
Prolog
[01] Touch Her and I'll Kill You
[02] Bertekuk Lutut
[03] What Are You Doing, Agam?!
[04] Bolehkah Berpaling?
[05] Apa Pun Asal Jangan Mati
(isi cerita sama persis dengan isi di versi novel)
Prolog
“Kalo suatu saat nanti lo mau pergi, entah karena ngejar orang yang lo suka, atau … mau mati, lo harus ngomong sama gue ya, Gam? Jangan tiba-tiba menghilang tanpa pamit.”
Agam terdiam ketika mendengar Lamia tiba-tiba berucap demikian. Karena sedari tadi, tidak terdengar suara dari perempuan itu. Sejak dua jam yang lalu, Lamia fokus membaca novel di atas tempat tidur, membiarkan ia fokus membungkus ganja di lantai.
Cowok itu menoleh. Senyum tipis nampak di bibirnya. Ia lalu berdiri dan berjalan menghampiri Lamia. Ia duduk di tepi ranjang, menghadap Lamia yang masih menatapnya penuh harap.
“Kenapa lo tiba-tiba nanya begitu, La?”
“Jawab dulu pertanyaan gue. Lo pasti nggak bakal ngilang tanpa pamit, kan? Lo nggak bakal ninggalin gue sendirian secara tiba-tiba kan, Agam?”
Senyum Agam sedikit melebar. Ia lalu gerakkan tangan untuk mengelus kepala Lamia, berusaha menenangkan satu-satunya perempuan yang penting di hidupnya ini.
“Oke. Gue janji. Anything for you, Princess.”
“Beneran janji?” Lamia nampak belum puas.
Lelaki itu mengangguk mantap. “Janji.” Ia lalu menarik kembali tangannya yang mengelus kepala Lamia. Kini, sebelah alisnya terangkat dan menatap Lamia penuh rasa ingin tahu. “Jadi, kenapa lo tiba-tiba kayak gini?”
Lamia mengalihkan tatapannya dari Agam. Ia gerakkan mata menatap novel yang sedari tadi dibaca. “Barusan selesai baca novel ini. Ending-nya, si cowok meninggal karena penyakit yang sudah lama diderita. Dan lo tau apa yang bikin gue sebel? Si cowok rahasiain penyakitnya itu dari si cewek. Jadinya, si cowok meninggal tanpa si cewek tahu. Tahu-tahu si cewek kayak orang gila karena ditinggal tanpa pamit begitu sama cowoknya.”
Agam menyimak dengan serius. Setelah Lamia selesai berucap, baru ia berkata, “Gue nggak bakal kayak si cowok di tokoh novel itu.” Ia lalu mengambil alih novel yang masih dipegang Lamia. “Jadi, karena lo sudah selesai bacanya, dan ini sudah larut malam, lo mesti tidur. Oke?” ucapnya setelah menaruh novel tersebut di atas nakas.
“Nggak mau tidur sendiri tapi. Temenin ya, Agam?”
Lagi-lagi lelaki itu tersenyum, senyum yang selalu menjadi favorit Lamia. Kedua makhluk itu lalu berbaring di atas ranjang yang sama. Lamia memeluk Agam erat, seolah sebagai ungkapan kalau ia tidak akan pernah mau berjauhan dengan lelaki itu. Dan Agam, ia mengusap-usap kepala serta punggung Lamia sebagai pengantar tidur.
Untuk saat ini, biarlah mereka menikmati rasa yang ada tanpa perlu memikirkan konsekuensi yang akan diterima nantinya.
Mata Lamia sudah hampir terpejam ketika ia tiba-tiba berkata, “Agam ..., janji jangan pernah tinggalin gue sendirian tanpa pamit ya. Gue ... gak bakal bisa apa-apa tanpa lo.”
***
[01] Touch Her and I'll Kill You
"Gam, Lamia pingsan kena tendang bola!"
Suasana kelas seketika hening. Nyaris semua yang pendengarannya berfungsi dengan baik, langsung menahan napas tegang. Semua mata di ruang XII IPA 3 langsung tertuju pada satu-satunya sosok yang akan mengamuk dalam hitungan detik.
Kedatangan Razzan benar-benar tidak pas. Atau lebih tepatnya, berita yang dibawakan cowok berkacamata itu sangat amat tidak cocok dengan sikon di kelas sekarang. Ibarat sudah terbakar, Razzan seperti menyiram minyak di kobaran emosi Agam.
Suanasa kelas sudah tegang sejak setengah jam yang lalu, saat sang guru kimia izin keluar kelas dan meninggalkan mereka dengan setumpuk tugas di Lembar Kerja Siswa.
Mereka semua sudah kompak tidak berulah sejak tadi. Bukan, bukan karena bersekolah di tempat elit, mereka jadi tetap bisa duduk tenang meski ditinggal guru. Melainkan karena mereka tidak mau mengusik sang singa, menyulut emosi seseorang yang berada tepat di ambang batas.
Semua orang di kelas itu tahu bahwa Agam sedang mati-matian menjaga diri agar tidak mengamuk. Sebuah keajaiban karena seorang Agam Aderald yang paling anti dengan kimia, menjadi duduk manis mengerjakan semua soal dengan usaha sendiri.
Sudah setengah jam. Sudah selama itu pula Agam menjadi tak tersentuh. Tidak ada yang berani mengajaknya berulah di kelas ataupun minggat.
"Jangan ada yang berisik, gue mau konsen! Kalian semua kerjain semua soalnya dengan bener!"
Dua kalimat itulah yang membungkam seisi kelas. Kalimat yang diucapkan Agam ketika mereka langsung berisik begitu guru keluar kelas.
Dan sukses. Suasana kelas senyap seolah ada guru yang mengawasi. Tapi hening itu hening yang mencengkam, hening yang seolah menunggu-nunggu saat untuk dikacaukan. Dan kedatangan Razzan mampu menyulut itu.
Lima menit yang lalu, sahabat baik Agam itu keluar kelas dengan tenang karena akan ke toilet. Tapi kedatangannya itu yang bahaya. Kedatangan dengan membawa info yang mampu mengusik ketenangan si pentolan sekolah.
Tidak ada yang bersuara. Mereka semua kompak menunggu reaksi Agam.
Cowok yang sedari tadi mencoba fokus membaca buku kimia, kini mengalihkan pandang ke arah pintu kelas. Matanya membelalak tak terima. Rahangnya langsung mengeras. Dalam satu kedipan mata, cowok tinggi itu langsung berdiri dan melesat menghampiri Razzan.
"Di lapangan?" tanya Agam memastikan.
Razzan mengangguk kalem, seolah bukan masalah menghadapi Agam yang siap mengamuk ini.
Satu hal lagi yang membuat seisi kelas tambah tegang; ketenangan Razzan. Tenangnya Razzan biasanya menunjukkan akan terjadi ledakan emosi Agam.
Satu-satunya orang yang masih bisa bersikap santai di saat Agam tersulut emosi, adalah Razzan. Dan siapa satu-satunya yang sanggup meredup ledakan emosi itu? Ialah si cewek yang dikabarkan Razzan tengah pingsan lantaran kena tendang bola.
Tidak berkata apa-apa lagi, Agam langsung berlari keluar kelas. Tapi baru beberapa detik mereka kehilangan tontonan yang membuat jantungan, seruan Razzan menarik perhatian lagi.
"Gam! Lo gila? Ini lantai tiga! Jangan asal lompat aja biar cepet sampe ke lapangan."
Semua yang mendengar itu langsung terkesiap. Kalau menyangkut Lamia, Agam benar-benar bahaya.
Memberanikan diri, mereka berusaha mengintip. Terutama para cewek. Melihat Agam yang tengah dilanda kekhawatiran seperti ini entah mengapa membuat mereka semakin gemas.
Sweet banget!
Meski takut, mereka tetap beranikan diri melihat dari dekat. Dan ada beberapa yang mulai mengkhayal sedang berada di posisi Lamia, di posisi yang mampu membuat Agam menjadi kalang kabut begini. Aw, senyum-senyum mupeng pun mulai bermunculan.
"Lo ngapain nahan gue, Zan?!" bentak Agam tak terima karena Razzan menarik sebelah tangannya, padahal dia sudah siap meloncat.
"Masih ada tangga, kalo kalo lo lupa," sahut Razzan.
Agam berdecak sebal. Tidak mau mengulur waktu, ia menepis tangan Razzan dan kembali menapak lantai koridor. Setelahnya–bahkan sebelum Razzan sempat bereaksi–Agam sudah berlari cepat menuruni empat susunan tangga yang membawanya ke bawah.
Seperti kesetanan, Agam berlarian melompati tangga secara tak beraturan. Tidak sia-sia, karena hanya hitungan detik, cowok itu sekarang sudah sampai di lapangan.
Para siswa yang memakai seragam olahraga di lapangan langsung melotot horor, melihat Agam seoah melihat setan.
Kedatangan Agam. Yang berarti malapetaka bagi mereka.
Agam tidak menghiraukan sekitar. Fokus utamanya sekarang adalah pada sosok cewek dengan mata terpejam yang sedang dibopong oleh tiga cowok itu.
Benar kata Razzan. Lamia pingsan.
Agam menggeram marah. Dan bertambah lagi kemarahannya karena ada tiga cowok yang membopong Lamia; di bagian kepala, punggung, serta kaki. Yang berarti tiga cowok itu tengah menyentuh Lamia, menyentuh Lamia-nya.
Mereka yang ada di lapangan jelas bertambah panik. Pingsannya Lamia saja sudah mampu membuat seluruh aktivitas di lapangan terhenti, kini bertambah lagi kedatangan Agam yang membuat jantung mereka menjadi berpacu lebih cepat.
Abaikan detak jantung yang berpacu cepat lantaran melihat Agam dalam jarak begitu dekat.
Terlebih lagi penampilan Agam yang benar-benar bisa membuat lutut para cewek menjadi lemas; raut khawatir dalam penampilan acak-acakan serta keringat yang mengalir dengan maskulin itu. Rasanya, bukan hanya Lamia saja yang pingsan. Bisa-bisa mereka juga ikutan pingsan lantaran kedatangan Agam.
Berbeda dengan reaksi para cewek, cowok-cowok jadi kicep. Terlebih lagi tiga cowok yang membopong Lamia. Mereka yang awalnya sibuk berushaa menyadarkan serta heboh ingin membawa Lamia ke UKS, kini jadi terdiam.
Tiga cowok yang tadi berjalan tergopoh-gopoh itu langsung menghentikan langkah begitu melihat Agam berlari ke arah mereka. Terlebih lagi si tersangka yang langsung berkeringat dingin.
"Siapa yang ngelapor ke Agam?"
"Gilak si Agam. Radarnya kenceng banget kalo nyangkut Lamia."
"Nepi oy, nepi. Entar kita ikut kena getahnya."
Celetukan-celetukan itu terdengar seiring dengan kedatangan Agam. Celetukan yang bernada horor, tapi tak bisa dipungkiri kalau ada saja yang masih mengagumi tanpa melihat sikon.
"Sini, gue yang bawa," ucap Agam langsung ketika hanya berjarak beberapa inci dari badan Lamia.
Cowok itu berkata dengan nada tak terbantahkan. Ketus, namun sekaligus tegas. Tidak memedulikan apakah Lamia akan diserahkan secara baik-baik atau tidak.
Kedua lengannya langsung merebut paksa Lamia dari bopongan tiga cowok itu. Bersikap kasar memang, tapi langsung berubah lembut dan hati-hati ketika Lamia sudah ia gendong sepenuhnya.
Seolah Lamia begitu rapuh, seolah pingsannya Lamia menunjukkan si perempuan sedang kritis. Seolah timpukan bola itu bisa meremukkan badan si perempuan.
Ketiga cowok itu jelas hanya bisa pasrah ketika Lamia berpindah tangan. Gugup, canggung, serta takut. Perasaan terkutuk itu langsung hadir.
Agam bergegas membalikkan badan, bersiap akan pergi dengan cepat menuju UKS. Seolah beban berat badan Lamia bukan masalah untuknya.
"Agam, mau dibawa ke mana Lamia?"
Pertanyaan dari Pak Salman–sang guru olahrga–menghentikan langkah Agam. Cowok itu kembali menoleh.
"Ke UKS lah, Pak. Biar saya aja yang bawa. Terlalu lambat kalo cuma ngangkat Lamia aja butuh tiga cowok." Lirikan meremehkan pun tak lupa ia tujukan pada tiga cowok itu.
Tidak memedulikan sekitar lagi, Agam langsung melangkah cepat-cepat ke UKS. Ia nyaris berlari, langkahnya lebar-lebar dan sangat terkesan buru-buru. Kedua tangannya merengkuh Lamia dengan erat. Meskipun ia bergerak cepat, tidak akan ia biarkan Lamia terlepas dari pegangannya.
Begitu sampai di ruang UKS, Agam langsung membaringkan Lamia dengan hati-hati. Dokter yang sedang berjaga di sana sempat terkejut ketika seseorang nenerobos masuk dan langsung menggulingkan 'pasien'.
SMA Atlanta memang tidak tanggung-tanggung dalam menyediakan fasilitas. Bukan hanya anggota PMR saja, melainkan dokter langsung! Setiap hari, selalu ada satu orang dokter yang berjaga di ruang UKS. Dokter yang memang khusus menangani para penghuni Atlanta.
"Dok, temen saya pingsan kena tendang bola. Tolong diperiksa. Dia gak gegar otak, kan?"
Agam menatap dokter perempuan itu, bertanya dengan gusar. Tampangnya begitu polos, seperti anak kecil yang ketakutan ketika hamster peliharaannya tidak mau makan.
Dokter berusia empat puluhan itu tersenyum kikuk, bingung mau menjawab apa. Sebagai respons, ia bergegas memeriksa Lamia dan segera mengambil tindakan pemulihan.
Sementara Agam di dalam–membantu sang dokter tanpa diminta–para murid XII IPA 1 berkerumun di luar. Hanya sebatas berdiri di dekat pintu masuk atau mengintip melalui kaca. Hanya sebatas itu. Mereka semua tidak ada yang berani masuk.
Tak lama kemudian, Pak Salman masuk ke ruangan. Guru itu ingin memastikan keadaan anak muridnya. Sang dokter menjelaskan kalau Lamia hanya terkena benturan ringan. Pingsannya Lamia bukan hal yang serius. Pak Salman mengangguk mengerti, setelahnya ia kembali keluar ruangan.
Baru saja Pak Salman berbalik pergi, Agam menatap Dokter Yesti. "Beneran Lamia gak apa-apa, Dok?" tanyanya memastikan.
"Iya, Lamia gak apa-apa, Agam. Lecet di dahi dan lututnya juga sudah kita perban, kan? Selain itu, Lamia gak terluka apa-apa lagi. Kita tinggal menunggu sampai dia sadar saja," jelas Dokter.
Kembali ke Pak Salman, guru itu berusaha membubarkan kerumunan di dekat UKS.
"Kenapa kalian masih di sini? Cepat kembali ke lapangan! Jam olahraga masih berlangsung."
"Tapi, Pak ...."
"Tapi tapi apa? Sudah sana kembali ke lapangan," tegas Pak Salman.
Pak Salman mendahului para siswa ke lapangan. Beberapa mulai mengikuti guru itu dengan patuh, tapi ada juga beberapa yang masih diam di tempat karena tahu insiden pingsannya Lamia ini belum selesai. Terutama sang tersangka yang terus berkeringat dingin sejak tadi. Suatu keajaiban kalau dia bisa selamat dari Agam setelah ini.
"Siapa yang nendang bolanya?"
Nah kan benar! Baru saja dipikirkan, si setan sudah nongol di depan pintu UKS yang ia tutup dari luar. Bukan hanya si tersangka yang bergidik terkejut, melainkan yang lainnya juga.
"Jawab! Siapa pelakunya?!" bentak Agam karena semua orang di depannya cuma bisa diam dan saling melempar lirikan.
"Gam, yang penting kan Lamia gak apa-apa."
Reno–si ketua kelas tercinta–berusaha meredam emosi. Usaha yang sia-sia sebenarnya. Tapi murid kelas, terutama sang tersangka, sangat berterima kasih atas sikap 'berani' Reno ini.
Agam langsung memberikan tatapan menusuk. Ekspresinya sangat amat menunjukkan kalau dia tidak suka dengan apa yang Reno ucapkan.
"Itu bukan jawaban dari pertanyaan gue tadi," ucapnya tajam.
Reno menelan ludah kasar. Kampret! Kenapa berhadapan dengan Agam bisa buat deg-degan begini? Kayak lagi ngadepin gebetan aja.
"Siapa?!" Agam berteriak gahar, lagi-lagi semua bergidik ngeri. "Gak ada yang mau ngaku? Pengecut, huh?"
Lagi-lagi hanya saling melempar lirikan.
"Gak ada yang mau jawab? Berarti gue anggap kalian semua pelakunya! Kalian semua yang salah!"
Mereka melotot horor. Gila aja! Makasih deh. Gak lagi-lagi berurusan sama Agam. Apalagi kalau mau dijadiin samsak kemarahannya. Makasih, makasih!
Cowok yang berdiri di samping sang tersangka mencoel pelan. Memberi lirikan mata kalau ia mesti mengaku. Menghela napas berat, si tersangka bersiap menemui 'algojonya'.
"Gu-gue yang nendang bolanya, Gam. Ta-tapi gue gak se–"
Sebuah tonjokan kuat langsung melayang ke rahang si pelaku, menghentikan ucapan serta memancing teriakan panik para cewek. Sontak mereka menjauh, seolah memberi ruang bagi Agam untuk memukuli Adit–si pelaku.
"Bangsat! Banci lo, hah?! Mau ngaku aja lama bener!"
Agam berseru marah. Tangan kanannya sudah mencengkram kerah baju Adit. Sementara tangan kiri bersiap melayangkan bogem mentah lagi.
"Ma-maaf, Gam! Gue beneran gak sengaja nendang bolanya ke Lamia. Gue beneran gak sengaja." Adit takut setengah mati.
"Gam, lepasin Adit!" Reno berusaha melerai perkelahian satu arah itu.
"Gak usah ikut campur lo!" Agam memberikan tatapan membunuh, seolah memberikan penawaran kalau Reno mau, ia tidak keberatan melayangkan tinju pada dua orang.
Setelahnya, sebuah tinju melayang lagi di pipi Adit. Teriakan para cewek kembali terdengar. Kali ini, Adit sampai tersungkur. Darah segar pun mulai mengalir di sudut bibirnya.
"Laporin Pak Salman! Iya cepet, cepet laporin!" ujar salah satu murid.
"Laporin aja. Kalian kira, gue takut?" tantang Agam.
Diam. Nyatanya, sama sekali tidak ada yang bergerak di antara mereka. Lagipula siapa yang berani melapor kalau sebagai konsekuensinya akan dijadikan next samsak oleh Agam.
Mereka hanya berharap semoga Pak Salman segera ke sini karena tidak semua muridnya berada di lapangan. Atau kalau tidak, ada guru lain yang melihat kejadian ini. Atau ... ah entahlah! Pokoknya siapa pun seseorang yang berpengaruh segeralah datang ke sini.
Agam menyeringai karena tidak ada yang bergerak melapor. Ia lalu maju, melangkah menghampiri Adit yang tersungkur di lantai itu.
Belum sempat Adit mengelak, Agam sudah kembali mencengkram kerah bajunya. Ditariknya paksa Adit agar berdiri. Dan lagi, sebelah tangannya bersiap melayangkan tinju.
"Agam! Lamia bisa marah kalo tau lo berantem lagi!"
Seorang cewek menembus kerumunan penonton. Dan tepat! Seolah seperti mantra, ucapan itu menghentikan gerak tangan Agam.
***
[02] Bertekuk Lutut
Kali ini, kedatangan Tisa sangat disyukuri oleh mereka. Karena ucapan cewek berkuncir satu itu, Agam jadi berhenti memukuli Adit. Dan juga karena ucapan cewek itu, mereka mulai bisa menarik napas lega. Kemungkinan mereka ikut kena getah, jadi bertambah kecil.
Tapi tentu mereka semua tahu apa yang membuat Agam berhenti. Jelas bukan karena Tisa, tapi karena nama yang dibawa cewek itu.
Lamia.
Menyebut nama Lamia saja bisa mengendalikan Agam seperti ini. Sangat mereka sayangkan karena sang dewi sedang 'terlelap' ketika si monster mengamuk. Beruntung ada 'tangan kanan' si dewi yang datang tepat waktu.
"Agam, kalo lo gak mau buat Lamia marah, lo bisa lepasin Adit sekarang," ucap Tisa hati-hati.
Tisa sebenarnya masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan lantaran dipaksa berlari tadi. Astaga, duo sejoli ini bisa banget bikin suasana gempar. Dia itu baru keluar dari ruang guru, tapi langsung dihadapkan dengan berita pingsannya Lamia.
Saat Lamia kena tendang sepak bola tadi, dia memang tidak berada di lokasi. Tisa mengejar salah satu guru karena bermasalah di pengumpulan tugas. Tisa segera menuju UKS, dan langsung mempercepat langkah saat dilihatnya kerumunan orang berkelahi.
Agam melirik Tisa sekilas, lalu mendengus. Detik setelahnya, ia pun menurut. Dilepasnya cengkeraman kerah Adit dengan kasar.
Adit langsung menghela napas lega. Namun baru saja merasa bebas, tangannya ditarik paksa. Agam menarik Adit agar mengikutinya masuk ke ruang UKS.
Lagi, suasana kembali mencengkam bagi mereka.
Sang dokter tidak terlihat ketika pintu terbuka. Jelas saja. Agam tahu kalau si dokter tadi menghilang ke kamar mandi sebelum ia membuat keributan di luar.
Reno, Tisa, dan lainnya mengekori mereka masuk. Namun tetap dalam jarak aman. Hanya Tisa saja yang berani langsung menghampiri brankar tempat Lamia berbaring.
"Berlutut," titah Agam yang membuat semua mata di sana melongo.
Adit menoleh bingung. Siksaan apa lagi yang mau Agam berikan??
Astaga! Dia itu cuma tidak sengaja menendang bola ke kepala Lamia. Tidak sengaja! Bukan maunya juga 'menyentuh' tuan putrinya si pentolan sekolah. Kenapa Agam memperlakukannya seolah ia menghunuskan pisau dengan sengaja ke Lamia?! Memangnya belum cukup dengan dua tonjokan di muka?!
"Maksudnya apa?" Adit memberanikan diri bertanya.
"Gue bakal lepasin lo. Tapi nyatanya, sekarang Lamia masih belum sadar, kan? Dan lo mau enak-enakan bebas sementara Lamia masih pingsan?" ujar Agam sarkas.
"Gam, kami masih ada jam olahraga sekarang." Lagi-lagi Reno berusaha melerai.
Agam menoleh. "Lo pikir gue peduli?"
Reno langsung kicep lagi. Berat, Jendral, jadi ketua kelas di mana ada Lamia. Setiap keributan yang dibuat Agam menyangkut Lamia, Reno bertanggung jawab untuk menanganinya.
Bukannya ia tidak suka pada Lamia. Oh ayolah, Lamia adalah si bintang sekolah, tidak mungkin sosok menyenangkan seperti itu tidak disukai nyaris semua orang. Ya, nyaris. Karena nyatanya masih ada saja si pembenci yang iri. Yang tidak disukai dari Lamia adalah bodyguard-nya. Aneh sekali sosok manis seperti Lamia mempunyai penjaga kampret seperti Agam.
"Kalo kalian emang masih jam olahraga sekarang, kenapa masih di sini?!" bentak Agam yang membuat mereka berjengit kaget.
Ya karena lo ganteng! Keren! Kece abis! Marah-marah begini aja gantengnya gak luntur.
Jawaban itu jelas hanya bisa diucapkan dalam hati oleh para cewek. Cari mati kalo berani menyuarakannya langsung di depan Agam.
Dan juga karena kami penasaran.
Sambung mereka. Kali ini bukan hanya oleh para cewek, tapi oleh cowok-cowok juga. Lagi pula gak tega mereka meninggalkan Adit sendirian.
Diam. Sama sekali gak ada yang bersuara di antara mereka. Bahkan Tisa pun gak angkat suara lagi. Sekarang, ia malah asyik menonton.
Tidak memedulikan mereka lagi, Agam kembali memusatkan perhatian ke Adit. "Tunggu apalagi? Cepet berlutut! Sampe Lamia bangun, lo gak boleh bergerak seinci pun."
Adit terkesiap. Ini keterlaluan! Berlutut? Yang bener aja! Agam benar-benar mau menginjak harga dirinya.
"Gue gak mau," tolak Adit.
Teman-temannya memukul dahi pelan. Astaga, Adit, cari masalah lagi dia. Tapi kalau mereka di posisi Adit, jelas saja perintah Agam itu memberatkan.
Emosi Agam kembali tersulut. Tidak berkata apa-apa lagi, dia mendorong Adit dengan keras ke dinding. Ia sudah bersiap akan menghajar lagi, tapi sebuah suara pelan menghentikan.
"Agam ...."
Akhirnya sang Dewi bangun! Selamatlah mereka! Selain Agam dan Tisa, semua orang di sana diam-diam menghela napas lega ketika Lamia sudah membuka mata dan bersuara.
"Adit gak salah kok, jangan marah ke dia," ucap Lamia pelan. Ia berusaha duduk, dibantu Tisa. Sebenarnya kepalanya masih pusing, tapi mau tak mau ia harus turun tangan langsung di keributan ini.
Hanya dalam satu kedipan mata, kini Agam sudah berdiri di samping brankar Lamia. Gile, kalau menyangkut Lamia, si Agam cepet bener.
"Yang mana yang sakit, La? Kepala? Perut? Tangan? Kaki? Pusing gak? Mau muntah?" Agam bertanya khawatir bertubi-tubi, mengabaikan ucapan Lamia tadi.
Lamia tersenyum tipis. "Gue gak apa-apa kok, Agam. Lo jangan marah-marah lagi, ya. Kasihan Adit." Lamia menatap Agam dengan tatapan polosnya.
Agam berdecak. "Dia yang nendang bola ke lo."
"Tapi kan Adit gak sengaja," sanggah Lamia halus. Ia lalu menoleh ke Adit. "Adit, maafin Agam ya. Gue merasa bersalah banget sama lo. Ya ampun, gara-gara gue, lo sampe kena hajar Agam. Maafin gue ...." Lamia berkata dengan mata berkaca-kaca ingin menangis.
Adit jadi serba salah. "Eh, emang gue yang salah kok, La." Dia ingin mendekat, tapi tatapan mematikan dari Agam, menghentikan.
"Emang lo yang salah!" sambar Agam, tapi diabaikan Lamia.
"Tuh liat, bibir lo sampe berdarah gitu. Pasti sakit kan. Agam juga keterlaluan banget ngajar lo di depan umum. Nyuruh lo buat berlutut juga." Lamia masih memasang tampang ingin menangisnya.
Oowwwhh .... See? Lamia itu baik banget. Dia bahkan sama sekali gak marah ke Adit. Bahkan dengan rendah hatinya sampai minta maaf. Teman-teman sekelas jadi makin suka ke Lamia. Lope lope lah buat Lamia. Dan salam jari tengah buat si Agam.
"Ini bukan masalah kok," ujar Adit sambil menyeka sudut bibirnya yang berdarah. "Gue yang seharusnya minta maaf karena udah buat lo pingsan."
"Gue gak apa kok. Lagi pula gue pingsan kan bukan sepenuhnya salah lo, Dit." Lamia lalu menatap ke khawatir ke luka Adit. "Luka lo diobati dulu, ya," bujuknya.
Adit jadi salah tingkah. Baru saja ia hendak merespons, celetukan Agam sudah mendahului.
"Banci ah kalo yang begituan aja sampe mau diobatin."
Lamia mendelik ke Agam. "Agam! Language, please."
Agam langsung mengatupkan mulut rapat.
Adit tersenyum canggung. Dia sebenarnya kesal banget tadi, tapi karena kebaikan Lamia, luntur sudah kekesalannya. Kembali rasa bersalah yang hinggap.
"Gue gak apa kok, La. Lo yang seharusnya dikhawati–"
"Sampe kapan sih bacotnya? Udah sana pergi!" potong Agam gak sabaran. "Karena Lamia udah sadar dan gak marah sama kalian, gue maafin kalian semua. Udah udah sana pergi, ngapain bikin sumpek di sini." Agam mengibas-ngibaskan tangan.
Menurut, sisa warga XII IPA 1 itu pun berlalu pergi. Lega akhirnya bisa keluar dengan selamat.
Tinggal Agam, Lamia, dan Tisa di ruangan itu.
"Lo ngapain masih di sini? Gih pergi juga sana," ucap Agam ke Tisa.
Tisa mengerucut sebal. Padahal sudah senang karena sedari tadi gak ikut ambil jatah kemarahan Agam.
"Lo gak apa-apa kan, La?" tanya Tisa yang dibalas anggukan Lamia. "Gue tinggal ya, mau balik lagi ke lapangan."
"Oke. Gue sebenernya pengen balik ke lapangan lagi, tapi masih rada pusing. Jadi tolong izini ke Pak Salman ya, Tis."
"Siiip."
"Ya jelaslah lo mesti tetap istirahat di sini," timpal Agam.
"Lo gak keluar juga, Gam?" tanya Tisa.
"Enggaklah, gue kan mau nemenin La–"
"Lo masih ada jam pelajaran kan, Gam? Balik aja ke kelas," potong Lamia.
Tisa tersenyum penuh kemenangan. Setelahnya, ia pun berlalu pergi. Sahabatnya Lamia ini memang gak mau terlalu ribet. Dan juga, selain Razzan, bisa dibilang Tisa jugalah yang sudah terbiasa menghadapi Agam. Bukan karena apa-apa, melainkan karena ia tidak terlalu peduli, tidak mau terlalu mengambil pusing menghadapi hebohnya Agam dalam memperlakukan Lamia.
"Tapi kan gue mau nemenin lo di sini, La."
Lamia tersenyum penuh maksud. "Agam ..., lo sekarang masih jam pelajaran kimia, kan? Inget janji lo yang mau belajar kimia sungguh-sungguh hari ini?"
Agam menghela napas pasrah. "Fine! Gue pergi."
Selalu. Bagi Agam, membantah Lamia nyaris tidak mungkin. Dan selalu, Agam Aderald akan bertekuk lutut di hadapan Lamia Ashalina, entah tidak peduli sekecil apa pun hal itu.
***
Beberapa waktu sudah berlalu. Lamia sedang menyusun obat-obatan ketika Agam melangkah masuk UKS. Cowok itu membawa sepiring nasi goreng dan sebotol air mineral. Ia berdecak pelan. Cewek ini .... Bukannya beristirahat, malah banyak gerak.
"La, siapa yang nyuruh lo ngebabu di sini?"
Agam meletakkan bawaannya di atas meja dekat Lamia. Ia menatap tajam, pada Lamia dan juga obat-obatan yang sudah nyaris tersusun rapi itu.
Ia sudah lari-larian dari kelas ke kantin begitu bel istirahat berbunyi, setelah memaksa diri mengerjakan soal-soal kimia sebisa mungkin walau mumet. Mengantri di kantin. Lalu buru-buru ke UKS lagi. Tapi apa yang ia dapat? Lamia bahkan anteng-anteng saja.
Sementara Lamia, bukannya terkejut, ia malah tersenyum. Ternyata ini alasan Tisa cepat-cepat pergi sepuluh detik yang lalu.
Sebelum kedatangan Agam ini, Tisa sudah duluan datang menengok. Sahabatnya itu mengantar seragam putih abunya. Tisa sempat mengajak Lamia untuk makan di kantin, namun urung ketika cewek itu menyadari ada sosok yang melangkah cepat-cepat ke UKS.
Oleh karena itu, Tisa langsung pamit, tidak mau menjadi obat nyamuk bagi Agam. Sebelum disuruh pergi oleh si kampret itu, Tisa sudah sadar diri untuk segera pergi.
"Siapa yang ngebabu sih, Agam. Gue sendiri yang mau ngelakuinnya," jawab Lamia riang.
"Lo mesti istirahat, La. Liat luka di jidat sama lutut lo."
"Agam, please, ini cuma luka kecil." Bibir Lamia mengerucut sebal.
"Terserah lah. Sini, lo mesti duduk lagi." Tanpa seizin Lamia, Agam menarik pelan lengannya. Memaksa Lamia agar duduk dengan manis di pinggiran brankar.
"Lo kok ke sini lagi, Gam? Ini udah jam istirahat lho, gue juga bentar lagi mau balik ke kelas kok pas Dokter Yesti balik ke sini," ucap Lamia.
Agam tidak menyahuti ucapan Lamia. Ia ambil kembali piring tersebut, lalu duduk di depan Lamia. "Makan, La," ucapnya.
"Males makan, Agam ...."
Agam kembali menatapnya tajam. "Tadi pagi lo udah gak sarapan, sekarang masih gak mau makan juga? Mau gak mau, lo mesti makan. Kalo nolak, gue paksa ini nasi masuk ke mulut lo pake mulut gue."
Lamia terdiam. Detik selanjutnya, ia tersenyum usil. "Uuu mau dong disuapin pake mulut oleh most wanted guy-nya Atlanta. Nih, nih, suapin."
Lamia memaju-majukan mulutnya dengan gaya centil, gaya yang sangat amat jarang ia lakukan. Hanya pada Agam. Ya, hanya pada Agam ia berani bersikap seperti ini.
Agam mendengus pelan. Mengabulkan ucapan Lamia, dengan cepat ia menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Dan hanya dalam sekali kedipan mata, tangannya menarik rahang Lamia untuk mendekat.
Nyaris.
Nyaris saja Agam benar-benar melakukannya jika Lamia tidak menutup mulut dengan sebelah tangan. Matanya melotot horor seolah memperingati Agam.
"Agam! Gue kan cuma bercanda!" seru Lamia setelahnya.
Agam menjauhkan diri, lalu mengangkat sebelah alis. "Well, gue gak keberatan ngelakuinnya kalo lo yang minta."
Bibir Lamia mengerucut sebal. "Ya udah deh, gue mau makan." Selanjutnya ia kembali tersenyum. "Tapi suapin ya, Agam."
"Hm."
Agam benar-benar melakukannya. Ia kembali memegang sendok. Kali ini bukan untuk disiapkan ke dirinya sendiri, melainkan pada mulut cewek di depannya.
"Lo makan juga dong, Gam," ucap Lamia setelah menerima suapan dari Agam.
"Iya, iya." Agam menurut. Lagi pula, memangnya Agam bisa menolak jika Lamia yang meminta? Dengan sendok yang sama, ia menyendokkan nasi ke mulut.
Ciuman secara tidak langsung? Benarkah? Kalau begitu, berarti Lamia dan Agam sudah sering melakukannya. Entah sudah berapa kali Agam menyuapi Lamia dengan sendok yang ia pakai. Atau entah juga sudah berapa kali Agam mencomot makanan dari sendok yang dipakai Lamia.
"Lo kenapa ke sini lagi, Gam?"
Lamia mengulang pertanyaannya tadi. Satu-satunya yang berani mengulang pertanyaan ke Agam, adalah Lamia. Kalau muird lain, boro-boro! Diacuhkan Agam saja sudah bikin ketar-ketir, apalagi kalau bertanya ulang. Pokoknya jauh-jauh deh berusuran sama Agam.
"Mau nyamperin lo lah, La," jawab Agam sekenanya.
Lagi pula, tanpa Agam jawab pun seharusnya Lamia sudah tahu jawabannya. Memangnya bisa Agam berjauhan dari Lamia? Semua orang di sekolah ini bahkan sudah tahu jawabannya.
Lamia tersenyum kecil. "Soswit deh. Kenapa gak ke kantin aja? Ngumpul sama anak-anak yang laen?" Lamia sengaja bertanya. Sorot matanya bersinar geli.
"Karena gak ada lo," jawab Agam singkat, masih sambil menyodorkan sendok nasi kepada Lamia.
Untung aja ini Lamia, jadi Agam bisa sabar menjawab pertanyaan yang jawabannya terpampang jelas di jidat.
Senyum Lamia makin lebar. "Aduh, Agam, gue jadi makin sayang deh. Kalo gue gak bisa lepas dari lo, gimana?"
Kali ini, Agam yang tersenyum kecil. Ditatapnya Lamia lekat-lelat. "Bukannya udah dari dulu hal itu berlaku?"
Ya sejak dulu. Dari dulu hingga sekarang, Lamia dan Agam seolah tidak terpisasahkan. Bagi Lamia, Agam adalah tempatnya bergantung. Satu-satunya sosok yang bisa melewati garis teritorial dengan tanpa batas.
Dan Lamia juga tahu, hal itu berlaku sebaliknya.
Lamia membalas tatapan itu dengan penuh arti. "Ya, lo bener."
Bagi Lamia, nyatanya memang sulit melepaskan diri dari Agam. Baginya, Agam itu segalanya. Dan bagi Agam, Lamia juga adalah segalanya. Bersama, mereka merasa bisa melalui segalanya.
Indah? Tidak juga. Karena terkadang kebersamaan ini mengandung pedih, mengandung luka yang tak kasat mata. Luka yang tidak mampu mereka obati, sehingga satu-satunya yang bisa dilakukan adalah membiarkan waktu yang menyembunyikan. Entah sampai kapan.
"Lo sendiri kenapa gak keluar dari sini?" Kali ini Agam yang bertanya.
"Ngobrol sama Dokter Yesti. Kami tadi ngobrol banyak, dan gue jadi makin yakin kalo pengen jadi dokter." Senyum Lamia merekah.
Setelah Agam keluar dari ruang UKS tadi, Lamia bisa bebas mengobrol banyak dengan Dokter Yesti. Ia bahkan melupakan lukanya yang tak seberapa itu. Ia juga dengan semangat menawarkan diri menyusun obat-obatan ketika Dokter harus pergi keluar sebentar karena ada urusan.
Untuk sejenak, Agam terpaku menatap Lamia. "Ya, lo emang mesti yakin sama cita-cita lo. Lamia Ashalina pasti bisa jadi dokter hebat nantinya."
Ada rasa berkecamuk di Agam ketika mengucapkannya.
"Dan Agam Aderald pasti bisa jadi seorang arsitek keren nantinya," sambung Lamia dengan senyum yakin.
Agam membalasnya dengan senyum pahit. Menggapai cita-cita .... Entah mengapa rasanya begitu mustahil untuk dilakukannya.
"Nanti lo bisa buat rumah yang amazing buat kita berdua. Rumah yang dirancang oleh tangan sendiri. Di sana, kita bisa kumpul-kumpul dengan nyaman sama keluarga ...." Untuk sejenak, Lamia membiarkan agangannya menguasai. Ia berdeham pelan, lalu kembali berkata, "Bersama, kita pasti bisa sukses ke depannya, Gam." Dan akhirnya, nada pedih itu terdengar juga dari mulut Lamia.
Agam menatap Lamia lekat. Bersama. Cukup kata itu yang perlu ia yakinkan. Dan kalau Lamia ingin menjadi dokter, maka memang harus jadi dokter. Tidak peduli apa, Agam akan mati-matian membantu mewujudukan itu.
Tentang dirinya? Asal Lamia bisa bahagia, itu sudah cukup. Lagi pula, apa yang bisa ia harapkan dari dirinya yang 'cacat' ini. Satu-satunya hal berguna yang bisa ia lakukan adalah menjadi apa saja untuk Lamia. Ya, selama bersama Lamia, Agam rela melakukan apa pun.
Cukup dirinya yang hancur. Cukup dirinya yang remuk luar dalam. Tapi tidak dengan Lamia. Lamia harus sukses di masa depan. Harus.
***
[03] What Are You Doing, Agam?!
"La, sebenarnya hubungan lo sama Agam itu apa, sih?"
Hening di sekitar meja itu pecah ketika Rika melemparkan pertanyaan ke Lamia. Dua pasang mata yang lain kini ikut memusatkan perhatian ke Lamia lagi.
Akhirnya, salah satu di antara mereka bertiga ada yang menyuarakan rasa penasaran yang telah lama terpendam, rasa penasaran yang sepertinya nyaris berada di benak seluruh penghuni sekolah ini.
Ehm minus Tisa sebenarnya. Cewek itu tidak terlalu penasaran apa hubungan duo sejoli itu. Selama masih bisa berhubungan baik dengan Lamia, ya terserah dengan Agam.
Lamia yang awalnya sudah kembali fokus mengerjakan tugas kelompok, kini mengangkat pandang. Ditatapnya Rika dengan sorot mata ramah–seperti biasa.
Untung si Rika bertanya pada Lamia. Kalau sama Agam mah, boro-boro dapat jawaban. Yang ada malah dapet sergakan.
"Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Rik?" Lamia balas bertanya.
Rika sekilas melirik Okta yang duduk di sebelahnya, sebelum menjawab, "Ya, penasaran aja." Rika berdeham sebentar. "Ralat. Penasaran banget! Kalian itu apa sih? Pacaran? Tunangan? Atau gimana? Ah, atau jangan-jangan kalian ini pasangan suami istri, kalian sebenarnya udah melangsungkan pernikahan. Gitu, ya??"
Tisa yang turut mendengar itu jadi memutar kedua bola mata. Sementara Lamia, cewek itu malah tertawa kecil.
"Kok lo ketawa sih, La?" timpal Okta.
Lamia berhenti tertawa. "Abisnya kalian lucu deh. Masa ngira gue sama Agam itu udah nikah. Kita masih sekolah, gak boleh nikah-nikah dulu." Ia kembali tertawa geli.
"Abisnya kalian itu lengkeeet banget. Jam istirahat kayak gini aja, Agam tadi sampe nyamperin lo. Lo pingsan kemaren aja, Agam sampe segitunya."
Yup, lima menit yang lalu, Agam memang baru aja ke kelas mereka. Untuk apa? Ya jelas mencari Lamia lah.
Yaaa walau ujungnya tetap disuruh pergi oleh Lamia.
Agam langsung menurut? Enggak! Itu cowok tadi sempat ngotot mau nempelin Lamia terus, walau sudah dikasih penjelasan kalau Lamia mau mengerjakan tugas kelompok yang belum kelar. Tugas itu mesti dikumpul setelah jam istirahat habis, sehingga membuat semua penghuni XII IPA 1 masih bercokol di kelas.
Tapi Lamia tidak kehabisan akal. Ia bilang, "Gue gak bakal buka pintunya entar malem kalo lo masih ngotot mau di sini."
Dan, strike! Agam langsung menurut. Meski berat hati, akhirnya cowok itu pergi juga dari kelas Lamia, membiarkan ia mengerjakan tugas dengan damai.
Ucapan Lamia itu jelas mengundang rasa penasaran setengah mampus bagi warga kelas. Apa? Gak dibukakan pintu entar malem? Maksudnya apa?? Dan kenapa Agam langsung nurut?
Oleh karena itulah Rika bisa mengambil kesimpulan kalau Agam dan Lamia mungkin aja udah nikah.
"Soalnya udah biasa sama-sama dari dulu, Rik," jawab Lamia tenang.
"Oleh karena itu Agam jadi nyariin lo terus? Kayak anak ayam nyari induknya?"
Lamia kembali tertawa kecil. "Mungkin."
Rika mendengus pelan. "Kok mungkin sih, Laaa? Terus jawaban pertanyaan gue apa? Lo sama Agam apa hubungannya?" Rika terus menuntut jawaban.
"Eh, Rika! Lo kok kepo banget sih. Terserah mereka lah mau punya hubungan kayak apa. Kenapa kalian pada yang sewot," sembur Tisa, mulai tidak tahan karena pekerjaan tugas ini jadi tersendat.
"Iiiih, Tisa, mah, ganas amat. Lamia aja gak keberatan kok ditanya-tanya."
"Gak keberatan bukan berarti seneng ditanya-tanya!" sanggah Tisa.
Rika dan Okta kompak mencebik. "Apa sih, Tisa."
"Udah gak usah ribut," lerai Lamia. "Gue sama Agam itu ... hubungan tanda kutip," ucap Lamia. Sengaja memberikan jawaban ambigu. Membiarkan si penanya jadi berasumsi sendiri.
Kontan saja jawaban itu makin mengundang penasaran. "Tanda kutip apa?" tanya Rika dan Okta bersamaan.
Lamia tersenyum penuh maksud. "Kalo itu silakan artiin sendiri. Atau bisa langsung tanya ke Agam."
Anjay! Ya gak mungkinlah mereka bertanya pada Agam. Cari gara-gara itu namanya.
Mendesah pelan, dua orang itu pun akhirnya menyerah. Capek nanyanya. Lagi pula, tugas di depan mata harus segera dikumpulkan.
"Eh tapi, kalo Agam lagi gak sama lo sekarang, dia ngapain ya, La?" cetus Okta kemudian.
Lamia berpikir sebentar, lalu mengangkat kedua bahu ringan. "Lagi anteng di kelas, mungkin."
***
Gila! Agam menggila di ruang XII IPA 3. Apanya yang anteng! Cowok itu sekarang malah menjadi pusat perhatian di kelas. Mereka bahkan rela gak ke kantin demi melototi tingkah Agam. Sampe segitunya!
"Gue bakal telanjang di kelas kalo lo berani nonjok Tian!"
Ucapan Agam langsung disambut koor membahana oleh seluruh makhluk di sana. Sorak-sorakan bahkan sampai bunyi pukul-pukulan meja langsung terdengar ramai.
Agam telanjang di kelas? Astagaaa mau bangeeettt!!
Para cewek langsung berteriak heboh, sedang para cowok turut meramaikan kegilaan Agam. Bukannya bernafsu liat si Agam naked, tapi sensasinya itu lhoooo. Kapan lagi coba makhluk buas Atlanta ini secara suka rela memamerkan badannya. Senggol dikit aja biasanya langsung bacok, lah ini Agam menawarkan penawaran very limited edition. Gak boleh disia-siakan!
Bukan tanpa sebab Agam melakukannya. Ini semua gara-gara hal yang menimpa Dimas.
"Gu-gue ditonjok Tian gara-gara katanya nabrak dia. Terus u-uang titipan kalian diambil dia sebagai ganti rugi baju yang kotor."
Itu yang diucapkan Dimas ketika Agam bertanya kenapa dia balik lagi ke kelas tanpa membawa jajanan titipan. Cowok cupu itu berkata tanpa berani menatap lawan bicara. Terlihat lebam di rahang kirinya yang membuat ia sesekali meringis.
Hal tersebut kontan menyulut emosi Agam. Dia yang sudah bad mood lantaran diusir Lamia tadi, kini tambah bringas. Tapi dibanding menghajar Tian langsung, Agam memilih melakukan hal lain sebagai pembalasan.
Dia–dan juga seluruh murid Atlanta–tahu kalau bukan sekali ini saja si Tian-Tian itu menindas Dimas. Sering! Dan begonya, si Dimar ini gak berani melawan. Dieeeemm aja meski sudah di-bully berkali-kali.
Agam yakin pasti tabrakan itu bukan kesalahan Dimas, melainkan Tian yang sengaja menabrakkan diri. Bedebah itu sepertinya senang sekali melihat orang lain menderita.
Dan kali ini, Tian salah menembak sasaran karena Agam turut ambil bagian.
"Gak mau." Dimas menggeleng kuat-kuat. "Entar ketahuan guru," alasannya.
Jawaban itu mengundang seruan kontra dari yang lain.
"Gak bakal, tenang aja, gue yang handle," ucap Agam yang duduk di atas meja.
"Iya nih, Dimas. Tinggal nonjok doang apa susahnya. Lagi pula hitung-hitung bales dendam," timpal yang lain.
"Terus kita bisa liat Agam naked," sambung lagi yang lain sambil ngakak. Untuk kali ini, mereka berani tertawa tanpa takut Agam marah.
"Tapi entar gue dibales tonjok lagi." Dimas terus mengelak.
Agam berdecak. "Gue bakal langsung nyamperin lo kalo dia berani bales nonjok. Gue yang hajar Tian kalo dia berani macem-macem."
Gile si Agam niat banget.
Atas dorongan itu semua, akhirnya Dimas memberanikan diri. Ia menurut dan mulai melangkah keluar kelas.
Agam melompat dari atas meja. Dihampirinya Dimas sebelum keluar kelas.
"Tonjok dia, terus bilang kalo lo gak salah apa-apa dalam hal ini. Bela diri lo sendiri. Orang tua lo susah-susah nyekolahin bukan biar anaknya ditindas seenak jidat. Kalo masih takut, potong aja burung lo pulang sekolah ini," ucap Agam tepat di samping telinga.
Meski agak kampret, atas ucapan Agam itulah keberanian Dimas menyeruak. Dengan langkah pasti ia menuruni tangga, menghampiri Tian yang sedang asyik ngakak di pinggir lapangan.
Semua murid XII IPA 3 menonton dari lantai tiga, menjadi saksi kalau si cupu akhirnya berani melawan.
Di bawah sana, Dimas benar-benar langsung melayangkan tinju pada Tian begitu sampai. Sempat terjadi cekcok sesaat di sana. Tian pun hendak membalas ngajak aju jotos, tapi urung ketika salah satu teman menghampiri dan membisikkan sesuatu.
Detik selanjutnya, Tian menoleh ke arah kelas XII IPA 3. Benar saja, banyak orang menonton, terlebih lagi ada Agam! Si Agam menatap datar dengan sebelah tangan menopang kepala.
Sialan! Tidak berkata apa-apa lagi, Tian langsung meninggalkan Dimas. Dekingan si cupu ini boleh juga.
Melihat itu, sorak sorai langsung terdengar.
Asek asek liat Agam naked!!
Begitu seru mereka dalam hati.
Kembalinya Dimas ke kelas disambut bak pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Dimas bahkan sampai digotong ke atas, menyorakinya bak pembawa kemenangan.
Dan selanjutnya, acara inti! Kembali fokus seisi kelas tertuju ke Agam, menunggu Agam melakukan dengan suka rela.
"Cepet cepet masuk kelas! Terus tutup pintunya!" seru anak-anak karena Agam sudah bilang ini hanya untuk tontonan satu kelas, bukan satu sekolahan.
"Gue gak bakal lama-lama ngelakuinnya," ujar Agam di depan kelas.
Mereka langsung mengambil tempat duduk dengan manis. Apalagi para cewek. Langsung mengambil tempat di barisan terdepan! Kapan lagi coba. Selama ini, Agam itu bagai tak tersentuh. Meskipun sok malu-malu meong, mereka tetep kok memasang tampang mupeng.
Agam benar-benar memenuhi ucapannya. Pertama, ia lepas dasi sialan yang dipaksa Lamia agar terpakai itu. Satu per satu kancing seragam pun ia buka, diiringi guyonan oleh para cowok.
Gileeee mereka kayak lagi mau nonton film bokep! Bintangnya top punya lagi!
Teriakan tertahan langsung terdengar begitu Agam sudah bertelanjang dada. Para cewek sok menutup mata malu, padahal mengintip melalui sela-sela jari.
Badan bagian atas Agam terekspos dengan jelas. Astaga tolong jangan sampai mimisan!! Cewek-cewek menahan teriakan agar tidak makin menjadi.
Tubuh atletis Agam terpampang nyata di delan mereka. Memang belum sampai six pack yang berbentuk banget, tapi o-em-jiii!! Dada bidang serta perut rata Agam itu benar-benar mengundang iri para remaja abad ini! Pas, gak berlebihan, tapi tetap mengundang decak kagum.
Selanjutnya, Agam mulai melepas tali pinggang–yang lagi-lagi atas paksaan Lamia. Lalu, mulai menarik turun resleting celana.
Sorak sorai makin ramai, makin menjadi, warga XII IPA menggila!
Tidak malu-malu, Agam menarik lepas celana abu-abunya sehingga ia hanya mengenakan boxer hitam.
Lagi, teriakan para cewek kembali terdengar. Makin nyaring, makin heboh, makin memekakkan telinga, dan juga makin mengundang tanya kelas-kelas yang lain.
Tinggal satu kain lagi. Ya, tinggal satu kain lagi maka mereka benar-benar bisa menyaksikan Agam naked.
Tinggal sedikiiiit lagi. Tapi tiba-tiba terdengar debrakan pintu kelas yang didorong kuat. Dan selanjutnya, pekikan nyaring seorang cewek membuat hening sekelas.
"Agaaamm!! Apa yang lo lakuin?!"
***
Begitu sampai di ambang pintu XII IPA 1, mata Razzan langsung mencari-cari sosok Lamia. Agak sulit menemukan karena tidak berada di tempat duduk biasanya, dan juga karena suasana kelas lagi berisik mengumpulkan tugas. Setelah menemukan Lamia berdiri di tengah kerumunan, Razzan langsung menghampiri.
"La, lo mesti nyamperin Agam sekarang. Di kelas," ucap Razzan langsung begitu sampai di samping Lamia.
Cewek itu menoleh. Ia baru saja selesai mengumpulkan tugas kelompok. Keningnya berkerut pelan. "Kenapa emangnya, Zan?"
Razzan mengembuskan napas berat. "Lo liat aja sendiri."
Kerutan di dahi Lamia makin dalam. Ada apa memangnya? Tadi Agam sudah ke sini, dan sepertinya cowok itu baik-baik saja.
O-ow. Atau mungkin tidak.
Lamia teringat kembali sikapnya yang memaksa Agam pergi tadi. Lalu ia melirik Razzan yang memasang wajah tegang. Apa lagi yang dilakukan cowok satu itu? Razzan tidak mungkin mau repot-repot menghampiri kalau suasana tidak genting.
Lagi pula, sejak tadi ia sudah mendengar suara-suara berisik di luar. Bisik-bisik nama Agam pun terdengar. Tapi ia berusaha tidak peduli. Agam sudah biasa membuat keributan, entah hal kecil maupun besar.
Dan sepertinya, lagi-lagi ia harus turun tangan langsung untuk menghentikan keributan yang dibuat Agam.
"Oke, makasih, Zan." Setelah melempar senyum tipis pada Razzan, Lamia langsung melangkah cepat-cepat keluar kelas.
Suara keributan itu makin terdengar jelas begitu ia sampai di koridor. Lamia mempercepat langkah. Terlihat kaca-kaca kelas XII IPA 3 ditutup rapat oleh gorden. Belum lagi pintu yang biasanya dibuka saat jam istirahat seperti ini, malah sekarang tertutup rapat. Lagi, suara ribut yang membawa-bawa nama Agam makin menggila, membuat perasaan Lamia jadi tidak enak.
Lamia berlari menghampiri pintu XII IPA 3. Didorongnya kuat pintu tersebut. Ternyata tidak dikunci, tapi ada dua orang cowok yang sepertinya ditugaskan untuk menahan pintu, eh malah asyik terbawa suasana sehingga terdorong oleh pintu yang didobrak Lamia.
Mata Lamia melotot pada apa yang disaksikannya di depan kelas.
"Agaaamm!! Apa yang lo lakuin?!"
Suasana kelas yang tadinya ribut ampun-ampunan, langsung berubah hening ketika mendengar jeritan Lamia.
Alamak! Si pawang dateng!!
Mencium akan adanya pertengkaran suami-istri, dua penjaga pintu cepat-cepat menutup akses kelas lain untuk melihat. Bagaimana pun, ini tetap untuk tontonan sekelas. Apa lagi Agam masih belum mengenakan seragam. Widih enak banget yang lain mau ikut nonton secara cuma-cuma.
Semua mata di ruangan itu langsung memusatkan perhatian ke Lamia, tak terkecuali Agam. Cowok itu menoleh dengan tampang polos, sama sekali tidak menunjukkan raut muka bersalah.
"Lamia? Kok ke sini?" Agam bertanya heran, lalu kemudian tersenyum miring. "Kenapa? Mau liat juga? Ah, padahal lo udah sering liat gue beginian, La."
Lamia melangkah lebar-lebar ke cowok yang hanya mengenakan boxer itu. Tampang manis yang biasa terlihat dari Lamia, kini tidak lagi. Cewek itu kelihatannya kesal luar biasa.
"Agam! Kenapa lo cuma make boxer?"
Agam masih dengan sikap santainya. "Udah selesai ngerjain tugas kelompoknya, La?" tanyanya menyimpang.
"Agam!" Cewek itu menghentakkan sebelah kaki, kesal. "Cepet pake seragam lo." Lamia lalu menghadap ke para penghuni XII IPA 3. "Kalian ngeliatin apa? Suka sama tontonan yang beginian?"
Buseeettt. Baru kali ini mereka kena sembur sama Lamia.
"Iya nih kalian, ngapain ngeliatin gue, hah?!" Agam ikut-ikutan membentak marah, masih dengan keadaannya yang hanya menggunakan boxer hitam sepaha.
Lamia mendelik ke Agam. "Itu semua kan gara-gara lo!"
"Kok gue sih?"
"Lo kenapa masih belum pake baju, Agam? Mereka jadi pada ngeliatin elo, kan." Lamia masih berusaha sedikit sabar.
Agam lalu menatap ke depan lagi, ekspresinya jadi gahar. "Balik badan kalian semua! Gak ada yang boleh liat lagi! Lamia gue jadi marah kan. Dia gak suka berbagi sama kalian kalian pada."
Lamia melotot gemas, tapi tetap tidak ada kalimat yang terucap. Ya karena memang benar. Ia sama sekali tidak suka berbagi sesuatu yang sudah dicap sebagai milik pribadi. Terlebih lagi dibagi secara cuma-cuma.
Meski berat hati, para warga XII IPA 3 menurut. Kompak semuanya membelakangi Lamia dan Agam. Namun tetap masih terdengar gerutuan-gerutuan tidak rela.
"Kan lo tadi udah janji mau naked, Gam," ucap salah satu dari mereka, yang disambut persujuan yang lain. Namun tetap, mereka semua tidak berani menghadap ke Agam lagi. Satu pun, tidak ada yang melototi Agam lagi, baik cewek maupun cowok.
"Tapi kan gue gak bilang buat jadi tontonan kalian! Gue cuma bilang mau naked di kelas!" sanggah Agam.
"Huuu–"
Gebrakan meja terdengar, menghentikan seruan protes mereka.
"Apa, hah?! Mau protes?!"
Diam. Tidak ada lagi yang berani berseru kecewa.
"Tapi tenang, gue tetep bakal naked kok. Apalagi kalo yang nonton cuma Lamia seorang." Nada suara Agam jadi melembut.
"Agam!" protes Lamia. "Cepetan pake seragam lo lagi."
"Tapi gue mesti tetep nepatin janji, La."
Lamia menghela napas pasrah. Sadar kalau tidak ada yang melihat, ia berkata, "Terserah lah." Lamia lalu turut membalikkan badan.
"Kok lo ikut-ikutan balik badan sih, La? Gak mau liat? Yakiiiin? Entar nyesel lho. Kalo lo mau raba-raba juga boleh kok," goda Agam.
Para cewek langsung syok! Astagaaa!! Coba ajaaa penawaran itu buat mereka. Astaga iriii!! Lamia enak banget sih.
Lamia memijit pelipisnya pelan. "Agam, please ...."
Agam terkekeh sebentar. Lalu tidak terdengar percakapan lagi di antara mereka.
Tak lama kemudian Agam berkata, "Sudah nih, gue udah pake lagi seragamnya, La."
Entah apakah Agam benar-benar melepas boxernya atau tidak, hanya dia sendiri manusia yang tahu.
Lamia membalikkan badan, memastikan Agam sudah berpakian rapi, lalu mengembuskan napas lega.
"Kalian semua juga udah boleh balikin badan kok," ujar Agam.
Suasana berisik kembali hadir, pintu kelas pun sudah dibuka lagi. Tapi tidak ada satu pun yang berani menyalahkan Agam.
"Jangan lakuin hal ini lagi."
Setelah berkata seperti itu, Lamia membalikkan badan, mau meninggalkan kelas. Ia sudah sampai di ambang pintu, di mana ada Razzan yang bersandar pada tembok di luar sana.
"Eits! Mau ke mana? Mumpung udah di sini, yuk kita ke kantin bareng! Laper nih, La." Agam cepat-cepat menyusul dan menahan. Ia tersenyum manis.
Lamia melempar lirikan sebal, tapi hanya dibalas cengiran oleh Agam.
Cowok itu lalu menyempatkan menoleh ke Razzan. "Thanks, Bro."
Razzan mendengus keras, lalu masuk ke kelas. Kampret emang si Agam. Demi memancing Lamia agar menghampiri, dia sampai berbuat begini.
Dan sialannya lagi, Razzan yang mesti jadi penghubungnya. Bah! Ia bersikap seolah seperti pengadu saja. Kalau saja ia terlambat 'mengadu' ke Lamia, atau Lamia yang tidak cepat-cepat datang, entah apa jadinya hubungan romeo juliet jadi-jadian itu.
***
[04] Bolehkah Berpaling?
"Kok bawa novel, La? Kan kita mau ke kantin," ujar Agam heran.
Tadi cewek itu sempat menghilang ke kelas. Eh balik-balik datang ke Agam dengan memeluk dua novel. Agam mengira Lamia akan ngambek gara-gara insiden naked di kelas tadi, rupanya tidak. Lamia masih mau menghampiri.
Lamia kembali berjalan, membuat Agam yang tadi terpaksa menunggu, kini mengikuti langkah cewek itu.
"Bentar lagi bel masuk, Gam. Gak bakal sempet makan di kantin. Gue mau ke perpus aja buat balikin buku," ujar Lamia sambil menuruni tangga.
"Sini gue bawain novelnya," ujar Agam spontan.
"Gak usah, cuma novel kok."
"Yakin gak mau gue bantuin bawa?"
"Agam ...."
Agam terkekeh sebentar. "Oke, oke. Abis itu kita ke kantin ya. Masih sempet kok. Gampanglah," ucap Agam santai. Cowok itu agak memperlambat langkahnya, mengimbangi langkah Lamia yang jelas-jelas tidak sama dengannya.
Lamia cemberut sebal. "Gak sempet."
"Sem–"
"Dengan ngaret masuk kelas gitu?" potong Lamia.
Agam tersenyum nakal. "Yup!"
Lamia makin mempercepat langkah. "Gak mau."
"Harus mau dong. Entar lo sakit kalo gak makan."
"Gak usah berlebihan, Agam. Cuma gak makan pas jam istirahat sekolah, gak bakal jadi masalah besar."
"Kayaknya gue deh yang bakal sakit kalo gak makan sekarang," seloroh cowok itu lagi.
Lamia memutar bola mata jengah. "Ya udah bungkus aja makanannya."
"Gak makan bareng elo dong," keluh Agam.
"Iyalah. Gue mau buru-buru ke perpus, terus masuk kelas lagi."
"Kita bolos aja deh, La."
Lamia mengembuskan napas keras. "Terus apa gunanya lo sekolah kalo mau bolos terus? Mau nantangin guru terus? Mau jadi apa nantinya kalo sekolah aja gak bener?"
Agam terdiam. Pandangam Lamia fokus ke depan, sehingga tidak bisa melihat ekspresi ironi yang terpatri di wajah Agam.
Biar bisa sama-sama lo terus. Dan juga ... biar gue pantes bersanding sama elo, La.
Nyatanya, memang begitu kebenarannya. Kalau bukan karena Lamia, Agam sudah lama memutuskan berhenti sekolah, memutuskan tidak peduli pada pendidikan, membiarkan dirinya sendiri hancur lebur tidak bersisa.
Karena Lamia, Agam bertahan, berusaha mencapai puncak. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk menarik Lamia ke posisi atas tersebut. Lalu dirinya? Tidak masalah kalau mesti terjun bebas ke bawah lagi.
Lamia melirik Agam yang terdiam. Ia menggigit bibir bawahnya pelan. Sadar kalau perkataannya mungkin saja menyakiti cowok itu. Ia lalu berhenti berjalan dan menghadap Agam.
Dijawilnya pelan hidung cowok itu agar berhenti melamun. "Laper, kan? Ehm gue juga sih sebenernya. Gimana kalo gini aja, gue tetep ke perpus, tapi lo ke kantin buat beli makan. Dibungkus aja. Disampetin makan sebelum guru masuk kelas. Oke?" Lamia memasang senyum terbaiknya.
Ekspresi muram Agam seketika menghilang. Cowok itu lalu tersenyum tipis.
"Oke."
Lamia lalu berbelok ke kiri, menuju ruang perpustakaan. Sementara Agam, cowok itu berlari ke kantin.
Tidak memakan waktu lama, Agam sudah nyaris sampai, tinggal melalui belokan koridor itu. Tapi larinya terhenti ketika seorang cewek muncul dari arah berlawanan menghalangi jalan. Tidak bisa dielak, Agam pun menabrak cewek kelas sepuluh itu.
Cewek itu kontan mundur beberapa langkah ..., setelah tumpahan jusnya mengenai seragam Agam. Ia ingin marah karena tiba-tiba ditabrak, tapi suaranya tercekat ketika melihat wajah Agam. Dan tidak jadi marah ketika sadar baju orang yang menabraknya jadi kotor.
"Maaf, maaf. Ya ampun gue gak sengaja ...," matanya melirik badge kelas di lengan kiri Agam, "Kak. Duh baju Kakak jadi kotor."
Ini kakak kelas ganteng banget!
Agam berdecak pelan, ganggu banget nih cewek. Kenapa gak sekalian nyungsep aja di lantai biar gak banyak bacot?
Biasanya, kalau ada yang nyenggol dia–entah disengaja atau tidak–Agam bakal langsung ngamuk. Gak peduli itu cewek atau cowok. Tapi sekarang waktunya terbatas. Dia bisa telat nyamperin Lamia kalau marah-marahin nih cewek dulu.
Cewek itu berusaha membersihkan baju Agam dengan tisu, tapi langsung ditepis Agam.
"Gak usah."
Setelah itu, Agam kembali melangkah cepat-cepat ke arah kantin, tidak memedulikan tatapan kagum dari cewek kelas sepuluh itu.
***
Salah satu hal yang membuat Agam betah di kelas adalah saat pelajaran matematika berlangsung. Terlebih lagi gurunya asyik, membuat pelajaran mumet–bagi sebagian orang–ini jadi gak terasa berlalu. Oleh karena itulah Agam jadi gak membuat kekacauan walau bel pulang sudah berbunyi sepuluh menit lalu.
Dan karena itulah juga Agam telat menghampiri kelas Lamia.
"Lamia tadi pergi sama Panji," ujar Tisa ketika Agam bertanya.
Pantas saja Lamia tidak menunggunya di depan kelas. Biasanya kalau Agam sedang tidak ada urusan atau Lamia sedang tidak ikut ekskul, mereka akan pulang bareng. Tapi hari ini berbeda. Lamia bahkan belum bilang apa-apa padanya kalau akan menemui Panji; si mantan ketos sialan itu.
Agam lalu menelusuri koridor sambil mencari dua manusia itu. Sampai di bawah, belum juga ia melihat si Panci membawa kabur Lamia-nya. Dia tadi sudah berusaha menelepon Lamia, tapi gak diangkat.
Asyik banget kayaknya ngobrol sama si mantan ketos.
Hingga langkah kakinya membawa ke arah ruang OSIS, barulah ia menemukan sosok yang dicari-cari. Di sana, dalam jarak radius sepuluh meter, Lamia sedang tertawa kecil menanggapi ucapan Panji. Ya, walau sudah melepas jabatannya sebagai ketua OSIS beberapa bulan lalu, Panji masih sering berada di ruangan ini. Pamornya sebagai ketua OSIS terbaik Atlanta nyatanya masih bertahan.
Melangkah lebar-lebar, Agam menghampiri mereka. Setelah sampai, ia langsung berdiri di samping Lamia dengan posesif, lalu menatap Panji tak bersahabat.
"Panci, eh salah maksud gue Panji. Ada urusan apa sama Lamia?"
Dan selalu. Kalau kedua manusia itu sudah bertatapan, maka hawa panas langsung terasa. Tak terkecuali saat ini.
Si berandalan dan si taat aturan. Satu sekolah pun tahu betapa tidak bersahabatnya dua manusia itu. Panji menganggap Agam sebagai aib sekolah, sedang Agam menganggap Panji sebagai ... ah bahkan kalau bisa, Agam tidak mau menganggap keberadaan Panji itu nyata.
Lihat saja penampilan si mantan ketos ini sekarang, berbanding terbalik dengan Agam. Seragamnya masih amat rapi. Dasi, tali pinggang, kancing baju .... Semuanya masih pada tempatnya dengan sempurna. Baju keluar-keluar pun tidak ada terlihat. Beda dengan Agam yang penampilannya sudah acak-acakan sekarang.
Lalu sikap mantan ketos ini. Seolah Panji menutup mata atas semua prestasi Agam. Agam yang selalu membawa piala olimpiade matematika tingkat nasional, si kunci juara umum cabang judo, si penggambar fantastis yang karyanya selalu dipamerkan saat acara pensi sekolah, dan juga ... si penangkal dari serangan sekolah luar. Cukup mendengar nama Agam Aderald, maka para berandalan dari sekolah lain berpikir berkali-kali sebelum menyerang Atlanta.
Namun tetap tidak bisa dipungkiri kalau si pentolan sekolah inilah yang paling banyak membuat keributan. Kalau bukan dirinya yang turun tangan langsung, maka para 'anak buahnya' yang berlindung di 'ketek' si Agamlah yang berulah.
"Eh, Agam, baru keluar kelas ya?" tanya Lamia yang memutus adegan tatap menatap si Agam dan Panji.
Agam menoleh. "Iya."
Lamia manggut-manggut mengerti. "Ini tahun kemarin kan Panji yang diutus sekolah buat ikut debat bahasa Inggris, makanya gue mau banyak nanya-nanya ke dia," jelas Lamia, sebagai jawaban atas pertanyaan Agam ke Panji tadi. Tahun ini, sekolah mengutus Lamia sebagai perwakilan, makanya dia mulai banyak mengumpulkan bahan.
Agam kembali menatap Panji. "Oh, gitu ...." Tatapan datar pun tak urung ia lontarkan.
Panji sudah akan menyahut–tentu dengan ucapan pedas sarat sindiran–tapi tidak jadi ketika Agam langsung melengos dan berkata, "Gue tunggu di parkiran, La."
Membiarkan Lamia dan Panji mengobrol, Agam berjalan ke parkiran sendirian. Koridor sudah tidak begitu ramai karena bel pulang sudah berbunyi sejak tadi. Area parkiran pun sudah tidak sesumpek biasanya.
Agam menghampiri motor ninja hitamnya, lalu duduk dengan sebelah kaki terangkat. Kalau dua tahun lalu, sebatang rokok pasti sudah bertengger di bibirnya saat ini. Tapi sekarang tidak lagi. Ia sebisa mungkin menjaga diri untuk tidak menyentuh benda itu jika berdekatan dengan Lamia.
Selain dirinya, hanya terlihat beberapa murid saja yang berlalu-lalang mengambil motor. Mereka jelas tidak berani mengusik Agam. Sisip dikit bisa kena sambet.
Tak lama kemudian, ponselnya berbunyi. Agam mengecek chat yang masuk, diperhatikannya dengan saksama. Tak lama kemudian, sebuah panggilan masuk.
"Iya, udah gue liat barang sama alamatnya. Hem, serahin aja ke gue. Gak masalah kalo agak bahaya. Siapin aja duitnya setelah tugas gue beres."
Agam berbicara dengan seseorang di telepon. Setelah mendengar sahutan dari si lawan bicara, telepon pun dimatikan.
Agam baru saja memasukkan ponselnya ke saku ketika Lamia datang menepuk bahunya.
"Udah?" tanya Agam spontan.
Seperti biasa, Lamia menyambutnya dengan senyum cerah. "Iya, cuma bentar aja kok tadi."
Agam lalu turun dari motor.
"Besok-besok kalo gue mau ngobrol lagi sama Panji, boleh kan?"
"Hm," sahut Agam singkat.
Setelah Agam berdiri menjulang di depannya, barulah noda di seragam cowok itu terlihat lagi olehnya. Sebenarnya Lamia sudah melihat noda itu ketika jam istirahat habis tadi, ketika Agam menyerahkan bungkusan batagor. Tapi belum sempat Lamia bertanya lebih lanjut, kedatangan guru sudah memaksa mereka untuk masuk kelas masing-masing.
"Ini kenapa, Gam?" tanya Lamia sambil menyentuh seragam Agam yang terdapat bercak cokelat.
Kalau orang lain yang melakukan, Agam akan langsung menepis ketika badannya dipegang-pegang. Tapi ini jelas berbeda kasus. Lamia yang ada di depannya. Jelas saja Agam tidak keberatan.
"Tadi kena tumpahan minum orang." Agam tidak mau repot-repot menjelaskan kalau si orang itu adalah cewek.
"Jadi kotor begini," keluh Lamia sambil berusaha menepuk-nepuk noda itu.
Agam meraih tangan Lamia yang berusaha membersihkan noda itu. Percuma bagi Agam. Tu noda udah terlanjur nempel.
"Udah, La, gak apa." Ditariknya pelan tangan Lamia. "Sekarang kita pulang?"
Lamia pun mengangguk. Agam lalu mengambil salah satu helm, diserahkannya ke Lamia. Setelahnya, ia berbalik badan, hendak memasuki kunci motor. Tapi tidak jadi ketika mendengar ucapan Lamia.
"Agam ..., ini gimana?" Cewek itu terlihat kesulitan membuka kaitan helm.
Agam kembali menghadap Lamia. Diambilnya helm itu. Hanya hitungan detik, kaitan itu terlepas dengan mudah di tangannya. Tidak lagi membiarkan Lamia memakai sendiri, Agam langsung memasangkan helm itu di kepala Lamia.
Dengan posisi yang seperti itu, jarak mereka jadi sangat dekat. Lamia bahkan bisa mengamati wajah Agam secara jelas. Alis, hidung, bibir .... Semuanya tanpa terkecuali.
"Agam ....?"
"Hm?" sahut Agam yang sedang mengaitkan helm di bawah dagu Lamia.
"Kalo gue naksir sama orang lain, boleh gak?"
Mata tajam Agam langsung menghujam Lamia. Untuk satu detik. Ya, hanya selama waktu singkat itu. Setelahnya, ia melepaskan tangan dari kaitan yang sudah terpasang. Kembali terbentang jarak di keduanya.
"Boleh," jawab Agam singkat, tanpa ekspresi.
Lamia menatap Agam yang sedang membuka tas, lalu mengeluarkan jaket hitamnya. Cowok itu berjalan ke belakangnya. Menyampirkan jaket ke pinggang Lamia, lalu mengikatnya dari belakang.
Motor cowok ini tinggi, sedang rok Lamia tidak begitu panjang. Agam jelas tidak rela kalau paha Lamia menjadi terekspos ketika duduk di boncengannya.
"Kalo orang itu lebih segala-galanya dari gue," sambung Agam, masih dengan posisi mengikat jaket di pinggang Lamia. "Lebih sayang sama lo, lebih rela jatuh bangun demi lo, dan yang pasti ... orang itu harus berasal dari keluarga baik-baik, gak kayak gue."
Senyum Lamia langsung mengembang.
Agam telah selesai mengikat jaket di pinggang Lamia. Tidak menatap wajah Lamia lagi, cowok itu langsung menaiki motor, memakai helm, dan menghidupkan mesin.
Setelahnya, ia menoleh ke Lamia yang masih diam di tempat.
"Ayo naik." Seolah sudah terbiasa, cowok itu mengulurkan sebelah tangan ke Lamia untuk berpegang.
Masih dengan senyumnya, cewek itu menaiki motor dengan bantuan Agam.
Senyumnya makin menjadi. Kalau Agam sebaik ini ..., mungkinkah ia bisa berpaling?
***
[05] Apa Pun Asal Jangan Mati
Pukul sebelas malam. Agam masih berkutat dengan buku kimia, memeriksa apakah semua jawabannya sudah benar. Untuk kali kesekian, Agam mengorbankan satu malamnya untuk mempelajari mata pelajaran yang amat tak ia minati tersebut.
Agam memang jenius di matematika, tapi ia nyaris nol besar di kimia. Baginya, kimia lebih rumit dari sekadar deretan angka.
Pergerakan seseorang yang berbaring di atas sofa membuat fokusnya teralih. Agam serta-merta beranjak dari duduknya, lalu menghampiri Lamia yang masih mengerjapkan mata.
"Agam? Kok gue tidur di sofa?" tanya Lamia langsung ketika kesadarannya sudah utuh. Detik selanjutnya, ia terkesiap sendiri. "Astaga! Gue ketiduran ya?"
Agam mengangguk sekali. "Seharusnya gue tadi langsung mindahin lo ke kamar. Gak nyaman tiduran di sofa?"
Lamia mengubah posisinya menjadi duduk. "Enggak, bukan itu. Duh, tugas kimia lo gimana jadinya, udah? Eh, sekarang jam berapa? Lo belum mau pergi?"
"Udah. Jam sebelas. Belum," jawab Agam atas pertanyaan beruntun itu.
Satu jam yang lalu, Lamia dan Agam memang sedang belajar kimia. Lamia yang sebagai mentor, sedang Agam menyimak dengan patuh. Itu semua karena Agam ada tugas yang mesti dikumpulkan besok. Meski cowok itu mau bolos besok, Lamia memaksa agar tugas tetap dikumpulkan.
Sepulang sekolah tadi Agam sudah menerima tugasnya. Dan tengah malam ini, tugas Agam sudah harus mulai dilaksanakan. Cowok itu akan keluar kota untuk mengirimkan paket ke tempat yang cukup jauh.
"Coba gue liat," pinta Lamia.
Dibanding memikirkan bagaimana penampilan bangun tidurnya di depan Agam, ia lebih memilih mengkhawatirkan tugas yang dibuat Agam. Lagi pula, sudah sering cowok itu melihatnya dalam keadaan begini. Untuk apa sok jaim, seperti kebanyakan cewek bersikap di depan Agam.
"Lo lanjut tidur lagi aja."
"Gak apa, cuma ngoreksiin doang."
"Pasti bener, La, sesuai sama apa yang lo ajarin."
Lamia menatap Agam lama. Selanjutnya, ia mengangguk. "Oke deh. Gue ke kamar mandi dulu, tiba-tiba gak enak perut." Lamia beranjak, dalam beberapa langkah, ia sudah menghilang di balik pintu kamar mandi.
Tidak sampai satu menit, terdengar suara klik, diikuti pintu yang terbuka. Lamia menyembulkan kepala dari celah pintu.
"Agaaam," panggilnya, membuat Agam yang sedang merapikan buku-buku, menjadi menghampiri.
"Kenapa?"
Lamia menggigit bibir bawahnya pelan sebelum menjawab dengan gusar, "Tamunya dateng lebih cepet."
Untuk sejenak, Agam tidak mengerti maksud ucapan Lamia.
"Gue gak ada nyimpen stok softie," tambah Lamia.
Barulah Agam mengerti. "Oke, biar gue yang beli."
Ini memang sudah larut malam, tapi di dekat gedung apartemen mereka, ada sebuah minimarket yang buka 24 jam. Cukup sering mereka berbelanja di sana di saat-saat waktu yang kurang wajar.
"Agam," panggil Lamia lagi, menghentikan langkah Agam yang sudah nyaris mencapai pintu.
"Beli yang siang sama malam ya. Cari yang 36 senti buat malam."
Agam mengangguk. Dan tanpa banyak buang waktu, ia membuka pintu dan menutupnya dari luar. Membeli pembalut sekilas tidak sememalukan membeli kondom. Lebih umum. Apalagi ini bukan kali pertama Agam membelinya. Hanya saja ... Agam berharap kalau kasir minimarket tersebut adalah orang yang biasa meladeni ia berbelanja 'macam-macam'.
***
"Selamat malam."
Agam menoleh ke arah kasir yang menyapanya begitu masuk minimarket. Dia tersenyum samar, menyembunyikan kekecewaan. Perempuan di balik meja kasir itu bukan kasir langganannya.
Agam bergegas menghampiri rak pembalut. Tidak butuh waktu lama menemukan mana yang dicari karena ia sudah sering melihat Lamia membelinya di depan mata kepala sendiri–dan juga karena ia sudah pernah beberapa kali membelinya untuk Lamia.
Ia lalu mengambil dua pak pembalut pilihannya–satu pak pembalut siang dan satu pak pembalut malam 36 senti–dan berjalan menghampiri sang kasir yang masih memamerkan senyum. Entah senyuman apa. Agam tidak mau repot-repot mengartikannya.
"Buat kakaknya ya?" tanya sang kasir ketika Agam hendak mengambil dompet di saku celana.
Agam menggerakkan mata menatap sang kasir. Pertanyaan yang akan diterima ketika bukan sang kasir langganan yang ada di depannya.
"Iya."
***
Ketika keluar dari kamar mandi, Lamia terlihat lebih tenang meski tampak mengantuk. Tentu saja. Cewek itu tidak biasa mengalami jam tidur setengah-setengah.
"Mau teh? Susu? Atau jahe hangat?" Agam mengikuti langkah Lamia ke kamar.
Lamia menggeleng. "Gue mau lanjut tidur." Ia lalu berbaring di atas ranjang.
"Enggak nyeri? Sakit?" tanya Agam sambil menarik selimut sebatas leher Lamia.
Lamia tersenyum kecil. "Enggak, Agam. Gue yang dateng bulan, kenapa lo yang senewen?"
Agam duduk di tepi ranjang, di samping Lamia. "Soalnya gue gak bisa nemenin kayak biasanya."
"Gak apa. Toh cuma sehari doang kan." Lamia mulai menutup mata. Rasa kantuk benar-benar menyerangnya.
"Iya, sehari. Hari pertama lo kena," ucap Agam. Ia lalu meraih tangan kiri Lamia, memijit telapak tangannya. Hal yang biasa ia lakukan untuk mengurangi rasa nyeri yang dirasakan Lamia.
"It's okay. Gue udah mau tidur juga kok. Jadi nyerinya gak bakal menyiksa banget." Lamia kembali membuka mata, menatap Agam. "Tapi ..., sampe gue tidur, lo jangan pergi dulu ya, Agam. Temenin gue dulu," pintanya.
"Oke." Agam masih terus memijiti telapak tangan Lamia.
"Lo belum mau pergi, kan?" tanya Lamia memastikan, takut permintaannya menghambat urusan Agam.
"Belum." Agam melirik jam tangannya. "Masih ada waktu dua jam lagi sebelum Joker manggil."
Joker. Kalau orang itu yang menugaskan langsung, bisa dipastikan tugas Agam akan lebih berat dari biasanya.
Lamia makin merapatkan diri ke Agam. Tidak sengaja, matanya menatap benda-benda di atas nakas. Benda-benda yang biasa Agam bawa saat bertugas. Pisau lipat dan sebuah pistol. Untuk berjaga-jaga. Demi melindungi diri cowok itu agar tidak mati. Karena kalau bertemu musuh yang berbahaya atau banyak polisi, habislah Agam jika tanpa persiapan.
Mata Lamia lalu berpaling ke Agam lagi.
"Agam ..., apa pun yang terjadi, jangan sampe mati ya?"
Karena Lamia tahu, setiap tugas langsung langsung dari Joker, pasti akan lebih berat. Bosnya Agam itu menempatkan pada posisi yang cukup sulit. Nyawa Agam bisa saja menjadi taruhan. Tapi tentu saja setimpal. Hal itu setimpal dengan jumlah uang yang akan diterima apabila Agam berhasil mengantar paket narkotika dengan aman.
Agam terdiam sebentar sebekum menjawab, "Iya."
Cukup satu kata itu, satu kata yang membuat Lamia bisa tenang dalam tidurnya.
Agam masih terus memijiti telapak tangan Lamia, seolah seperti nyanyian pengantar tidur. Lamia akan tidur lelap, sementara dirinya nanti akan mulai mengambil peran di dunia yang kejam.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
