Bab 46 - Nasehat Fadil (Bukan Istri Pura-pura)

0
0
Deskripsi

Bab 46 - Nasehat Fadil (Bukan Istri Pura-pura) 

Isi dalam bab ini : 1 bab, bab 46 

Harga: bab gratis 

Jumlah kata : -+ 1.742 kata 

Sinopsis πŸ‘‡

Azam masuk ke dalam ruangannya, dia baru saja selesai meeting bersama Fadil.

"Kenapa ikut masuk?" Azam melirik Fadil dengan malas,  yang mengikutinya masuk ke ruangannya.

"Hehehe, aku cuma mau ngobrol sebentar." Fadil nyengir kuda, lalu duduk di sofa, tepat di samping Azam.

"Ngobrol apa? Cepat, ini waktunya kerja," dengan malas Azam menjawab....

Bab 46 : Nasehat Fadil 

Selamat Membaca 🌿 

Dua hari sudah aku di rumah mama mertua. Namun, Azam tak ada datang. Dia hanya menghubungi orang tuanya lewat telepon.

Saat ini, aku sedang duduk santai di balkon kamar sambil menatap nomor suamiku yang aktif, tapi tak menerima panggilan ataupun balasan pesanku.

Sepertinya, dia masih marah kepadaku.

Tok tok tok

Terdengar suara pintu kamar diketuk dari luar. Dengan cepat, aku masuk ke kamar dan membuka pintu.

Ternyata Sabrina.

"Kak, aku mau bicara sebentar. Boleh?"  tanyanya serius.

"Tentu, ayo masuk!" Aku segera menutup kembali pintu kamar setelah, Sabrina masuk ke dalam kamar.

Kami duduk di sofa saling berhadapan.

"Ada apa?" tanyaku penasaran.

"Apa kak sedang bertengkar dengan Kak AZam?" tanyanya dengan mata yang menatapku lekat.

Aku mendesah, berpikir sejenak. Lalu balas menatapnya.

"Iya, dia sangat marah padaku." Aku menjawab dengan jujur.

"Pasti ada alasannya dong, gak mungkin kakak semarah itu padamu." Sabrina terlihat serius dan sepertinya menganggap kalau aku lah yang bersalah dalam hal ini.

Tapi, memang begitu sih kenyataannya. Aku lah yang bersalah padanya.

"Begitulah, sebenarnya...." Aku kemudian menceritakan semuanya kepada Sabrina.

Bukan bermaksud menceritakan masalah rumah tangga kami, tapi berharap Sabrina bisa turut membantuku dan siapa tau, Azam gak marah lagi sama aku.

Sabrina mendesah, setelah mendengar penjelasanku.

"Kak Azam tidak marah, sepertinya dia hanya kecewa saja. Bukan kecewa karena kakak belum hamil, tapi lebih kecewa karena kakak menganggap pernikahan ini hanya main-main. Karena, kakak gak percaya sama Kak Azam. Dan itu, sungguh menyakiti hatinya," ujar Sabrina.

Aku hanya menunduk pasrah, ya itu benar adanya.

"Percayalah Kakak sangat mencintaimu, dia akan segera datang menjemputmu," ujar Sabrina.

Lalu, dia pamit. Katanya mau ada acara bareng teman-temannya.

Dan disini lah aku sekarang, duduk sendiri dalam kesedihan.


[P o v Author]

Azam sedang berada di kantornya. Dia bekerja lebih keras dari biasanya, hanya untuk membuang rasa kesal kepada istrinya.

Dia kecewa, karena Ayda sampai sekarang masih berpikir dirinya belum mencintainya.

Azam masuk ke dalam ruangannya, dia baru saja selesai meeting bersama Fadil.

"Kenapa ikut masuk?" Azam melirik Fadil dengan malas,  yang mengikutinya masuk ke ruangannya.

"Hehehe, aku cuma mau ngobrol sebentar." Fadil nyengir kuda, lalu duduk di sofa, tepat di samping Azam.

"Ngobrol apa? Cepat, ini waktunya kerja," dengan malas Azam menjawab.

"Hm, apa kalian sedang bertengkar?" tanya Fadil kepo.

"Ck ck, kamu kepo banget," malas membahasnya sebenarnya, tapi Azam pikir mungkin Fadil bisa sedikit memberi solusi.

"Ish, siapa tau aku bisa membantumu Kak," sahut Fadil cepat.

"Kamu kan jomlo, mana ngerti urusan beginian," ledek Azam dengan senyuman tipis penuh ejekan.

"Hey aku sudah gak jomlo lagi kali!" sahut Fadil cepat, dengan pipi yang memerah.

"Wow benarkah? Siapa? Hana?" Azam tertawa. Akhir-akhir ini, dia sering melihat Fadil yang mengobrol dengan Hana. Baik di telepon, maupun langsung bertemu.

Terkadang Hana, sengaja datang ke kantor untuk menemui Fadil. Dari situ lah, Azam menyimpulkan kalau ada sesuatu diantara mereka.

Glek

Susah payah Fadil menelan salivanya, saat mendengar perkataan Azam.

"Wow, aku tak percaya. Kamu benar-benar dengan Hana?" sekarang Azam jadi yang kepo, dia sungguh penasaran.

"Hah, Kak aku...." Fadil semakin bingung dan terlihat malu saja.

"Hana wanita yang baik, itulah alasannya aku menikahinya dulu. Kamu tau sendiri, kami berpisah karena dia terlalu egois dalam hidupnya. Cobalah, kalian bicarakan baik-baik tentang hubungan kalian kedepannya, agar tak ada kesalahan seperti yang terjadi padaku dan dia dulu." Azam menatap Fadil, dia bicara serius.

"Tapi, dia pernah membuat rencana buruk padamu Kak?" Fadil menatap Azam tak enak hati.

"Sudahlah, aku sudah memaafkannya. Tapi, pastikan kalau dia benar-benar berubah," ujar Azam sambil menepuk bahu Fadil.

" Baiklah. Hem, terimakasih kak." Fadil tersenyum lega.

"Kamu hanya ingin mengatakan ini?" tanya Azam.

Fadil menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku hanya merasa kalau kamu bekerja lebih dari biasanya. Kamu terlihat murung, dan gelisah. Sering menatap hp, tapi ragu untuk menelpon atau berkirim pesan." Fadil berkata dengan nada serius.

"Aku sedang mendiamkan Ayda," jawab Azam. Dia menyandarkan punggung ke sandaran sofa.

"Mendiamkan? Aku tak yakin kamu sekuat itu, heheh." Fadil tertawa mengejek.

"Huuh, aku memang sudah tak tahan. Dua hari sudah tak bertemu dan rasanya sungguh menyiksa sekali," desah Azam sambil memejamkan mata.

"Kenapa?" tanya Fadil.

"Dia masih tak percaya aku mencintainya," jawab Azam kesal.

"Maaf, tapi ini salahmu juga," sahut Fadil.

Azam menegakan tubuh. "Salahku? Maksudmu?" menatap Fadil penasaran dengan raut wajah serius.

"Coba kakak pikirkan lagi, dari awal menikah sampai sekarang. Apakah ada sesuatu yang salah, yang menyebabkan Kak Ayda merasa tak mungkin kakak mencintainya," ujar Fadil.

Azam terdiam, dia mengingat awal dirinya menikahi Ayda secara paksa. Namun, dia merasa selalu menunjukkan perasaannya selama ini.

"Apa pernah kakak mengunggkapkan rasa cinta padanya?" lanjut Fadil.

Azam mendesah, rasanya belum pernah sekalipun berkata aku mencintaimu kepada Ayda.

"Pikirkan baik-baik perkataanku ini kak, perbaiki semuanya sebelum terlambat." Fadil kemudian berdiri, dia pamit untuk kembali ke ruangannya, melanjutkan pekerjaan.

Sementara itu, Azam diam memikirkan semua yang Fadil katakan.

"Kamu benar Fadil, hahah bisa-bisanya aku gak peka. Dan malah dinasehati jomlo sejati seperti kamu," gumamnya sambil tertawa.

"Eh, Fadil sudah gak jomblo lagi. Dia kan sudah punya Hana sekarang." Azam terkekeh kembali.

Azam berusaha mngerjakan pekerjaannya secepat mungkin, dia ingin cepat pulang dan menemui Ayda. Ingin minta maaf, dan ingin mengungkapkan isi hatinya.

Tapi sayang, semua tak sesuai keinginannya. Hari ini pekerjaan sangat banyak, ia bahkan masih punya jadwal meeting selepas makan siang dan makan malam.

Akhirnya, Azam pulang ke rumahnya jam sepuluh malam.

Mobilnya berhenti di halaman, Azam turun dan langsung masuk ke rumah.

Sementara itu mobil, di masukan ke garasi oleh sopir pribadinya.

"Tuan ada...." Asisten rumah tangga hendak memberitahukan sesuatu, tapi Azam tak menanggapinya. Dia merasa lelah badan, ditambah kesal tak bisa menemui Ayda.

Padahal jika mau, dia bisa pulang ke rumah ibunya saja. Tapi, Azam tak mau. Dia takut ada drama, dan ketahuan kedua orang tuanya.

"Jangan ganggu saya, saya lagi capek," sahut Azam cepat, dengan nada dingin. Dia langsung ngeloyor masuk ke kamarnya tanpa menghiraukan perkataan asisten rumah tangga itu selanjutnya.

Asisten rumah tangga Azam pun  hanya menundukkan kepalanya. Dia takut kalau sudah melihat mode dingin majikannya itu.

Dia sadar, Tuannya sedang kesal. Ya, lebih baik diam dan kembali ke kamarnya saja, daripada kena semprot.

Ceklek, Azam membuka pintu kamar. Dia tekejut melihat seseorang yang sudah tidur terlelap di atas tempat tidurnya.

Dengan kaku, Azam berdiri di ambang pintu kamar. Menatap wanita berwajah manis yang tampak tenang dan lelap dalam tidurnya. Siapa lagi, kalau bukan Ayda istrinya.

"Sejak kapan dia disini?" gumam Azam.

"Emmh." Ayda  menggeliat. Lalu membuka matanya perlahan, merasa ada yang memerhatikan, dia melihat ke arah pintu kamar.

Ayda terkejut, saat melihat suaminya yang berdiri di ambang pintu sambil menatapnya lekat dan penuh kerinduan.

Dengan terkejut, Ayda menegakan tubuh. Lalu turun dari tempat tidur. tanpa bersuara, dia melangkahkan kaki ke arah suaminya itu.

Kini Ayda sudah berdiri di hadapannya, tatapan mereka saling mengunci. Mata Ayda berkaca-kaca, lalu menubrukan tubuhnya ke dalam pelukkan sang suami.

Memeluknya erat, penuh sesal, merasa bersalah dan penuh kerinduan.

"Maaf, maafkan aku. Aku salah, aku gak berkasud menyakiti hatimu. Maaf, karena gak yakin kamu mencintaiku, maaf aku meragukanmu. Tapi, bagaimanapun perasaanmu padaku, aku mencintaimu Azam. Aku mencintaimu suamiku, aku menyayangimu," ujar Ayda sambil terisak, dia mengeratkan pelukkannya.

Azam terkejut mendengar perkataan tulus istrinya. Bibirnya tersenyum. Dia bahagia, ini yang ingin dia dengar, kata cinta tanpa terpaksa.

Dia sadar, selama ini selalu memaksa istrinya mengatakan cinta. Ya, dia yakin kali ini Ayda berkata dengan jujur dan tulus.

Azam balas memeluk Ayda, erat dengan erat. Lalu, dia mengecup puncak kepalanya cukup lama.

Mereka saling berpelukan, menyalurkan rasa cinta yang tulus dari dalam hati terdalam mereka masing-masing.

Azam membawa Ayda duduk di atas tempat tidur. Mendekap erat istrinya penuh sayang. Mencubit dagunya, agar mendongak. Lalu, mengecup kedua pipinya dengan lembut, menyeka pipi yang basah dengan lelehan air mata itu.

"Jangan menangis lagi ya, maafkan juga aku yang telah membuatmu sedih, aku tau aku egois selama ini. Aku sadar, aku terlalu arogan dan selalu memaksakan kehendakku sendiri, tanpa memikirkan perasaanmu. Maukah kamu memaafkan aku?" Azam berkata dengan lembut.

Ayda menggelengkan kepala dengan cepat. " Kamu gak salah apapun, aku baru sadar, itu semua caramu mengungkapkan perasaan, maaf juga aku selalu buruk sangka padamu." Ayda kembali menyurukkan wajah di dada suaminya, sambil terisak.

Azam mengusap lembut puncak kepalanya.

"Jadi kamu mau kan memaafkan aku?" tanya Azam kembali.

"Iya, tentu saja. kamu juga maukan memaafkan aku?" Ayda mendongakkan wajahnya, menatap sang suami penuh cinta.

"Kamu gak salah, jadi gak ada yang perlu aku maafkan," sahut Azam cepat, sambil mengecup kilat bibir merah istrinya itu.

Pipi Ayda merona, dia tersenyum malu-malu. Lalu mengeratkan pelukannya.

"Janji sama aku, kalau gak akan pernah ninggalin aku lagi," ujar Ayda dalam pelukkan suaminya.

"Hey memangnya kapan aku meninggalkanmu? Kalau untuk keperluan kerja kan beda ceritanya." Azam mencubit hidung mancung istrinya yang memerah, karena menangis tadi.

"Kemarin itu apa, kamu pergi tanpa bicara sesuatu padaku. Sampai dua hari pula," ujar Ayda merajuk.

"Hahah, oh itu ya. Karena kamu bikin kesal, lagian aku cuma pulang ke rumah saja, gak kemana-mana kok." Azam bicara santai tanpa rasa bersalah, ah dasar Azam.

Ayda mengerucutkan bibirnya.

"Lebih baik kita bicarakan baik-baik, jika ada masalah. Jangan begitu lagi," ujar Ayda.

"Kamu benar, ayo kita bicarakan semuanya mulai sekarang.  Jangan ada rahasia lagi, jangan menyimpan unek-unek dihati." Azam mengecup puncak kepalanya sekilas.

Ayda mengangguk dalam pelukan suaminya.

"Aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu, sebuah rahasia besar. Rahasia yang ku simpan sejak lama," ujar Azam lembut.

"Apa tentang wanita cinta pertamamu itu?" tanya Ayda dengan menahan rasa sakit dihati, membayangkan wanita lain di hati suaminya.

"Iya," sahut Azam.

"Apa kamu sudah menemukannya?" Ayda menahan nafas sejenak, untuk menenangkan hatinya yang galau.

Azam bisa merasakan kegelisahan istrinya, dari gerak tubuh dalam dekapannya itu.

"Iya, aku sudah menemukannya. Dia semakin cantik dan dewasa, dari terakhir aku melihatnya dari kejauhan. Dia sangat manis dan menggemaskan, dia...ah pokoknya sangat 
menggemaskan." Azam berkata santai sambil tertawa kecil, dan sesekali mengecupi puncak kepala Ayda.

Dia tak tau saja, kalau saat ini istrinya itu sedang merasakan sedih dan cemburu menggebu mendengarnya.

Ayda sampai menggigit bibir bawahnya sendiri, menahan kesal dan cemburu yang bergemuruh di dada.

"Aku akan menceritakan padamu dari awal aku mengenalnya, sampai merasa jatuh cinta dan akhirnya berpisah, lalu bertemu lagi. Kamu tak boleh menyela, cukup dengarkan saja apa yang akan aku ceritakan ini. Oke," lanjut Azam.

"Hemm," sahut Ayda dengan kesal.

Dan, Azam hanya tertawa mendengar jawaban Ayda. Dia sebenarnya tau, istrinya itu sedang cemburu. ya cemburu, pada wanita yang belum ia ketahui sama sekali.

Azam ingin tau bagaimana reaksi istrinya itu, saat tau siapa wanita cinta pertamanya itu, bahkan sampai sekarang. Posisi yang tak tergantikan di hatinya, setelah sang ibunya tercinta tentu saja.

Tunggu lanjutan ceritanya ya 😘 

Terimakasih sudah nyimak ceritanya

Salam

Mirastory 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya Bab 47 dan 48 - Ungkapan Hati Azam ( Bukan Istri Pura -pura)
0
0
Novel Bukan Istri Pura -pura Isi dalam bab: 2 bab Bab 47 - Ungkapan Hati Azam Bab 48 - Fadil dan HanaJumlah kata : 1.382 kata (bab 47) dan 1.800 kata (Bab 48) Harga : satuan Sinopsis bab 47 πŸ‘‡ Aku bisa melihat, matanya berair. Lalu, tumpahlah air matanya.Hey, kenapa menangis? ujarku, sambil mengusap pipinya yang basah dengan air mata.Kamu masih bertanya kenapa aku menangis? Tega sekali, kamu menikah lagi! Kamu punya istri lagi…! Tentu saja aku sakit hati! Aku marah! Aku diduakan! Ayda memukuli dadaku sambil terisak.Kutangkap tangannya, lalu aku menggenggamnya erat. Dasar bodoh! Siapa bilang aku sudah menikah lagi! Siapa bilang aku mengkhianatimu! Siapa bilang aku menduakanmu! Aku menariknya ke dalam pelukkan.Kamu! Bukankah kamu yang cerita tadi! Dia masih saja salah sangka, ah sungguh polosnya istriku. Eh, mungkin juga dia bodoh! Hahaha. Cerita selengkapnya cek disini πŸ‘‡ 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan