Memoar Orang Tak Dikenal (Bab 7)

1
0
Deskripsi

Ingatan tentang ayah sangat langka. Kini sudah punah. Seperti dinosaurus. Hanya tersisa monumen dalam memori yang kian lama kian pudar. Segala polah tingkah ayah sudah bikin aku mati rasa. Bahkan setelah dia tiada. Ya, Ayah, Aku Sudah Mati Rasa, adalah bab 7 dari Memoar Orang Tak Dikenal.

Bab 7

Ayah, Aku Sudah Mati Rasa

 

I've become so numb. I can't feel you there. Become so tired. So much more aware. I'm becoming this. All I want to do. Is be more like me. And be less like you. (Numb, Linkin Park)


Kita tidak akan merasa kehilangan atas sesuatu yang tak pernah kita miliki. Kalimat itu pernah kubaca entah di mana. Barangkali benar, sebab sampai detik ini aku tak merasa sedih karena ayah sudah meninggal. Tamat riwayatnya. The end. Game over. Toh, dia tidak pernah hadir dalam hidupku. Kabar meninggalnya ayah kuterima saat aku sedang tergolek tanpa daya karena kanker stadium 3b. Bukankah mestinya aku yang mengabarkan berita duka padanya, bahwa anak biologisnya ini sedang meregang nyawa? Dasar apes, keduluan dengan WhatsApp kakak perempuanku yang mengabarkan ayah sudah tiada. Sedih? Sama sekali tidak. Justru merasa lega. Selama ini aku banyak berpikir, apakah akan datang atau tidak kalau ayah biologis itu wafat. Sudah pasti 99 persen hatiku menjawab tidak. Terjawab sudah, aku tidak akan datang. Bahkan saat aku sudah pulih dari kanker jahanam ini, jawabnya tetap tidak.


Apakah ada dendam? Entah ya. Salah satu lagu Linkin Park dapat mewakili, Numb. 


Ingatan tentang ayah sangat langka. Kini sudah punah. Seperti dinosaurus. Hanya tersisa monumen dalam memori yang kian lama kian pudar. Kelamaan hilang. Jarang bersua, ada beberapa gambaran tentang ayah yang pernah melintas di benak. Semua samar-samar, namun masih membekas. Kucoba untuk menuliskannya di sini sebelum semua hilang lenyap tak berbekas.


Di masa kecilku, sosok ayah diwakili lelaki gondrong yang lebih sering bercelana pendek ketimbang berpakaian formal. Kaos singlet putih tipis murahan jadi andalan. Setidaknya itu yang kuingat. Kebetulan pula ada foto lawas pernah kutemukan, ayah memangku seorang gadis kecil, aku. Rasanya hanya itu saja satu-satunya foto bersama ayah. Sudah hilang sejak lama entah ke mana.  Dia tidak pernah mengajakku berbincang sama sekali. Memang dasarnya lelaki pendiam. Atau barangkali dia anggap aku bocah kecil bodoh yang takkan mengerti apa-apa. Ah, semua orang dewasa di sekelilingku pun beranggapan begitu, bukan? D Sosok itu datang pergi sesuka hati. Tiap dia muncul, sering disambut omelan, kemarahan, emosi ibu. Kakek dan nenek sesekali berkontribusi. Entah apa ulahnya sampai terus didera murka orang-orang sekitar begitu rupa. Mereka pasangan muda, ayah dan ibu. Mestinya cukup dewasa, sebab sudah beranak tiga. Masih menumpang pada kakek nenek, di rumah kecil di tepi kali, pinggiran barat Jakarta. Begitu kecilnya, sampai saat ada yang berbicara di ruangan lain, suaranya akan terdengar dengan jelas ke seantero rumah. Aku yang masih bocah cilik dapat mencerna semua omongan mereka, para orang-orang dewasa itu. Mereka anggap aku masih terlalu bodoh untuk paham. Padahal tentu saja, sebodoh-bodohnya aku, bisa berpikir, menerka-nerka apa maksud perbincangan mereka. Walau sesekali ditingkahi bahasa Jawa. 


Intinya, ayah dan ibu pasangan labil akibat kawin muda. 

“Dulu ayahmu tergila-gila sekali pada ibumu. Bisa melewati rumah kami berkali-kali dengan motor, hanya demi bisa melihat ibumu,” ujar nenek suatu ketika, mengenang indahnya cinta masa remaja.


Baiklah, aku bisa membayangkan sepasang muda-mudi tempo doeloe yang dimabuk kepayang asmara. Pernah sekilas menemukan foto-foto ibu di masa muda. Persis seperti yang digambarkan di film-film Benyamin S. Diwakili Ida Royani, Hamid Arief, atau Connie Sutedja muda. Dandanan era 70-an, bercelana cut bray, kacamata bulat super besar, bandana raksasa melilit rambut, sepatu dengan hak segede balok. Tersenyum ceria, pose bergaya, seolah yang paling menikmati hidup. Ayah dengan rambut gondrong ikal sebahu, kaos ketat slim fit, blue jeans cut bray, berpose di samping Vespa biru kebanggaan. Sampai puluhan tahun kemudian, ayah masih mengendara Vespa, tentu sudah tipe baru. Hingga hari ini, setelah rambutku mulai memutih, setiap kali melihat Vespa klasik melintas di jalan, aku teringat ayah.

Secara fisik, di masa muda ayah dan ibu itu ideal sekali. Ayah tinggi besar, six pack, sebab rajin olah raga. Bahkan pernah menjadi atlet binaraga Pekan Olahraga Nasional (PON) mewakili daerahnya. Dia sangat andal di bidang ini. Binaraga, angkat besi, berenang. Ditambah nilai plus lain, parasnya tampan sekali. Mirip Robby Sugara, bintang film top era 1970-an. Rambut ikal sebahu, kadang dibiarkan lebih gondrong lagi. Selain atlet, ayah juga seniman lukis aliran realis. Pernah kulihat beberapa karya lukisnya menghiasi rumah. Petani perempuan berlatar belakang pemandangan sawah terhampar di belakang. Ibu-ibu pemetik teh. Yang paling sensasional adalah lukisan Adam dan Hawa sedang bersetubuh di tengah hutan, dengan ular mengintai di balik rindang pepohonan. Alat vital mereka tertutup dedaunan. Goresan kuasnya luar biasa. Nyaris sekaliber Basuki Abdullah. Dia tergabung dengan seniman Taman Sriwedari, Solo. Sesekali mengadakan pameran di sana. Bukan itu saja, ayah juga jago acting. Beberapa fotonya saat mentas di pertunjukan wayang orang dan ketoprak menghiasi dinding rumahnya. Ada satu lukisan raksasa potret dirinya berperan sebagai Warok Suromenggolo. 

Yang bikin kubertanya-tanya, kenapa nasib baik tak kunjung memihak pada lelaki yang menjadi ayah biologisku ini? Bukankah secara fisik dan kemampuan, dia tergolong perfecto?

Tenang, pertanyaan itu akhirnya terjawab.

Ditaksir oleh lelaki dengan semua kelebihan tadi, wajah rupawan, badan kekar, dan lihai melukis, siapa yang tidak mabuk kepayang? Ibuku pun dengan mudah menerima lamarannya. Tanpa peduli si calon suami tak punya pekerjaan jelas. Samar-samar kuingat, ayah hanya mengandalkan penghasilan sebagai atlet daerah, guru les renang, dan menjual lukisan, di masa itu. Bukan penghasilan membanggakan, sebab kadang ada kadang tidak. 

“Aku sudah menasihati, jangan buru-buru menikah. Cari pekerjaan tetap dulu, agar ekonomi lebih mapan. Tapi ayah dan ibumu tidak peduli,” ungkap nenek.

Pernikahan itu manis di awal. Perlahan tapi pasti, masalah ekonomi bikin mereka sering bertengkar. Ibu tipe pencemburu. Dengan wajah gantengnya, jelas ayah disukai gadis-gadis lain. Anak pertama lahir, Aida. Lalu Andi, anak kedua. Rumah tangga semakin gonjang-ganjing. Kian memanas saat diketahui ayah punya beberapa selingkuhan. Sampai ada yang hamil. Ada yang anak jendral, atau anak pejabat, aku agak lupa. Kabar burung mengatakan, ayah sampai ditodong pistol dan diancam akan dipenjara kalau tak mau bertanggungjawab. Entah berapa pastinya jumlah anaknya dari perempuan-perempuan berbeda. Pernah kudengar ada juga yang berasal dari kota-kota lain. Luar biasa. Petualangan cintanya menjangkau kota dan provinsi. Mirip bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP). 

Sudah pasti ibuku lebih banyak menderita ketimbang bahagia dalam pernikahannya. Kata-kata cerai sudah ratusan kali terucap. Yang agaknya tak semudah itu. Butuh waktu lama agar mereka dapat cerai resmi secara hukum. Sudah punya tiga anak, masalah ekonomi jadi pertimbangan utama. Ya, masalah duit. Mana pernah mereka memikirkan kondisi psikologis anak-anak? Zaman itu, masalah kejiwaan sama sekali tak masuk hitungan. Ilmu psikologi di Indonesia belum populer. Semua hanya memikirkan apa yang kasat mata. Menurut nenek, proses cerai jadi rumit karena ibuku berjuang agar ayah tak lepas tanggungjawab pada anak-anak mereka, Aida dan Andi. Tentu saja hanya mereka yang dihitung. Sebab aku anak yang tak diharapkan. Untung nenek mengadopsiku. Kalau tidak, mungkin aku berakhir di tempat sampah, lubang WC, atau selokan.

Kisah suram nan rumit itu harus kucerna sejak usia belia. Bagaikan serpihan puzzle yang mesti  kukumpulkan, duga-duga, lalu susun sendiri dengan kemampuanku sebagai bocah kecil yang serba terbatas. Orang-orang dewasa di keluargaku tak selalu mau memberi informasi tentang apa yang terjadi. Kalaupun ya, hanya sepotong-sepotong. Tenang, ternyata aku cukup cerdas untuk mencerna fakta demi fakta. Bagaikan anjing pelacak, semua mulai terendus. Sampai aku bisa mendapat gambaran jelas apa yang terjadi di keluarga laknat ini.

Saat SMP, aku baru bertemu lagi dengan ayah setelah sekian belas tahun. Nenek mengajakku ke rumahnya, di sebuah kabupaten pinggiran kota. Ayah sudah berkeluarga lagi, dengan empat anak. Rumahnya bagus, terbaik di antara rumah-rumah lain di kampung itu. Beberapa lukisan mahakarya dan pahatan patung besar karyanya menghiasi dinding-dinding. Nampak berkecukupan secara ekonomi, jauh dari ibuku yang hanya punya rumah super kecil dan sempit di kawasan kumuh Jakarta. Kondisi yang sangat berlawanan, bagai bumi dan langit. Sekilas terbersit rasa iba pada ibu. Kenapa mantan suaminya justru kaya raya setelah berpisah dengannya? Hidup makmur sentosa bersama keluarga barunya? Tidak, aku tak iba pada diriku. Justru pada ibu. perempuan yang nyaris seumur hidup aku benci. 

Ayah yang kutahu saat pertemuan pertama di rumahnya adalah lelaki setengah baya, dengan rambut ikal mulai menipis. Masih tersisa ketampanan masa muda melalui garis-garis wajah yang keras. Tubuhnya tetap tinggi besar, berotot, hasil rutin berolahraga berpuluh tahun. Kendati sudah mengendor sana-sini dimakan usia. Perut mulai membuncit. Tak banyak bicara, dia dan istri menyambut kami. Berbincang dengan nenek dan tanteku. Penuh basa-basi ala orang Jawa yang menjaga rasa. Mengakui aku adalah darah dagingnya. Blablabla. Lalala yeyeye. Perasaanku? Sama sekali asing. Mati rasa. Lelaki di hadapanku itu tetap bukan siapa-siapa. Secara biologis, ya dia ayah kandung yang sekadar berkontribusi membuatku lahir saja. Tak lebih. Tak ada perasaan apapun. Rindu, kesal, sayang, benci, marah. Sama sekali tidak ada. Mati rasa.

Apa rasanya di usia remaja mengetahui  punya ayah kandung yang tak pernah menafkahi seumur hidup? Mungkin tersirat kebencian. Sama bencinya terhadap lelaki-lelaki bajingan yang polahnya sering kubaca di koran, majalah, cerita di film, novel, cerpen. Bukan jenis kebencian pribadi anak terhadap ayahnya. Sama sekali bukan. Dia tetap orang lain. Tidak ada hubungan batin, rasa sayang, rindu dendam atau apalah itu. Ayah hanya sekadar lelaki hidung belang yang suka main perempuan sana-sini, menelantarkan sebagian besar anak-anaknya. Siapa yang dapat respek pada kelakuan macam itu? 

Kalau sekadar diterlantarkan saja, aku sudah biasa. Toh sejak masih di dalam perut aku sudah tak diinginkan. Menjadi makin menyiksa, sebab keluarga besar ikut-ikut mendramatisir keadaan. Seperti yang sudah kuulas di bab-bab sebelumnya. Mereka menganggap hancur leburnya keluarga intiku bagai hiburan. Gunjingan sana-sini di acara arisan, resepsi perkawinan, serta acara apapun itu. Bisa jadi karena zaman itu belum ada telenovela atau drama Korea, sehingga mereka sedemikian haus tontonan. Jadilah aku salah satu tokoh di drama serial keluarga sekaligus reality show itu. Peranku, anak bungsu sial yang sudah coba digugurkan sejak dalam kandungan namun tetap lahir, dipungut kakek-nenek. Diakui sebagai anak. Sementara ayah ibu biologisku saling kawin dengan orang lain. Sungguh hiburan yang menyenangkan bagi orang-orang laknak di sekelilingku. Mereka bisa bahagia menyaksikan suka duka, naik turunnya nasib kami. Semakin kami terjerembab dalam kubangan penderitaan, makin lebar tawa mereka.

“Jadi tadi kamu ketemu ayahmu? Kayak apa? Apakah mirip adegan film?”

“Kamu lari ke pelukannya sambil bilang ‘ayah, aku anakmu’? Lalu ayahmu menyambut dengan pelukan dan berkata ‘oh anakku, maafkan ayah!’. Begitu?” 

Cibiran-cibiran sejenis itu datang dari anak-anak tanteku. Sepupuku. Atau siapa saja yang ada di keluarga besar jahanam itu. Mentertawakan momen pertemuanku dengan ayah setelah belasan tahun. Tentu itu hanya bagian kecil dari ledekan mereka. Sejak kecil hingga remaja, semua bahan gunjingan, ledekan, cibiran mereka atas keluargaku yang porak poranda sudah sering kudengar. Membuatku semakin membenci ikatan keluarga. 

Karena suka berpetualang seorang diri, menginjak SMA aku menghabiskan liburan ke luar kota. Salah satunya ke rumah tante yang satu kota dengan si lelaki bajingan yang tak lain ayah biologisku itu. Terbersit ide iseng, rasanya asyik juga kalau main ke sana dan minta uang, ongkos, dan sejenisnya. Hal-hal yang belum pernah dia berikan padaku selayaknya ayah ke anak. Niat itu kupraktikkan. Dengan bus malam, suatu kebiasaan yang kuadopsi dari almarhum nenek, aku melakukan perjalanan seorang diri. Menginap di rumah tante. Kemudian mampir ke rumah keluarga baru ayah biologisku. Rasanya seperti bertamu ke rumah orang asing. Baik ayah, istri, serta anak-anaknya bersikap terlalu sopan. Padahal maksudku sederhana saja, berikan aku uang agar bisa jalan-jalan lebih jauh lagi. Ke bioskop, ke mall, membeli baju atau ke restoran. Mereka justru memintaku menginap. Diajaknya aku makan ke restoran. Sungguh tidak menyenangkan, harus menghabiskan waktu bersama keluarga asing dengan penuh keterpaksaan. Mungkin maksud mereka baik, ingin mengakrabkan diri denganku, anak hilang yang sekian lama tak pernah bersua. Maaf saja, mana bisa aku begitu? Di mataku kalian hanya keluarga lain yang nampak bahagia, kaya, saling memiliki satu sama lain. Yang kubutuhkan hanya uang ayah saja, mengingat seumur hidupku dia tak pernah memberi apapun. Tidak salah, bukan kalau aku bersikap demikian? Itu hak aku, meminta nafkah dari orang yang sudah membuatku lahir ke dunia ini. Minimal dia harus bertanggungjawab atas kesenangan duniawiku, jika tak sanggup memberi kesenangan batin.

Jadilah kususun beberapa perjalanan setiap libur sekolah. Ke rumah tante, lalu ke rumah ayah. Lumayan, dapat uang saku, diongkosi pulang naik bus atau kereta eksekutif. Pernah kukarang cerita, di Jakarta mengalami kecelakaan bersama teman. Harus mengganti uang korban blablabla sekian juta. Kukisahkan dengan cara menghiba di depan ayah, agar dia mau memberiku uang dalam jumlah besar. Sepertinya dia tahu aku berbohong. Pastilah, dia kan bajingan tua penuh pengalaman. Tentu tahu trik-trik bocah macam aku. Ya, dia memberi uang tapi ala kadarnya. Masih banyak keperluan untuk anak-anaknya, buat sekolah, kuliah, dan tetek bengek tai kucing lain yang tak sudi kudengar. Persetan itu semua. Toh rumahnya masih megah berdiri. Beberapa motor dan vespanya masih ada di garasi. Bahkan belakangan mulai membuka restoran soto di pinggir jalan utama Boyolali, yang semestinya laku keras. Rumah dan tanahnya ada beberapa. Dia jauh lebih mapan dari ibu. Apa salahnya aku mulai memoroti hartanya sekarang? Kan dia tak pernah keluar duit bangsa sepeser pun sejak kelahiranku? Bahkan mestinya aku mendapatkan sebagian besar hartanya, sebagai ganti kealpaannya menafkahi hidupku, bukan?

Itu saja yang ada di otakku. Remaja kemarin sore yang baru melihat dunia. Yang tentu saja berakhir dengan rentetan kekecewaan. Sebab ayah lebih suka mengalirkan uang dan hartanya ke istri serta anak-anak barunya. Seiring waktu, aku tahu bahwa sebenarnya rumah dan beberapa lahan yang kukira dipunyai ayah itu adalah milik keluarga istrinya. Dari warisan. Termasuk modal membangun bisnis penyewaan truk atau apalah itu, agak kurang jelas apa usaha ayah sebenarnya. Seiring waktu, aku kian dewasa, bisa mencari nafkah sendiri. Namun cobaan selalu ada saja. Pernah iseng aku menelepon ayah untuk minta bantuan, karena masalah pelik yang butuh banyak uang. Jawabannya di seberang sana lagi-lagi bikin aku ingin muntah. 

“Si anu lagi sakit, butuh biaya.”


Ah persetan. 


Kelamaan sosok itu mulai samar di ingatan. Secara otomatis kita akan melupakan orang-orang yang menyakiti diri kita, bukan? Tidak sepenuhnya lupa, namun tak lagi jadi andalan dari hidup kita. Sosok ayah pun kubuang jauh-jauh setiap kali aku bermasalah, seberat apapun. Bahkan menyangkut hidup mati. Bye bye forever, my fucking daddy. You are no longer in my life. 

Oh tidak semudah itu ternyata. Ada saja yang mengabari bagaimana kondisi lelaki dan keluarganya itu. Saat hidupku sudah membaik, perlahan keluar dari lumpur nista, bersamaan itu pula satu per satu kesialan menimpa keluarga pria yang spermanya menjelma jadi diriku itu. Mulai dari anak perempuannya hamil di luar nikah. Hei, it’s sounds familiar for you, dad? Persis seperti yang kau lakukan pada perempuan-perempuan di masa mudamu dulu? Kau tiduri lalu campakkan begitu saja tanpa peduli pada hasil pembuahan di rahim mereka? Hukum karma? Bukan. Sekadar ketololan yang menurun dari ayah ke anak. Sudah tahu ayahnya bajingan penjahat kelamin, lantas anaknya tetap saja jadi korban lelaki bangsat yang sejenis dengan si ayah. Kurang bodoh apa lagi? 

Disusul kemudian salah satu anak lelakinya menjadi kriminal lalu masuk penjara. Sekeluarga dikucilkan orang sekampung. Kondisi fisik ayah semakin renta, sakit-sakitan, menderita lahir batin. Si istri kabarnya sakit tuli dan pikun padahal belum berusia terlalu senja. Rumah yang dulu megah mewah perlahan mulai tak terawat, kotor, nyaris ambruk. Seisi penghuninya sibuk bergulat dengan masalah masing-masing, tak ada waktu merawat rumah. Apakah aku senang mendengar semua kabar itu? Biasa saja. Senang tidak, sedih apalagi. Persetan. Bodo amat. Mau kalian semua mati ditelan bumi pun, rasa ini hampa saja. Beku. Kalian semua bukan siapa-siapa. yang kulakukan akhirnya sama persis dengan yang diperbuat keluarga besarku padaku: menganggap semua kejadian itu sebagai bahan gunjingan belaka. Hiburan semata. Yang lebih mengenaskan dari kisah drama Korea. 

Dan ketika kabar kematian ayah kubaca di layar ponsel, rasanya biasa saja.  Tak ada duka maupun air mata. Maaf ayah, aku sudah mati rasa.***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Memoar Orang Tak Dikenal (Bab 6)
1
0
Idealnya, keluarga adalah orang-orang terdekat, terlebih kala kita masih kecil. Di kasusku, dikelilingi keluarga bagaikan dikelilingi sekumpulan orang asing. Bahkan aku bersumpah akan menjadikan mereka asing selamanya. Sampai akhir hayat. Kenapa begitu? Inilah kisah ‘Orang-Orang Asing di Sekitarku’, bab ke-6 dari Memoar Orang Tak Dikenal.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan