Jodoh Pilihan Allah (part 9-10)

0
0
Deskripsi

“Aku terlalu menginginkanmu sampai aku lupa jika lauhul mahfudzku belum tentu kamu.”

 

 

 

Nadhira tersenyum getir, tidak munafik hatinya terasa sakit mendengar kabar mengejutkan itu dari ibunya. Lantas apa maksudnya hari itu? Dia melamarnya dan tiba-tiba sekarang dia dikabarkan akan menikah? Sungguh lelucon yang---

Gila! 

Nadhira menghembuskan napas panjang, mungkin ini pertanda yang Allah berikan untuknya. Jika memang bukan dia jodohnya dan ada yang lebih baik untuknya. Sahya contohnya. 

Nadhira menghela napas panjang entah keberapa kalinya, ia berdiam diri di kamar sejak tadi. Setelah mendengar kabar itu jujur saja Nadhira sedikit merasa patah hati. Tidak munafik jika dia memang menyukai pria itu. 

Tapi mendengar ucapan ibunya tadi membuat Nadhira kembali berpikir. Jika dia benar mencintainya bukankah seharusnya ia langsung menerima lamarannya, bukan justru membuatnya menunggu tanpa kepastian sampai ia memilih bersama perempuan lain. 

"Ya Allah, sungguh rasanya sakit sekali!" Tanpa sadar air mata Nadhira mengalir. Sesak rasanya, tapi Nadhira mencoba ikhlas karena ia percaya rencana Allah yang terbaik. 

"Nadhira, tolong antarkan ini ke rumah Mbak Rea." Ibunya muncul membuka pintu kamarnya dan menunjukkan pisang yang masak. 

Kenapa harus sekarang? Nadhira belum siap jika harus bertemu dia. Ya, rumah Abi tepat di depan rumah sepupunya itu. 

"Harus sekarang ya, Bu?" lirih Nadhira. 

"Iya, soalnya Mbak Rea mau buat kue besok kan mau ada yasinan di rumah Mbak Rea," ucap Ibu. 

Terpaksa Nadhira bangkit, sungguh berat menjalankan perintah ibunya satu ini. Ia mengambil pisang itu dan berjalan pergi. Malas jalan kaki Nadhira mengeluarkan motornya. 

Nadhira menatap pantulan dirinya, ia mengulas senyum tipis. Dia tidak boleh terlihat bersedih, apalagi jika harus bertemu dengan mas abi.

Tak sampai tiga menit, Nadhira sampai, dia sempat melihat ke rumahnya dan ya ada sanak saudara yang sudah membantu persiapan. Dadanya semakin terasa sesak melihatnya. Tepat saat itu Abi keluar, ia pun terlihat terkejut melihat Nadhira. Namun, gadis itu buru-buru masuk ke rumah sepupunya. 

Nadhira tersenyum saat melihat keponakannya yang lucu. "Hai cantik, kakak kangen sekali!" Pisang itu ia taruh dan beralih menggendong keponakannya yang kini berusia empat tahun. 

"Loh, Nadhira kamu pulang?" Mbak Rea datang dari arah dapur. 

"Iya, mbak. Besok sudah kembali lagi. Ini pisang dari ibu," ujarnya. Mengambil kembali pisang itu dan menyerahkannya ke Mbak Rea. 

"Terimakasih ya sampaikan ke ibumu." Nadhira mengangguk, ia duduk dengan keponakan di pangkuannya. 

"Mas Abi mau nikah ya, Mbak? Dapat orang mana?" tanya Nadhira penasaran. 

Mbak Rea yang berada di dapur mengangguk ia mematikan kompornya ikut duduk di sebelah Nadhira. 

"Iya, dijodohkan sama anaknya pak kyai. Sebenarnya Mas Abi juga menolak katanya dia sudah punya pilihan tapi kamu tahu sendiri ibunya memaksa dan jika Mas Abi tetap ingin membatalkan perjodohan ini dia harus membawa calonnya itu ke sini tapi dia nggak ada tanggapan, ya di pikir ibunya Mas Abi bohong makanya dia tetap di jodohkan sama anaknya pak kyai itu. Cantik juga kok anaknya, Mbak kenal pernah ngaji bareng!" terang Mbak Rea. 

Ternyata seperti itu. 

Tidak sepenuhnya salah dia. 

Tetap saja semuanya sudah terlambat! 

Nadhira mengangguk, dia tersenyum miris. Mungkin memang belum jodohnya saja. 

"Nadhira pulang dulu ya, Mbak." Pamitnya. Ia mencium keponakannya gemas sebelum menurunkannya kembali. 

Nadhira tidak sadar jika sedari tadi Abi menunggunya. Melihat ia keluar dari rumah Mbak Rea, Abi segera menghampirinya. 

"Aku mau ngomong sama kamu!" ucapnya serius. 

Nadhira menundukkan kepalanya, dia tetap berjarak dengan Abi. “Tentang apa? Oh iya, selamat untuk pernikahannya ya, Mas. Semoga di lancarkan sampai hari-H.”

"Nadhira, jangan bahas itu!" Suara Abi yang penuh penekanan membuat Nadhira bungkam. 

Abi menghela napas panjang, dia bahkan tidak perduli dengan kondisi sekarang. Entah ada yang melihat atau tidak, yang Abi mau sekarang ia menjelaskan semuanya dengan Nadhira dan berharap pernikahan ini tidak terwujud. 

"Aku dijodohkan Nadhira, aku sama sekali tidak mencintai perempuan itu. Aku cuma cinta sama kamu!" ucap Abi, cukup jelas telinga Nadhira mendengarnya. 

Kedua mata Nadhira memejam, bahkan Abi tidak lagi memanggilnya dengan embel-embel mbak. 

“Semuanya sudah terlanjur, Mas. Cinta itu akan hilang, Allah Maha membolak-balikan hati. Allah yang mengatur pernikahan ini dan Allah yang akan membuat Mas Abi jatuh cinta sama calon istri, Mas. Tolong jangan seperti ini, Nadhira nggak mau ada yang salah paham.”

“Nadhira, kalau kamu juga mencintaiku dan menerima lamaranku. Aku akan perjuangkan kamu, aku bisa batalkan pernikahan ini, jika aku membawa pilihanku menghadap ayah dan ibu. Kalau mereka tahu itu kamu, mereka juga pasti akan setuju. Pernikahan ini akan batal!”

Nadhira tersentak ia tidak percaya akan mendengar hal seperti itu dari Abi. 

"Maaf, aku tidak bisa!" ucap Nadhira dengan nafas tercekat. Ia tidak akan melakukan itu! 

"Kenapa?" Suara Abi terdengar putus asa. 

Nadhira meremat pakaian yang ia kenakan. "Maafkan aku, Mas Abi. Aku tidak bisa mengecewakan orang tuamu, terlebih calon istrimu. Aku juga seorang perempuan, aku tahu bagaimana perasaannya. Saat kamu membatalkan pernikahan ini tidak hanya keluargamu dia akan menanggung malu seumur hidupnya." 

Apakah Abi tidak memikirkan itu semua? 

Dengan mudah dia membatalkan! 

"Katakan yang sejujurnya, bukan itu alasannya kan? Apa kamu menyukai pria lain? Pria itu? Yang kita temui di parkiran?" ucap Abi kini sedikit terbawa emosi. 

Nadhira diam, kini ia justru di pojokkan? Nada bicara Abi pun terdengar seakan menyentaknya. 

“Mas Abi...”

“Seharusnya dari awal kamu menolakku, jangan membuatku menunggu jika akhirnya seperti ini. Nadhira, kamu tahu berapa lama aku menunggumu? Berapa lama aku memendam perasaan untukmu? Kamu tahu betapa sakitnya hatiku saat ini? Aku harus menikah dengan perempuan yang sama sekali tidak aku cintai!”

Nadhira semakin menunduk, matanya merembang dia ingin menangis rasanya mendengar penjelasan Abi. 

"Maaf," hanya kata itu yang keluar dari bibir Nadhira. Masih setia dengan kepala yang menunduk, Nadhira mengigit bibir bawahnya gugup. 

"Maaf telah menyakitimu, maaf telah membuatmu menunggu lama. Tapi aku selalu berdoa agar kamu selalu bahagia, Mas. Aku harap kamu akan bahagia dengan pernikahanmu, tolong hapus perasaanmu untukku karena ternyata kita tidak di takdirkan untuk bersama. Ada yang lebih baik untukmu yang sudah Allah siapkan untukmu. Allah tahu apa yang terbaik untuk kita sedangkan kita tidak tahu. Dia yang akan menjadi calon istrimu adalah dia yang namanya terukir di lauhul mahfudmu bukan aku," jelas Nadhira.

Tepat di kalimat terakhirnya air matanya menetes, Nadhira semakin menunduk menghapus air matanya cepat. "Aku pulang, Mas. Assalamu'alaikum." Nadhira buru-buru mengendarai motornya dan berlalu pergi. 

Sedangkan Abi terdiam di tempatnya, tangannya mengepal matanya memerah, dadanya terasa sangat sesak. Ternyata rasanya sesakit ini! 

Dia yang akan menjadi calon istrimu adalah dia yang namanya terukir di lauhul mahfudmu bukan aku. 

Kalimat Nadhira terus berputar di kepalanya, detik selanjutnya air mata Abi terjatuh. Kedua matanya terpejam, rasanya teramat sakit. 

"Kenapa bukan kamu, kenapa bukan nama kamu Nadhira. Aku selalu berdoa di sepertiga malam, aku selalu melangitkan namamu, aku selalu memintamu di hadapan Tuhan. Tapi kenapa ending cerita ini bukan kamu? Kenapa justru orang lain, yang mengenalnya saja aku tidak. Kenapa harus orang lain?" 

Aku mencintai Nadhira, dengan sangat! 

 

****

Mata Nadhira memerah sampai rumah ia tak dapat menahan tangisnya. Merlyn yang melihat itu merasa heran terlebih melihat putrinya yang langsung masuk kamar dan menangis. 

"Sayang, kenapa?" tanya ibu Nadhira dengan raut khawatir. 

Nadhira terisak, ia memeluk tubuh ibunya erat. Hatinya terasa sangat sakit, dadanya terasa sesak. Sakitnya luar biasa!

"Cerita sama ibu, Sayang. Kamu nggak sendiri, kamu punya ibu!" ucap Merlyn dengan suara tenang dan mata yang menatap teduh. 

Nadhira melepas pelukannya, matanya menyiratkan kekecewaan yang luar biasa. “Ibu, orang yang Nadhira ceritakan, dia yang melamar Nadhira dan dia yang Nadhira cintai. Dia adalah....”

"Mas Abi, Bu!" Nadhira menjeda ucapannya dengan kata terakhir terucap dengan sangat berat. 

Merlyn terkejut, sangat terkejut. Kedua matanya membulat mendengar penuturan putrinya. "Mas Abi?" ulangnya takut salah dengar. 

Nadhira mengangguk. "Barusan Nadhira ketemu dan Mas Abi bilang ini bukan keinginannya, dia dijodohkan dan dia tidak mencintai calon istrinya. Dia bilang kalau Nadhira mau di bawa menghadap orang tuanya dia bisa membatalkan pernikahan ini. Tapi Nadhira nggak mau, Bu. Nadhira nggak bisa nyakitin hati perempuan lain, apalagi kalau harus mengecewakan keluarga Mas Abi kalau sampai pernikahan ini batal. Nadhira juga nggak mau menghancurkan kebahagiaan perempuan lain. Tapi, Bu... Hati Nadhira sakit, Nadhira sangat mencintainya, Nadhira berat untuk mengikhlaskan seseorang yang bahkan belum sempat Nadhira miliki." Suaranya tersengal dengan isak tangisnya. 

Merlyn merengkuh tubuh putrinya memeluknya sangat erat. Dia usap punggung putrinya lembut, ia mengerti sehancur apa hati putrinya saat ini. Ia tahu sesakit apa rasanya. 

"Sayang..." lirih Merlyn. Ia tak sanggup menahan tangisnya melihat seterluka apa putrinya saat ini. 

"Ibu, keputusan Nadhira udah bener kan, Bu? Nadhira sangat mencintai Mas Abi tapi Nadhira...." ia semakin terisak, dadanya terasa semakin sesak. 

Merlyn menghapus air matanya melepas pelukan mereka menatap putrinya lekat. "Sayang, denger ibu!" ucapnya.

Merlyn mengusap pipi Nadhira lembut. "Ikuti kata hati kamu, kalau kamu mencintai dia kamu boleh kok egois. Kalau kamu benar ingin bersamanya kamu boleh merebutnya. Tanya sama hati kamu, apa benar dia yang kamu inginkan. Sayang, kalau dia memang takdir kamu Allah akan kasih jalan. Tenangkan diri kamu dan coba tanya sekali lagi apa yang di mau hati kamu!" 

Nadhira memejamkan matanya, sesak di dadanya sedikit berkurang. Napasnya mulai teratur, kalimat penenang dari ibunya seakan memberikan jalan keluar atas segala kebuntuan hatinya. 

Tanya hati kamu lagi! 

Merlyn tersenyum tipis mengusap kepala Nadhira yang terbalut khimar. "Salat, minta petunjuk sama Allah. Sayang, apapun keputusan kamu ibu akan selalu mendukung kamu. Menikah itu ibadah terlama, seorang perempuan memilih seorang pria seperti halnya dia memilih nahkoda untuk sebuah perahu, entah perahunya akan dibawa ke arah baik atau sebaliknya. Libatkan Allah untuk setiap urusan yang kamu lalui, InsyaAllah kamu akan selalu terlindungi sayang." 

Nadhira mengangguk, ia tersenyum pedih, melihat ibunya yang sudah keluar kamar. Nadhira mengambil air wudhu menjalankan salat dzuhur. Di sujud terakhirnya cukup lama Nadhira berdoa, tempat paling dekat dengan Allah. Air matanya kembali turun, sungguh Nadhira membutuhkan petunjuk dan ketenangan hati. 

Membaca Ayat suci Al-qur'an mampu memberi ketenangan dalam hati dan jiwa Nadhira. Tak lagi memikirkan masalah itu, jiwanya benar-benar hanyut dalam bacaannya. Nadhira seakan telah di bukakan jalan keluar atas segala masalahnya. 

"Ya Allah, jika memang dia bukan di takdirkan untukku maka tolong hilangkan perasaan dan rasa sakit ini. Sungguh, hamba tidak ingin terjebak dalam dosa dan sesuatu hal yang kau benci. Tolong berikan petunjuk dan jalan keluar atas masalah ini, ya Rabb." 

Nadhira mengusap wajahnya pelan masih setia duduk di atas sajadah. Nadhira justru membaringkan tubuhnya di sana. "Rasanya sangat sakit ya Allah. Tolong lapangkan dada hamba untuk menerima rencanaMu dengan ikhlas." 

Ponsel Nadhira bergetar, ia segera mengambilnya dan melihat pesan dari Zainab. 

Zainab: 

Nadhira, abi jatuh sakit

Nadhira merasa sangat cemas mendengar kabar dari sahabatnya ia buru-buru memakai jilbabnya dan mengambil kunci motor serta tasnya. 

"Ibu, Nadhira harus kembali sekarang. Abi sakit!" ucap Nadhira cemas. 

Merlyn tahu jelas siapa yang Nadhira maksud karena Nadhira selalu menceritakannya. Keluarga Zainab seakan keluarga kedua Nadhira di sana. Terlebih mereka mengajarkan agama lebih dalam lagi pada Nadhira. 

"Hati-hati, Sayang! Kamu yakin mau langusng pulang sekarang? atau ibu minta tolong saudara buat antar kamu?" tanya Merlyn takut jika Nadhira harus bersepeda dengan suasana hati seperti ini. 

"Nadhira nggak apa-apa kok, Bu. Allah yang akan jaga Nadhira, ibu nggak usah khawatir!" Nadhira mengecup punggung tangan ibunya menerima balasan kecupan di wajahnya ia segera pergi. 

Selama  di perjalanan fokusnya hanya pada keadaan abi, masalah yang baru saja datang seakan telah hilang dari pikirannya. Dua jam perjalanan akhirnya Nadhira sampai, di rumah sakit yang Zainab katakan. 

Nadhira bahkan lupa dengan matanya yang sembab, terlihat sekali jika gadis cantik itu baru saja menangis. Ia menuju ruangan abi sesuai dengan pesan Zainab tadi. 

"Umi, Zainab, bagaimana keadaan abi?" Nadhira mengalami tangan Umi Salma, wajah cemasnya jelas terlihat. 

Umi Salma dan Zainab terfokus pada mata sembab gadis itu. "Abi masih di periksa dokter, sayang kamu kenapa? Putri umi ada masalah apa?" Pertanyaan itu langsung terlontar dari bibir umi Salma. 

Umi mengusap pipi Nadhira lembut. "Siapa yang sudah membuat putri umi menangis?" tanyanya lagi. 

Tatapan cemas itu terlihat jelas, mata Nadhira justru terasa memanas saat ini. Melihat bagaimana sikap umi dan juga sahabatnya yang begitu mengkhawatirkannya. Padahal saat ini kondisi abi yang cukup mengkhawatirkan. 

"Umi, Zainab." Tepat saat itu Sahya sayang dengan napas tersenggal, terlihat jika dia terburu-buru datang kemari. 

Tak sengaja ia menatap mata sembab Nadhira, Sahya seketika mengalihkan pandangannya. Namun, ada yang sakit dalam hatinya melihat Nadhira yang jelas tidak dalam kondisi baik. 

"Abi masih di periksa, Mas." Zainab mengabarkan. 

Nadhira tersenyum kecil, mengenggam tangan umi yang mengusap wajahnya. "Nadhira nggak papa, Umi. Nadhira baik-baik aja," ucapnya. 

Umi Salma mengangguk meski ia tak percaya jika gadis itu baik-baik saja. Umi Salma membawa Nadhira untuk duduk, ia merangkul bahunya memberikan usapan lembut. 

"Umi akan selalu ada buat kamu Sayang, jangan pernah ngerasa sendiri. Kita keluarga kamu di sini, Umi sedih lihat kamu sedih, Umi akan marah kalau sampai ada yang berani nyakitin putri Umi. Air mata kamu itu berharga, sangat!" 

Dia tidak sendiri! 

Nadhira mengangguk, kedua matanya berkaca-kaca. “Makasih, Umi. Udah anggap Nadhira sebagai putri Umi, padahal Nadhira hanyalah orang asing di keluarga ini.”

“Kata siapa Nadhira orang asing, kan kamu calon mantu Umi, Sayang!”

Calon mantu? 

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Jodoh Pilihan Allah (part 11-12)
1
0
“Nadhira, ingin memberikan jawaban atas niat baik, Mas Sahya!”Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, wallahu waliyyu taufiq.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan