Putus Yuk Dok (1-2)

14
0
Deskripsi

Tentang koas miskin yang alergi orang kaya, tapi malah terjebak pacaran sama calon dokter bedah yang tajir melintir. 

Tiga tahun yang lalu.

Saat itu Nirina masih mahasiswa kedokteran akhir semester dua. Biaya sekolahnya bergantung pada beasiswa penuh yang tak sepenuhnya penuh. Kenapa demikian? Sebab tunjangan yang diberikan yayasan masih jauh dari kata cukup untuk membuat Nirina tidak perlu berdarah-darah mengambil kerja sampingan.

"Jadi aku cuma perlu ketemuan sama orang itu?" Nirina bertanya agar lebih jelas.

"Ya gitu, bokap gue atur makan malam buat gue sama dia. Berharap setelah kami ketemu, kami akan setuju melanjutkan perjodohan ini. Nah tugas lo gampang aja. Lo cukup bikin Dokter Rama ini ilfil sama lo, sehingga dia secara sukarela menolak perjodohan." Karen menjelaskan sambil merapatkan duduk ke Nirina yang kini berada di bibir ranjangnya.

Nirina semakin tidak mengerti. "Kenapa kamu nggak nolak aja sih dari awal kalau memang nggak mau? Kenapa harus nyuruh aku gantiin kamu buat bikin dia ilfil? Rumit banget nggak sih, Ren?"

"Ya rumit emang, Na. Tapi gue nggak mau terang-terangan membangkang ke bokap gue. Bisa-bisa jajan gue disunat."

Nirina hanya mengangguk-angguk saja. "Oke deh, tapi gede nggak bayarannya?"

Karen tersenyum lega. Ia tahu benar sahabatnya satu itu mata duitan. Nirina kerap joki tugas teman-teman seangkatan, bahkan adik kelas. Mana mungkin ia menolak pekerjaan mudah ini. "Gue bayar setara satu kali uang SPP kita deh."

"Hmmm, gimana kalau setara harga cadaver?" tawar Nirina yang sepertinya tahu kalau Karen bisa membayar lebih dari uang SPP mereka.

"Emang berapa harganya, Na?"

"Karena di kampus kita ada kelangkaan, jadi mahal. Biasanya 8-20 juta. Kemarin Wisnu disuruh ganti beli cadaver baru 30 juta." Cadaver adalah mayat yang telah diformalin untuk dibedah dan dipelajari pada mata kuliah anatomi. Setiap kampus memiliki kebijakan sendiri dalam penyediaan stok cadaver.

"Anjirrrr, masa temen sendiri lo palak sih, Na?"

"Enggak malak juga sih, kalau nggak mau ya nggak apa-apa. Namanya bisnis harus pandai nego, Karen." Nirina senyum-senyum saja menanggapi Karen.

"Ya udah deh. Gue bayar sejuta dulu. Kalo Dokter Rama bener-bener menolak perjodohan dengan mulutnya sendiri, sisanya gue transfer ke elo."

"Deal," balas Nirina sembari menjabat tangan Karen.

"Nih foto Dokter Rama." Karen menunjukkan foto pria di akun instagram @dr.rama_90 ke Nirina.

"Hmmm, ganteng gitu kok kamu tolak?" tanggap Nirina yang lumayan terpesona. Catat. Hanya terpesona sejenak, kayak pas dia lagi lihat Jimin BTS melet-melet.

Karen menyunggar rambut sebelum menjawab, "Ya elo tahu sendiri gue udah sama Ibnu. Ogah gue dijodoh-jodohin. Apalagi sama Dokter Rama yang sok dingin itu."

"Dingin? Kulkas dong."

"Ya gitu, kebetulan sodara gue satu RS sama Dokter Rama ini. Lo inget si Elya?"

"Oh, Mbak Elya?"

"Dia kan lagi koas di RSUD Dr Soetono, nah si Rama itu residen bedah di sana. Kata Elya kelakuan Rama ke adik-adik koas udah kayak dedemit. Kagak ada ramah-ramahnya."

"Oh jadi itu alasan kamu nggak mau dijodohkan sama Dokter Rama?"

Karen menggeleng. "Ya enggak sepenuhnya karena itu. Kan tadi gue udah bilang alasan utama gue nolak karena gue udah punya Ibnu."

"Oke, I see."

"Nah, gue udah profiling si Rama nih biar lo lebih mudah menjalankan misi."

"Profiling apaan?"

"Ngumpulin data tentang dia. Apa yang dia suka, apa yang nggak dia suka!"

"Ooooh."

"Satu, dia benci cewek mata duitan, nah ini kan elo banget ya, Na. Tunjukin sisi mata duitan elo biar dia ilfil."

"Beres, bisa diatur. Tapi kalau gagal gimana?"

"Tenang, ada jurus kedua. Rama juga benci cewek jorok. Jadi lo bisa lakuin hal-hal jorok bikin dia jijik sama lo semaksimal mungkin."

"Tapi emang nggak apa-apa? Aku bikin nama kamu jelek nggak sih kalau aku ngelakuin hal-hal jorok?"

"Don't worry, gue nggak masalah."

"Kalau udah menunjukkan sisi paling jorok aku, terus nggak berhasil gimana?"

"Tenang, masih ada jurus ketiga. Dokter Rama itu benci banget sama cewek gatel dan murahan."

Mata Nirina mendelik. "A-aku harus kegatelan dan murahan? Gimana caranya?" Sebagai anak baik-baik yang bahkan enggan pacaran, Nirina bingung bagaimana harus bersikap murahan.

"Hmmm gimana ya. Gimana kalo lo tawarin dia chek in ke hotel untuk melanjutkan bersenang-senang?"

"Hah? Sampai sejauh itu? Aku masih perawan lho Karen. Jangan ngadi-ngadi, nanti kalau dia beneran mau chek in sama aku gimana?"

Karen tahu benar karakter Nirina. Gadis itu tak pernah merasa cantik meskipun parasnya di atas rata-rata. Dengan kulit kuning bersih, wajah oval, dagu runcing, serta hidung mancung tapi mungil. Fitur muka Nirina sebelas dua belas sama artis Asmiralda. Entah apa yang membuat Nirina rendah diri keterlaluan. Dan sepertinya kali ini Karen bisa memanfaatkan insecurity Nirina untuk mendorong gadis ini.

"Kagak mungkin. Yakin gue, Na, yang ada Dokter Rama langsung usir elo dari sana detik itu juga. Nah kalo dia usir elo, berarti elo berhasil bikin dia ilfil."

Nirina mengangguk-angguk gampang seperti biasanya. "Oh bener, siapa juga ya yang mau sama cewek gembel kayak aku. Oke deh. Aku terima pekerjaan ini."

"Oke, gue kasih yang sejuta sekarang. Sisanya lihat hasil."

"Siapppp." Nirina meringis girang menerima amplop dari Karen.

"Besok sore lo ke sini, gue mau dandanin elo dulu sebelum lo ketemuan sama Dokter Rama."

"Eh, pake di dandani segala ya?"

"Ya iyalah, biar meyakinkan kalo lo adalah gue, Karen Grace Sweetasari. Paham?"

Nirina tersenyum saja sambil manggut-manggut setuju.

**

"Aku nggak ada waktu, Bun." Rama dengan tegas menolak permintaan ibunya untuk menemui gadis kenalan ayah Rama.

[Jangan gitulah, Rama. Karen ini anak sejawat ayah, kalau sampai kamu nggak dateng, nama keluarga kita jadi jelek.]

"Ya kenapa kalian bikin janji tanpa kompromi dulu sama aku?"

[Abisnya Bunda yakin kalau pun kamu diajak kompromi, kamu pasti nggak akan mau juga.]

"Ooo maka dari itu Bunda lebih pilih jalur pemaksaan gini?"

[Oke, gini aja. Kamu dateng doang deh. Nanti kalaupun mau kamu terima atau kamu tolak perjodohan ini, Bunda nggak akan paksa kamu. Pokoknya pastiin nanti dateng ke restoran hotel Arsyilla jam tujuh malem. Bunda udah reservasi meja atas nama kamu.]

Rama mendengkus kesal. "Liat nanti aja deh, Bun!"

[Ee-eh, nggak ada lihat nanti-lihat nanti. Kamu wajib dateng, atau kalau enggak ayah bisa marah dan buang-buangin koleksi action figure kamu.]

"Tuh! Ngancem lagi, ngancem lagi."

[Anak sekarang kalau nggak diancem nggak mau dengerin orang tua. Ya udah Bunda mau tidur siang dulu.]

Santi menutup panggilannya, sementara sang putra mengumpat pelan di teras belakang IGD. Rama tidak suka dijodoh-jodohkan. Ia ingin mencari belahan jiwa sendiri. Meski selama ini ia belum pernah mengenalkan satu orang pun gadis pada Santi dan Rudi, tapi sebenarnya ada gadis yang diam-diam ia sukai. Anehnya, Rama bahkan belum tahu siapa nama gadis itu.

Awalnya secara kebetulan Rama sering melihat bocah itu menemani sang nenek berjualan jajanan tradisional di sekitar lapangan. Rama kagum gadis yang baru berusia sekitar 12 atau 13 tahun itu tak malu berdagang. Ia tampak dewasa sebelum waktunya, dari caranya merawat si nenek.

Lama tak main bola di lapangan kampung belakang komplek perumahannya, Rama pun tak tahu lagi kabar si gadis. Hingga akhirnya mereka bertemu kembali beberapa minggu yang lalu. Sore itu, Rama melihat lagi anak perempuan yang sejak sepuluh tahun lalu ia perhatikan. Kini gadisnya menjelma jadi wanita yang mempesona. Rambut lurus pendeknya telah panjang. Kulit yang dulu kusam, kini bersih terawat. Rama percaya, tanpa riasan atau perawatan sekalipun, gadis itu akan tetap cantik. Fitur wajahnya istimewa. Bibirnya tipis, hidung tegak mancung dengan sayap yang ramping. Matanya bulat, dibingkai bulu mata lentik dan alis rapi. Rasa kagum Rama yang lama ditimbun, berubah menjadi rasa penasaran dan ketertarikan. Sayang, kini ia sibuk dengan pendidikannya untuk meraih gelar spesialis bedah.

Jangankan untuk mengejar gadis, waktu untuk cukup tidur saja langka dalam hidupnya. Eh, hari ini gilliran off-day, ia dipaksa menghadiri perjodohan, bagaimana tak menggunung kedongkolan di hatinya?

Rama pulang untuk meluruskan pinggang yang serasa mau copot. Ia melewatkan makan siang. Ketika langit mulai gelap, pintu kamar Rama digedor-gedor oleh ibunya. Santi mengingatkan Rama agar segera bersiap menemui Karen. Dengan malas Rama bangun, lalu mandi. Ia memilih baju sekenanya saja. Namun, begitu Rama keluar kamar, Santi menariknya masuk ke dalam lagi. Santi tak membiarkan putranya berpenampilan seperti gembel di acara sepenting ini. Ia mendandani Rama layaknya mendandani manekin. Kaos abu-abu model turtleneck, dipadu blazer kotak-kotak kombinasi warna abu-abu, hitam, dan putih membuat penampilan Rama tidak kalah dari Oppa-Oppa bintang K-pop. Tak lupa Santi meminjamkan kartu kreditnya, supaya Rama bebas berfoya-foya dengan sang calon menantu.

Rama pergi ke restoran sesuai titah orang tua. Setiba di sana, meja yang dipesan masih kosong. Padahal Rama sudah terlambat lima belas menit. Rama benci sekali dengan cewek yang ngaret. Waktu adalah nyawa pasien, itu prinsip Rama. Urusan lain ia bisa kompromi, tapi urusan waktu, Rama akan kukuh. Rama memantau jam di tangannya. Sambil menghitung, kalau Karen tidak muncul dalam lima menit, Rama berjanji akan langsung angkat kaki. Di detik-detik perhitungannya akan berakhir, seorang gadis muncul.

"Mas Rama? Maaf ya telat," katanya dengan wajah tak berdosa. Ia lalu langsung duduk tanpa dipersilakan.

Rama tercengang. Jantungnya langsung meronta-ronta ingin melompat keluar karena si pemilik sedang menahan kegirangan. Demi apa gadis yang ada di hadapannya itu adalah cucu si nenek penjual kue? Tapi untuk apa dia di sini? Bukankah yang janjian dengannya adalah Karen?

Penampilan Nirina luar biasa elegan malam itu. Gaunnya jelas rancangan desainer ternama, tasnya branded, sepatu high heels super blink-blink. Jangan-jangan ibu peri baru saja menyulapnya?

"Sudah pesan makanan?" tanya Nirina sambil membuka buku menu yang sejak tadi tergeletak di atas meja. "Ah, iya. Aku hampir lupa memperkenalkan diri. Aku, Karen. Senang kita bisa ketemu malam ini."

Rama seperti tersadar dari lamunan ketika Nirina mengulurkan tangan. Berusaha tetap tenang, Rama menjabat tangan Nirina. "Ah, ya, aku Rama. Senang juga bisa bertemu dengan Karen di sini."

Rama mulai bisa membaca situasi. Ia berkesimpulan Karen membayar orang untuk menggantikan dirinya. Beruntung gadis yang Karen bayar adalah gadis yang paling ingin Rama kenal. Maka Rama yakin malam ini tak akan jadi malam membosankan seperti bayangannya ketika datang ke sini tadi.

"Udah boleh pesan belum nih?"

"Oh, tentu." Rama kemudian memanggil pelayan untuk mencatat pesanan mereka.

Ketika pelayan datang, Nirina menutup buku menu dengan mantap. "Saya pesan semua menu di restoran ini. Oh iya, sajikan menu paling mahal lebih dulu."

Pelayan restoran sempat terbelalak, rahangnya hampir jatuh ke lantai mendengar ucapan Nirina. "Makan sini semua, Kak?"

Nirina lagi-lagi mengangguk tanpa keraguan. Rama yang cemas pun bertanya, "Semua? Kamu yakin bisa habisin?"

Nirina kembali main angguk-angguk saja sambil tersenyum. Akhirnya Rama sepakat dan meminta pelayan segera menyiapkan makanan mereka.

"Gimana kabar nenek?" Rama membuka pembicaraan setelah pelayan pergi.

Nirina yang sedang menyeruput air putih nyaris tersedak.

Nenek? Dia lagi nanya nenekku? Ah, nggak mungkin. Pasti nenek Karen. Tapi di mana neneknya Karen? Apa kabarnya? Aku nggak tau. Tolong!

"Emm, nenek baik. Hehehe, ya kayak biasalah. Mas Rama bukanya residen ya? Kok masih ada waktu sih buat kopi darat gini?"

Rama terkekeh melihat betapa keras usaha Nirina mengalihkan topik. "Waktu tuh selalu ada, tinggal gimana kita mengatur prioritas."

"Hemmm, diplomatis sekali jawabannya, " komentar Nirina sinis.

Satu per satu hidangan mereka mulai mengisi meja. "Semua pesananku ini nggak akan bikin Mas Rama bangkrut kan?"

"Hahaha, enggak lah."

"Oh, bagus deh. Asal tau aja, aku tuh cinta mati sama uang. Prinsipku, uang nomor satu, suami nomor sekian. Kuperingatkan, jangan kaget!"

Kini Rama meniru gerakan andalan Nirina, yakni manggut-manggut sambil tersenyum. "Kebetulan sekali, aku gila kerja, rajin nyari duit, tapi keluargaku sudah terlanjur kaya. Kadang-kadang aku merasa khawatir, bagaimana cara menghabiskan uang-uang kami. Malam ini kamu memberiku jawaban. Kalau kita nikah, aku bisa tenang. Karena istriku cinta uang dan pandai menghabiskannya."

Eh, kok gini? Apa-apaan sih nih cowok, konslet apa gimana otaknya? Ada ya cowok kayak gini?

Nirina menelan liur sambil tersenyum kecut, ia mulai panik. Rupanya membuat Rama ilfil tak semudah yang ia bayangkan. Jurus pertama jelas gagal. Nirina harus menampilkan jurus kedua.

**
 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Putus Yuk Dok
Selanjutnya Putus Yuk Dok (3-4)
8
0
Tentang koas miskin yang alergi orang kaya, tapi malah terjebak pacaran sama calon dokter bedah yang tajir melintir.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan