
Sekian puluh tahun berlalu, baru kusadari, Farida adalah satu-satunya sahabatku di masa kecil. Periode dalam hidupku yang diliputi kesenyapan sepanjang hari. Gadis kecil berponi itu muncul dari balik pagar rumah, mengajak bermain. Dia adalah secercah kebahagiaan dari masa laluku yang sedemikian suram, sepi. Sampai akhirnya dia pergi. Siapakah Farida? Di mana dia kini?
Bab 3
Gadis Berponi di Balik Pagar
She's got a smile that it seems to me. Reminds me of childhood memories. Where everything was as fresh as the bright blue sky. (Sweet Child O’Mine, Guns n’ Roses)
Dari sedikit sekali teman, lebih sedikit lagi yang cukup dekat sehingga mau bermain ke rumahku. Salah satunya anak perempuan itu. Farida, namanya. Berambut lurus, jatuh, agak kepirangan. Pendek di atas bahu, kadang dipotong lebih pendek lagi. Saat tidak terurus, poninya yang memenuhi kening akan nampak panjang sekali, menutup sebagian mata. Model rambut yang sama denganku atau dengan kebanyakan anak seusia kami masa itu. Bedanya, rambut Farida kemerahan. Rambut jagung, komentar nenekku sewaktu melihat Farida pertama kali. Kulitnya putih mirip bule. Bukan, dia bukan bule.
“Orang Palembang,” Farida mengaku saat ditanya dia orang apa. Ditanya begitu sebab memang kebule-bulean.

Sama sepertiku, Farida anak pendiam. Kami sama-sama penyendiri, punya teman sangat sedikit. Kesamaan ini yang membuat kami saling cocok, ditambah rumahnya lumayan dekat dengan rumahku. Lupa siapa mulai mengakrabkan diri dengan siapa. Dia dulu, atau aku. Pastinya wajah mungil Farida kerap muncul di balik pagar rumahku yang agak tinggi, rapat. Jarang dia mau masuk ke rumah. Hanya berdiri saja di sana, mengajak ngobrol yang tak penting. Lupa juga apa saja bahan obrolan kami, akibat terlalu remeh.
“Di rumah ada siapa?”
“Mamaku dan pembantu.”
“Udah makan?
“Udah tadi.”
“Mau main?”
“Ke mana?”
“Sepedaan aja.”
Kadang aku diizinkan pergi bersepeda bersama Farida oleh nenek, yang kupanggil mama. Itu kalau moodnya sedang bagus. Lebih sering tidak, sebab beberapa kali kalau main sepeda dengan Farida, aku lupa waktu. Bersepeda salah satu kegiatan yang bikin aku bahagia. Sendiri atau bersama Farida. Setidaknya bersama Farida aku punya komplotan. Merasa lebih berani melaju hingga jauh, ke jalan-jalan yang belum pernah kulalui. Kalau pun nyasar, ada teman. Kami berbagi pengalaman. Ke jalan yang sudah pernah kulalui, sedangkan Farida belum. Atau sebaliknya. Kami tertawa terbahak-bahak saat sukses dari kejaran anjing galak. Sedih bersama ketika salah satu ada yang tersuruk ke jalan, tertimpa sepeda sendiri, karena mengebut tanpa kontrol. Dengan bersepeda, kami mereguk kesenangan sepuasnya. Lepas dari segala beban anak seusia kami. PR matematika yang bikin pusing, guru-guru galak, teman-teman sekelas yang menyebalkan, orang tua yang hobi marah-marah, uang jajan yang seadanya. Semua itu terlupakan, tergantikan oleh hempasan angin, kecepatan sepeda yang melesat, laju pedal yang kami ayun sekuat tenaga hingga kehabisan napas. Saling berlomba sampai lebih cepat di tujuan. Siapa sangka bersepeda saja dapat membuat kami sebahagia itu? Rasa sedih melintas setiap kali matahari mulai turun. Pertanda kami harus segera pulang ke rumah masing-masing. Mengakhiri kebahagiaan.
Pertemanan kami seperti pertemanan anak lelaki. Lebih banyak berbagi petualangan ketimbang saling berbagi curahan hati. Bisa jadi itu yang membuatku suka dengan Farida, serta sebaliknya. Tidak perlu saling tahu apa masalah di keluarga masing-masing. Oh ya, aku tidak perlu membuat kisah keluarga fantasi pada Farida. Dia pun tidak mau tahu. Cukup lalui waktu saja dengan bersenang-senang.
Wajahnya akan merengut, nampak jelas dari balik pagar, kalau aku tak diperbolehkan pergi bermain bersamanya. Kami hanya akan saling berdiri di situ, entah membahas apa. Jarang Farida masuk ke rumah, sebab pagar rumah biasanya digembok. Aku malas membuka dan mendorong pagar besi berat itu. Farida pun enggan minta dibukakan. Beberapa kali dia masuk, merasa kurang leluasa karena ada nenekku yang kadang mengamati kami bermain bersama. Biasanya kami main Lego atau boneka, membaca komik bersama. Dalam keheningan kami nyaman.
Pernah beberapa kali ke rumah Farida, berjarak beberapa blok dari rumahku. Kondisinya tidak terawat, kumuh, tidak berpagar. Cat mengelupas sana-sini. Di teras berserakan beda-benda tak terpakai. Rak, meja, kipas angin rusak, segala jenis rongsokan. Masuk ke dalam, dipenuhi perabotan tua sederhana, seadanya. Kurang nyaman untuk tempat bermain anak sebaya kami, anak SD. Tidak pernah melihat ada mainan di rumah itu. Ada beberapa boneka lusuh, Farida tak pernah mau mengajak memainkannya. Dia sendiri nampak jijik, malas menyentuhnya. Kini jelas kenapa Farida lebih senang bermain ke rumahku. Walau hanya berdiri di balik pagar besi. Tetap, aku tak peduli sejelek apa rumah Farida. Dia tetap temanku yang asik. Yang enak diajak kebut-kebutan main sepeda.
Rumah itu lebih sering sepi. Pernah beberapa kali berpapasan dengan kakak perempuannya yang dengan cuek memakai celana super pendek hingga pangkal paha. Duduk mengangkat kaki ke meja sambil asyik makan sendiri. Tidak menawari kami sama sekali. Dia mengajak ngobrol Farida dengan kalimat pendek, agak kasar. Farida pun tak banyak ngomong. Samar-samar kuingat seperti pernah melihat ayah Farida juga. Lelaki agak tua yang penampilannya berantakan. Entah seperti apa ibunya Farida. Sama sekali tak pernah terlihat. Enggan pula menanyakan, sebab kutak mau dia banyak tanya tentang keluargaku juga.
Aku selalu sebentar saja di sana, sekadar menjemput Farida untuk main. Atau mampir sejenak untuk minum setelah bersepeda jauh. Farida lebih sering ke rumahku. Seolah mencegahku main ke rumahnya lebih dulu. Sebenarnya malas juga main ke rumahnya yang tidak nyaman itu. Biasanya aku ke sana kalau Farida tidak muncul beberapa hari.
“Faridaaa! Faridaaa,” begitu kupanggil-panggil dia, berharap sosok mungilnya muncul dari balik pintu rumah berantakan itu. Hati berbuncah lega setiap kali dia muncul. Sontak jadi sedih kalau tak ada respon apapun. Siapa nyana, kebahagiaan hatiku tergantung pada Farida? Gadis kecil sebaya yang sama sekali tidak punya hubungan darah apapun.
Seingatku kami masih satu sekolah, tapi tidak pernah sekelas. Pertemanan kami hanya sebentar. Setelah itu dia pindah rumah dan sekolah.
“Mau pindah ke Palembang,” katanya datar.
Kurespon dengan emosi datar juga. Belum percaya bahwa itu momen pertemuan terakhir kami. Dalam hati seperti mencelos, sedih. Tidak akan ada lagi wajah berponi dari balik pagar besi itu. Kemudian dia menghilang begitu saja. Tanpa memberi alamat. Ya, kami terlalu kecil untuk sadar bahwa perlu saling bertukar alamat agar bisa berkomunikasi. Kalau pun sadar, apa iya Farida bisa tahu alamat rumah yang akan dihuninya di Palembang sana? Sama sepertiku, dia hanya anak kecil yang wajib menurut kemauan orang dewasa. Yang pendapat atau pertanyaannya tidak pernah dianggap penting.
Sampai hari ini, baru kusadari bahwa Farida adalah satu-satunya sahabatku di masa kecil. Masa di mana aku merasa bagai anak kucing sebatang kara yang harus sibuk mengarang tentang keluarga bahagia yang tidak pernah ada.
Sepeninggal Farida, aku bersepeda sendirian. Tidak ada yang menggantikan dia. Tetangga yang sebayaku asik dengan saudara-saudaranya. Aku kembali menjadi anak tunggal kesepian yang berusaha menikmati duniaku sendiri. Tenang, bersepeda sendirian tetap asyik, walau tentu saja tak seseru saat bersama Farida.***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
