πŸ”žOh My CEO BAB 1-5 free

2
0
Deskripsi

BAB 1-5

Sama dengan yang ada di akun reistya 

Tak percaya pada pernikahan tapi, Restu Kanaya Putri gadis bertubuh tambun itu ingin sekali memiliki anak. Bekerja sebagai penjaga bayi besar Alvian Saga Majendra sahabat yang juga atasannya. Buat ia memberanikan diri untuk meminta pria pucat itu menghamilinya.

"Lo mau hamilin gue Ga?"

Saga menoleh cepat, mendekatkan telinganya ke wajah Reres coba dengar kembali apa yang sahabatnya itu katakan. "Ulangin."

"Hamilin gue Ga." Reres mengulangi dengan yakin...

Bab 1. Permintaan Reres 

Sebuah rumah mewah dengan pilar-pilar besar yang menunjukkan kemegahannya, gorden-gorden rumah panjang menambah kesan mewah, lampu kristal di ruang tengah mengukuhkan kalau pemiliknya jelas bukan orang sembarangan. Rumah milik keluarga Majendra, pemilik salah satu ekspedisi dan juga beberapa resort yang tersebar di seluruh Indonesia.

Reres dan Saga tengah duduk di taman belakang rumah Saga. Taman itu dihiasi bebungaan yang dirawat dengan baik oleh ibu Saga, di sisi kanan ada sebuah pendopo kecil dan ayunan besi yang lama tak digunakan. Dulu Saga senang bermain ayunan di saat hujan bersama Reres saat mereka masih kecil. Sebenarnya ayunan itu ingin disingkirkan oleh Nindi. Hanya saja, Saga melarang sang mami untuk membuang ayunan itu. Bukan hanya kenangannya bersama Reres, tapi juga karena ayunan itu adalah hadiah dari sang ayah dulu saat ia masih kecil.

Sudah pukul sebelas malam, keduanya belum tidur dan sibuk menghabiskan waktu dengan menikmati teh manis hangat dan mengobrol.

Sejak kecil gadis bertubuh tambun itu tinggal di rumah keluarga Saga bersama sang nenek. Terpaksa mengikuti jejak sang nenek menjadi pelayan di rumah itu karena kedua orang tuanya yang tewas dalam kecelakaan buat Reres harus membantu sang nenek menjaga Saga dan mengatur semua kebutuhan anak dari majikan Mbok Yah, nenek Reres yang kini telah tiada.

"Gue bosan sendiri," ucap Reres buat Saga menoleh.

"Kan berdua sama gue," sahut Saga sambil cengengesan.

Reres menoleh, menatap pada Saga yang tunjukan senyum manis dengan susunan gigi rapi layaknya anak kucing. "Justru itu gue bosan sama kegiatan gue sama lo. Setiap hari lo lagi, lo lagi."

"Nikah, kalau gitu biar enggak sendiri. Kalau bobo ada yang nemenin." Saga berucap sambil menatap ke arah taman seraya menyeruput teh manis miliknya.

"Lo 'kan tau, gue enggak mau nikah. Apa sih untungnya sebuah pernikahan untuk perempuan? Enggak ada, punya anak urus ini itu, gue mau bebas." Reres terhenti meneguk tehnya hingga habis lalu meletakan gelas dengan sedikit keras. "Ya, kalau gue nikah dan urus ini dan itu sama aja kaya kerjaan gue di sini."

Saga terdiam sejujurnya ia sedikit merasa bersalah karena memang paham dan mengerti betul sejak kecil Reres hidup untuk menjaga dan merawatnya. Dan ia juga sudah bergantung pada gadis yang kini duduk sambil memejamkan mata.

"Lo ngantuk?" tanya Saga.

Reres gelengkan kepala, kembali membuka mata dan menatap Saga. "Gue cari inspirasi."

"Yaudah lanjut."

Saga diam menatap pada langit tanpa bintang. Ibu kota penuh dengan polusi nampaknya itu yang buat ia bahkan tak bisa melihat bintang malam. Sudah dua puluh delapan tahun usianya kini, hobinya masih sama bergonta-ganti kekasih hanya untuk kesenangannya di ranjang. Saga suka kenikmatan itu, buat ia puaskan hasrat dan luapkan lelah atas rutinitas kerja. Ya, meski jelas terdengar seperti sebuah alasan. Meski begitu Saga pantang melakukan hubungan dengan seorang gadis yang masih menjaga kesuciannya. Semua gadis yang ia tiduri diketahui bukan gadis yang polos lagi. Dan tentu saja ia selalu menggunakan pengaman dalam berhubungan karena tak ingin salah satu dari wanita itu tiba-tiba meminta pertanggungjawaban karena mengandung benihnya.

"Lo mau hamilin gue Ga?"

Saga menoleh cepat, mendekatkan telinganya ke wajah Reres coba dengar kembali apa yang sahabatnya itu katakan. "Ulangin."

"Hamilin gue Ga." Reres mengulangi dengan yakin buat Saga menatapnya.

"Gue sih oke-oke aja masalah hamil mengha-" Saga terhenti saat Reres meletakkan telunjuknya ke bibir.

Reres lalu berdiri ia mengajak Saga berjalan menuju kamarnya agar pembicaraan mereka lebih tenang. Keduanya berjalan seperti biasa menuju kamar Saga. Di rumah itu cukup banyak pengawal, penjaga juga pengawas yang mengawasi di ruang CCTV. Ada Saga dan Nindi ibu dari Saga yang tinggal di rumah itu. Hingga tak mungkin membicarakan hal ini di ruang terbuka seperti taman belakang. Reres takut jika ada yang mendengar karena tembok di rumah Saga pun punya telinga.

Mereka sampai di kamar Saga, kamar yang besar dengan desain minimalis di dominasi warna putih dan abu-abu. Reres duduk di tempat tidur di sampingnya Saga merebahkan tubuhnya.

"Lo serius mau gue hamilin?" tanya Saga.

Reres mengangguk. "Gue mau punya anak biar enggak bosan."

Saga kembali duduk lalu terkekeh. "Orang gabut itu jalan-jalan, makan atau apa gitu."

"Oiya, lo pasti enggak mau sama gue secara gue kan gembrot."

Reres sadar diri dirinya tak secantik Aira, Vinny atau Lauren atau gadis lain yang selama ini dekat dengan Saga. Mereka memang standar kecantikan yang jelas berbeda dengan Reres si gadis tambun. Kekasih Saga atau wanita yang pernah bergumul dengan sahabatnya itu memiliki tubuh dan wajah yang sempurna. Jelas Reres merasa jika ia tak pantas disandingkan dengan gadis-gadis itu.

"No, serius, bukan itu masalahnya. Buat gue yang penting burung gue bisa bersarang dengan baik sih," sahut Saga serius.

Dan apa yang dikatakan Saga buat Reres membuka matanya lebar-lebar karena cukup terkejut dengan apa yang dikatakan Saga barusan. "Gimana, gimana?"

Saga melirik bagian intim tubuhnya. "Burung gue," katanya lagi menekankan.

Apa yang dilakukan Saga buat Reres ikut menatap apa yang tadi di perhatikan sahabatnya itu. Memerhatikan itu buat Saga terkekeh, lalu mendorong wajah Reres dengan tangannya.

"Mesum banget muka lo." Saga meledek Reres.

Reres gelengkan kepala coba tak memikirkan apapun. Termasuk bagaimana ia membayangkan bentuk-bentuk burung dalam pikirannya. "Jadi lo mau enggak?"

Saga menatap Reres serius, ia coba cari keseriusan dari permintaan sahabatnya barusan. Karena ia tau betul Reres belum pernah melakukan hubungan ranjang. Dan ia tak ingin merusak sahabatnya sendiri meski ia pernah menawarkan diri saat Reres mengatakan ia ingin memiliki anak.

"Lo harus yakin dulu, jujur sih ini new experience juga buat gue merawanin perempuan."

"Gue serius mau punya anak. Kalau lo enggak mau gue ijin ke Bali cari bule buat ONS."

"Anjir! Gue mau lah! Masa Saga enggak mau diajak bobo cantik. Kita ke Bali, gue bakal kasih pengalaman bulan madu yang menyenangkan buat lo. Ya, karena lo sahabat gue jadi .., gue bakal treatment sebaik mungkin." Saga kembali merebahkan tubuh tangannya menjulur, Reres segera menggenggam tangan sahabatnya itu Saga membawa genggaman tangan itu ke dekap dadanya. "Temenin gue sebentar sampai tidur."

Reres mengangguk meski Saga tak melihat. Hari ini pekerjaannya mendapatkan kabar buruk, ada kecelakaan truk di salah satu cabang ekspedisi di Bandung. Itu yang sebabkan perasaan Saga sedikit berantakan. Sejak dulu Reres yang bisa menenangkan Saga. Gadis itu bersenandung menemani Saga hingga pria pucat itu memejamkan mata.

Bab 2. Kegiatan Malam 

Saga pagi ini masih menyempatkan diri ke kantor bersama Reres yang seperti biasa duduk di sofa memerhatikannya. Tak ada yang Reres lakukan selain menemani Saga, sesekali memainkan ponsel dan membaca buku.

Sejak SMA, Reres mengurus Saga di rumah. Bahkan sampai urusan makan siang. Waktu Saga kuliah, Reres sering datang untuk sekadar membawakan bekal atau benda-benda milik atasannya yang tertinggal di rumah. Hingga teman-teman kampus Saga memanggil gadis itu, baby sitter-nya. Namun, seperti biasa Reres bukan orang yang terlalu mempedulikan apa kata orang. Ia cenderung cuek, hanya sesekali merasa tak percaya diri.

Pagi tadi, keduanya telah mempersiapkan pakaian yang akan mereka bawa sebagai persiapan seminggu di Bali. Siang nanti keduanya akan berangkat untuk memenuhi keinginan Reres.

Saga masih sibuk dengan dokumen-dokumen yang masuk, menumpuk di meja kerjanya yang kini tengah ia tandatangani satu per satu. Ia terlihat berbeda ketika berada di perusahaan. Berwibawa, tegas dan dingin. Ia melirik Reres yang kini terlihat resah, kemudian kembali membaca dokumen di hadapannya.

"Mumpung kita belum berangkat, gue tanya lagi … lo yakin?"

Reres menatap Saga kemudian mengangguk. "Yakin."

Saga mengambil ponsel, lalu menghubungi Haris, sekretaris dan juga orang kepercayaannya. Meminta pria itu datang ke ruangan untuk menitipkan kantor selama ia berada di Bali. Haris sudah bekerja sejak Saga menjabat sebagai CEO Candramawa, dan berlangsung hingga saat ini. Yang Saga ketahui Haris memang dipilih oleh sang ibu karena ayah dari pria itu sebelumnya adalah orang kepercayaan perusahaan.

Pintu diketuk, sang atasan mempersilakan masuk. Haris pun berjalan masuk. Jika diperhatikan Haris begitu menawan dengan garis mata tegas, memiliki lesung tipis di kedua pipi, alis tebal, rahang yang tegas dan bahu yang lebar. Pria itu berjalan mendekat pada meja kerja Saga seraya melirik sekilas pada Reres yang tersenyum padanya membuat ia tersenyum tipis.

"Ris, tolong saya untuk urus semua keperluan perusahaan seminggu kedepan. Hari kamis ada rapat dewan, tolong batalkan." Saga memberi perintah sambil membereskan dokumen yang telah selesai ia tandatangani.

"Loh, memang ada apa, Pak?" Haris bertanya heran. Tumben sekali Saga memintanya mengurus semua, padahal tak ada rencana sebelumnya. Ini terlalu mendadak, pikirnya.

"Saya mau ke Bali. Ada urusan penting, mendesak, serius dan harus disegerakan," jawab Saga sambil melirik cepat ke arah Reres yang memilih memalingkan wajah.

"Sama Reres?" tanya Haris lagi sambil menoleh ke arah Reres.

Pertanyaan itu mendapat anggukan kepala dari Saga. "Iya, tentu. Saya percayakan semua padamu." Saga kemudian berdiri, membawa dokumen-dokumen di tangannya, lalu menyerahkan pada sang tangan kanan.

"Saya bisa hubungi Bapak 'kan kalau ada sesuatu?"

Saga berjalan ke luar ruangan, diikuti Reres di samping Haris yang tampak benar-benar bingung. Sang CEO berkulit putih itu lalu menjawab pertanyaan orang kepercayaannya. "Enggak, saya enggak mau dihubungi seminggu ini."

"Loh, kalau direksi minta rapat tetap berjalan?" Haris bingung dengan kelakuan Saga yang kali ini benar-benar mendadak.

Langkah Saga terhenti, menatap Haris yang berjalan di belakangnya. "Saya akan hubungi mereka dalam perjalanan. Saya pastikan rapat hari kamis lusa batal."

"Tapiβ€”"

Saga mendekat cepat, menutup bibir Haris dengan telunjuk kanannya. "Cukup, enough." Saga berucap dengan nada yang dibuat-buat dan itu membuat Reres terkekeh.

Saga melepaskan jarinya dari bibir Haris membuat pria itu mengusap bibirnya cepat. Reres berjalan mengikuti langkah Saga, kemudian menoleh dan melambaikan tangan sebagai perpisahan pada Haris yang tersenyum sambil ikut melambaikan tangan.

***

Reres dan Saga kini berada di hotel. Seperti biasa, Saga memesan president suite room. Reres ingin duduk di sofa sebelum Saga menarik dan mengajaknya ke dalam kamar.

"Gue di sini aβ€”"

"Kita ke kamar," ajak Saga dengan nada serius.

Reres menurut, melangkahkan kaki dengan sedikit berat, membayangkan kejadian apa yang mungkin akan ia alami bersama Saga. Reres sering mendengar desahan-desahan setiap kali Saga sibuk bergumul di ranjang bersama para gadisnya. Namun, kali ini ia yang akan melakukan itu bersama Saga. Belum dimulai jantungnya sudah berdetak cepat, saat Saga menggandeng tangannya membawa ke dalam kamar.

"Duduk," ucap Saga, mempersilakan gadis tambun itu duduk di tempat tidur saat melihat Reres yang berdiri mematung.

Pria itu bahkan memperlakukan Reres dengan baik, merapikan koper milik bawahannya itu. Lalu kembali dengan membawa dua air mineral dingin, dia pun duduk di samping Reres.

"Jadi, gimana rencananya?" Saga bertanya, mungkin saja Reres telah memikirkan sesuatu untuk mereka berdua.

Pertanyaan itu membuat Reres terdiam. Apa yang harus ia rencanakan? Bukannya ia bodoh dan tak mengetahui bagaimana cara membuat bayi. Hanya saja secara pengalaman, ia sama sekali tak mengetahui. Semua sumber ilmu dan informasi berdasarkan artikel dan buku yang ia baca. Bergumul di ranjang? Pacaran atau disentuh pria lain saja ia sama sekali tak pernah merasakan itu. Hanya saja yang pernah ia peluk dan genggam tangannya bukan dengan perasaan cinta, melainkan hanya sebatas tugasnya.

"OK, kalau lo diem berarti memang enggak ada rencana. Kita istirahat, anggap aja hari bulan madu kita." Saga menoleh, menatap Reres kemudian. "Lo udah pernah ciuman?"

Gadis itu menggeleng. "Lo mau pesan makanan?"

"Aish, lupain peran lo sebagai baby sitter gue. Lo harus bersikap kaya Vinny atau Lauren. Supaya kita ada chemistry-nya."

"Gue mana bisa, sih, Ga?"

Saga lalu mengambil ponsel, membuka web untuk mencari sesuatu. Ia mengetikkan tulisan 'cara membangun chemistry antara suami istri'.

"Kenapa suami istri?" tanya Reres bingung.

"Kan, kita mau punya baby. Anggap aja kita suami istri biar terasa tanpa beban. Nih, ketemu satu, katanya bepergian ke tempat asing. Ini kita udah lakuin. Terus yang kedua gandengan tangan." Saga terhenti, lalu mengulurkan tangannya. Reres refleks menggandeng tangan Saga.

"Tapi, lo kan udah pengalaman sama cewek, Ga?" Reres buka suara. Ia berpikir bukankah Saga sudah berpengalaman, lalu mengapa ia bersusah payah untuk mencari segala hal yang dibutuhkan di internet?

Saga menatap Reres. "Masalahnya gue kan sama lo, bukan sama yang lain. Lo enggak ada rasa ke gue, gue juga enggak ada rasa ke lo. Kalau yang lain kan gue sama-sama punya ketertarikan dan memang mau saling memuaskan. Lo aja gue tanya ada rencana, malah diem. Lo sahabat gue, udah gue bilang mau treatment lo dengan baik."

"Gue enggak menarik, ya?" tanya Reres lagi.

"Buat gue, yang penting sarang buat burung gue. Udah diem," ketus Saga, lalu kembali membaca artikel di tangannya. "Poin ketiga nih, berciuman. Lo udah pernah ciuman?" tanya Saga, yang dijawab gelengan kepala oleh Reres.

"Kok bisa?! Lo, kan, udah 24 tahun?!"

"Ya, gimana, emang belum pernah."

"Kalau gitu sini gue cium."

"Yaudah, ini." Reres malah memajukan bibirnya dan membuat Saga tertawa.

"Diem aja. Liat gue, biar gue yang mulai."

Saga menatap Reres, mata keduanya bertaut. Gadis itu tak tahu apa yang terjadi, saat ini jantungnya berdebar kencang, napasnya tertahan saat pria di hadapannya memegang pinggang membuat darahnya berdesir perlahan. Ini pertama kali tubuhnya dipegang seorang pria. Tatapannya semakin fokus pada Saga yang bahkan belum bergerak mendekatkan wajah mereka. Reres tahan napas, saat itu Saga segera mencium bibir Reres. Perlahan lalu naik temponya seiring jantungnya yang seolah dipaksa berdetak semakin kencang. Tangan saga bergerak mengusap punggung Reres. Entah apa yang terjadi, tapi ia menikmati apa yang dilakukan pria di hadapannya.

Saga lalu melepaskan cumbuan, menatap Reres yang masih memejamkan mata. Ia tersenyum singkat, sudah banyak hal yang ia rencanakan di dalam kepala untuk memberi pengalaman luar biasa pada gadis itu. 
 

Bab 3. Proses pembuatan 

Malam hari, Saga baru saja selesai mandi dan rebah dengan menggunakan handuk kimono. Keduanya baru saja selesai makan malam dan Saga meminta Reres mandi sebelum mereka memulai inti keberangkatan mereka ke Bali. Reres telah selesai mandi, ia juga hanya mengenakan handuk kimono. Gadis itu berjalan perlahan mendekati Saga, langkahnya terhenti saat Saga menunjuknya.

"Lo enggak pakai baju 'kan?"

Reres mengangguk. "Kata lo jangan pakai baju."

"Hehehe, good. Sini, sini, polos banget sih lo." Saga meminta Reres mendekat sambil menepuk-nepuk tempat tidur di sampingnya.

Reres mendekat, lalu duduk di samping Saga. Saga segera mengambil tangan Reres dan menggenggamnya. Saga memang selama ini tak merasa menyukai Reres, baginya gadis itu hanya sahabat terbaik dan juga penolong untuknya. Dan kali ini anggap saja sebagai sebuah ungkapan terima kasih karena Reres telah banyak membantu meski ia juga menikmati hal ini.

Saga duduk mendekat menyebabkan kedua kaki mereka saling menggesek. Kemudian pria itu dekati dan kecupi telinga Reres, membuat gadis itu sedikit menggelinjang. Tak pernah disentuh rasanya membuat Reres cepat larut dalam birahi yang selama ini sering kali muncul dan ia tahan. Sentuhan tangan Saga perlahan menjalar. Pria itu jelas bukan pemula dalam hal ini. Apa yang dilakukan membuat tangan lawannya keras mencengkram selimut.

Reres buka mata, napasnya berat. "Ga."

"Hm?" sahut pria itu lembut, tak ingin Reres menghentikan kegiatan, lalu menghapus napsunya yang mulai naik. Saga dengan cepat cium, kecup hingga gigit lembut bibir wanitanya. Perlahan tangan pria itu coba buka kimono yang dikenakan Reres. Namun, Reres menahan, ia masih takut.

"Sakit, kan, Ga?"

"Tapi enak," jawab Saga cepat.

"Aish, serius."

"Serius gue. Tanya aja Vinny sama Lauren kenapa mereka jerit-jerit kalau main sama gue. Lo mau punya baby enggak?"

Reres mengangguk.

"Kalau gitu diem, ikutin aja."

Perintah Saga lagi-lagi Reres hanya mengangguk. Saga mulai membuka penutup tubuh gadis itu, Reres coba tak menahan apa yang akan dilakukan Saga meski rasa malu merambat cepat membuat wajahnya memerah. Lamat-lamat Saga jalari, ciumi, kecup dan gigit penuh goda pada sisi-sisi tubuh Reres yang mulai menuntut lebih. Saga mengerti, yang terpenting adalah segalanya harus siap sebelum ia mulai permainan keduanya.

Yang dilakukan pria pucat itu, seketika darah Reres berdesir hebat hingga aliran darahnya seolah menjadi lancar membuat wajahnya bersemu. Gadis itu tak banyak mendominasi, hanya merasakan stimulus yang diberikan dan merangsang tubuhnya. Nadinya berlari, bibirnya melenguh dan mendesah, dadanya membusung, sampai ia rebah dan lelah oleh apa yang dilakukan pria yang kini mendominasi dirinya. Sebuah cengkraman keras pada selimut menjadi tanda betapa ia telah sampai pada akhir dari permainan pertamanya.

Saga terus gumuli, nikmati hasrat pertamanya dengan gadis yang baru pertama kali merasakan sensasi ranjang. Ia puas mengetahui bahwa kali ini mendapati sebuah segel yang akhirnya harus ia terobos masuk. Pria itu mengerti caranya berhenti dan kembali bergerak. Dinding dan langit-langit kamar yang bisu menjadi saksi betapa keduanya berpeluh, lalu berseru. Detik jam bahkan kini tak terdengar karena keduanya sama-sama meracau, larut dalam telaga nikmat yang mereka buat. Bunga mawar telah merekah dan dipetik oleh pemilik taman. Setelah puas dan tamat, keduanya rebah lalu lelap.

Malam dingin saat hujan datang seolah kembali meriuhkan suasana yang hening. Reres rebah dengan mata terpejam, rasanya ia sudah terlelap. Sementara Saga masih lelah, dadanya naik turun saat ia atur napas lalu melirik sahabatnya yang tertidur. Pria itu merapikan selimut yang berantakan, juga rambut Reres yang tutupi bulu mata lentiknya.

Saga sentuh dadanya yang berdebar. "Cuma temen," ucapnya, yakinkan diri sendiri bahwa tak ada rasa selain persahabatan meski pergumulan barusan.

***

Reres duduk di toilet, merasakan perih di bagian intimnya. "Saga sialan," umpatnya kesal.

Pasalnya, subuh tadi pria itu gagahi lagi Reres dengan alasan jika ingin cepat punya anak, mereka harus melakukan berkali-kali.

"Buruan keluar! Ini makanannya gue bawa ke kamar!" Saga berteriak dari luar, pagi ini. Ia tahu Reres tak bisa ke luar kamar. Waktu bangun tidur, gadis itu sudah mengeluh, merasa sakit.

"Sakit Saga!"

"Tapi enak 'kan?!"

"Kepalamu!" kesal Reres.

Tok tok tok.

Suara ketukan pintu terdengar, siapa lagi pelakunya jika bukan Saga yang kini berdiri di depan pintu sambil mengunyah kerupuk udang.

"Buka pintunya," perintah Saga.

"Enggak, gue malu!" Reres berteriak sambil memeluk erat kimono yang ia kenakan.

"Ngapain Malu? Gue udah lihat semua. Selulit lo juga, gue udah liat. Coba itu, lo buat kerannya jadi air hangat, lo siram pelan-pelan. Air hangat mengurangi rasa perih."

"Iya. Yaudah, lo ke tempat tidur aja sana."

"Oke, gue tunggu, ya. Kita sarapan, hm?"

Reres melakukan apa yang dikatakan Saga. Ia berjalan ke shower, lalu menyiram bagian tubuhnya yang perih dengan air hangat dan memang itu mengurangi perih yang ia rasakan. Setelahnya, ia berpakaian meski masih merasa sedikit tak nyaman. Kemudian Reres berjalan ke luar kamar mandi, mendekati Saga yang melirik sambil sibuk mengunyah buah jeruk. Reres duduk dengan rambut yang masih basah, mengenakan t-shirt putih dan jeans pendek. Sementara Saga juga mengenakan t-shirt putih dan celana pantai, sebuah kacamata hitam bertengger di atas kepalanya.

Saga memesan banyak makanan. Ia memberikan nasi goreng dengan telur mata sapi, mengambil putih telur yang kemudian ia letakkan di piring lain karena Reres tak menyukai putih telur. Reres memerhatikan, tumben dia dilayani seperti ini.

"Sarapan dulu. Hari ini kita jalan-jalan, terus nanti malam kita istirahat, dan besok kita mulai lagi. Karena semalam dan pagi tadi gue seneng, jadi gue akan berbuat baik untuk lo."

Reres mengangguk, lalu mulai menyantap sarapan pagi miliknya. "Ga, kalau ini enggak jadi baby, gimana?"

Saga menoleh dengan senyuman iseng. "Ya, kita ke Bali lagi. Lo udah ngerasain kan treatment Saga Majendra?"

Reres mendesis kesal dan memilih menghabiskan santapannya. Dalam hati, gadis bermata cokelat itu mengakui apa yang dilakukan malam dan pagi tadi menyenangkan. Namun, itu juga membuat ia ketakutan, mungkin ia akan ketagihan atau semacamnya. Ia pernah membaca sebuah artikel bahwa berhubungan intim bisa membuat seseorang ketagihan dan itu yang sedikit menjadi ketakutannya.

Ponsel Reres berdering, panggilan dari Haris. Ia segera menerima panggilan itu.

"Ya, Mas?"

"Ah, aku hubungi kamu dari tadi, Res," sahut Haris terdengar cemas.

"Maaf, aku lagi mandi, Mas. Kenapa?"

"Pak Saga ada di sana?"

Reres melirik pada Saga yang juga menatapnya penasaran. "Mas Haris," ucap Reres sambil memberikan ponsel miliknya.

"Hm, kenapa, Ris?"

"Pak, Mbak Vinny dari kemarin hubungin saya. Dia cari Bapak dan hari ini ke kanβ€”"

"Kamu ke mana, sih, Beibh?" Kini yang terdengar adalah suara Vinny yang terdengar kesal.

"Ah, aku ada urusan. Kita ketemu seminggu lagi, ya, Sayang." Saga coba menenangkan kekasihnya yang manja itu.

"Oke, tapi …. " ucapan Vinny terputus, tapi Saga mengerti maksudnya.

"Hm, anything for you, Sayang. Udah, ya, aku lagi sibuk." Saga kemudian mematikan ponsel dan memberikan pada Reres. "Matiin aja, gue males diganggu. Seminggu ini khusus buat lo."

"Hm, oke." Reres menjawab malas.

"Bilang apa, Nona?"

Reres tersenyum tak ikhlas. "Terima kasih."

Setelah ini, entah pengalaman apa lagi yang akan diberikan Saga pada Reres? Dan apakah rencana mereka berhasil? Hanya waktu yang akan menjawabnya.

Bab 4. Aira Yuma Hartanto

πŸ‘‘jangan lupa klik dulu bintang sebelum.baca. dan jangan lupa komen juga ya kak πŸ€—πŸ‘‘

***
 


Siang ini, hari terakhir di Bali, dihabiskan dengan pertarungan terakhir antara Reres dan Saga. Lenguhan dari Saga terdengar, kemudian CEO Candramawa itu rebah di atas tubuh sahabatnya yang kini memejamkan mata dengan napas tak beraturan. Selama di Bali, Saga mengatur dengan baik jadwal keduanya. Sehari mereka saling adu ranjang, sehari mereka habiskan dengan istirahat atau jalan-jalan.

Malam nanti, keduanya akan pulang dan ini akan jadi hari terakhir mereka di Bali. Dalam seminggu ini Reres bahkan telah menjadi pro karena didikan Saga dan teori yang mereka lihat dari video yang ada di ponsel Saga. Entah berapa banyak video yang ia simpan, bahkan video dirinya sendiri bersama Vinny, Lauren, Sarah, dan banyak lagi.

Saga kemudian bergerak ke samping Reres, ia memeluk gadis itu. "Kalau gue pingin lagi, gimana?"

Reres melirik kesal. "Ini udah dua kali, ya, Ga?!"

"Nanti kalau kita balik maksudnya."

"Enggak!"

"Hm, oke. Dalam dua bulan ini lo harus cek berkala, kalau enggak sukses kita ke Bunaken atau lo boleh pilih mau ke mana pun buat kita bulan madu." Saga kemudian tengkurap, menatap Reres yang mulai lelap. "Jangan tidur. Mandi dulu sana, kita mau balik."

"Sebentar, lima belas menit. Kan, kita balik malam."

"Ternyata main sama cewek gemuk enak juga."

Reres refleks mencubit bibir Saga. "Diam ya mulut Anda."

"Sebagai penutup, kiss me. Anggap aja ini sebagai rasa terima kasih lo buat gue. Jadi, lo yang cium gue." Saga meminta, ia kemudian memejamkan mata.

Gadis itu menatap ragu, tapi setidaknya ucapan terima kasih ini cukup mudah. Reres lalu bergerak memegang wajah Saga dan perlahan mencium bibir si pucat. Saga menuntut, membawa Reres dalam ciuman yang lebih dalam. Jauh dalam hati, ia ingin mengetahui apa ada cinta di hatinya untuk Reres. Setelahnya, Saga melepaskan tautan di antara mereka. Saga tersenyum singkat, rasanya tak ada perasaan lebih selain sahabat untuk Reres. Ya, karena jelas Reres bukan kriterianya.

***

Kembali ke rutinitas seperti biasa, kini Reres sedang berjalan menuju kantin, membeli beberapa kudapan juga minuman untuk Saga. Semua ia pilih sendiri sesuai dengan kesukaan atasannya itu. Setelahnya, ia kembali ke ruangan atasannya yang kini masih sibuk menatap laptop miliknya, memikirkan rencana kerja untuk pengembangan perusahaan.

Setelah kembali dari Bali dua hari yang lalu, semua kembali seperti biasa. Tak ada yang berubah dari keduanya hingga tak ada yang mencurigakan dan membuat sekeliling bertanya penasaran. Reres kemudian berjalan ke belakang sang atasan, mencopot beberapa note yang sengaja ditempel oleh Saga untuk mengingat rapat kerja atau kegiatan lain. Gadis itu kemudian membuang ke tempat sampah, karena ia tak membungkukkan tubuh membuat beberapa note berjatuhan. Saga dengan sigap mengambil tanpa mengatakan apa pun, membuang ke dalam tong sampah, lalu kembali menatap laptop miliknya, membaca perencanaan yang ia buat tahun lalu.

"Saya keluar, ya, Pak?" pertanyaan sopan terlontar. Ini jam kerja dan memang hal itu yang selalu Reres lakukan ketika mereka berada di jam kerja, dimulai jam 7 pagi sampai dengan jam 5 sore.

Saga menghela napas, lalu mengangguk sambil menggerakkan tangannya ke arah pintu. Belum sempat Reres melangkah, pintu diketuk membuat langkah Reres terhenti.

"Masuk." Saga mempersilakan.

Pintu terbuka, menunjukkan sosok Nindi dan seorang gadis cantik dengan postur tubuh mungil, wajah tirus, tatapan mata sendu, rambut panjang bergelombang, lalu bibir kecilnya dipoles dengan lip gloss berwarna peach. Nindi adalah ibu dari Saga, di usianya yang kini hampir 60 tahun, tubuhnya masih begitu tegap karena sampai saat ini beliau masih mengikuti senam dan yoga.

Reres membungkuk ketika kedua wanita itu masuk. Reres sekilas menatap gadis cantik itu dan ia ingat bahwa itu adalah Aira, anak dari salah satu rekanan perusahaan. Saga tak ingin menjadikan Aira kekasihnya karena dia merupakan gadis baik-baik, sementara seperti apa yang Saga katakan ia tak ingin merusak gadis baik-baik.

"Kamu masih mau berdiri di sana?" tanya Nindi pada Reres yang artinya si tambun itu harus menyingkir.

"Permisi." Reres kemudian berjalan keluar seperti rencananya tadi.

Nindi duduk di sofa, diikuti Aira yang duduk di sebelahnya. Setelahnya Saga mengikuti dan duduk di sofa lain yang berada di sisi kiri. Ia menatap tanpa senyum, urusan pengembangan perusahaan membuat kepalanya sakit karena hari ini ia sama sekali tak memiliki ide. Mungkin nanti ia akan meminta Haris menemaninya untuk mencari solusi. Aira melirik pria di sampingnya yang kini terlihat dingin dan cuek itu.

"Ngapain mami ke sini?" Saga buka suara, mengakhiri hening di antara ketiganya.

"Mami mau ngenalin kamu sama Aira," ucap Nindi, terlihat senang sekali dengan hal yang ingin ia lakukan.

Saga melirik, sama dengan Aira yang menatapnya. Aira mengangguk dan Saga malah mengalihkan tatapannya, menatap sang mami. "Udah kenal kok, ini Aira anak Pak Hartanto 'kan?"

"Oh, sudah kenal toh kalian?" tanya Nindi, diikuti anggukan Aira dan Saga. "Ini Aira penasaran sama resort kita yang di pulau seribu itu. Kan, kemarin kamu bilang mau diubah konsep?"

"Iya. Terus?" Saga bertanya ketus.

"Gini, Mas Saga. Kebetulan aku baru banget masuk ke bidang desain interior, dan kemarin kebetulan ketemu tante Nindi yang nawarin aku untuk coba tanya siapa tahu Mas Saga butuh jasa kami."

Saga melirik sang mami, jelas tujuan utamanya bukan ini. Saga kenal betul Nindi, ini adalah upaya untuk mendekatkan ia dengan Aira. Saga tak berminat pada gadis baik-baik dan Aira masuk dalam kategori itu, kategori gadis yang tak ia minati.

"Baru? Belum ada results berarti? Saya enggak berani main-main. Apalagi ini yang dipegang resort kesukaan saya. Kamu bisa mulai dari apartemen atau resto deh. Saya bisa kasih kamu infonya nanti ..." Saga terhenti, lalu menatap sang mami. "Lewat mami saya."

"Ga, kamu jangan gitu dong. Kasih kesempatan buat Aira. Dia itu kompeten banget lho, dia ini lulusan arsitektur kuliah di luar negeri." Nindi buka suara, kesal karena sikap dingin dan ketus anak semata wayangnya.

"Mau lulusan lokal atau international, semua harus memulai dari awal. Harus ada results supaya terlihat dia punya kredibilitas atau enggak. Jangan mengandalkan orang dalam. Saya yakin Aira juga paham itu. Ya, kan, Aira?" tanya Saga, lalu melirik ke arah gadis yang kini menundukkan kepalanya.

Aira sedikit mendongakkan wajah, menatap Saga dengan takut-takut. "Iya, aku ngerti."

Nindi melirik, lalu menginjak kaki Saga yang seolah tak mengetahui apa yang dilakukan sang mami. Tentu saja sang ibu jadi kesal karena kelakuan anak laki-lakinya itu membuat Aira jadi nyaris menangis karena kata-kata tajamnya barusan.

"Aira, saya bukan meremehkan. Ini justru masukan buat kamu. Semua mulai dari hal kecil saya bisa carikan kamu rekanan, tapi bukan di Candramawa." Saga menegaskan itu.

Setelah pembicaraan yang tak membuahkan hasil, Aira kembali terlebih dahulu. Ia mengatakan ada urusan lain. Namun, Nindi jelas mengerti Aira sakit hati dengan apa yang dikatakan Saga tadi. Nindi masih berada di ruangan, menatap anak laki-lakinya yang tengah membaca beberapa laporan.

"Kamu kok judes gitu sih?"

"Ya, terus aku harus gimana, Mi?" tanya Saga tanpa mengalihkan perhatian dan tetap fokus pada laporan di hadapannya.

"Apa salahnya sih kamu bikin Aira buat bantu kamu? Bisa aja kamu minta Aira memberi warna baru untuk resort itu."

Saga masih membuka lembar demi lembar laporan, membiarkan sang mami mengoceh sejak tadi. "Hm, niat Mami sebenarnya apa?"

Nindi kemudian berjalan mendekat, ia duduk di kursi yang berada di seberang meja Saga, keduanya kini duduk berhadapan. "Mami mau jodohin kamu sama Aira."

Saga melirik Nindi, lalu berdecak kesal. "Ngapain sih, Mi? Dia itu bukan tipe aku."

"Tipe kamu siapa? Lauren? Vinny? Sarah? Mereka itu udah ketahuan enggak bener, suka dugem, kelakuan mereka itu udah jadi rahasia umum. Mami mau kamu menikahi perempuan baik-baik. Dari semua anak pengusaha yang dekat dengan Candramawa, yang memenuhi kriteria itu hanya Aira." Nindi menjelaskan panjang dan lebar.

Saga sebenarnya malas sekali ketika membahas masalah seperti ini, apalagi tentang perjodohan. Ia merasa kegiatannya bisa terganggu karena hal yang diinginkan sang ibu. Menurutnya, ini bukan zamannya lagi dijodohkan, semua orang berhak menentukan jodoh mereka sendiri.

"Mami enggak bisa judge orang kalau enggak kenal sama mereka. Vinny, Lauren, mereka cantik dan baik. Mami belum kenal aja sama keduanya," sergah Saga lagi

"Dengan Mami bicara begitu, Mami jelas udah menuduh tanpa mengenal Vinny dan Lauren."

Nindi menghela napas, kesal juga jika ia harus adu mulut dengan Saga. Sejak dulu Saga keras kepala, adu mulut tak akan membuahkan hasil yang menyenangkan selain rasa kesal dan emosi yang memuncak. Maka Nindi kini memilih diam, menatap putra semata wayangnya yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Terserah kamu mau pacaran sama siapa, tapi kami harus menikah dengan Aira. Karena Mami ada rencana kerja sama dengan perusahaan ayahnya Aira."

Saga melirik sambil membuka laporan miliknya. "Kalau Mami ada kerja sama dengan perusahaan lain, nanti Saga cerai sama Aira terus nikah lagi sama anak dari pemilik perusahaan lain, begitu?"

"Ga, bisa enggak sih kamu jangan bikin Mami kesel?"

Saga terkekeh melihat Nindi yang sudah naik pitam. "Saga cuma tanya, Mi. Kenapa Mami marah sih?"

"Kamu itu bener-bener, ya, buat Mami sebel terus. Lagian oma juga udah setuju banget sama Aira. Lusa, Mami undang keluarga Aira makan malam dan kamu harus persiapkan diri."

"Hm, Mami atur aja." Saga menyerah, keduanya sama-sama keras kepala dan Saga mulai jengah dengan desakan sang mami.

Sementara Saga dan ibunya bertengkar di dalam ruangan, Reres merebahkan kepala di meja kerja Haris yang tepat berada di sampingnya. Haris sesekali melirik sambil membuat jadwal kerja yang sempat kacau karena liburan dadakan yang dilakukan sang atasan.

"Res, kamu sakit?" Haris bertanya membuat Reres menoleh.

"Aku ngantuk, Mas," jawab Reres yang kini menatap Haris masih sambil merebahkan kepala ke lipatan tangannya.

"Kemarin di Bali kecapekan? Kurang tidur?" tanya Haris yang jelas terlihat cemas hingga membuat kedua sudut alisnya bertaut.

Reres mengangguk. "Capek, kurang tidur juga. Nano-nano, Mas."

Haris menghentikan kegiatannya, memutar kursi dan kini menatap Reres, lalu sentuh kening gadis itu. "Demam kamu. Emang kemarin di sana Pak Saga ngapain?"

Reres terdiam sejenak, ia tak mungkin mengatakan apa yang Saga dan dirinya lakukan saat mereka sedang berada di Bali. "Ya, begitu. Dengan kegiatannya. Hehehe."

"Dia sibuk sama perempuan?" Pria itu bertanya dengan setengah berbisik, takut jika sang atasan tiba-tiba keluar dari ruangan.

Tentu saja jawabannya adalah 'iya' dan perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri. Lalu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Haris yang bisa saja membuat apa ia lakukan dengan Saga terbongkar akibat dirinya yang sering menjawab sembarangan.

"Mas, aku tidur lima menit, ya?" pinta Reres, coba alihkan pembicaraan.

"Iya, tidur aja kamu," jawab Haris sambil menatap dan tersenyum.

Selama ini Haris banyak beri perhatian pada Reres. Sayangnya Reres tak mengerti jika pria itu menaruh hati. Gadis tambun itu kekeh pada pikirannya bahwa ia tak sempurna, tubuhnya gemuk, dan ia tak cantik. Karena semua hal itu, tak ada yang menyukainya. Namun, Reres salah. Ada seseorang yang diam-diam jatuh hati tanpa ia sadari.

Bab 5. Masih Aira 

Aira berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Perasaannya menjadi buruk setelah Saga menolaknya tadi. Aira anak tunggal dengan segala kemewahan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Namun, meski semua kebutuhan terpenuhi ia tetap senang melakukan banyak hal sendiri. Termasuk tadi, ia lebih kesal karena saga yang menolak tawarannya dibandingkan sikap dingin saga padanya. 
 


Kini Tuan Hartanto tengah duduk di ruang tengah seraya membaca artikel dari ponsel miliknya. Saat itu Aira berjalan mendekat lalu duduk di sofa yang berada di samping sang ayah. Sang ayah memerhatikan anak gadisnya yang nampak kesal. Ia lalu meletakan kacamata dan ponsel miliknya di meja.

"Kenapa muka kamu gitu?" tanya Tuan Har pada anak gadisnya.

"Hmm, lagi kesel Dad." Aira menjawab cepat lalu menyandarkan tubuhnya pada kepala sofa.

"Iya kesal kenapa?"

"Aku tadi ke Candramawa sama Tante Nindi."

Pria paruh baya itu menatap dengan serius pada gadis cantik bermata sendu di hadapannya. "Terus ketemu Saga dong?"

Gadis itu mengangguk, "Aku tertarik sama tawaran Tante Nindi tentang resort itu. Tapi dia tolak mentah-mentah bahkan dia enggak tanya proyek apa yang udah aku kerjain. Emang sih proyek yang aku tanganin sebelumnya proyek kecil-kecil tapi 'kan harusnya dia berusaha lihat dulu atau apa gitu."

"Hahaha, Saga emang agak susah orangnya. Bahkan kalau Dady yang minta belum tentu dia mau turutin. Kamu sendiri yang harus tunjukkan result berdasarkan pencapaian kamu sendiri. Jujur, dady sih salut dan menghargai keputusan-keputusan Saga yang memang unik dan selalu berhasil."

Aira menatap kesal pada sang ayah. Sementara hatinya berkata lain, melihat sang ayah yang memuji Saga buat ia semakin penasaran pada pria itu. Pesona Saga memang tak bisa dielak meski dingin dan ketus tadi, tapi ketampanan dan tatapan tajam Saga buat hatinya berdebar.

"Hmm, Dad besok jadi 'kan kita makan malam di rumah tante Nindi?" Aira bertanya berusaha tak terlihat antusias.

Tuan Har mengangguk, "jadi dong.* Ia lalu mendekatkan wajahnya pada sang putri. "Gimana Saga menurut kamu?" tanyanya.

Pertanyaan sang ayah buat Aira gugup, tentu saja ia terpikat sejak lama. Banyak pertemuan yang membuatnya bisa melihat pria itu dan kini ketika ia memiliki kesempatan untuk dekat dengan Saga tentu saja Aira tak akan menolaknya. Aira sudah jatuh cinta dan bahkan bertemu Saga tadi buat jantungnya berdebar sampai saat ini. Pesona si pemilik kulit putih itu sulit di tolak meski sikapnya dingin dan ketus.

"Dady, kenapa tanya kaya gitu sih? Aku ke kamar dulu ah." Aira gugup kemudian segera berjalan ke kamarnya.

Yang Aira lalukan jelas sekali terbaca oleh sang ayah yang sudah menduga kalau ada benih-benih cita di hati Aira. Dan tentu saja dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk menjodohkan sang buah hati dengan Saga seperti kesepakatan yang ia lakukan dengan Nindi beberapa waktu lalu.

***

Haris, Saga dan Reres kini berada di ruangan sang atasan. Reres sejak tadi masih merasa tak enak badan karena kelelahan. Setelah pulang dari Bali ia tak bisa langsung beristirahat. Pulang dari memproses bayi, Reres harus segera mengikuti Saga dengan segala aktifitasnya dan itu buat tenaganya cukup terkuras.

Haris duduk berhadapan dengan Saga dan laptop kerjanya. "Saya merasa planning kita sebelumnya masih bagus banget Pak dan enggak perlu ada perubahan."

"Saya juga berpikir seperti itu. Rencana kerja yang saya buat sebelumnya 'kan memang untuk jangka panjang. Ya, kamu tau lah gimana para direksi itu. Menuntut rencana baru terus, kolot dan diskriminatif. Mentang-mentang saya paling muda di sana. Mereka itu enggak mengerti sistem yang sekarang kita buat buat mempermudah pemasaran dan cara menarik konsumen." Saga berucap kesal.

"Bapak tinggal kasih lihat aja grafik laba kita." Haris coba berikan saran.

Saga menggeleng ia tau bagaimana pemikiran para direksi tua yang rumit dan mudah di tebak. Mereka pikir kalau rencana-rencana baru selalu akan menguntungkan. "Saya akan pikirin nanti."

Haris melirik pada Reres yang terpejam, kemudian kembali menatap pada Saga, atasannya. "Hmm saran saya kita tidak harus melakukan pembaruan rencana Pak."

Saga mengangguk ia juga setuju, Saga melirik Reres lalu melempar pena yang ia pegang. Tentu saja apa yang ia lakukan buat Reres terkejut dan menatap Saga kesal. Sementara Haris menatap iba pada Reres.

"Tidur di kursi gue sana." Saga memerintahkan.

Reres mengangguk lalu berjalan menuju kursi kerja saga, duduk, lalu merebahkan kepalanya ke atas meja, dan kembali istirahat. Sementara Haris dan Saga kembali membicarakan tentang apa yang akan Saga sampaikan pada rapat besok.

Pembicaraan tentang rapat tak berlangsung lama. Setelah itu Saga dan Reres segera kembali ke rumah. Seperti biasanya, Saga mandi sementara Reres di kamar menyiapkan semuanya merapikan tempat tidur, juga termasuk menyiapkan skin care yang akan Saga gunakan sebelum tidur. Semua Reres lakukan sejak dulu, bahkan membantu Saga berpakaian. Dan memang seperti tugasnya menjaga Saga layaknya seorang baby sitter.

Tak lama pria itu keluar dengan rambut yang basah dan piyama yang sengaja belum ia kancingkan. Saga malas mengancingkan pakaian merepotkan menurutnya. Reres berjalan mendekat lalu mengancingkan pakaian Saga, kemudian ia mengikuti pria itu duduk di kursi setelahnya Reres mengeringkan rambut Saga yang kini terpejam.

"Gue besok ijin istirahat ya?"

Mata saga kembali terbuka ia menoleh pada Reres yang berdiri tepat di belakangnya. "Kenapa?"

"Gue butuh istirahat, capek banget Ga." Gadis itu mengeluh tentu saja karena ia merasa kurang beristirahat.

"Hmm, lo kegemukan tuh! olahraga ranjang gitu aja capek," cicit Saga.

Reres hela napas sebal juga dengar apa yang dikatakan sahabatnya itu. "Ya, gimana dong, gue emang sakit. Coba pegang jidat gue nih."

"Nunduk," titah Saga buat Reres refleks menunduk dan Saga kini memegang kening Reres. "Habis ini minum parasetamol tidur sebelum jam sepuluh. Besok lo harus ikut gue ke kantor. Lo tau kan gue ada rapat direksi?"

'Hmm, oke." Reres menjawab malas karena ia tau jika ada pertemuan maka ia harus ikut dengan Saga.

"Gimana?"

"Iya besok gue kerja."

"Bukan itu," sergah Saga lalu membalik tubuhnya menatap Reres yang kini menatapnya. "Gimana pengalaman pertama kali ngelakuin sex?"

Reres terdiam, ia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan yang diajukan Saga. Sejujurnya, itu menyenangkan dan membuat ia merasa bahagia, nikmat dan relaks setelahnya. Hanya saja apa akan baik jika ia mengakui jika ia menyukai itu pada Saga?

"Ini udah bukan jam kerja, gue memilih enggak menjawab." Reres katakan itu dan itu buat Saga tersenyum.

"Jawabannya lo suka, tapi lo enggan jawab itu ke gue? Why? Lo mau lagi?"

"Diem ya Saga!"

"Buat senang-senang aja. Lo tau 'kan kalau sex itu bisa balikin mood yang jelek. Kalau mood lo buruk dan butuh gue bilang aja." Saga berkata lalu mengedipkan sebelah matanya.

Reres menoyor kepala Saga yang kini malah bersikap seduktif kepadanya. "Gue tabok ya kalau lo ngomong aneh-aneh gini." Reres kesal lalu berniat berjalan ke luar sebelum Saga menahan dengan memegangi tangan Reres.

"Tugas lo belum selesai." Saga menegaskan lalu segera berdiri dan berjalan ke tempat tidur.

Saga merebahkan tubuhnya, lalu Reres menyelimuti, pria itu lalu ulurkan tangannya buat Reres segera menggenggamnya. Gadis itu kemudian duduk di samping Saga.

"Lo kenapa?" tanya Reres. Gadis itu jelas mengerti jika Saga meminta ia menggenggam tangannya jelas ada hal yang pria itu pikirkan.

"Vinny atau Lauren? Menurut lo yang bisa gue ajak nikah."

"Aira Yuma." Reres menjawab cepat.

Saga kesal mendengar jawaban tersebut, apalagi mendengar nama Aira, gadis yang dijodohkan sang mami dengannya. "Serius Res."

"Ya gue serius Aira perempuan baik-baik. La boleh pacaran sama siapa aja dan berbuat senakal apapun, tapi lo harus menikahi perempuan baik-baik."

Saga kembali membuka matanya, ia duduk dan kini berhadapan begitu dekat dengan Reres. "Lo juga perempuan baik-baik. Gimana kalau gue nikah sama lo? Jadi gue masih bisa main sama Vinny dan Lauren? Hmm?"

Reres menatap Saga kesal, kemudian mencubit paha sahabatnya itu.

"AAA! SAKIT!"

"Ayo ngomong aneh-aneh lagi lo sini." Reres kesal kemudian berdiri.

"Gue bercanda, ih!"

Reres berjalan meninggalkan ruangan itu langkahnya terhenti saat Saga memanggilnya lagi.

"Res, gue bercanda soal pernikahan itu. Tapi .., soal kebutuhan lo akan burung gue. Gue serius, sex itu nagih. Gue tau lo akan butuh gue suatu saat.'

Gadis itu berdecih lalu kembali berjalan ke luar kamar Saga dengan kesal.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi πŸ₯°

Selanjutnya Oh My CEO BAB 6-10 free
1
0
BAB 6-10 free Cuplikan  No, mereka bukan ancaman Saga. Hmm?Bukan ancaman, bukan ancaman. Saga coba yakinkan diri.Mereka akan jadi kerdil kalau lo?Kuat dan besar hati.Reres mengangguk, "tarik napas, hembuskan. Lo hebat Saga, lo kuat dan lo CEO Candramawa. Jangan sampai ada yang jatuhin lo. Lo kuat. Happy reading πŸ’œπŸ’œ
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan