Backseat Secret

6
0
Deskripsi

Vara memejamkan mata sejenak, membalas pelan. Tangannya terangkat setengah sadar, menyentuh dada Juang—merasa detak jantung pemuda itu yang berdetak secepat miliknya.

Tak ada ledakan. Tak ada drama.

Hanya dua hati yang akhirnya berani bicara, setelah terlalu lama bungkam.

Satu-satunya suara yang terdengar selama lima menit terakhir hanyalah dengung kipas dari gerobak abang jagung bakar. Berjarak lima meter dari tempatnya antri, Vara duduk dengan punggung bersandar setengah malas di jok belakang mobil. 

Langit sudah mulai berubah menjadi jingga saat pesanan dua buah jagung bakar itu selesai. Juang melangkah ke mobil hitam yang diparkir menghadap laut. Ia ketuk pelan kaca mobil itu  sebelum masuk dan menyodorkan salah satu jagung pada Vara.

Mereka sudah selesai survei villa, sudah dapat beberapa pilihan yang cocok, dan sudah kenyang usai makan di salah satu kedai seafood. Tapi Juang tidak ingin hari ini cepat berlalu. Ia masih ingin menikmati angin pantai sedikit lebih lama lagi—bersama gadis yang ia sukai.

“Lo nggak dimarahin kan kalo pulang agak malem dikit?” Pemuda itu memecah keheningan yang menguasai mereka.

Vara hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Walaupun lo cuma berdua sama gua, dia enggak cemburu?” tanya Juang memastikan.

Alis Vara terangkat satu, tapi ia masih enggan menatap pemuda di sampingnya. Takut salah dengar. Jadi ia cuma balas dengan gelengan kepala lagi.

“Selamat ya—baru jadian kan kemarin?”

Gadis itu akhirnya menatap Juang. Keningnya mengerut bingung. “Siapa maksud lo?”

Kini Juang ikut mengerutkan kening. “Sama Nathan, kan? Kapan hari lalu gua liat kalian pelukan depan kost lo.”

“Hah…” Gadis itu terkejut, sekaligus tertawa melihat raut muka Juang yang tampak seperti orang bingung. “Gua nggak pernah jadian sama Nathan! Lo salah paham. Gua nggak bisa pacaran sama cowo yang beda agama.”

Juang terdiam. Ada denyut aneh di dadanya, seperti udara yang tiba-tiba terlalu ringan untuk dihirup. Sesuatu di kepalanya mulai luruh—perlahan tapi pasti.

Hening sesaat. 

Vara melirik ke arah Juang. Sorot matanya samar dalam gelap, hanya diterangi cahaya lampu jalan yang redup. Ia menatap lama, lebih lama dari biasanya. Seolah ingin membaca isi kepala Juang, menebak perasaan yang sejak tadi menggantung di udara, tak kunjung diucapkan.

Juang menyadari itu. Ia menoleh pelan. Tatapan mereka bertemu.

Dan waktu seperti melambat.

Mereka saling menatap—lama, terlalu lama untuk dianggap biasa. Tidak ada senyum basa-basi. Tidak ada tawa tipis penutup canggung. Hanya dua pasang mata yang sama-sama bicara dalam diam, menyimpan sesuatu yang sulit diucapkan.

Mungkin rindu. Mungkin penyesalan. Mungkin keinginan yang sudah terlalu lama ditahan.

Juang menelan ludah pelan, matanya tak berpaling sedikit pun. Ada sesuatu di sorot mata Vara malam itu—lelah, rapuh, tapi tetap berani berdiri di situ, tetap bertahan. Ia mengangkat tangannya perlahan. Jemarinya sempat ragu di udara, bergetar nyaris tak terlihat, sebelum akhirnya mendarat lembut di pipi gadis itu.

Kulitnya hangat di bawah sentuhan Juang. Wajah Vara tak bergerak, tapi napasnya tampak lebih cepat. Dada gadis itu naik-turun halus, dan matanya tak melepaskan tatapan Juang sedetik pun—seolah menanti sesuatu, atau mungkin takut harapannya sia-sia.

“Vara…” bisiknya. Hanya itu. Sebuah panggilan yang mengandung terlalu banyak makna.

Vara tetap diam. Tapi kelopak matanya berkedip pelan, seperti berusaha menghalau perasaan yang menumpuk di dada. Jari-jarinya meremas pelan ujung baju yang menutupi pahanya, menahan getar gugup yang merambat sampai ke ujung tangan.

Jarak di antara mereka semakin menipis, sangat pelan, seperti dunia memberi waktu untuk memastikan semuanya. Napas mereka terasa hangat di wajah masing-masing.

Juang menatap mata itu—mata yang menyimpan ratusan pertanyaan dan ketakutan yang tak pernah sempat diucapkan. Sekali lagi ia menelan ludah, dada berdebar begitu keras hingga nyaris terdengar di telinga sendiri.

Dan akhirnya, bibir Juang menyentuh bibir Vara. Lembut. Ragu. Penuh rasa takut dan lega dalam waktu yang sama.

Vara memejamkan mata sejenak, membalas pelan. Tangannya terangkat setengah sadar, menyentuh dada Juang—merasa detak jantung pemuda itu yang berdetak secepat miliknya.

Tak ada ledakan. Tak ada drama.

Hanya dua hati yang akhirnya berani bicara, setelah terlalu lama bungkam.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya Love That Once Lived
17
0
Pertanyaan retorik itu——Varo tidak ingin mendengarnya. Tatapan pria itu lurus ke depan, tampak enggan mendengarkan ceritanya lebih lanjut. Sementara Vara menyadari salah satu tangan pria itu mengepal erat.Ia mencodongkan tubuh menghadap istrinya, sebelum mengucapkan pertanyaan yang sarat akan kesakitan. “Aku emang ga akan pernah cukup ya, Var?”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan