ACT I: MALIK AFTER ARCANE

79
12
Deskripsi

Nyatanya, hidup Malik tak apa selepas Kevin tak ada.

 

  

check the timeline of the story here before reading.

___

 

  

ACT I: MALIK LAKSAMANA AFTER ARCANE

post-image-65730c6e388af.jpg

  

  

FASE PATAH HATI yang dilewati Malik beberapa bulan pertama memang berat, tapi ia dengan cepat bangkit kembali. Kuliah, kelas, tutorial, serta kegiatan volunteering yang ditekan dalam durasi delapan minggu trimester ajaran akademik tak bisa menunggu sampai Malik benar-benar pulih. Jika boleh dibilang, itu justru membantunya.

Malik kira, akan sukar berfungsi dengan baik kembali setelah ia memilih untuk putus hubungan dengan Kevin Wijaya (ah, sekarang menyebutkan namanya saja terasa asing). Orang yang pernah menjadi bagian terbesar dari hidupnya lebih dari tiga tahun lamanya. 

Namun, nyatanya, performanya kini sudah kembali normal. 

Kalau dipikir-pikir, rasanya sudah lama sekali sejak saat itu. Hari di mana Malik mengalami patah hati terbesarnya di negeri orang sampai mau mati rasanya. Sebenarnya, Malik tak asing dengan rasanya putus hubungan. Ia menempa hatinya sendiri selama ini supaya terbiasa. Toh, semua orang akan pergi pada akhirnya. Akan tetapi, akhir hubungannya dengan Kevin meninggalkan keropos yang terlalu dalam melebihi semua pengalaman cinta sesaatnya dahulu kala. Ia butuh waktu sedikit lebih lama untuk terbiasa dengan rasa kosongnya.

Suatu hari, setelah malam-malam sulit tidurnya selepas ‘berpisah’ dengan Kevin, Malik bangkit dari ranjangnya, mencuci wajahnya, jalan-jalan tengah malam sendirian. Angin malam selalu membantunya merasa lebih tenang. Sejak dahulu. Saat di Jogjakarta. Saat di Jakarta. Di mana pun ia berada. Kebiasaannya sejak dirinya kecil. Hari itu, Malik bertemu kucing kampus dan bercerita banyak hal dalam bahasa ibunya. Kucing itu mendengkur manja padanya, seolah mengerti. Saat itulah Malik teringat bahwa ia kemari karena suatu alasan. Ia pergi ke Oxford untuk suatu tujuan. Tak semestinya ia terlalu terpuruk dalam perkara yang ia sengaja tinggalkan di tanah airnya dan berlama-lama murung seperti ini. Ia harus bangkit.

Apabila ada satu kelebihan yang Malik bisa banggakan, itu adalah kemampuannya bertahan hidup. Bangkit dari masa-masa terkelamnya dan tetap menjadi brilian walau harus terseok. Selama ini, selalu begitu. Berulang kali, Malik terjerumus jurang di sepanjang usianya, tapi ia selalu—selalu berhasil merangkak keluar kembali, bagaimana pun caranya.

Malik selalu menemukan cara

Kali ini, tak jauh beda.  

  

   

Rasanya sudah lama sekali sejak saat itu. Sekarang, Malik sudah merasa lebih hidup.

Berbaur dengan teman-teman kampusnya tak sesulit yang Malik sangka. Kampus Oxford terasa seolah taman bermain dengan hiruk pikuk semua orang yang sibuk dengan urusan akademik mereka masing-masing. Komunitas yang ada di sekelilingnya pun tak berkecimpung jauh dari itu. Setiap pergi ke coffee shop, Malik hampir selalu menemukan ada sekelompok mahasiswa yang sedang berdiskusi, atau sekadar mahasiswa yang sedang membaca atau berkutat di hadapan laptopnya, sibuk sendiri. Perpustakaan selalu ramai pengunjung. Benar-benar gaya hidup yang Malik impikan.

Karena itu, lebih mudah baginya berbaur ketika sebagian besar basis koneksi mereka juga akademis. Meski, bukan pemandangan jarang juga melihat mahasiswa keluar dari perpustakaan lalu langsung menuju bar atau kelab malam. Malik merasa, semua orang di sini punya cara mereka sendiri untuk bertahan di tengah tumpukan pekerjaan yang gila.

Well, Malik berhasil berteman cukup dekat dengan satu orang.

  

____

  

Can you believe I’m still starving?

Same. Wanna hit up Bridge?

Malik berpikir. “Oh, right. It’s Thursday.” 

Bridge adalah salah satu kelab malam paling beken di Oxford. Ada acara eksklusif mahasiswa setiap hari Kamis dengan menunjukkan kartu mahasiswa Oxford. Orang-orang menyebutnya ‘Bridge Thursdays.’ 

Hate to bail, but I’m drowning in this pile of readings today. Can’t risk getting hammered tonight. How about we plan for it next week if you're still up for it?

What reading? I can help you with that.

Last time I checked you had not finished yours either.

Lukas meringis. “You’re no fun.

Just trying to be the responsible one here, since someone clearly is not.

Lukas menghela napas hiperbola, sementara Malik tergelak melihat kawannya yang tampak sedikit jengkel. Memang Malik tak salah soal itu. Mereka masih punya pekerjaan untuk diselesaikan. Tapi, apa salahnya bersenang-senang sedikit?

Fine.” Lukas menyerah pada akhirnya. “How do we solve our stomach situation then? I was thinking of throwing my culinary expertise your way, but I can already hear you saying my food's bland, as per usual."

Malik terbahak mendengarnya. “Hey, that was a joke.” 

Malik tidak bercanda.

Lukas berkata lagi, masih merasa defensif. “Okay, maybe I’m not a kitchen wizard, but our cuisine is actually solid.

I said I was just messing with you, Lukas.” Malik menyenggol kawannya dengan siku main-main. “You’re alright. But, you could pick up a trick or two from Chef Malik over here.”

“Chef Malik.” Lukas mendengus, tapi tersenyum. “Of course.”

Malik berteman dengan salah satu kawan satu kampusnya; Lukas Luther.

Lukas berasal dari Berlin, Jerman. 

Lukas mengambil fokus studi PPE (Philosophy, Politics and Economics) sementara Malik E&M (Economics and Management), jadi obrolan mereka terkait akademik sedikit banyak sinkron dalam beberapa hal. Lukas sering bercanda bahwa surname-nya adalah panggilan Tuhan bahwa ia memang ditakdirkan mengambil politik (karena Martin Luther King, katanya), dan Malik malah mengabaikan panggilan itu, karena nama Malik bermakna King. Lukas bilang, harusnya Malik menekuni politik ekonomi juga. Lukas bilang, mereka memang ditakdirkan berjumpa. Tinggal mencari satu teman lagi dengan nama Martin. Malik tertawa.

Lukas berakhir menamai kucing kampus dengan nama Martin. Katanya supaya trio mereka lengkap. Helena—teman mereka juga—selalu memprotes Lukas saat memanggilnya begitu. Karena kucing ini bernama Whisker, sudah dari dulu begitu. Malik selalu tertawa melihat mereka berdua berakhir berdebat cuma karena itu.

(Lukas tetap bersikeras nama kucing itu Martin.)

Lukas adalah lelaki kaukasia dengan mata biru keabu-abuan menawan, rambut kecokelatan, tubuh kurus, dan kaki jenjang seperti dirinya. Tingginya 190 cm bak model, sehingga kaki mereka kerap kali bertubrukan setiap kali Malik bersantai di kamar Lukas atau sebaliknya. Kamar Lukas terpaut enam lantai dari kamarnya; karena Lukas tinggal di akomodasi dengan ensuite, sementara Malik tak masalah dengan kamar mandi bersama. Kamar Lukas menghadap langsung ke Chapel Quad, Malik betah berkunjung lama-lama ke kamarnya sambil menatap ke luar. Mendengarkan lagu hiphop Jerman yang diputar dengan volume tak terlalu besar sembari meninjau ulang tulisannya. Sehingga lama kelamaan, Malik juga menambahkan Luciano dan Trettmann ke dalam playlist-nya. Lukas bilang, ia tahu beberapa lagu Rich Brian. Ia selalu memutarkan lagunya setiap kali Malik datang, sambil berkata Malik-core. Malik tertawa.

Yeah, he’s a fun guy.

In my defense,” Lukas merasa ia masih perlu membela diri. Aksen Jerman-nya masih lumayan kental ketika bicara dengan Bahasa Inggris seperti ini. “...the climate and soil conditions in Germany don't really favor growing spices like in Asia. We end up importing most of them. Way back, after the world wars, folks had to get creative with whatever was around for cooking. So, some classic German dishes are kind of straightforward. Or, quoting from you, ‘kind of basic.’ Which is a bit harsh, by the way. But trust me. German cuisine is a cool mix of simple and fancy. You should visit us and explore so much more with me next time.”

Mm. Why are we talking about the world war again?”

“It’s part of culture, Malik. Historical context, post world-wars effect.”

"Alright, fair point. But I was ragging on your cooking, though? Not German cuisine in general. I agree that German dishes overall are a different story. Maybe just when you’re not the chef, Lu.”

Lukas berhenti berjalan. 

"You're seriously the most annoying person, you know?"

"Well, that's not breaking news, is it?"

"A proper jerk."

"Guilty as charged."

Malik tergelak melihat Lukas yang memutar bola mata pura-pura jengah. Tapi, Lukas tak bisa berlagak terlalu lama, karena melihat Malik tertawa, buat dia ingin tertawa juga.

"If that's the case, let Chef Malik do the cooking then."

"I've only got instant ramen, though."

"Ramen's cool, especially when you work your magic."

"You're just saying things because you don't wanna do it."

"No, for real, man. Your ramen hits different."

Lucu rasanya setelah formal dinner, keduanya sudah merencanakan makan malam lagi. Tapi, jika boleh jujur, Malik terbiasa makan dengan porsi besar. Ia pun makan dua kali lipat dari porsi Mas Raja biasanya. Jadi, hanya memakan ayam panggang, puree jagung, dan sedikit sayuran, rasanya kurang kenyang. Apalagi, hari ini cukup melelahkan baginya.

Lebih lucu lagi… apa yang Lukas katakan soal ramen buatannya berbeda adalah resep ramen yang Kevin pernah ajarkan padanya. Ramen yang diseduh selama tiga menit di atas saucepan, masukkan bumbu-bumbu instan, tambahkan dengan lada hitam, minyak wijen, saus sriracha, telur, dan selembar rumput laut. Seduh lagi selama setengah menit. Matikan kompor. Tunggu satu menit supaya telur setengah matang dengan sisa panas saucepan. Taburkan dengan potongan daun bawang, bagian hijaunya saja. Tambahkan tempura yang Malik suka. Sajikan saat masih panas.

Lucu sebab Malik mengingatnya di luar kepala. Atas seberapa sering ia membuatnya dalam tiga tahun pertemanannya dengan Kevin. Tertempa dalam muscle memory. Bagian dari Kevin yang Malik bawa sampai ia kuliah di Inggris. Bagian berharga yang Kevin miliki, yang masih Malik anggap berarti, terlepas dari apa yang sudah terjadi. Dan kini, Malik kerap kali memasakkan kawannya dengan resep yang serupa. Lukas membagikan resep itu pada ibunya di rumah. Bagian dari Kevin yang Malik bagi.

Bagian dari Kevin yang Malik biarkan menua dalam dirinya. Mungkin, selamanya, beginilah caranya membuat ramen. Begini caranya mengajarkan orang-orang yang terlahir setelahnya untuk membuat ramen

Semua ini buat Malik mengandai-andai, apa ada bagian dari dirinya yang masih Kevin kenang saat ini? 

Bagian dari Malik yang juga akan Kevin bawa sampai mati?

Malik.” 

Panggilan Lukas mengejutkannya.

Yeah?” sahutnya, buyar dari lamunan singkatnya.

Let’s race.” Tiba-tiba Lukas membuat ancang-ancang. Malik seperti sudah bisa menebak apa ide bodohnya malam ini. “Last one to the North Quad does the dishes.

"That’s funny. I'm already on cooking duty; you're stuck with dishes."

"Why? Worried about coming in last?"

Malik mana bisa tidak terprovokasi oleh itu. Karena itu, ia mengikuti permainan Lukas dan berlari. Saat berlari, Malik sempat diteriaki pejalan kaki lain yang tak sengaja tersenggol olehnya. Ia berseru ‘sorry’ dengan keras, sementara Lukas terbahak di depannya. Ini hanya berlari dengan teman. Tapi, Malik entah mengapa merasa senang.

Malik tidak berharap menang, lagipula. Lukas lebih atletis darinya. Pernah bilang bahwa ia bergabung di rowing club saat sekolah dulu. Itu salah satu alasan Lukas mendaftar di kolese ini di kampus Oxford—salah satunya untuk melanjutkan hobi rowing-nya dan berharap bisa ikut kompetisi mendayung varsity yang lebih menantang. Kolese mereka berdua punya sejarah boat club yang mengagumkan sejak dahulu, jadi tak heran apabila Lukas ingin menjadi bagian dari itu. 

Maka dari itu, ketika Lukas lebih dulu sampai dengan senyum lebarnya yang menyebalkan, Malik hanya mengangkat dua tangannya. Mengakui kekalahannya begitu saja.

Fine. I’ll do the dishes.”

"The deal was up to the entrance stairs.” Lukas berkata, masih berdiri di bawah. Kedua tangan masuk ke dalam celana yang ia kenakan. “You're not beaten yet.

Masih separuh tersengal, Malik menaikkan sebelah alis. 

“... What are you talking about?”

You haven’t lost.” Lukas kedikkan dagu ke arah tangga. “Keep going, champ.”

You’re giving me the win.”

Dangerous assumption, Malik. Maybe I just don’t feel like it."

Malik tergelak ringkas atas itu. Namun, alih-alih menjejaki tangga seperti yang Lukas persilakan, Malik meraih lengan kawannya. Menyatukan lengan keduanya supaya serentak menghadap tangga. Tindakan spontannya membuat Lukas melebarkan mata terkejut.

Alright then, let's just walk together.” Malik kemudian berkata. “If you won't let me be the loser, then neither will I. Seriously, how do you even see me as a friend?”

Malik tak sadar, tapi setelah itu, Lukas menatapnya cukup lama.

Seperti terpana.

  

____

  

ADA YANG MELIBERASI dari berada di tengah-tengah kumpulan orang yang jauh lebih luar biasa darinya. Ada yang meliberasi mengetahui Malik tidak harus menjadi nomor satu untuk merasa bersinar. Setiap kali Malik memberikan tepuk tangan meriah seusai profesornya memberi kuliah, ia sudah merasa cukup. Setiap kali Malik mendapat perhatian intensif dari tutornya terkait esai yang ditulisnya dan ia bisa sedikit mengimbangi diskusi mereka, ia merasa cukup. Setiap kali Malik keluar dari ruang ujian dengan setelan sub-fusc-nya, entah bagaimana hasilnya, ia sudah merasa cukup. Menjadi pelajar seperti ini. Mahasiswa seperti ini. Malik merasa semua ini sudah bisa disebut pencapaian.

Di Jakarta, Laksamana Malik dikenal seantero sekolahnya, bahkan rival sekolah, sebagai siswa yang seringkali membawa pulang medali emas. Siswa cemerlang kesayangan guru-guru—meski tingkahnya terkadang sedikit urakan—dan siswa yang selalu berhasil memberikan performa terbaik. Ada satu waktu ketika Malik mendapatkan nilai ujian di bawah biasanya, dan gurunya berkomentar; ‘tumben Malik kurang teliti’. Kalimat itu membuatnya tidak bisa tidur semalaman. Padahal, nilainya bagus. Masih di atas rata-rata. Terkadang, ekspektasi orang lain terhadapnya adalah membuatnya merasa selalu kurang

Akan tetapi, di Oxford, Malik bukan siapa-siapa. Hanya salah satu di antara ribuan mahasiswa yang bergelut dengan tenggat waktu demi tenggat waktu, sembari berusaha agar tetap waras. Tutornya tak memberikan komentar menghakimi ketika Malik belum bisa mengelaborasikan idenya dengan baik. Di sini, Malik lebih sering dibantu dan dikoreksi. Namun, entah mengapa, itu tak membuatnya merasa kurang. Itu membuatnya merasa ringan. Ada sesuatu yang meliberasi dari menjadi bukan siapa-siapa.

Malik bertemu banyak sekali orang-orang hebat. 

Malik tak lupa bagaimana ia terkejut saat Lukas pertama kali memberitahunya siapa tutornya. Sebab, nama beliau tidak asing baginya. Malik memiliki beberapa tulisan karya tutor Lukas dalam daftar bacaannya selama ini. Ia kagum dengan cara beliau memaparkan gagasannya. Betapa menakjubkannya rupanya orang itu begitu dekat dengannya. Malik masih ingat bagaimana ia pernah menunggu Lukas selesai sesi tutorial supaya ia bisa melihat sosok nyata dari ide-ide cerdas yang tertuang dalam tulisan yang ia baca.
 

(“All this effort for my tutor, and not a bit of it for me, apparently."

Malik cuma tertawa mendengar gerutuan kawannya. 

Pen down something amazing, and perhaps I’ll go this length just to see your ass.” 

Contemplating writing a poem about you and me as we speak.”

Don’t even try.”)
 

Rasanya masih setengah tidak nyata.

Bahkan ketika mahasiswa pascasarjana mengadakan acara tahunan untuk memperingati J.R.R. Tolkien dengan mengundang sejumlah novelis terkini untuk memberi kuliah tentang fiksi dan fantasi. Rasanya menakjubkan melihat otak di balik buku-buku luar biasa yang dulu berjajar rapi di kamarnya saat di Jakarta kini berada di satu ruangan auditorium dengannya. Atau ketika tahu Emma Watson akan melanjutkan studinya di Oxford. Hermione yang dikaguminya saat masih sangat kecil. Atau ketika ia melihat profesor-profesor hebat ketika exchange dinner di Cambridge. Malik bertemu banyak sekali orang luar biasa di sini.

Ia merasa kecil, tapi karena kecil itulah, ia bisa terus berkembang sejauh yang ia bisa. Karena kecil, ruangnya untuk terus bertumbuh tak ada batasnya. 

Sebab tak hanya soal guru-guru besar dan tokoh-tokoh tersohor, semua orang punya peran mereka masing-masing di sini. Baik besar maupun kecil. Malik kagum pada wanita paruh baya yang duduk di seberang Malik saat di kafe, bersama putrinya, mengerjakan disertasinya dengan ulet sembari menunggu putrinya selesai makan. Itu memotivasinya. Malik kagum pada pustakawan di perpustakaan mana pun yang ia kunjungi, karena mereka mampu membantunya mencari bahan bacaan apapun tak peduli apa topik yang dia kerjakan. Malik kagum pada bartender di bar kampus yang menghafal namanya dan tak keberatan mendengar ceritanya. Malik kagum pada setiap representatif JCR—Junior Common Room—yang bekerja sesuai fungsi untuk membantu mahasiswa baru sepertinya.

Malik kagum dengan ekosistem di tempat ini, dan orang-orang yang dijumpainya.

Malik rasa, itu yang membuatnya cepat tersadar bahwa tak peduli seberapa asing semua ini untuk pertama kali, ia tidak salah tempat. 

Di sini tempatnya. 

Ada atau pun tidak adanya Kevin dalam hidupnya.

Sebab, nyatanya, Malik tak apa bahkan selepas Kevin tak ada.

   

____

  

Malik!”

SIGAP, MALIK menangkap botol air dingin yang Lukas lempar ke arahnya sembari lelaki itu berlari menghampirinya. Malik tengah menunggu kawannya itu selesai kelas sejak tadi. Mereka sudah berjanji akan mampir ke salah satu kedai gelato di covered market bersama hari ini. Sebelum memasuki musim dingin, Lukas berkata.

"Been waiting for a while?"

"Nah, not really. Just wrapped up my class too. Thanks."

Malik berucap, sembari membuka tutup botol minum yang diterimanya. Kebetulan sekali karena ia lumayan haus. Betapa terkejutnya ketika membuka tutupnya, isinya meletup dari dalam dan menyembur ke arahnya. 

Oh, fuck you.”

Lukas terbahak keras melihat tangan Malik yang sekarang belepotan. Menikmati sorot kesal dari kawannya yang berhasil dirinya kerjain.

Of course it’s sparkling water. Classic, Lu. You really got me there.” Malik merutuk. Ia benar-benar kira botol ini berisi air mineral biasa, alih-alih air karbonasi. Seharusnya Malik tahu. Ia sudah bersama Lukas cukup lama dan mengenal obsesinya dengan minuman ini. “If I ever hit Germany again, I'll be sticking to tap water. Can't tell the difference between plain and bubbly in those bottles.

Tap water’s cool, but it’s just missing that kick, you feel me. If it's not fizzy, it just somehow doesn't hit the spot for quenching the thirst for me.”

Back in my country, not every tap is a safe bet for drinking water.”

Mata Lukas mengerjap. “Yeah? So, where's your go-to water source, then?”

Tap water is quite possible, technically, but it needs to reach the boiling point for it to be a good sip. People usually go for water filters or purifiers. But if I’m being real, not many folks are chugging straight from the tap.” Malik menjelaskan, lucu ketika melihat kawannya menyimak dengan saksama. “There’s this one big shot water company in Indonesia, claiming their water checks all the WHO standards. They've got these parameters keeping tabs on how much heavy metal can be in the tap water while still being safe to drink. It's called TDI—Tolerable Daily Intake. Supposedly, it's within the limits, like, a tiny bit of milligrams per liter content is considered cool for drinking. But truth is, sometimes you still get a sniff of chlorine. Personally, I find it a bit hard to drink. And don't even get me started on the potential for leaky pipes and other tech hiccups. So, most folks usually go for the trusty bottled water route.

Pembicaraan ini mengingatkannya akan rumah Kevin

Saat sedang duduk-duduk berdua dengan Nathaniel Wijaya—ayahnya Kevin—sembari bermain catur, beliau gemar berbagi kisah. Suatu hari, Pak Wijaya pernah bercerita soal rasa air keran di Sydney yang berbeda dengan di Jakarta. Malik selalu gemar bertanya dan Pak Wijaya senang menjawab. Dari beliau Malik belajar soal parameter TDI. Dari beliau Malik belajar soal proses instalasi pipa air, cara kerja tekanan air, cara kerja pemanas air, dan lain sebagainya. Beliau cukup paham dengan seluk-beluk hal-hal semacam itu.

Malik senang mengingat tentang apa yang beliau bagi dengannya, karena untuk sesaat saja, ia merasa seperti anak yang diceritakan tentang dunia oleh ayahnya yang seorang petualang. Pak Wijaya… pria yang hebat. Orang dewasa yang hebat. Pebisnis yang hebat.

Tapi, di atas segalanya, beliau ayah yang sangat hebat.

Untuk Kevin. 

Untuknya.

Malik?”

Lagi-lagi, panggilan Lukas buyarkan pikirannya. 

Selalu begini

Di tengah-tengah sedang beraktivitas normal, ada saja hal kecil yang memicu memorinya kembali ke Jakarta. Kepada Kevin. Karena dahulu Malik hanya mencintai Jakarta sebab ada Kevin di sana.

Malik sudah berkelana  sejauh ini.

Melupakan semua itu seharusnya mudah.

Oh.” Malik menutupinya dengan senyuman. “And what about you,” lanjutnya. “where did your whole sparkling water obsession come from? Perhaps another historical context at play?”

Lukas tertawa. “You’re annoying,” ucapnya, tahu Malik sedikit meledeknya, tapi Lukas tak benar-benar sebal. “That actually goes way back to the Roman era.

Damn. That far back?”

That far back.”

Karena terlalu asyik mengobrol, mereka tak sadar sudah sampai di gelateria. Mereka tak perlu berjalan terlalu jauh karena posisi kampus mereka cukup strategis. Di jantung Kota Oxford. Gelateria ini tempat yang direkomendasikan oleh salah satu kakak tingkat mereka; katanya, di sini hidden gem. Rasa es krimnya benar-benar otentik dan sorbet-nya paling luar biasa disantap saat musim panas. Suara sambutan ramah pegawai terdengar begitu Malik membuka pintu. 

Ada beberapa antrian sebelum akhirnya mereka sampai di kasir. Sebelum kemari, keduanya sudah memeriksa menu kedai ini di situs mereka, jadi tak perlu habiskan banyak waktu untuk memilih. Lukas memesan fragola sorbetto atau sorbet stroberi sementara Malik memesan menta e cioccolato atau gelato mint choco.

You… picked that unironically?” Lukas menganalisa gelato di tangan Malik.

Yup.” Malik menjawab enteng. Teringat ucapan Mami Shanon bahwa rasa es krim kesukaannya mirip rasa pasta gigi. Namun, meski berkata begitu, beliau selalu sengaja buatkan untuk Malik saat ia datang berkunjung. “Wanna try?”

Um. No, thanks.”

Go on.” Malik memulai ketika keduanya sudah duduk di salah satu bangku meja panjang. Duduk berseberangan. “What about that Roman era you mentioned earlier?"

So…” wajah Lukas seketika sumringah. “Since the Roman era, Germany has been renowned for its natural springs producing carbonated water. These springs are known for their unique mineral composition. The bubble wasn't as intense as the commercial sparkling water we've got nowadays, but some of those springs were considered to have health benefits. But back in the day, this water was a rare treat, saved for the rich.

Lukas mengambil jeda sembari menyuap gelatonya.

“It was in the 19th century that the mass production of carbonated water began. Specialized machines were developed to artificially carbonate water, and it was packaged in pressure-resistant glass bottles. This technological advancement made carbonated water more widely accessible to everyone.” Lukas menjelaskan lagi, senyumnya tak hilang ketika bercerita seolah benar-benar membuatnya senang. “Ever since then, anyone can savor the premium taste of pure spring water, a luxury once reserved for the wealthy. That's why most of us are hooked on carbonated water; it's become a tradition passed down through the ages. Even a staple beverage for many."

Malik menggumam atas itu, terkesan. Tak menyangka ternyata konteks sejarah dari sebuah minuman karbonasi rupanya begitu menarik. Apalagi disampaikan dengan antusias dan menyenangkan oleh Lukas seperti ini. Rasanya, Malik betah mendengarkan Lukas bicara soal berbagai hal yang tak ia ketahui sebelumnya berjam-jam lamanya.

That’s actually pretty cool,” angguk Malik. “A culture, indeed.”

It is.” Lukas mengangguk bersemangat.

Berteman dengan orang yang datang dari latar belakang dan budaya yang berbeda dengannya selalu menarik, karena Malik belajar banyak hal baru. Lukas lumayan menggemari trivia-trivia kehidupan seperti dirinya. Jadi, Malik bisa tanyakan hal seaneh apapun soal negaranya, dan di kebanyakan waktu, anak itu bisa menjawab (dengan sedikit terlalu antusias). Belum lagi Lukas sangat mudah diajak diskusi dan teredukasi akan banyak hal. Bahkan, mereka bercita-cita membuat publikasi bersama suatu hari nanti. Malik menyatakan keinginan kuatnya untuk suatu hari mengirim tulisannya ke Cherwell, ingin namanya terpampang di sana, dan Lukas berseru antusias; ‘I’ll help.’

Sejak dahulu, Malik tak butuh terlalu banyak teman. Terkadang, Malik hanya butuh satu. Yang mengerti dirinya melebihi siapa pun.

Seperti Lukas.

(Seperti Kevin, ada suara dalam kepalanya.)

Malik.”

Hm?

Christmas vacationyou heading home?”

Maksudnya, ke Indonesia.

Don’t think so.” Malik menjawab sembari menyuap gelatonya. “Planning to work my ass off instead. Heard the pay's better on Christmas.”

Where you crashing?”

Itu membuatnya terdiam.

Sebenarnya, Malik sudah merenungkan tentang liburan Natal untuk beberapa waktu. Asrama di kampus Oxford ditutup selama masa liburan. Kamar-kamarnya dipakai sebagai akomodasi tamu konferensi atau orang-orang yang datang untuk tes wawancara. Malik bisa saja tinggal dengan alasan akademik (ujian, penelitian, semacam itu), tapi kemungkinan ia akan dipindah-pindah cukup besar. Karena itu, liburan-liburan kemarin, Malik menumpang di tempat pamannya Harsa di London sembari bekerja sambilan. Tapi, tak mungkin kali ia merepotkan keluarga Harsa sekali lagi. Meski beliau berulang kali bilang tak apa-apa menginap di sana kapan pun Malik ingin. Malik masih sukar tidak merasa sungkan. 

Akan tetapi, Malik juga tak berniat sama sekali untuk pulang. 

Bukan apa-apa, Malik merasa ia belum siap pulang ke Indonesia. Hubungannya dengan Abi memang membaik selepas pidatonya tahun lalu. Ia juga sebenarnya rindu dengan Mas Raja. Tapi, Malik sudah berjuang keras untuk beradaptasi di sini. Meninggalkan semuanya di Indonesia. Ia tahu akan ada sesuatu yang goyah dalam dirinya apabila ia memutuskan untuk pulang. Ia tak ingin pulang.

Mungkin, Malik akan mencari akomodasi di luar kam—

You should come to Berlin,” tangan Lukas meraih tangannya dari seberang meja, sedikit tiba-tiba. “... with me.”

Mendengarnya, Malik tertawa sumbang. “Not again, Lu.”

Pasalnya, tahun kemarin ia sempat ke Berlin untuk waktu yang sangat singkat. Tiga atau empat hari, Malik tak terlalu ingat. Lukas saat itu mengajaknya supaya tinggal di rumahnya, tapi Malik menolak dengan sopan. Ia merasa masih kikuk, takut terlalu terikat dengan Lukas dan berakhir susah lepas lagi di kala mereka harus berpisah selepas wisuda.

Malik benci memikirkan tentang bagaimana sebuah pertemanan akan berakhir setiap kali ia menjalin hubungan baru. Malik benci berpikir seperti ini. Tapi, semua ini di luar kendalinya. Ia tak tahu bagaimana cara berhenti menarik dirinya menjauh ketika ia mulai merasa nyaman dengan keberadaan seseorang.

Why not? I always enjoy your company. I’m serious.” Seakan memberi penekanan, Lukas menggenggam tangannya lebih erat. Malik sedikit mengerutkan kening, karena—ya, mereka memang kawan. Tapi, mereka tak pernah berpegangan tangan seperti ini. “Rather than dealing with living costs alone in Oxford for weeks, it's way cheaper to hop over to Berlin. Not even £400 for a round trip. You won't even have to stress about accommodation and food. You can crash at my place for the entire holiday. Come to my place. Skip the hotels, stay at my place, with me.

Malik tak tahu harus menyahut apa. 

I think my family’s gonna love you.” Lukas berkata lagi, percaya diri. Ibu jari Lukas berikan elusan halus di atas punggung tangannya ketika tersenyum halus.  Membuat Malik sedikit kikuk. “And don't stress. I got your back. Won't let you confuse regular water with sparkling one. I can spot the difference—I'm a local, after all, basically a pro.”

Ucapan Lukas membuatnya tertawa. 

You gotta dive into more authentic German cuisines. My cooking didn't do it justice.”

Exactly. You’ve never done anything justice.

Smartass,” gerutunya, lalu tersenyum lagi. “Mom said she wanted to see you.”

Malik menghela napas, berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Bola mata kawannya yang melebar senang nyaris membuat Malik merasa bersalah.

Don’t fall for me.

Don’t fall for me.

Malik menjawab. “I’ll think about it.”

Lukas masih tersenyum, mengerti.

You’ll think about it.” Ulangnya, terdengar cukup puas. “Nice.”

Lukas, don’t ever fall for me.

  

____

  

SEPERTINYA, harapan Malik supaya sahabatnya tidak ‘jatuh’ padanya tak dikabulkan.

Malik perlahan menghafal polanya, karena tiga kali temannya jatuh hati padanya. 

Harsa, Nala, Kevin

Sulit tak menyadari bagaimana Lukas tersipu ketika Malik (secara platonik) memuji caranya menata rambutnya atau caranya berpakaian. Atau ketika Lukas mencuri pandangan ke arahnya sesekali. Atau ketika Lukas mencari kesempatan supaya dapat menggenggam tangannya walau sebentar saja. Atau ketika Lukas meninggalkan kantong berisi cokelat di depan pintu kamarnya dengan sticky note bertuliskan; good luck for today ;) 

Atau, ketika Lukas mengirim curhatan semi-anonim dengan inisial L.L. ke OxYou terkait dirinya yang kasmaran dengan sahabatnya sendiri dengan gaya menulis yang sangat Malik hafal (mereka terlalu sering membantu satu sama lain terkait tulisan masing-masing untuk Malik tak menyadari gaya menulisnya). Untungnya, tulisan Lukas tidak tembus seleksi. Malik hanya terpaksa tahu karena dia salah satu tim editorial Oxford Student. Malik menggeleng-geleng tak habis pikir.  

How obvious could he be?

Sejujurnya, itu menggemaskan.

Menggemaskan, andai saja setiap Malik mengunggah fotonya berdua dengan Lukas di akun Twitternya, Kevin tidak selalu rajin meninggalkan like. Kevin nyaris tak pernah lagi berinteraksi dengannya. Mereka kini hanya mutual yang saling mengawasi perkembangan hidup satu sama lain melalui linimasa. Tak berkomentar. Tak saling sapa. Akan tetapi, setiap Malik mengunggah fotonya dengan Lukas, Kevin tak pernah kelewatan untuk meninggalkan like. Satu-satunya jenis unggahan yang Kevin masih berikan interaksi.

Malik tak tahu mengapa Kevin melakukan itu padanya.

Berkat zona waktu, suatu hari Malik pernah sengaja mengaktivasi kembali akun privatnya saat GMT+7 sudah sangat larut. Hanya supaya ia tidak ketahuan aktifkan kembali akunnya saat Kevin masih daring. Akun yang dulu dibuatnya semata-mata untuk mengoceh kosong dan menandai Kevin di cuitan aneh yang lewat di lamannya supaya mereka bisa menertawainya bersama. Hanya Kevin pengikutnya, sebagaimana hanya Malik pengikut akun milik Kevin. Itu tadinya rahasia kecil menggemaskan di antara mereka berdua. Sampai Malik meninggalkan Kevin sendirian di sana dan tak pernah kembali.

Begitu Malik membuka akun kedua Kevin, ia langsung disambut dengan beberapa cuitan Kevin yang ditulis dengan sedikit typo. Bahwa Kevin tidak bisa bernapas. Bahwa Kevin berharap ia bisa menghantam kepalanya sendiri sampai berdarah agar ia lupa dengan segalanya. Bahwa Kevin tahu cuma dengan hilang ingatan, rasa sakitnya bisa sembuh.

Kevin menyematkan lagu 5 Seconds of Summer yang berjudul Amnesia di cuitannya dengan tautan Spotify, terpaut beberapa menit setelah terakhir kali Malik mengunggah fotonya dengan Lukas kemarin.

It hurts to know that you’re happy. It hurts that you moved on. 
It's like we never happened, was it just a lie?
If what we had was real, how could you be fine?
I wish that I could wake up with amnesia.

Malik bersumpah ia sedang di perpustakaan, di hadapan laptop dan iPad-nya. Tapi air matanya langsung tumpah melihat apa yang ada dalam kepala Kevin ketika meninggalkan like di unggahannya kemarin. Semakin menggulir ke bawah, Malik semakin tersadar bahwa Kevin tak pernah melupakannya. Atau sekadar berusaha. Tak pernah berhenti berduka atas kepergiannya. Tak pernah berhenti merindukannya. Tak pernah berhenti tersiksa.

Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak saat itu, bagaimana bisa Kevin masih begini merana?

Semua orang yang mencintainya sudah berakhir dengan orang lain dan hidup jauh lebih bahagia daripada saat bersamanya. 

Harsa dan Alen. 

Nala dan Mas Raja.

Apa-apaan dengan Kevin?

Kevin tidak membutuhkannya, tapi Kevin juga mempermainkannya. Di hari ketika Harsa bilang Kevin akan datang, tapi nyatanya ia tak pernah datang, membuatnya menunggu berjam-jam bersama Abi hingga larut malam—Malik kecewa setengah mati. 

Malik kecewa, tapi ia tahu ia tak punya hak untuk itu. Ia sendiri yang pergi meninggalkan Kevin, ia sendiri yang memutuskan hubungan mereka berdua. Malik merasa ia tak pantas untuk marah atau sekadar mendapatkan penjelasan mengapa Kevin berbohong apalagi menginginkan jalan yang berbeda untuk mereka berdua.

Kevin tak membutuhkannya, tapi Kevin juga tak membiarkannya bersama orang lain.

Kev, lu mau apa dari gua?

Lu mau apa dari gua.

Duka itu abstrak. Terpicu semaunya. 

Setahun ia baik-baik saja dan berhenti menangisi apa yang tak pernah dimaksudkan untuk dirinya, dan tiba-tiba saja, Malik kembali di sini

Di unggahan Kevin tahun 2022 ketika berkata apabila ia sangat mencintainya.

  

____

  

Malik.”

Hm?”

Have you, perhaps…” Lukas terdengar tak yakin, menatapnya dengan sorotnya yang sedih. Seperti anjing yang diusir. “...been avoiding me?”

Malik menyemburkan tawa. 

“Hah?”

Bukan ekspektasinya untuk dicegat Lukas ketika baru saja pulang dari ujian trimester. Lukas duduk bersila di dekat pintu kamarnya, seperti menunggu. Mau tidak mau, Malik mengizinkan kawannya masuk. Kini, lelaki itu duduk di sisi ranjangnya sementara Malik melepas jubah toganya, jas hitam, dasi kupu-kupu putih serta kacamata yang dikenakannya tadi selama ujian. Sedikit berusaha mengulur waktu. Ia punya firasat akan apa yang hendak Lukas katakan setelah ini, dan Malik tidak siap.

Don’t laugh. Please.” Lukas berujar lirih dengan senyuman murung di bibirnya. “I've really been... wondering if I did something wrong to you in the past week.

Lu—

I mean, if I did, I genuinely want to apologize.” Lukas cepat berkata, terlihat benar-benar terganggu. “Have I been making you uncomfortable, Mal? I know I might’ve been a bit out of line inviting you to my place, meeting my whole family. That... probably freaked you out, didn't it?"

No, it didn’t.” Malik menggeleng, merasa bersalah karena sudah membuat kawannya begini gelisah. “It's just... exam weeks, Lukas. My focus is solely on exams. I can't mess this up. I’m sorry for making you feel ignored. I really didn't mean that.

He did.

He meant that.

Malik harap ia bisa pulih dari tendensinya untuk menjauh ketika diberi afeksi. Harus disukai sahabat sendiri untuk keempat kalinya membuatnya sedikit trauma. Apalagi, harus menemukan cuitan Kevin di akun pribadinya yang tampak begitu hancur setiap kali Malik mengunggah fotonya berdua dengan Lukas. Malik merasa serba salah. Ia tak tahu harus bagaimana. Karena itu, Malik berusaha menghindar sampai ia tahu apa solusinya.

Akan tetapi, sepertinya Malik tak bisa menghindar lagi.

Ia harus menghadapinya sekarang

Malik menempatkan dirinya di ruang sebelah Lukas, di sisi ranjangnya, lutut mereka bersentuhan. Jemarinya melepaskan dua kancing teratas dress shirt-nya, berharap bisa bernapas lebih mudah. Ia menghela napas pelan.

Lukas terdengar tak yakin. “Yeah?”

Yeah, silly. Why would I do that to you?

I’m just…” Lukas mengedikkan bahunya. “This is stupid. Sorry.”

It’s not.” Malik membantah. “Tell me?”

Lukas menghela napas, terdengar kikuk. 

It’s just—I really enjoy your company.” Akunya, suaranya kecil. Malik menunggu dengan sabar. "I have a friend in the same class who's also German, but I'd rather hang out with you. You're fun. You know a lot of stuff. You're always passionate. You find humor in everything. Always down for whatever. I like the way you talk and the way you think. I've even filled Mom in on you."

Malik merasa ia tahu ke mana arah pembicaraan ini. 

That’s very nice of you. I enjoy our company too,” jawabnya, tersenyum. “You’re really inspiring for me too.

Lukas terdengar sedikit frustrasi.

Malik.”

Yes?”

I know you’re not stupid.”

What do you mean?”

You know exactly how I feel about you.” Lukas berkata, lugas. “I’m not stupid too, you know.”

Terkadang, Malik lupa bahwa ia sudah bukan anak sekolah yang gemar melempar kode tanpa mengatakan apa-apa. Seharusnya, Malik tahu begini ia akan dikonfrontasi. Lukas bukan Kevin yang bertahan dengan semua kode-kode dan akal-akalan yang dibuatnya dan tetap menantinya dengan sabar.

Malik, every hint I threw, it was on purpose. I wanted you to get it. And I know you did. You're so damn smart; you don't need a ton of clues to piece it all together.” Lukas mengatakan semua itu sambil menunduk, tak berani menatap Malik di wajahnya. “I thought we've been flirting all this time. That you were flirting back. But maybe it's just in my head. Because sometimes I feel you responding, but other times you're acting like this. Pulling away. Acting like I wasn’t even there. Scared the shit out of me."

Malik tak tahu harus menjawab apa.

I'm sorry if I got it all wrong and freaked you out.” Lukas menggigit bibirnya, benar-benar sedih. “I just came here to get that off my chest.

“Lukas, wait.”

Malik menahan pergelangan tangan Lukas sebelum lelaki itu beranjak. Saat akhirnya tatapan mereka bertemu, Malik bisa melihat kantung mata kentara di raut kawannya. Wajahnya capek dan sedih. Itu sedikit membuatnya tidak tega.

I… didn’t freak out.” Malik mengucapkannya dalam sekali napas. “You’re right. I know how you feel about me. I don’t know how to act, yes. Freak out? Absolutely not.”

Mendengar jawaban Malik, Lukas duduk kembali. 

You… weren’t freaking out?”

Of course not. It needs a lot more than that to actually freeze my brain.” Malik bergurau. Lukas sedikit tersenyum mendengarnya. “The problem's on my end. Lu, I think I'm not completely over my last ex. I don't even know if I can call that person an ex or not. But we just... kinda had a thing. A very special thing.

Lukas terdiam. Sejak keduanya saling mengenal, baru kali ini Malik membahas tentang kehidupan romansanya. Lukas tahu Malik cukup populer dilihat dari audiensnya di media sosial. Namun, Malik selama ini cuma fokus pada akademik. Lukas tahu karena mereka senantiasa bersama ke mana pun itu. Ketika seringkali didekati baik perempuan maupun lelaki yang terlihat jelas-jelas tertarik padanya secara romantis pun, Malik tak terlalu banyak merespon. Siapa sangka rupanya Malik punya seseorang di masa lalunya?

Is that person a he or a she? Or a they, perhaps?

Malik tersenyum. “Why do you wanna know?”

“Just tell me.”

A he.”

Is he hot?”

Sepasang mata Malik membelalak. “Hey.”

That's a crucial question.” Lukas memberi justifikasi, tatapan usilnya kembali. “My ego would take a hit if I found out I'm cockblocked by someone who isn’t that hot. I'm tall, I'm in Oxford, I'm in one of the best boat clubs around, tatted, and let’s be real, I’m pretty hot. At least, your last... um, situationship needs to be half as good as me.”

Malik tergelak mendengar Lukas menyebut hubungannya dan Kevin dulu ‘situationship’. Mungkin, itu ada benarnya.

Well, he plays basketball, and he’s the captain.” Malik tersenyum. “Used to be a class president, too. For a whole three years. Also, part of the student council for two years.

Good. At least he’s not a loser.”

“He isn’t.”

Who’s taller between me and him?”

You. But he’s in the perfect height for giving me a forehead kiss.

I will combat him in a sword fight, actually.

Oh, and he has cute little dimples, too.” Malik mengenang, separuh tertawa melihat Lukas yang berimajinasi ingin berkelahi dengan orang itu. “Cries a little too easily too.”

I can shed actual tears like ten times a day, especially when tackling essays. Am I your type too, then?” Lukas menggodanya separuh tergelak. Entah mengapa, kini suasananya lebih ringan. Mungkin, karena Lukas, mungkin karena mereka berdua teman, mungkin karena mereka sudah cukup dewasa. “Want me to ditch the boat club and join the campus basketball team? Just say the word, Laksamana, I’ll do it.”

Malik tertawa. “Goofy.”

Kemudian, Malik merebahkan tubuhnya di kasur, menghadap langit-langit. Lukas ikut berbaring di sampingnya. Kaki mereka yang panjang bergantungan di sisi ranjang.

Malik.

Hm?

Does he still love you?”

Pertanyaan Lukas sederhana, tapi membawanya pada memori lama yang susah payah Malik kurung dalam boks kecil di kepalanya yang mati-matian ia pendam. 

Ingatan ketika Kevin mencium jemarinya dengan lambat di atas cincin permen yupi yang dipakainya. Ingatan ketika Kevin menaikkan selimutnya saat ia tertidur di jok belakang mobilnya. Ingatan ketika Kevin menggigit bibirnya yang gemetar sambil membisik; ‘Mal, gue sayang lu—gue sayang banget sama lu,’ ketika mereka kedinginan di mobil, berdua, enggan untuk terlelap. Ingatan ketika Kevin mencium bekas jahitan luka di perutnya sembari menghujaninya dengan sanjungan dan pemujaan. Ingatan ketika Kevin mengemis padanya supaya ia tak mengakhiri hubungan mereka. Semuanya meledak di kepalanya, seperti kotak pandora yang ditarik pemicunya saat Malik sedang lengah.

Yeah.” Malik selalu tahu. “I think he does.”

Semua racauan pribadi Kevin di akun rahasianya. Semua notifikasi chat dadakan Kevin yang datang sesekali, sekadar basa-basi. Memberitahunya untuk menjaga diri setelah melihat berita tertentu yang terjadi di Inggris, dan di kebanyakan waktu, Malik cuma balas seadanya. Kevin yang tak pernah dekat dengan siapa-siapa lagi setelah dirinya.

I think he still loves me.”

How about you?”

What?”

Do you still love him?”

Do you still love him?

Menggema di kepalanya.

Do I? Do I not?

Malik terdiam. Tak tahu apa jawabannya. 

Do I still love him? 

Malik akan selalu peduli dan menyayangi Kevin, karena Kevin orang yang sangat berarti baginya, terlepas bagaimana kisah mereka berakhir. Tapi, apa ia masih mencintai Kevin? Apa caranya mencintai Malik pantas disejajarkan dengan cara Kevin mencintainya? Apa perasaannya yang seperti ini pantas disebut cinta?

Malik tidak tahu.

Malik selalu merasa seperti hati yang gersang, jika dibandingkan dengan hati Kevin yang lapang dan ditumbuhi seribu macam bunga dan pepohonan. Apabila sepetak ruang di dada tubuh manusia adalah rumah, Kevin punya tulang rusuk yang kokoh dan kuat. Mampu melindungi siapa pun di dalamnya dari terik panas dan deras hujan. Sementara Malik punya rusuk yang patah. Terlalu banyak menjadi tameng amarah dari dalam rumahnya sendiri, dari hatinya, daripada bencana yang datang dari luar. Rusuknya ia pakai untuk melindungi orang-orang di sekitarnya supaya tak terkena ledakan dari dalam rumahnya. Kevin yang baik hati tak pantas tinggal di atapnya yang sudah rusak.

Rumahnya yang tak layak huni.

 “No.” 

Malik menjawab. 

I don’t.”

Lukas tak menyahut. Hanya diam sembari meraih tangan Malik yang berbaring di sampingnya. Menggenggamnya tanpa tenaga. Malik membalas genggamannya. 

Malik.” Lukas berkata sembari menatap langit-langit juga. Ia tidak bodoh. Ia tahu hati kawannya masih terisi, dan tak ada tempat untuknya singgah, setidaknya untuk saat ini. “Treat me at Sticks’n’Sushi.

Malik mendengus, separuh tertawa. “Do I look like I have money?”

That’s the least you can do,” Lukas merajuk, ikut tertawa. “... for breaking my heart.”

Malik menghela napas, lalu beranjak dari kasurnya. Menoleh dari posisi duduknya ke arah kawannya. Mengedikkan dagunya ke luar sambil tersenyum.

Alright. Let’s go, then.” Malik tersenyum. “Just don’t pick the expensive ones, or we’ll end up cleaning dishes."

Senyum Lukas melebar. “Lead the way, boss.”

Meski begitu, Lukas tahu ia akan tetap menyayangi Malik yang seperti ini. 

  

____

   

Sekarang, opsi ke Jerman sudah tidak ada, Malik berniat mengirim pesan pada paman Harsa untuk mengizinkannya tinggal di London di liburan tahun ini juga. Hingga, malam itu Malik menerima dua pesan hampir secara berbarengan.

Satu dari Mas Raja.

Satu dari Alen.


 

4 notifications

Mas Raja: Aksa, akhir tahun pulang, ya? Kangen.

Mas Raja: Uang pesawat sudah dikirim. Pulang, ya?

Alen: malmal, rote yuk :( 

Alen: kevin ga ikut. aman. 

 

 

[]

 

 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
ArcaneMalikevin
Selanjutnya ACT II: REUNION
123
4
Di atas ranjang yang mereka bagi bersama, Malik dan Kevin mengenang kisah lama di balik kamuflase retorika. Sejatinya, tak satu pun dari keduanya pernah lupa.(Cara akses konten: Tutorial.)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan