to forgive (chapter 8 ; hari besar) - new version

2
0
Deskripsi

Chapter ini berisi cerita “To Forgive” versi terbaru. Ada bagian chapter yang diedit, ditulis ulang ataupun penambahan chapter dari cerita “To Forgive” versi sebelumnya.

Seluruh chapter ini akan diposting di wattpad dan dibuka kuncinya setelah proses penulisan ulang selesai. Chapter yang terkunci atau berbayar merupakan chapter dengan isi yang telah diedit atau ditulis ulang, sedangkan chapter yang tidak dikunci adalah chapter yang tidak atau sedikit mengalami perubahan. 

8 ; Hari Besar

HARI PERNIKAHAN SEHARUSNYA membuatmu bahagia. Namun, hal itu sama sekali tak dirasakan Runa. Alih-alih bahagia, perasaannya campur aduk. Mulai dari gugup hingga bersalah. Dini hari tadi, ketika diingatkan Felisha bahwa mereka perlu bersiap-siap sejak pagi, Runa sempat berpikir untuk kabur. Uang tabungannya cukup untuk membeli tiket pesawat. Dia bisa terbang ke Balikpapan dan meminta bantuan seorang mantan senior untuk menampungnya sementara waktu. Kenalan Runa bisa dibilang cukup banyak. Dia bisa meminta bantuan mereka jika diperlukan.

Niatan untuk kabur itu hilang ketika dia membayangkan kekacauan yang akan tercipta. Selama seminggu terakhir, dia sudah ikut sepupu dan tantenya untuk melihat venue resepsi. Seluruh persiapan acara pernikahan sudah sangat matang. Mulai dari masalah makanan, surat undangan, acara hiburan, hingga pembawa acara dan pihak-pihak yang disewa untuk mendokumentasikan rangkaian pernikahan ini. 

Runa akan semakin merasa bersalah kalau memutuskan kabur. Dia tahu, Kiran sama-sama enggan melakukannya. Akan tetapi, dia tidak yakin kalau pria itu akan mengapresiasi keputusan Runa untuk kabur dan mempermalukan keluarga besar mereka.

“Silakan buka matanya, Kak,” ujar penata rias yang sejak satu jam lalu memoleskan make up pengantin di wajah Runa.

Kedua mata mengerjap. Runa sedikit termangu ketika mendapati refleksi dirinya sendiri di cermin. Sejak berani menggunakan kosmetik, Runa belum pernah memakai warna-warna mencolok. Riasan wajah yang dipakainya selalu ringan. Terkadang, Vanya sampai protes karena Runa kelihatan terlalu pucat, mirip orang sakit katanya. Padahal, warna kesukaan Runa saja yang tak pernah mencolok. Ketika hendak dirias, dia juga sempat berpesan agar warna riasan wajahnya jangan dibuat terlalu menonjol. Hasil yang dia lihat saat ini … tidaklah mengecewakan.

Wanita muda yang barusan memoleskan kosmetik tersenyum senang. Runa melihat senyumnya melalui cermin di hadapan mereka.

“Aku seneng bisa merias orang secantik Kak Runa. Calon suami Kakak pasti sangat beruntung,” ungkapnya dengan sungguh-sungguh.

Runa terpaku. Dia mengulas senyuman tipis, tak mengiakan ataupun menyangkal ucapan si perias wajah.

“Makasih, Mbak,” timpal Runa. “Aku pangling sama mukaku sendiri. Kayaknya bukan mukaku yang bagus. Riasan Mbak Dian aja yang keren.”

“Orang pilihanku emang nggak pernah mengecewakan, Runa,” ungkap seseorang dari belakang.

Runa melihat Felisha melalui pantulan cermin. Sang bibi menutup pintu dengan hati-hati. Dia menghampiri Runa yang sudah selesai dirias dengan sedemikian rupa. Senyumnya langsung merekah waktu melihat penampilan keponakannya.

“Dari kecil kamu emang udah cantik. Tapi, tante akuin, sekarang kamu udah kayak Putri Disney!” 

Runa kontan tertawa.

“Kayak Tante nggak cantik aja.”

Felisha mengibaskan tangan. 

“Ini hari besar kamu. Yang bakal jadi ratu seharian ini adalah kamu.” Felisha membantu Runa berdiri. “Sekarang kita pakai baju pernikahannya. Tante jamin, orang-orang bakal susah ngalihin perhatian mereka dari kamu setelah liat kamu pakai gaun ini.”

Runa hanya tersenyum. Felisha dan Dian membantunya mengenakan gaun pengantin. Ketika pertama dia mencobanya, Runa merasa sangat tidak cocok. Pakaian itu terlalu indah dan mewah. Corak dan manik yang terpasang tampak sangat detail dan memukau. Dia takut jika kecerobohannya membuat gaun itu rusak. Sangat tidak lucu jika dia tersandung dan membuat gaun panjang itu kotor. Heels yang dipakainya juga lebih tinggi dari yang biasa dia kenakan. Runa tak bisa membayangkan sehari yang akan dia lalui menggunakan alas kaki menyakitkan itu.

Menjadi cantik memang memerlukan pengorbanan besar.

Felisha ikut membenarkan aksesori yang tersemat pada gelungan rambut Runa. Dia menatap Runa melalui cermin, berbisik tepat di telinganya.

“Kamu udah cantik begini. Nggak perlu gugup, Runa.”

Runa menarik napas pelan, dia mengangguk.

“Aku nggak gugup kok, Tante.”

Felisha tersenyum simpul.

“Kamu tuh nggak bisa bohongin tante.” Felisha menoleh langsung pada Runa, menatap manik matanya. “Apakah karena Kiran?”

Runa mengerjap. Ketika menatap sang bibi, dia langsung tahu, sosok itu cukup menangkap kekhawatirannya. 

“Kamu takut Kiran memperlakukan kamu seperti dulu?” tanya Felisha lagi.

Runa lantas tersenyum simpul. Dia menggeleng.

“Bukan, Tante. Aku nggak merasa Kak Kiran bakal begitu. Dia kelihatan … lebih dewasa.”

“Lebih jantan, maksudmu?” goda sang bibi.

Runa melebarkan mata dengan spontan. Untuk suatu alasan, ucapan Felisha terdengar seperti bermaksud lain.

“L-Lebih dewasa, Tante!” koreksi Runa. “Maksudku, Kak Kiran bukan lagi orang yang bakal asal ngomong pedes kayak dulu—”

Felisha terkekeh pelan. Dia tersenyum lembut pada Runa.

“Iya, tante tau. Makanya, sekarang kamu nggak perlu gugup. Eyang kakung sama eyang putri udah nggak sabar liat kamu. Jadi, kamu harus senyum, biar cantiknya nggak luntur!” ungkap Felisha dengan antusias.

Runa tertawa pelan. Dia mengangguk. Matanya melirik pada jam dinding. Jarum jam berdetak seirama dengan jantungnya.

Sandiwara atau apa pun, pernikahan ini tetap dihadiri banyak orang, meski lingkupnya masih tertutup. Dia tidak bisa untuk tidak gugup. Pernikahan ini adalah pernikahan pertamanya.

Pernikahan pertama yang mungkin akan berakhir dengan tidak menyenangkan ….

Oh, tidak, dia harus berhenti memikirkan nasibnya dua tahun ke depan. 

Runa mengembalikan perhatian pada Felisha. Dia lalu berkata, “Tante, tolong doain aku biar nggak keserimpet baju ini.” 

oOo

Runa merasa sangat berdosa ketika janji pernikahan itu diucapkan. Prosesi keagamaan berjalan dengan mulus. Namun, dia tak dapat menahan makian dalam kepalanya yang berkali-kali mengingatkan bahwa dia dan Kiran baru saja berbohong di hadapan sekian banyak orang dan juga Tuhan. Runa tahu dirinya tak begitu religius, tapi dia tetap merasa bersalah.

Cincin perkawinan telah melingkar indah di jari manisnya. Tepuk tangan dan sorak sorai terasa berdengung di telinga. Pandangan Runa hanya tertuju pada telapak tangan Kiran yang barusan memasangkan cincin cantik tersebut. Pria itu mengenakan tuksedo hitam. Potongan rambutnya baru. Runa tak bisa menyangkal bahwa kakak angkatnya ini—yang kini sudah resmi berstatus sebagai suami—terlihat menawan. Namun, fakta yang demikian tetap tak membuatnya berani untuk melihat matanya secara langsung.

Pernikahan ini salah. Runa tak ingin memupuk rasa tak menyenangkan yang kini memenuhi dada.

Dia sedikit terkesiap ketika Kiran menariknya mendekat. Detak jantungnya berpacu ketika mendengar suara berat itu menyebut namanya.

“Aruna ….”

Dia dapat merasakan telapak tangan sang pria bernaung di pinggangnya. 

Kiran tiba-tiba menarik dagunya, membuat dia mendongak. Runa masih memproses kejadian itu. Dia masih mematung ketika melihat Kiran menunduk. 

Detik selanjutnya, dia merasakan hangat bibir sang pria di dahinya. 

“Jangan nunduk,” bisik Kiran pelan, belum menarik diri. “Atau lo mau orang-orang curiga.”

Runa langsung tersadar … tersadar dengan kondisi mereka, hal yang perlu mereka perlihatkan di hadapan semua orang.

Kiran menarik diri. Dia hendak melepaskan genggaman tangan mereka ketika Runa menjabat tangan itu dan mencium punggung tangannya, seolah memperlihatkan baktinya kepada sang suami. 

Tanpa memperhatikan reaksi Kiran, Runa segera menurunkan genggaman tangan mereka. Dia ingin berjalan mundur ketika Kiran tak langsung melepasnya. Dia menempatkan tangan Runa pada lengan, memintanya untuk menggandeng dan berpegangan padanya. 

Orang-orang kembali bertepuk tangan. 

Kiran dan Runa berjalan menuju kursi utama. Setelah menghadap ke arah para tamu, Runa baru bisa melihat dengan jelas wajah-wajah yang menonton mereka. Dia mendapati keluarganya; eyang kakung yang tersenyum, eyang putri dan Felisha yang mengusap sudut matanya, Arya yang bertepuk tangan, Danar yang mengangguk, serta para sepupu yang mengacungkan ibu jari mereka. Runa hampir ikut lega sampai dia ingat kalau ini semua hanya sandiwara belaka.

Detik berikutnya, mereka sudah beranjak ke venue resepsi. Pembawa acara kembali membuka acara. Eyang Cipta turut menuturkan ucapan terima kasih atas kehadiran tamu undangan. 

Beberapa saat setelahnya, acara hiburan dimulai, diikuti dengan pembawa acara yang mempersilakan para tamu undangan untuk menikmati jamuan. Mereka juga sudah dibolehkan untuk mengucapkan selamat secara langsung kepada kedua mempelai. Alunan musik mengiringi pesta pernikahan itu. Eyang kakung dan eyang putri menghampiri mereka, memberi rangkulan erat pada Runa dan juga Kiran. 

Wejangan keduanya terdengar samar di telinga Runa. Dia membiarkan fokusnya beralih, tak begitu ingin mendengar nasihat yang akan semakin membuatnya merasa bersalah. 

Sisa hari itu terasa sangat panjang bagi Runa. Dia mengembuskan napas lega ketika acara selesai. Gaun pengantin dan aksesori yang dipakai telah dilepas dari tubuhnya. Dian kemudian membantunya membersihkan riasan wajah. Pakaian pengantin dan riasan di wajahnya benar-benar berat. Tungkainya pegal akibat heels tinggi. Dia juga sudah kesemutan parah ketika menyalami para tamu.

“Malam ini langsung istirahat aja, Kak. Mesra-mesraan sama suaminya ditunda dulu,” canda Dian ketika mendengar keluhan Runa.

Runa hampir meringis waktu mendengarnya. Dia menyamarkan reaksi itu dengan tawa.

Selang beberapa saat, Felisha ikut bergabung. Sang bibi tampak sama-sama lelah seperti Runa. Runa memaklumi karena Felisha memang bertanggung jawab atas keseluruhan acara ini. Dia perlu memastikan segalanya berjalan dengan lancar.

“Eyang udah diantar pulang sama Danar. Saudara-saudara kamu juga udah pamit duluan.” Felisha meminta ikat rambut pada Dian. “Tante masih perlu ngurus sesuatu sama Utari. Kamu langsung pulang aja sama Kiran. Dia udah nunggu di depan.”

Runa mengangguk. 

“Kalo gitu, nanti aku tunggu Tante di rumah. Tadi pagi kita buru-buru ke sini, jadi aku belum ikut rapiin persiapan—”

Ucapan Runa terpotong akibat tawa Felisha.

“Nunggu gimana, Runa? Kamu nggak akan pulang ke rumah kita.” Dia menepuk pundak keponakannya. “Kamu langsung pulang ke rumahmu dan Kiran.”

Runa mengerjap.

“Barang-barangku masih di rumah sama di apartemen.”

“Barang yang ada di rumah udah dipindahin sama Kiran,” jelas Felisha. “Hadiah-hadiah buat kalian juga udah ada di sana. Tante sama saudara-saudara kamu juga udah kasih hadiahnya.” Felisha mengedipkan sebelah mata, kemudian berbisik, “Kiran suka warna hitam.”

Runa mengernyit.

“Maksud Tante—”

“Udah sana, kasian lho yang nunggu di luar.” Felisha mendorong bahu Runa, mengantarkannya keluar. “Hati-hati di jalan.”

Runa beranjak dengan linglung. 

Kenapa Felisha memberi tahunya tentang warna kesukaan Kiran? Runa sudah dengar dari Danar sejak dulu. Dia mengerutkan kening, masih tidak mengerti. 

Ketika sampai di halaman gedung, Runa melihat Kiran yang baru membuang sebatang rokok. Dia masih merasakan sisa asapnya ketika berjalan mendekat. 

Kiran membuka kunci mobil dan masuk ke dalam. Tanpa mengatakan apa pun Runa langsung mengikuti.

“Aku nggak tau barang-barangku udah dipindah sekalian ke rumah baru."

Kiran menghidupkan mobil.

“Akhirnya lo juga bakal ke sana, ‘kan?” 

Runa hanya bergumam, tidak menyangkal. 

Dia menurunkan kaca mobil untuk merasakan embusan angin malam. Sepi di antara mereka dibiarkan mengisi udara. Dia lelah untuk mendengar musik ataupun mencoba memulai pembicaraan. 

Sekitar lima belas menit kemudian, mereka akhirnya sampai di sebuah area perumahan. Di sana sudah ada seorang satpam. Kiran ikut menurunkan kaca mobil, memberi tahu sang penjaga rumah untuk membukakan gerbang. 

Pandangan Runa memindai sepenjuru area, mengamati halaman luas yang dilengkapi kolam ikan. Dari tinggi ruangan itu, Runa bisa memperkirakan adanya lantai ganda dan juga sebuah rooftop

Kiran berjalan di depannya, membuka kunci rumah dan membiarkan Runa masuk. Runa memperhatikan perabotan rumah yang sudah lengkap. Dekorasi rumah ini cukup berbeda dengan milik paman mereka. Desain bangunan tersebut jauh lebih minimalis, tetapi juga modern dan mewah.

Kiran menutup pintu. Dia melepas jaket yang dipakainya.

“Di rumah ini ada empat kamar. Satu kamar utama, tiga kamar lain. Kamar utama dan dua kamar lain ada di atas, satu lagi ada di lantai ini. Terus, satpam di luar itu namanya Pak Anto. Tiap pagi bakal ada sopir sama PRT, mereka kerja di sini, tapi nggak nginep. Namanya Pak Edi sama Noni. Noni masih muda, mungkin lebih tua dikit dari lo." Kiran menoleh. "Lo mau kamar yang mana?"

"Yang di lantai ini aja," balas Runa langsung, tanpa berpikir dua kali.

Kiran mengernyit heran.

"Kamar di atas lebih luas." Dia memandang Runa dengan skeptis. "Yakin?"

Runa mengangguk.

"Barang-barang lo udah ada di kamar atas. Malam ini lo tidur di sana dulu. Besok pindahin sendiri ke bawah kalo masih mau pindah," jelas Kiran. Dia kemudian berjalan ke dapur untuk mengambil minuman dingin. Runa masih bisa melihatnya. "Gue nggak ngebatasin lo mau ngapain aja di sini. Anggap aja, kita roommate. Nanti kuncinya gue bagi ke lo. Semisal lo harus pulang malam, kabari gue.”

Runa menatap punggung bidang di hadapannya. Kiran beranjak cukup jauh, menuju dapur. Runa mencoba mengikuti, kakinya sedikit diseret. Hak sepatu yang kelewat tinggi membuat kakinya nyeri. 

“Kenapa harus berkabar?”

“Lo nggak berkabar sama roommate?” tanya Kiran tanpa menoleh padanya. Dia membuka kulkas yang ternyata sudah terisi beberapa jenis makanan dan minuman.

“Aku tinggal sendiri di apartemen.”

Kiran lantas menoleh. Dia menenggak botol minuman dingin. 

“Pantesan, nggak tau basic manner—

“Apa?” potongnya, cukup tersinggung. “Aku cuma penasaran, kenapa kita harus berkabar ketika Kakak bilang nggak mau kita saling ikut campur urusan pribadi?” 

Kiran tak langsung membalas. Dia menghabiskan sisa minuman. 

“Udah jadi aturan pribadi gue buat saling berkabar,” ucap Kiran sambil lalu. Dia menghampiri Runa, lalu menunjuknya. “Itu, kalau lo mau kita tinggal bareng. Semisal lo nggak mau ngabarin, lo bisa balik ke rumah Om Arya.”

Runa menyipitkan mata. 

“Mereka bakal curiga.”

Kiran mengangguk. Dia tersenyum separuh.

“Nah, itu pinter,” komentarnya kurang ajar. “Makanya, jangan keras kepala. Gue cuma mau lo ngabarin kalau harus pulang malam atau apa. Nggak baik anak gadis sendirian di kota, bisa diculik—”

Runa menyipitkan mata, seolah memberi peringatan agar Kiran tak kelewatan berbicara.

Kiran mendengkus. Dia lalu mengedikkan dagu ke arah kursi. 

“Duduk.”

Runa mendongak—karena Demi Tuhan, Kiran terlalu tinggi untuknya yang hanya mencapai pundak—untuk menatap dengan pandangan bertanya. 

Kiran balas melirik kaki Runa. 

“Biar gue liat,” ujarnya, seolah tindakan itu adalah hal normal yang dilakukan sepasang suami istri palsu yang tinggal serumah karena mereka terpaksa bersandiwara. 

Kiran tidak sebaik ini.

Siapa orang yang kini hidup di tubuh suami-nya ini?

Runa ingin menolak permintaan Kiran. Namun, dia tidak ingin berdebat. Jadi, dia langsung menurut. 

Begitu dia duduk di salah satu kursi dapur, Kiran telah berlutut. Dia meraih telapak kaki Runa dan memeriksa tumitnya yang lecet. 

Tanpa provokasi, tiba-tiba dia menekan bagian lecet itu.

Runa melebarkan mata. Dia hampir menendangnya, bersamaan dengan dia yang mengerang sakit. 

Pria di hadapannya … Kiran tergelak rendah.

Rasa sakit Runa memudar untuk sesaat. Dia menatap Kiran dengan pandangan kosong.

Demi Dosennya yang Galak, apakah Kiran yang antipati padanya ini baru saja tertawa karena menjahilinya? 

Runa terpaku. Dia merasa bingung, kesal, dan malu di saat bersamaan. 

Apakah Kiran aslinya memang sedikit gila seperti ini?

“Buat acara-acara lain nanti, nggak usah pakai high heels,” ucap Kiran dengan mendadak. “Lo nggak berbakat pakai alas kaki hak tinggi.” 

“Siapa juga yang mau pakai hak tinggi,” gumam Runa, menggerutu. 

“Orang pendek biasanya ‘kan mau tinggi.”

“Apa—”

“Kotak P3K ada di nakas ruang tengah,” ucapnya, memotong keterkejutan Runa. Dia berdiri. “Lo bisa ngobatin sendiri, kan?” 

Runa mengangguk tanpa memberi jawaban lain. Ekspresinya masih muram karena baru beberapa jam bersama sang teman rumah, tapi dia malah sudah diledek ini itu. 

Kiran mendengkus pelan ketika melihat masam di wajah Runa. Dia tak berkomentar apa pun dan hanya berpesan supaya Runa tidak terpeleset waktu menaiki tangga. Jalannya sudah kelewat pincang, katanya, seolah sedang berteriak meminta tolong. 

Runa menarik napas dalam ketika mendengarnya. 

Sejak kapan Kiran jadi sangat mengesalkan dan kelewat banyak bicara?

Apakah mengucapkan janji pernikahan palsu membuatnya langsung terkena karma?

Malam yang semakin larut membuat kepalanya makin melantur. Runa memutuskan untuk segera mengobati luka di tumitnya. Dia lalu berjuang untuk menaiki tangga, tanpa bantuan, karena Kiran tadi hanya menyemangati.

Kurang ajar memang. Pria itu sepertinya tidak punya empati. 

Malam pertama Runa dihiasi dengan kakinya yang terluka. Barang-barang di kamarnya belum tertata. Jejeran koper belum dibuka. Begitu pula gunungan hadiah pernikahan yang mungkin takkan dia lihat. 

Tinggal bersama Kiran akan menjadi warna baru di hidupnya. 

Dia harap, warna itu tampak cerah, bukan pekat dan hitam seperti warna kesukaan sosok yang kini menjadi suaminya. 

Tunggu, kenapa dia ingat dengan detail tidak penting itu? []

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
To Forgive
Selanjutnya to forgive (chapter 9 ; awal mengenal) - new version
5
0
Chapter ini berisi cerita “To Forgive” versi terbaru. Ada bagian chapter yang diedit, ditulis ulang ataupun penambahan chapter dari cerita “To Forgive” versi sebelumnya.Seluruh chapter ini akan diposting di wattpad dan dibuka kuncinya setelah proses penulisan ulang selesai. Chapter yang terkunci atau berbayar merupakan chapter dengan isi yang telah diedit atau ditulis ulang, sedangkan chapter yang tidak dikunci adalah chapter yang tidak atau sedikit mengalami perubahan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan