingga sudah menstandarisasi jika cantik itu harus memiliki tubuh yang langsing dengan size S. Bentuk tubuh ideal dan proporsional seperti para idol Korea Selatan. Sudah banyak yang menasihati dan mengingatkannya untuk bersyukur dan percaya diri.
Tapi seolah itu sebuah ejekan bagi Lingga. Ya, hal itu terjadi sejak dia putus dengan pacarnya satu tahun yang lalu. Tepat saat dia baru lulus kuliah dan mencari lowongan kerja dengan ijzah sarjana bukan ijazah SMA.
Mantan kekasihnya itu kurang menyukai bentuh tubuh berisi Lingga. Pria brengsek itu memang selalu menilai fisik. Bahkan pria itu yang menyuruh dan memaksa Lingga untuk melakukan diet ketat. Tujuannya agar memiliki tubuh yang ramping sehingga bisa mudah mendapat kerja. Ya, tak menampik banyak lowongan pekerjaan yang mensyaratkan harus berpenampilan menarik dan memiliki tubuh proporsional. Sampai dimana Lingga menciduk pria brengsek itu berselingkuh dengan gadis finalis None Jakarta. Lingga merasa tersayat begitu menerima kenyataan jika lelaki brengsek itu menilai fisik terhadap perempuan apalagi sebagai pacar. Lingga tahu dan paham mengapa pria brengsek itu selalu cerewet mengenai bentuk tubuhnya. Ya, pria itu pasti malu berpacaran dengannya. Dan sejak itulah Lingga menutup hati untuk pria. Dan membenci bentuk tubuhnya sendiri.
"Ling, habis ini kita makan-makan yuk? Perpisahan dulu lah. Kan lo besok udah gak kerja lagi disini. Ishh ... lo tega. Gue sama siapa dong kalo lagi gabut," ujar rekan kerja Lingga.
"Hahaha ... kan kita masih bisa ketemuan kalo weekend, Mbak." Ujar Lingga dengan nada santai. "Ajakin juga yang lain Mbak. Tapi yang deket-deket aja deh hehe. Ya yang suka gabung sama kita aja," lanjutnya lagi.
Selesai jam terakhir kerjanya. Lingga pun bersama teman-teman kerja menghabiskan waktu sore dengan makan-makan di restoran Korea. Ya, biar bisa masak-masak sendiri sembari bercanda ria. Selesai itu, Lingga lantas pulang ke rumahnya. Ralat rumah sang kakek. Dia dan sang adik tak punya tempat tinggal lagi selain rumah kakeknya itu.
"Ling, listrik udah bunyi terus tuh. Bentar lagi mau abis," sahut Tantenya begitu dia baru saja sampai di teras rumah.
Ya, tak hanya dia yang tinggal di rumah itu. Ada keluarga lain yakni keluarga kecil tantenya yang juga ikut menumpang disana. Sebenarnya dia tak enak harus hidup menumpang meski itu adalah rumah kakeknya sendiri. Ya, tetap saja merasa tidak nyaman dan tidak bebas.
Seperti tadi contohnya. Sang tante yang sangat perhitungan perkara kebutuhan hidup. Dari mulai perkara biaya listrik Lingga yang bayarkan. Belum lagi jika gadis itu memasak untuk dirinya, adik dan kakeknya, pasti sang tante akan minta pula. Belum lagi jikalau dia menenteng makanan, anak-anak tantenya itu malah lebih heboh daripada adiknya sendiri. Padahal dia membeli makanan untuk adiknya dan kakek. Kadang gas juga dia yang beli jika sang tante belum menggantinya, padahal itu bukanlah tugas Lingga. Maklum saja, penghasilan suami tantenya itu hanya guru honorer dan harus menghidupi istri juga dua anak. Maklum saja jika masih menumpang di rumah orang tua walau anak-anaknya sudah besar. Capek sebenarnya gadis itu tinggal di sana, tapi tak tega dengan nasib adik dan kakeknya.
"Lingga, listrik udah bunyi terus. Kamu mau mati lampu?!" Ulang sang tante dengan nada tinggi.
Lingga yang baru saja sampai dengan kondisi kelelahan sehabis bekerja merasa terpancing emosinya hanya perkara soal listrik.
"Gak lihat apa aku baru pulang?! Bentar kali Tant, sabar! Lepas sepatu aja belom!" Semprot Lingga tak kalah tinggi, malah terdengar membentak. Siapapun dalam keadaan capek atau lapar pasti mudah emosi.
"Ck, gak usah ngegas kali. Pantesan gak nikah-nikah. Galak gitu, hih! Cowok mana yang mau," ejek Tantenya dengan laga nyinyir.
Lingga mendelik tak suka lantas masuk ke dalam rumah. "Rian!" Panggilnya pada sang adik.
"Kak Rian lagi di kamar, Kak Ling," sahut sepupunya ramah. Sungguh berbeda sekali karakternya dengan ibunya. Lingga bersyukur sepupunya itu tak menyebalkan seperti ibunya.
"Ok. Makasih."
🌻🌻🌻
"Ling, ada tamu di luar. Samperin gih," ujar sang kakek.
Tamu? Siapa? Perasaan gak ada yang janjian mau ketemu gue.
"Cewek apa cowok, Kek?"
"Cowok, pake seragam polisi."
"Ya bentar Kek," balas Lingga dengan kening mengkerut. Polisi? Siapa? Dia bahkan tak punya teman atau kenalan seorang polisi. Atau mungkin ATM-nya yang hilang itu? Ah... tapi sudah sebulan yang lalu dan sekarang dia sudah mendapat kartu ATM baru. Lalu siapa di depan sana? Pikiran Lingga bertanya-tanya, sungguh penasaran.
Dia pun segera beranjak dari rebahan santainya. Kegiatan yang sekarang dilakukan sambil menunggu mulai kerja di tempat baru minggu depan. Rasanya menyebalkan juga, mengingat ini adalah momen liburannya sebelum kembali bekerja. Siapa orang yang tega mengusik waktu emasnya ini?
Lingga berjalan ke ruang tamu dengan langkah was-was. Takut jika kedatangan polisi itu membawa masalah yang menyangkut dirinya.
"Mm—maaf. Si…apa ya?" Sapa Lingga ragu-ragu.
"Lingga?" Balas pria itu dengan nada tanya.
Spontan gadis itu pun mengangguk. "Saya Angga. Sa—" belum sempat pria itu menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba sang Tante datang menyela.
"Angga. Ya Ampun!!! Udah lama? Aduh Tante tadi habis dari rumah tetangga, eh malah keasyikan ngerumpi. Jadi lupa ingetin Si Lingga kalo kamu mau kesini." Sela sang tante dengan heboh luar biasa.
Ada apa ini? Perasaan Lingga sepertinya tidak enak.
"Ling, ini kenalin Angga. Eh salah BRIPKA Angga ya hehehe... ini lho anaknya Bu Lina, temen Tante yang urusin SIM si Rian." Jelas sang tante masih dengan nada heboh.
"Oh." Balas Lingga cuek. Dia sudah tahu gelagat dan kebiasaan tantenya ini. Muak rasanya melihat si tante yang bermuka dua.
"Untung aja, ada Angga. Eh BRIPKA Angga," ralat sang tante masih dengan bibirnya komat-kamit ceriwis.
"Angga aja Tante," sela pria itu malu.
"Ih biar si Lingga tahu. Kalo kamu ini bukan cowok sembarangan. Nih ya Lingga dengerin. Angga ini ........" tutur sang tante panjang lebar menceritakan latar belakang pria itu beserta makna dari pangkat yang tersemat di pakaian dinasnya.
Tantenya pikir si Lingga akan terpesona? Hah!! Untuk jatuh cinta saja dia tak ada minat lagi. Perlu ditekankan lagi, prioritasnya adalah Rian, sang kakek dan karir. Sama sekali dia tidak berminat untuk menikah. Dia tahu tantenya ini sedang menjodohkannya. Tapi sorry-sorry to say, Lingga sama sekali tidak minat. Dia masih ingin mengejar karir.
Drrtt… Drrtt
Notifikasi WhatsApp menyelamatkan dirinya dari perjumpaan menyebalkan ini. Dilihatnya pesan spam dari penipuan yang bermodus giveaway dari Baim-Paula. Gadis itu berterima kasih pada si penipu yang mengirimnya pesan. Tak apa walau spam dengan niat penipuan. Toh dia tak akan tertipu. Mana ada jaman sekarang tiba-tiba dapat hadiah 6 juta. Konyol bukan?! Lingga tersenyum lucu. Lalu dia pun pura-pura mendial seseorang. Alibi untuk kabur dari perjumpaan membosankan ini.
"Hallo Mas? Gimana operasinya lancar? Pasiennya selamatkan?" Lingga seperti orang gila saja, mengoceh seolah-olah dia memiliki pacar seorang dokter.
"Hahaha ... pasti dong. Kamu kan dokter hebat." Lanjutnya menjeda sebentar berakting seolah-olah sedang mendengarkan kekasihnya.
Kekasih dari mana? Dari Hongkong?
"Iya Sayang, entar malam kita telponan lagi, bye!" Lingga mengakhiri telepon pura-puranya dengan wajah ceria.
Sinting! Bodo amat! Yang penting dia bisa mundur. Bodo amat Tante! Makanya jangan sok ikut campur urusan pribadi orang!
"Lingga!" Kesal sang tante sembari melotot tajam. Lalu pamit sebentar pada pria itu sebelum menggiring paksa Lingga masuk ke dalam kamar.
"Maksudnya apa itu Lingga!? Kamu mau mempermalukan Tante, hah!? Kamu kan jomblo, cowok dari mana itu sampe dokter segala?!" Omel sang tante.
"Dia cowok aku Tante. Baru seminggu jadian. Emang dia dokter." Jawab Lingga songong tak mau kalah dengan sang tante.
Dari sekian profesi mengapa harus dokter? Entahlah dia asal ceplos saja. Karena di otaknya profesi dokter lebih prestisius ketimbang polisi.
"Ah bohong kamu. Pasti itu akal-akalan kamu aja biar gak jadi dijodohin sama Si Angga. Lingga dengerin. Dia itu baik, kerjaannya bagus, punya pangkat yang bagus, wibawa, lumayan cakep, masih muda satu tahun di atas kamu. Kakek juga udah setuju. Kurang apa lagi sih Lingga?" Ujar tantenya geregetan.
"Kurang duit. Duit!!" Ceplosnya sembari menggesekkan jari telunjuk, jari tengah dan jempol secara bersamaan. "Gaji dia sama gaji cowok aku gedean cowok akulaaaahhh..." Jawabnya songong bin sombong.
"Dasar cewek matre!"
"Biarin, daripada hidup susah kayak Tante. Apa-apa ke Lingga. Tante tahu kenapa Lingga belum nikah? Lingga butuh duit Tante. Karena nikah itu bukan cuma modal cinta, rohani dan siap mental. Tapi duit juga jadi faktor utama. Nikah pake apa? Pake duit. Makan pake apa? Pake duit Tant. Udah ah ... Lingga mau rebahan. Tante samperin tuh Si Angga. Lingga gak minat, Sorry!"
Brakkk
Pintu kamar ditutup dengan sangat keras. Masa Bodoh sang tante marah besar padanya. Ini hidupnya, mengapa sang tante ikut campur? Makan juga dia tak minta dari tantenya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
