Memoar Orang Tak Dikenal (Bab 5)

0
0
Deskripsi

Ada orang yang tidak pernah merayakan ulang tahunnya. Keluarga pun tidak pernah peduli pada hari lahirnya. Jangankan membuat pesta, sekadar ucapan selamat saja tak ada. Sampai-sampai dia membuat suatu ‘Pesta Ulang Tahun Palsu’, yang menjadi judul Bab 5 dari Memoar Orang Tak Dikenal.

Bab 5

Pesta Ulang Tahun Palsu


Tell 'em that it's my birthday. Tell 'em that it's my birthday. When I party like that. Every night's my birthday. They don't know, so it's okay. (Birthday, Selena Gomez)


Seumur hidup, tidak pernah ada perayaan ulang tahun di hidup ini. Tidak ada yang  membuatkan pesta. Bahkan ingat pun tidak. Ayah. Ibu. Kakek. Nenek. Kakak. Abang. Terlalu sibuk dengan dunianya. Kapan sebenarnya tanggal lahirku pun, mereka kurang yakin. Sebegitu nista kehadiranku di bumi, sampai tak ada yang sudi mengingat. Ada beberapa versi akta kelahiran yang pernah kumiliki. Masing-masing mencantumkan tanggal berbeda. Tempat lahir. Nama orang tua. Pun namaku sendiri. Kehadiranku sebagai jabang bayi di muka bumi sangat memusingkan, hingga para orang dewasa ini harus membuat beberapa jenis akte sekaligus.


Ada akta lahir yang menyatakan 5 Maret sebagai tanggal lahirku. Tunggu, itu bukan akta, melainkan sekadar surat tanda lahir dari klinik bidan. Selembar kertas menguning,  dengan ketikkan manual, digabung tulisan tangan, sangat sederhana. 


“Itu tanggal lahirmu yang sebenarnya,” kata ibu suatu hari.

Akta lain mencantumkan 9 Maret sebagai hari lahir. Anehnya, tertulis Klaten, Jawa Tengah, sebagai tempat kelahiran. Kenapa bisa begitu, menurut nenek karena akta dibuat dengan cara “nembak”, alias menyogok petugas. Zaman itu semua data kependudukan belum terkomputerisasi, boro-boro online. Segala jenis sertifikat, dokumen, surat-surat penting, termasuk KTP, serta akta lahir, bisa dengan mudah dibuat selama kita mampu membayar pejabat setempat. Kenapa bisa Klaten, padahal aku lahir di Jakarta? Penjelasannya agak rumit, terkait ibu yang waktu itu sedang di sana, ingin mencatatkan kelahiranku buru-buru, sebelum ayah lepas tanggung jawab atau apa. . Entahlah, pusing kalau dipikirkan. Pada akta itu tertera nama ayah dan ibu sebagai orang tua. Kemudian ada lagi akta lain, hanya ada nama ibu tertulis sebagai orang tua, ditandatangani sebuah instansi kependudukan di Jakarta. Tanggal lahirnya beda lagi dengan akta lain. Lupa tanggal berapa. Versi terakhir yang dipakai untuk mendaftar sekolah, akta bertanggal lahir 16 Maret, dengan nama kakek dan nenek sebagai orang tuaku. Tanggal itulah ditetapkan sebagai hari kelahiranku, yang mestinya menjadi tanggal ulang tahun. Dan tidak pernah dirayakan sama sekali. Karena kelahiranku tidak pernah dianggap penting, justru merepotkan semua orang? Sungguh sebuah lawakan tiada akhir, bukan? 


Sepanjang masa anak-anak, satu demi satu teman-teman atau anak seusiaku merayakan hari jadinya. Tetangga, sepupu, saudara jauh, teman-teman sekolah. Mengirim kartu undangan mungil yang cantik, lucu bergambar karakter kartun atau bunga-bunga. “Tiada kesan tanpa kehadiranmu,” pesan khasnya. Lalu aku harus membeli sesuatu sebagai kado. Nenek akan mengusulkan yang murah-murah saja. Buku tulis, kotak pensil sederhana, sejenisnya. Dibungkus kertas kado murah pula, beli di toko terdekat. 

Sebagai anak yang tak suka keramaian, perayaan ulang tahun menjadi jenis siksaan lain bagiku. Walau penasaran juga awalnya, seperti apa itu pesta ulang tahun? Pesta yang tidak pernah kumiliki. Jadilah aku hadir lebih sebagai observer, pengamat, ketimbang menjadi salah satu undangan yang ikut berbahagia. Bagaimana bisa berbahagia kalau aku sendiri tidak pernah punya pesta seperti itu? Kakek dan nenek ini geblek juga. Menyuruh cucunya hadir di pesta ulang tahun anak lain, tapi cucunya sendiri tidak pernah dipestakan. 


Pesta ulang tahun Lince , teman sekolahku, menjadi salah satu pesta ulang tahun yang paling berkesan. Bisa dibilang teman, sebab gadis hitam manis tinggi berambut lurus sebahu itu lumayan ramah padaku. Beda dengan kebanyakan teman yang cuek, kurang menganggap keberadaanku. Rumah Lince agak jauh, lebih pelosok dekat perkebunan. Sepi, menjorok ke dalam. Masih bisa ditempuh berjalan kaki. Seperti biasa,  pesta diwarnai dengan potong kue ulang tahun, bernyanyi, makan-makan. Ibunya Lince baik sekali, menyapa ramah semua anak. Ayahnya sibuk mendokumentasikan acara dengan kamera  zaman itu, berukuran besar, berat, nampak serius. Menandakan hati itu adalah momen berharga yang wajib diabadikan. Bahwa Lince adalah anak mereka yang sangat penting, hari lahirnya harus diperingati dengan meriah. Didokumentasikan agar tak terlupakan sampai akhir hayat. Rumah mereka mungil, apik, nyaman. Sebuah keluarga ideal, membuat iri saja. Pesta itu takkan pernah kulupa. Sebab jempol tanganku terjepit celah pintu yang dibanting Lince. Tanpa disengaja. Menyisakan bekas luka yang lama hilang.


Seingatku, aku habis dari toilet, sekalian melihat-lihat lebih dalam rumah apik itu. Saat mau keluar dari dapur, dengan tololnya kuletakkan tangan di celah pintu.


“BLAM!” Pintu terbanting keras, dengan jempolku di celahnya. 


Wajah Lince terperangah kaget seperti melihat hantu ke arahku.


“Aduh, Mel, maaf. Aku ngga liat ada kamu,” spontan dia berteriak.


Seperti kebanyakan introvert, aku diam saja. Berusaha menutupi rasa terkejut dan sakit yang mulai merambati jari jempol. 


“Tanganmu ngga apa-apa?” Lince melihatku memegangi jampol yang rasanya kebas, kemudian ngilu luar biasa.


“Ngga apa, kok,” jawabku bingung sendiri. Harus mengaku sakit atau marah atau sedih. Akhirnya aku memilih berlagak tidak ada apa-apa. Seolah jempolku terbuat dari baja. Padahal sakitnya luar biasa.


Ibunya Lince segera tahu, penuh khawatir memeriksa jempolku. Tidak berdarah. Hanya lebam kecil, sakit sekali. Kelamaan membiru, ungu kehitaman. Pendarahan dalam, istilah orang dewasa. Untuk beberapa hari aku menahan sakit tanpa bilang siapa-siapa. Pesta yang indah itu berakhir dengan dua kepedihan, satu di hati, satu di jempol. 


Selain pesta Lince, beberapa pesta ulang tahun lain kuhadiri. Ada yang merayakan di sekolah, di rumah. Zaman itu belum ada McDonald atau KFC, jadi belum ada perayaan di restoran semacam itu. Kalau di sekolah, biasanya dirayakan setelah jam pelajaran selesai. Guru akan mengumumkan bahwa si Anu ulang tahun, akan dirayakan bersama. Murid-murid berteriak histeris kegirangan, sebab berarti akan ada makan-makan enak. Lalu orang tua si Anu muncul membawa kue ulang tahun. Bernyanyi bersama. Kue dibagikan. Pulangnya, kami mendapat buah tangan berupa snack, kue, minuman ringan kemasan, permen, yang dikemas dalam plastik cantik. Memang tidak semua anak pernah mengalami pesta ulang tahun. Aku masuk golongan ini. Rasanya ingin membentuk klub bernama “Klub Anak yang Tak Pernah Ulang Tahun”. Tapi buat apa? Menunjukkan betapa mirisnya hidup kami? Kebanyakan anggota klub ini pasti anak-anak yang tidak populer di sekolah atau di manapun. Klub anak-anak menyedihkan. 


Kakek dan nenek berteman dengan sesama orang tua lain yang usianya nyaris sebaya. Mereka tidak punya anak kandung, sehingga mengadopsi seorang anak perempuan. Diberi nama Desi. Anak ini sepantaran denganku, namun lebih ceria dari aku. Beberapa kali kami dipertemukan, semacam dipaksa untuk saling berteman. Mungkin dipikir, karena kami sama-sama anak pungut, maka pasti akan cocok. Yah, lumayan lah. Kami bermain masak-masakan, boneka-bonekaan, yang sebenarnya tak kusuka. Lebih memilih untuk menyendiri di rumah atau di kamar pengapku saja, andaikan bisa. Heran, kenapa Desi bisa lebih ceria dan nampak bahagia dariku? Padahal kami sama-sama anak adopsi? Terjawab sudah ketika aku menerima kartu undangan ulang tahunnya. Oh, dia merayakan ulang tahun. Ini bedanya. Orang tua angkat Desi menganggap hari lahir Desi itu penting, kendati dia bukan anak kandung. Sedangkan orang tua angkatku, tidak. Baiklah.

Kartu undangan pesta ulang tahun itu cantik sekali. Mewah, bisa dikatakan. Berupa kartu kecil bergambar gadis cilik  kaukasia memegang balon, mengajak orang berpesta. Warna merah muda. Muncul ide jahil. Kuambil penghapus pulpen, kuganti nama Desi dengan namaku. Tanggal dan alamat pesta kuganti juga. Agaknya ini prestasi perdanaku sebagai tukang edit dokumen. Esoknya, kartu undangan itu kupamerkan ke beberapa teman sekelas.

“Siapa yang ulang tahun?” Firda, teman sebangku melihatnya.

“Aku.”

“Undangannya cuma satu?”

“Iya, satu buat beberapa teman. Kasih tahu yang lain, ya.” Oh, aku memang juaranya tipu-tipu.

Dengan cepat kabar pesta ulang tahun palsuku tersebar. Beberapa menyatakan akan datang ke rumah, termasuk Lince. Rasa panik mulai merambati. Bagaimana kalau mereka benar-benar datang? Keisengan mengedit kartu undangan itu semestinya hanya menjadi ajang pamer belaka bahwa aku juga anak yang disayang, anak yang bisa punya pesta ulang tahun. Sama sekali aku tak mengharapkan mereka datang. Bodohnya aku! Hatiku berdegup keras. Betapa tololnya. Degupan itu semakin kencang ketika waktu yang ditetapkan tiba, yaitu esok harinya.


Esoknya, waktu berjalan bagai siksaan. Detak jantung berdegup kian kencang setiap detiknya. Sesuai dengan undangan ulang tahun palsu, semestinya pesta itu diadakan jam 4 sore nanti. Beberapa teman di sekolah mulai kasak-kusuk.
“Nanti dateng kan ke pesta ulang tahunnya Mell?”

“Rumahnya di mana sih?

“Kok undangannya cuma satu?”

“Aku udah siapin kado, nih.”

Dalam hati kuberharap terjadi gempa bumi, ledakan, atau kebakaran besar, meluluhlantakkan sekolah ini, sehingga semua lupa pada acara itu. Masih belum terlambat untuk mengarang cerita bahwa mendadak ada yang meninggal di keluargaku, maka pestanya dibatalkan. Atau sekalian saja aku pura-pura pingsan, mencret, muntah, kena kanker. Apa daya, aku hanya anak SD yang fantasinya kurang diwarnai kelicikan. Rasa gelisah jauh lebih menguasai ketimbang memikirkan solusi. 

Bel pulang sekolah terdengar seperti lonceng kematian. Bubar sekolah pukul 12.30. Sampai rumah sekitar 13.00. Empat jam menuju pukul 5 sore. Ingin sekali bisa tenggelam ke inti bumi, menghilang selamanya. Yang bisa kulakukan hanya mengikuti rutinitas harian. Makan siang, menonton televisi, mendengarkan radio, baca komik sambil tiduran. Berusaha mengalihkan perhatian. Berhasil, sebab aku hanya anak SD yang dengan mudah bisa teralihkan pada hal-hal menyenangkan. Lupa pada masalah utama. Nenek yang kupanggil mama pun tak melihat ada yang ganjil, melakukan rutinitas seperti biasa.


Sampai pada sekitar jam 17.00. Sepertinya aku tertidur di kamar. Lalu terbangun, sadar ulah tololku akan memetik hasil.

Terdengar suara mama berbicara dengan beberapa teman dari balik pagar. Sayup-sayup terdengar nada bicara yang sama-sama terkejut.

“Oh bukan, yang ulang tahun itu temannya Mell, bukan Mell.”

“Tapi ada undangannya…”

“Bukan, itu undangan temannya Mell…”

Agak lama mereka berusaha saling menjelaskan satu sama lain. Sampai akhirnya terdengar suara langkah kaki teman-temanku menjauh. Lega rasanya.

“Mell, lucu deh, teman-temanmu datang, mengira hari ini adalah ulang tahunmu. Padahal kan bukan,” suara mama mendekat ke kamar.

Berlagak seolah baru bangun dari tidur siang, aku mengucek mata.  Dia tidak pernah membesarkan masalah itu. Pasti ada masalah-masalah lain yang jauh lebih penting. Tragedi ulang tahun palsu dianggap sekadar kesalahpahaman anak-anak. Amanlah aku. Tapi tidak di sekolah.

Esok hari, aku dengan muka badak tetap berangkat sekolah. Berusaha cuek ketika diserang beberapa teman.

“Kenapa kamu bohong kalau kemarin ulang tahunmu, padahal bukan?”

“Kamu ngerjain kami ya? Jahat!”

Cibiran-cibiran lain, juga bisik-bisik mengenai kebohonganku beredar santer. Herannya, aku merasa baik-baik saja. Benar kata orang, anak kecil itu mudah melupakan. Termasuk melupakan emosi. Beruntung juga aku mengalami semua penderitaan saat kecil, sebab akan mudah melupakan detail-detail kecil yang tak penting. Walau sebenarnya sampai dewasa akan teringat terus. Kepanikan yang mencekam seharian kemarin, sirna sudah. Sebagian teman menganggap itu sekadar ulah jahil saja. Walau ada juga yang mengatakan aku pembohong. Peduli setan. Untung temanku sedikit, aku pun bukan murid populer. Kejadian itu segera berlalu, terlupakan. Tidak terlalu berefek apapun pada keseharianku yang memang sudah sepi dan minim pergaulan.

Dan tetap tak ada yang peduli kapan ulang tahunku yang sebenarnya. Termasuk kakek, nenek, ayah, ibu, dan saudara-saudaraku. Sampai dewasa, aku malas juga mengingat atau merayakan ulang tahun. Jika ada yang tahu dari Facebook atau Twitter, sekadar kusambut ucapan ulang tahun teman-teman secara formal. Dalam hati, peduli setan. ***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Memoar Orang Tak Dikenal (Bab 6)
1
0
Idealnya, keluarga adalah orang-orang terdekat, terlebih kala kita masih kecil. Di kasusku, dikelilingi keluarga bagaikan dikelilingi sekumpulan orang asing. Bahkan aku bersumpah akan menjadikan mereka asing selamanya. Sampai akhir hayat. Kenapa begitu? Inilah kisah ‘Orang-Orang Asing di Sekitarku’, bab ke-6 dari Memoar Orang Tak Dikenal.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan