Memoar Orang Tak Dikenal (Bab 2)

1
0
Deskripsi

Keluarga yang kau miliki, walau penuh kekurangan, akan selalu membuat sebagian orang iri hati. Sebab mereka terpaksa harus menciptakan keluarga fantasi demi menghibur diri. Salah satu dari orang itu adalah aku. Kenapa aku harus menciptakan keluarga fantasi? Bab 2 dari Memoar Orang Tak Dikenal ini akan mencoba menjawabnya. 

Bab 2

Keluarga Fantasi

Hey mom, hey dad. When did this end? Where did you lose your happiness?.I'm here alone inside of this broken home. Who's right, who's wrong. Who really cares. (Broken Home, 5 Seconds of Summer)

Kalau ada manusia yang paling aku cemburui bukanlah manusia yang cantik, cerdas, atau kaya raya. Bukan pemain basket ulung, langganan juara kelas, atau mereka yang ke sekolah memakai sepatu Nike harga jutaan, diantar mobil mewah dengan supir pribadi. Barangkali itu juga, namun tidak terlalu. Mengingat aku adalah anak yang dibesarkan untuk menjadi selalu rendah diri karena kondisi, maka terlalu banyak pihak yang harus aku cemburui. Bukan cemburu seperti pacaran, bukan. Lebih cemburu seperti iri atau sirik. “Sirik tanda tak mampu,” kata orang. Benar juga, kalau mampu, kenapa harus sirik? 

Mereka yang punya saudara kandung, terlebih saling akrab, saling sayang. Itulah tipe manusia yang paling aku cemburui. Beberapa teman ada yang punya kakak atau adik satu sekolah. Sumpah, aku iri sekali dengan mereka. Tidak peduli mereka sering bertengkar, berebut sesuatu, berkelahi, saling jambak, saling pukul, saling mengadu ke guru. Sejelek, sebodoh, atau seburuk apapun kondisi mereka, akan selalu nampak indah di mataku karena mereka punya adik atau kakak yang kerap jadi andalan. 

“Yah, uang jajan gue hilang!”

”Hayolo, terus gimana?”

“Ngga apa, nanti gue minta ke kakak gue.”

Atau.

“Eh, jelek, apa lu liat-liat? Mau gue tabok?”

“Awas lu, gue aduin ke abang gue!”

Percakapan-percakapan remeh macam itu yang bikin aku sering merasa jadi manusia paling apes sedunia. Sebab aku tidak punya saudara kandung. 

Sebentar, sebenarnya aku punya. Dua kakak kandung, perempuan dan lelaki. Hanya, mereka tidak pernah ada di dekatku. Terakhir tinggal di satu rumah bersama mereka adalah saat aku belum bersekolah. Di sebuah rumah kecil di tepi kali, pinggiran barat Jakarta yang masih lumayan rindang di masanya. Sampai terjadi entah peristiwa apa yang membuat kami tercerai berai. Kakak dan abang diboyong ibu kandung kami, yang aku kurang tahu juga ke mana. Aku sendiri ikut kakek dan nenek ke sebuah rumah baru yang lebih bagus dan lumayan. Sejak itu aku menjadi anak tunggal, tercerabut dari keluarga inti. Tunggu dulu, aku sendiri tidak pernah merasa betah dengan keluarga inti atau keluarga besar atau keluarga apapun itu. Baru setelah bersekolah, melihat beberapa teman begitu nyaman memiliki kakak atau adik kandung, aku merasa begitu menderitanya tidak punya siapa-siapa.

“Kamu anak tunggal? Ngga punya saudara?”

“Ada kok, cuma ngga satu sekolah.”

“Oh ya? Sekolah di mana mereka?”

Aku menyebut asal nama sekolah yang pernah kudengar. 

“Perempuan apa laki? Kelas berapa?”

“Laki semua, dua orang. Kelas empat dan lima.”

Tentu saja aku mengarang. Sengaja kusebut saudaraku lelaki semua, sebab aku tidak suka saudara perempuan. 

Sekali berbohong, selamanya harus berbohong. Satu kepalsuan harus diikuti dengan kepalsuan lain. Selanjutnya aku mesti mengarang lebih panjang lagi, mencocokkan setiap dusta agar selalu konsisten. Ini tidak mudah, mengingat aku masih kelas 2 SD. Di tengah gempuran PR, ulangan, ujian, rumus-rumus matematika, daftar hapalan regullar dan irregullar verb, aku tetap harus mengingat siapa nama kakak-kakak khayalanku, nama lengkap, nama panggilan, nama julukan, berapa usianya, kapan ulang tahunnya, apa hobi mereka, seperti apa karakternya, di sekolah mana, kelas berapa, apa makanan kesukaannya, dan seterusnya. Sungguh melelahkan. Sebisa mungkin obrolan seputar keluarga aku hindari. Berbohong itu melelahkan. Ada saja yang bertanya, kenapa kakak-kakakku tidak bersekolah di sekolah yang sama denganku? Kenapa tidak ada seorang pun teman yang pernah melihat mereka? Apakah temanku boleh main ke rumahku, bertemu dengan kakak-kakakku atau sekadar membuktikan keberadaan mereka? Kian lama, pertanyaan mereka kian sulit saja. Otak ini harus diputar terus demi menciptakan alasan yang bisa masuk akal untuk menyangkal.

“Kakak-kakakku ikut dengan tanteku, sebab tanteku tidak punya anak. Jadi mereka dianggap anaknya. Maka ngga satu sekolah denganku,” begitu argumen yang terpikirkan. 

Sebisa mungkin aku menghindari percakapan seputar keluarga, agar tidak perlu terlalu banyak mengarang kebohongan. Untunglah temanku sedikit. Jadi tidak perlu terlalu sering mengarang-ngarang cerita tentang keluarga fantasiku.

Tidak cukup sampai di situ. Karena aku tinggal bersama kakek dan nenek, otomatis teman-teman yang melihat mereka saat menerima rapor, akan bertanya lagi.

“Kok orang tuamu tua sekali? Mereka orang tua kandung?”

“Bukan, mereka kakek dan nenekku. Sebab orang tuaku kerja di kota lain,” jawabku asal, sedapat mungkin yang terlintas di kepala.

Sampai-sampai aku menuliskan nama para kakak fantasiku ke beberapa peralatan tulis. Penghapus, rautan pensil, penggaris. Demi meyakinkan teman-teman sekelas bahwa mereka benar-benar ada. 

“Kok, ada nama orang? Siapa ini?” Tanya seorang teman ketika melihat penghapusku.

“Itu penghapus kakakku. Aku pinjam,” jawabku penuh dusta.

Semenyedihkan itu. 

Terus saja aku menciptakan keluarga fantasi setiap kali ada yang bertanya. Sebab telalu malu dan lelah kalau harus mengakui semuanya. Bahwa ayah dan ibuku sudah bercerai. Kedua kakakku ikut ayah di kota lain. Ibu tinggal sendiri di rumahnya, kawasan kumuh apabila dibandingkan dengan rumah yang kutinggali. Aku tinggal bersama kakek dan nenek sejak masih bayi, dan memanggil mereka “papa” dan “mama”. Hari-hari kuhabiskan bersama nenek yang kadang baik kadang galak, mendidik dengan gaya didik keras ala orang sezamannya. Dengan bentakan, sesekali cubitan dan sabetan. Tidak pernah lagi bertemu dengan kedua kakakku yang katanya ada di sebuah kota nun jauh di sana. 

Ayah? Hanya kuingat samar-samar sosoknya yang gondrong, bercelana pendek, berpakaian asal-asalan, di masa lalu. Katanya dia seniman, pelukis aliran realis yang berusaha hidup idealis sampai dompet tipis. Sejak diboyong ke rumah kakek-nenek, tak pernah lagi bersua dengannya. Kelamaan sosoknya hilang dari memori. Tak sedikitpun kurindukan. Dia nyaris tidak pernah ada. 

Ibu? Dia adalah perempuan yang sesekali datang ke rumah, menangis, berteriak, meminta uang atau apapun itu setiap kali memerlukan. Perempuan penuh emosi yang dikenalkan sebagai kakak perempuanku. Yang selalu terlibat pertengkaran dengan kakek-nenek, atau siapapun. Setiap kemunculan sosoknya yang seronok diikuti dengan pertikaian keluarga. Kadang namaku dibawa-bawa. Perempuan yang tingkahnya membuatku jijik, enggan didekatinya. 

Kakek berusia 10 tahun lebih muda dari nenek. Suami kedua setelah yang pertama meninggal sejak lama, jauh sebelum aku ada. Waktu menikah dengan kakek, nenek sudah punya dua anak perempuan, ibuku dan kakaknya. Ya, jadi itu kakek tiriku. Sebuah fakta yang baru kutahu ketika remaja. Pantas, tak pernah ada tatapan penuh kasih sayang darinya. Hanya tatapan keterpaksaan menerimaku di rumahnya. Seperti beban tak terperikan, hanya karena tidak enak hati pada nenekku. 

Karena 10 tahun lebih tua dari kakek, maka nenek lebih cepat renta, sakit-sakitan. Bikin mudah emosi tiap aku berulah selayaknya anak-anak. Mudah main tangan. Menjadikanku semacam pelampiasan emosi dari kondisinya yang kian menua. Mengasuh dengan gaya tempo doeloe yang menghalalkan segala cara. Kekerasan fisik dan psikis, yang dianggap sebagai penegakkan disiplin, bikin anak kuat, blablabla. Siap-siap saja tidak dibukakan pintu kalau pulang lewat jam 6 sore. Selalu pasrah paha membiru usai dicubiti. Tak peduli aku sesenggukan menangis berjam-jam, berharap dikasihani. Justru hukuman akan ditambah. Tidak ada yang membelaku sama sekali. Kakek cuek saja, berakivitas seolah tak terjadi apa-apa. Aku bagaikan anak kucing sebatang kara tanpa induk yang siap melindungi. Berkali-kali ingin mati. Terlalu bodoh untuk tahu cara bunuh diri. 

Walau bagaimanapun, bisa jadi nenek adalah satu-satunya manusia yang menyayangiku. Yang sayangnya usianya tidak terlalu panjang untuk bisa melihatku dewasa. Kalau ada yang dapat kubanggakan di keluargaku, barangkali dia adalah nenek. Mengapa dia layak dibanggakan, akan kuceritakan lebih jauh di bab lain memoar ini. Bukan saja sekadar dia terlalu baik, mau menampung aku, cucunya, hasil dari kawin mawin pasangan tak tahu diri. Bukan. Lebih dari itu. Nenek tipikal boomer yang menjalani kerasnya hidup secara bertubi-tubi. Sejak zaman perang hingga merdeka, lalu Indonesia damai sentosa. Pergulatan yang ulet. Sehingga mendidikku dengan ekstra disiplin.

Maka kalimat yang nyaris aku ketikkan di bab ini: “Intinya, tidak ada yang dapat dibanggakan dari kondisi keluargaku, sama sekali,” anggap saja tidak pernah ada. Masih ada yang bisa kubanggakan, yaitu nenek. Sebab dia menyayangiku apa adanya. Walau tangannya sangat ringan untuk menyakiti. Dan mulutnya mudah memaki kenakalan kecilku. Dia satu-satunya yang mencintaiku. Saat itu.

Lelah juga akhirnya bermain “Keluarga Fantasi”. Kelamaan aku menghapusnya. Teman-temanku yang memang sudah sedikit pun kian sedikit saja. Makin tidak ada lagi yang bertanya soal keluarga. Bagus sekali. Teman yang ke rumah hanya satu dua orang. Kami terlalu malas membahas keluarga. Sebab faktanya sama-sama bukan dari keluarga yang membanggakan. 

Selamat tinggal, keluarga fantasi. Saatnya menerima kenyataan. Sepahit apapun itu.***


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Memoar Orang Tak Dikenal (Bab 3)
0
0
Sekian puluh tahun berlalu, baru kusadari, Farida adalah satu-satunya sahabatku di masa kecil. Periode dalam hidupku yang diliputi kesenyapan sepanjang hari. Gadis kecil berponi itu muncul dari balik pagar rumah, mengajak bermain. Dia adalah secercah kebahagiaan dari masa laluku yang sedemikian suram, sepi. Sampai akhirnya dia pergi. Siapakah Farida? Di mana dia kini?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan