Broken Glasses - Chapter 4 ; Solusi

21
0
Deskripsi

Merupakan bab lanjutan dari cerita “Broken Glasses” yang juga diposting pada laman wattpad akun midgardst.

4 ; Solusi

TIDAK ADA KEHANGATAN yang menyambut ketika sepasang ayah dan anak itu kembali bertemu. Selama masa rehabilitasi, Nares memang tak sepenuhnya sendiri. Terkadang dia masih dikunjungi oleh kedua orang tuanya, meski frekuensi kunjungan tersebut sangatlah jarang. Dalam rentang waktu satu tahun, Hardana hanya sempat mengunjungi Nares tiga kali, sedangkan Dianti—ibunya—enam kali. 

Durasi pertemuan juga tidak begitu lama. Sang ayah datang hanya untuk menanyakan hal-hal trivial yang menurut Nares amat tidak penting. Ibunya juga demikian. Alih-alih berfokus pada keadaan Nares, sang ibu bahkan lebih senang bercerita mengenai kehidupannya sendiri, memberi tahu Nares segala rumor dalam keluarga besar yang sebenarnya tidak Nares pedulikan. 

Menghabiskan waktu di tempat rehabilitasi sudah cukup menguras energi. Dia tidak mengharapkan kehadiran kedua orang tua yang dianggap sama sekali tidak membantu. 

Lydia sempat memberi tahu bahwa peran kedua orang tua amat diperlukan dalam proses pemulihannya. Ucapan Lydia terdengar menggelikan. Dia langsung menolak mentah-mentah anjuran mengenai konseling keluarga yang sempat ditawarkan sang terapis. Konsep konseling keluarga terdengar bagaikan omong kosong. Hanya memikirkannya saja dia sudah mual. 

Bagaimana bisa Lydia memintanya duduk berdiskusi bersama ayah, ibu, dan juga kakak sialannya itu?

Dia lebih memilih mati dibandingkan harus berada di ruangan yang sama bersama mereka. 

Ransel berisi pakaian kembali tersampir di pundak. Nares beranjak ke dalam rumah tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada Aditya. Pria yang bekerja sebagai asisten pribadi sang kakak terlihat kesal saat melihat Nares yang langsung melengos pergi. Nares sama sekali tidak peduli dengan reaksi itu. Dia memasuki rumah dan langsung mendapati sang ayah yang sedang duduk santai di samping halaman.

Hardana Caturangga sedang menikmati kopi sorenya. Dia tengah membaca-baca berita melalui tablet ketika melihat kedatangan si bungsu. 

Sorot matanya tampak biasa saja saat melihat Nares. Dia memindai sekilas penampilan anaknya. Tanpa berkomentar apa pun, dia kembali menyesap minuman dan menyuruh Nares ikut duduk bersamanya. 

Perilaku Hardana masih sama seperti biasa. Dia memperlakukan Nares dengan normal, seolah anaknya ini tidak pernah terlibat kasus penyalahgunaan narkoba, seolah dia tidak baru saja keluar dari panti rehabilitasi yang mengisolasinya selama satu tahun terakhir ini. 

Hardana selalu begitu. Dia tidak pernah membahas kekacauan yang diperbuat anak bungsunya. Dia tidak pernah menganggap Nares bersalah, seolah semua masalah itu memang tidak pernah terjadi, seolah perilaku buruk Nares hanyalah angin lalu. 

Semuanya baik-baik saja—Hardana seakan ingin menyuarakan itu pada Nares.

Nares sudah hafal dengan tabiat ayahnya. Dia sama sekali tidak terkejut ketika sang ayah masih memperlihatkan reaksi yang sama. 

Tas ransel diletakkan di dekat kursi. Nares ikut duduk di seberang Hardana.

“Papa mau bahas apa?” tembak Nares langsung, tidak ingin ayahnya berbasa-basi dan menanyakan hal-hal tidak penting lain. 

Hardana meletakkan tablet ke atas meja. Dia duduk menghadap Nares setelah kembali mencicip minumannya. 

“Kamu kurusan,” komentar pria itu, tidak membalas pertanyaan sang anak. “Tempat rehab nggak kasih kamu makan?” 

Nares memutar mata ketika mendengarnya. 

Sungguh, siapa yang peduli dengan berat badan ketika dia harus menghadapi mimpi buruk yang menyulitkannya tidur hingga berhari-hari? 

“Rehabilitasi harusnya cuma tiga bulan,” tandas Nares saat itu. “Kenapa aku jadi harus tinggal di sana sampai setahun?” 

“Buat memperlihatkan kalau kamu memang serius untuk sembuh,” jawab Hardana. “Orang-orang nggak akan yakin kamu sudah bersih kalau kamu tinggal di sana hanya tiga bulan.”

Nares mendengkus pelan, tidak mempercayai ucapan ayahnya. 

“Nggak akan ngaruh,” timpal Nares saat itu. “Semuanya udah rusak. Tinggal tunggu waktu sampai kakek tua itu nyuruh aku tinggal di luar negeri.” 

“Tinggal di luar negeri bukan opsi buruk. Sayangnya, kita sudah punya solusi yang lebih bagus supaya kamu bisa tetap kerja.”

Nares langsung mengerutkan dahi begitu mendengar penuturan itu. Di saat yang sama, Hardana menyodorkan sebuah tablet padanya. Layar tablet itu menyala terang dan memperlihatkan foto seorang wanita. 

“Namanya Wilona Elga Winanta. Dia putri dari Anthony Winanta, Direktur Utama PT Metro Karya,” jelas Hardana, memberi konteks dari foto yang dia perlihatkan pada anaknya. “Metro Karya ini dirintis oleh Susilo Winanta, pengusaha populer yang memulai bisnisnya di Singapura. Perusahaan ritel mereka sudah mulai mendominasi pasar lokal sejak satu dekade lalu. Perusahaan itu bisa jadi batu loncatan buatmu untuk kembali ke dunia bisnis.” 

Hardana menegakkan badan. Dia menatap lurus putra bungsu yang masih memandang layar tablet dengan kening berkerut. 

“Kamu merasa mengenal dia?” tanyanya. “Kalian mungkin memang pernah bertemu. Wajah Wilona nggak seasing itu buat para pengusaha muda. Dia desainer, sekaligus founder dan owner Frimora, salah satu brand fashion lokal. Kalian mungkin pernah ketemu di acara-acara besar.” 

Nares mengalihkan pandangan dari layar gadget. Dia kembali menatap ayahnya. 

“Dia mantan istrinya anak pengusaha tambang itu, kan?” timpal Nares dengan segera. “Jonathan Candrakusuma, tiga tahun kemarin berita perceraian mereka rame banget di media. Belum lagi berita dia yang dipenjara.” Nares meletakkan tablet di atas meja. Dia menunjuk layar tablet itu. “Ada juga berita tentang mantan istrinya ini. Dia terbukti pernah hampir bunuh suaminya sendiri.” 

Nares menatap ayahnya lama-lamat. Detik berikutnya dia mendengkus dengan tidak menyangka. 

“Solusi yang Papa maksud itu apa? Aku mau dijodohin sama cewek gila ini?” 

Kini giliran Hardana yang mengerutkan kening dalam-dalam. Dia kentara sekali tidak suka dengan cara Nares berbicara. 

Hanya saja, dia tidak lanjut mempermasalahkannya. 

“Keluarganya mau memberi kamu tempat di perusahaan mereka. Itu yang terpenting.”

Nares lantas berdecak keras. 

“Kenapa harus di perusahaan mereka? Kenapa nggak urus LMT aja? Perusahaanku masih ada, kan?” tandasnya. 

Hardana balas berdecak. Dia mengibaskan tangan dengan kesal. 

“Ada, tapi apa yang sekarang bisa kamu lakukan? Kunci LMT sudah dipegang Prasada,” jelas Hardana, mulai terpancing. “Anggota komisaris lain sama sekali nggak mempermasalahkan perubahan itu. Dari hasil rapat besar, semuanya setuju untuk mempertahankan jejeran direksi yang sekarang mengelola LMT. Nggak ada celah lagi buat kamu masuk ke sana. Setidaknya untuk sekarang.” 

“Kalau gitu, mendingan aku tinggal di luar negeri sekalian.”

“Mau ngapain kamu di luar negeri?” sergah Hardana dengan spontan. “Sekarang ini, kamu harus mulai belajar lagi dari awal. Kakekmu sudah sakit-sakitan, bentar lagi ada pembagian waris. Kamu memangnya nggak mau dapat bagian dari kakekmu?” tandasnya keras. “Kecuali kamu mau hidup susah tanpa fasilitas yang sekarang kamu punya. Silakan, kamu bisa bertindak seenaknya. Sagala yang nanti menguasai semuanya dan makin menginjak-injak kamu. Sekarang saja dia sudah nggak menganggap kamu adik seperti ini. Bagaimana kamu nanti kalau dia sendiri yang sudah memegang seluruh saham Dikara?” sinisnya.

Mendengar nama sang kakak, Nares langsung berdecak kesal. 

“Si bangsat itu lagi,” umpatnya. “Papa masih nganggap dia anak?” 

Hardana menatap Nares lurus. Namun, dia tak memberi jawaban apa pun. 

Alih-alih membalas pertanyaan putra bungsunya, dia mengambil tablet dan berdiri. 

“Kita obrolin sama ibumu. Dia yang sempat mengajukan ide perjodohan ini. Dia tau opsi terbaik buat menyelamatkan kamu.”

Nares memandang pasif sosok yang mulai beranjak ke dalam rumah. Dia belum ikut beranjak. Dia tidak punya keinginan untuk beranjak. 

Alih-alih bangkit, dia masih duduk di tepi halaman. Matanya memandang nanar jejeran tanaman yang menghiasi tanah lapang ini. 

Menyelamatkan kamu,” ulang Nares saat itu. “My ass,” tandasnya. “Menyelamatkan reputasi, itu yang harusnya lo bilang.” 

Tinggal di luar negeri dan menghilang dari dunia bisnis hanya akan menciptakan berita miring lain untuk keluarganya. Orang-orang akan semakin bertanya-tanya, masalah apa yang menimpa anggota keluarga mereka. 

Nares sama sekali tidak peduli dengan tanggapan semacam itu. Orang tua dan kakeknya yang peduli. Mereka tidak ingin mendapat cap buruk dari pengusaha dan kenalan terhormat lain. Keluarga Caturangga bukan sekadar keluarga biasa. Nama mereka disegani oleh banyak kalangan atas, termasuk orang-orang yang duduk di kursi pemerintah. Segala kotoran yang mengancam reputasi keluarga harus segera dibersihkan. 

Semua usaha mereka untuknya sudah pasti bukan karena benar-benar ingin membantu. Mereka mempunyai tujuan lain yang sudah pasti menguntungkan mereka sendiri.

Nares memandang kosong langit sore yang masih terlihat cerah. 

Telapak tangannya mencengkeram lengan kursi dengan kencang. Selang beberapa saat, dia mengumpat. Kepalanya mulai berkabut oleh kemelut emosi. 

Dia membenci dunia ini. 

Mengapa, pelariannya, cara terbaik untuk melupakan tekanan realita, malah dirampas dari hidupnya? 

oOo

Profil seorang pria beserta rekam jejak pekerjaannya terpampang di layar komputer. Pasca pertemuannya dengan sang ayah, Wilona langsung mendapatkan data diri Nareswara Caturangga dari sosok itu. Informasi yang terlampir pada profil ini tampak amat menarik. Mulai dari potret formal yang menonjolkan paras atraktif sang lelaki, hingga riwayat pendidikan dan pekerjaan yang berkualitas. 

Wilona akan terpukau dengan paparan profil itu kalau saja dia tidak mendengar berita buruk mengenai penangkapannya. Belum lagi, dulu dia sempat melihat Nares yang juga hadir di tempat yang seharusnya tidak dihadiri. Orang baik-baik pasti tidak akan muncul di sebuah pesta yang melegalkan pemakaian narkotika. 

Acara semacam itu sangatlah kacau dan liar. Wilona tidak sudi untuk kembali mengingatnya. Dulu, dia memang tidak memperhatikan Nares dengan seksama. Namun, kemunculannya di tempat itu sudah menunjukkan bahwa Nares tidak sebaik profil yang kini dia baca. 

Apalagi, Nares juga berasal dari keluarga konglomerat seperti mantan suami Wilona. Ada banyak hal yang pasti dilakukan keluarga itu untuk menyelamatkan nama Nares jika sosok itu bertindak buruk. 

Makin dipikirkan, makin yakin pula dia bahwa Nares sama buruknya dengan si mantan suami. 

Wilona merasakan kepalanya yang berdenyut nyeri. Dia tidak melihat indikasi baik dari perjodohan ini. 

Pesan terbaru dari ayahnya, mengenai mereka yang akan mengadakan makan malam besar bersama Keluarga Caturangga, juga sama sekali tidak membantu meredakan rasa pusing itu. 

Wilona sedikit mendorong kursi kerjanya ke belakang. Dia menarik napas pelan dan memijat pelipis. Ketukan seseorang di depan pintu kantor membuatnya menegakkan badan. Dia menutup jendela komputer yang sempat menampilkan data diri calon suami-nya. 

Seorang perempuan berkacamata datang dengan membawa beberapa map berisi dokumen. 

“Mbak Dian,” sapa Wilona begitu melihat rekan kerjanya. “Rapatnya udah selesai?”

Diandra, sosok yang juga merupakan pengelola utama Frimora, menyerahkan map pada Wilona. 

“Udah, ini ada rancangan desain produk baru yang tadi dibahas tim produksi.” Diandra menatap Wilona sesaat. Dia mengerutkan kening samar. “Kamu lagi sakit?”

Wilona menerima uluran map itu. Dia melirik Diandra dan berujar, “I’m fine,” tanpa memberi penjelasan lain. “Rapat yang tadi, ada berapa produk yang akhirnya mau dimodif?” 

Diandra menatapnya sesaat, menyadari Wilona yang lebih berminat membicarakan masalah pekerjaan dibanding hal personal. Hal yang demikian tidaklah mengejutkan. Wilona tidak pernah terbuka. Meskipun Diandra berposisi sebagai partner kerjanya, dia hampir tidak mengetahui kehidupan privat Wilona. 

Penjelasan mengenai hasil rapat terucap dari mulut Diandra. Wilona mendengarnya dengan seksama dan berpesan bahwa dia akan segera meninjau desain terbaru yang diajukan salah satu tim produksi mereka. 

Selang beberapa saat, dia melihat Diandra untuk menanyakan keperluan lain yang perlu didiskusikan. Diandra hanya menggeleng saat mendengarnya. Dia terlihat ragu untuk beranjak. Saat Wilona hendak bertanya, Diandra sudah terlebih dulu angkat bicara. 

Talk to me if you need someone to talk,” ujarnya. “Aku nggak mau Frimora krisis lagi karena kamu absen. Kita semua butuh kamu, Wilo. Jangan memforsir tenaga, ya?” 

Wilona menatapnya kosong. Air wajahnya masih sama, tak memperlihatkan ekspresi yang berarti, bahkan setelah dia mendengar penuturan salah satu orang terdekatnya. 

Ucapan Diandra dibalas dengan gumaman. Wilona tidak lanjut membahas penuturan itu karena dia segera menghubungi asisten pribadinya.

Wilona sempat mendengar Diandra yang mengembuskan napas pelan, seolah dia lelah menghadapi kolega sepertinya. Dia memilih untuk mengabaikan gerak gerik itu dibanding memikirkan hal lain yang hanya menambah pening. 

“Gimana, Bu? Ada yang bisa saya bantu?” tutur sang asisten melalui sambungan telepon. 

Wilona sedikit menarik gagang telepon selagi memperbaiki posisi duduknya. 

“Kamu masih punya kontak pengacara saya, Nggi?” tanya Wilona. Ketika asistennya mengiakan, dia lanjut berkata, “Tolong kamu hubungi dia. Tanyakan dia ada waktu luang kapan dalam tiga hari ini. Saya ada keperluan sama pengacara itu. Kabari saya lagi kalau kamu sudah dapat jawaban.” 

Sang asisten menyanggupi ucapan Wilona. 

Setelah menyampaikan pesan tersebut, Wilona menutup panggilan. Dia beranjak dari ruang kantor menuju dapur. Selagi berjalan, Wilona mulai memikirkan poin-poin yang perlu dia cantumkan pada perjanjian pranikah yang hendak dibuat. Pertemuan dengan Nareswara akan dia pikirkan nanti. Yang terpenting, dia menyiapkan dokumen untuk menjamin keselamatan hidupnya. 

Terjun lagi ke dalam tebing yang hampir merenggut nyawanya bukanlah hal yang dia inginkan. Wilona sama sekali tidak ingin kembali menikah setelah berpisah dengan mantan suaminya. 

Pernikahan telah memberi luka yang dalam di hidupnya. Dia tidak ingin kembali mencoba. Membuka mata setiap hari saja membutuhkan cukup banyak perjuangan. Wilona memiliki keinginan besar untuk terlelap tanpa mengenal batas waktu. Ketenangannya hanya ada dalam mimpi. Itu pun jika kekacauan di masa lalu tidak ikut membayangi seperti dua hari kemarin, saat dia kembali dihantui mimpi buruk yang akan selalu mencabik jiwanya.

Wilona sudah lelah. Namun, dia tidak bisa meninggalkan putrinya seorang diri. 

Menolak perjodohan hanya akan membawanya pada perdebatan yang tak berkesudahan. Wilona lebih memilih untuk mengalah. Dia akan mencoba mencari jalan lain untuk mempermudah hidupnya. 

Perjanjian pranikah dapat menjamin keselamatan hidup itu. Dia akan berusaha agar setidaknya, dia bisa menoleransi kehadiran orang lain yang akan menjadi suaminya. Dia tak lagi mengharapkan kebahagiaan. Sekarang ini, dia hanya mengharapkan ketenangan. Dia tidak ingin sepi dalam hidupnya terusik hanya karena kedatangan orang baru yang dilabeli sebagai pasangan. []

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Broken Glasses
Selanjutnya Broken Glasses - Chapter 5 ; Impresi
25
2
Merupakan bab lanjutan dari cerita “Broken Glasses” yang juga diposting pada laman wattpad akun midgardst.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan