TIME WILL TELL - 16

41
12
Deskripsi

DINI hari. Eca dan Jordan masih berada di dak. Udara memang terasa kering, tak berangin, tetapi Jordan seperti kegerahan lebih dari selayaknya, dan sudah sedari tadi. Dia berulang kali mengusap banjir peluh di dahinya dengan tangan, kedua matanya yang memerah pun telah menatap dengan nanar.

Dengan gestur yang lumayan gelisah itu, Jordan masih banyak berbicara, dan lebih banyak ngawurnya. Misal, katanya dia memang belum pernah ke luar negeri selain Singapura, tapi pernah ke luar angkasa, Mars tepatnya, dan berjualan kacang oven aneka taburan di sana.

Best seller: Kacang oven dengan taburan bubuk mesiu.

Kadang Eca sekadar menanggapi. Seringnya tidak, sehingga Jordan tak ubahnya seperti bermonolog. Dan manakala Jordan diam seperti sekarang, suara yang menjadi pengisi suasana hanyalah deru kipas mesin-mesin outdoor AC milik tetangga kiri-kanan.

"Lo hangover?"

"Lumayan." Eca berbohong.

"Gue enggak tuh."

Masa?

Eca meraih botol liquor dan menuang isinya ke gelas kaca bening milik Jordan untuk yang kesekian kali, inilah yang dia lakukan sejak botol dibuka pertama kali. "Penghabisan nih."

"Maziiih ada tiga botol lagi tuh. Buka aja zemuaaa."

S pun bisa-bisanya jadi Z.

Lagi pula, ziza zebotol, kok, bukan tiga. Pun zi Genie ini zedang murah hati, dia tidak mengadakan liquor zeharga Rp1.5 juta untuk Aladdin zampai empat botol zegala.

"Cukuplah," bantah Eca sembari menuang seuprit sisa liquor ke gelas plastik abu-abu miliknya sendiri.

Jordan meraih gelasnya, menenggak isinya sampai kandas.

Eca meraih gelasnya pula, mendekatkan bibir gelas ke bibirnya seakan minum, lalu menurunkan gelas hingga ke bawah meja, di antara kedua pahanya. Dia sekilas menatap Jordan, lalu dalam satu gerakan cepat, isi gelas berpindah ke pot boston fern. Sejak tadi, dia sudah melakukan hal yang sama berkali-kali sehingga alkohol dalam tubuhnya sangat sedikit sekali.

Sejak mendengar cerita Jordan tentang kaki Mama, Eca tak lagi menaruh nafsu pada liquor yang dipesannya. Dia ingin kesadarannya tetap terjaga, sebab dia butuh mengenang dan memikirkan ulang semua yang terjadi di masa pengungsian. Barangkali ada sesuatu yang bisa dijadikan titik terang.

"Jam berapa?" tanya Jordan.

Eca mengangkat pergelangan tangan kiri. "Dua. Hampir."

"Udah zi ... ziang, ya. Pantezan gue kepanazan."

"Ya, ya." Iyakan saja. "Ke kamar sana. Nyalakan AC."

"Okeee."

Jordan berdiri dan berlalu. Tak peduli ponselnya masih di meja.

BRAK!

Eca sontak menoleh ke arah tangga, tapi tentu tak tampak apa-apa. Suara brak itu dari bawah, nyata-nyata berasal dari jemuran lipat stainless yang ditabrak semena-mena.

"Auuuh ziaaal...," erang Jordan, sepertinya kesakitan.

"Kau kenapa?"

"Rem blong!"

"Perlu bantuan?"

"Yeiiiz. I need Nanny Nine-One-Oneee ...."

Tak terdengar suara apa pun lagi dari bawah.

Eca meraih botol bir saja, isinya masih tersisa kurang dari setengah, lalu menenggaknya. Otaknya penuh sesak oleh gambaran kaki Mama yang berbaring miring di sofa, seakan dialah yang berdiri di balik ventilasi dan melihatnya. Namun, memikirkan apa yang mungkin terjadi kala itu, sungguh hatinya tak mampu. Ngilu rasanya, ngilu sekali. Pun ngilu ini tak terbagi karena dia menyimpan fakta kursi tangga itu di dalam hati, untuk dirinya sendiri.

Dari meja, dia meraih ponsel yang sama sekali tak disentuhnya sejak berada di dak, lalu menemukan dua pesan WhatsApp, masing-masing dari Bima dan Dilla. Isinya berinti sama, yaitu dresscode saat Pemberkatan besok adalah putih dan/atau biru muda. Dilla lebih spesifik menyebutnya baby blue/pastel blue.

Hanya pesan Bima yang dibalasnya, dan hanya satu kata: Hitam.

Dalam hitungan detik, pun si ponsel masih di tangan, dia mendapat balasan berupa dering panggilan. Pada zona waktu Bima, pukul dua dini hari memanglah seakan pukul sepuluh pagi. Masih aktif saja. Tak perlu Bima repot-repot hangover dulu sebelumnya.

"Kau di mana?" tanya Bima.

"Rumah. Sudah kausetor pakaian hitamku yang elegan itu ke laundry?" Eca tidaklah bertanya, dia bersinisme ria.

"Sudah," jawab Bima. "Dilla sewot pas kubilang mau kaupakai besok."

"Ya, dia sewot ke aku juga di WA," balas Eca. "Mungkin aku nggak baca betul-betul informasi kiriman Atha, enggak tahu apa ada kata BIRU atau BLUE sebelum kata HARUS."

"Aku juga enggak, sih."

"Lah, tahu apa kau selain tahunya terima bersih?" Eca mempertahankan kesinisan. "Dilla yang kaurepotkan."

"Makanya tadi aku oke-oke aja sama pakaianmu sebelum Dilla sewot."

"Setelah sewot, kau terpaksa setuju sama dia?"

"Biasanya, iya. Tapi kali ini, enggak. Menurutku, Dilla benar. Soalnya, kan, Pemberkatan cuma untuk kalangan pribadi. Artinya, jumlah yang hadir sedikit sekali. Nah, kau bakalan jadi si paling mencolok lantaran hitam sendiri."

"Biarlah, aku akan baik-baik aja."

"Ya, kau selalu baik-baik aja. Telanjang ke Kutub Utara pun kau akan baik-baik aja. Tapi sori, Ca, bukan perasaanmu yang sedang harus dijaga, yak. Tapi kawan baikmu, Atha dan Bastian. Pastilah keduanya ingin segala sesuatu sesuai dengan keinginan."

"Termasuk sesepele pakaian?"

"Menurutmu, kau dalam pakaian hitam elegan itu akan menyempurnakan keabadian video dan foto-foto Pemberkatan mereka? Atau saking lain sendiri, kau justru bikin sakit mata?"

Eca merasa diserang membabi buta meski sadar pertanyaan argumentatif Bima mengandung kebenaran. "Sudahlah! Aku nggak usah datang!"

"Maksudnya, kau mau datang ke resepsi aja? Yang tanpa dresscode?"

"Enggak dua-duanya."

"Jangan begitu amat, kali, Ca," suara Bima melemas. "Kan, masih bisa kauusahakan besok. Ada mal dekat sini. Salto dua kali, sampai. Sambil kayang pun nggak bakalan cape kau."

"Tadi aku juga berpikiran begitu kalau memang besok pakaianku nggak siap. Tapi sekarang ... ck, malas. Mending aku ngeluyur ke manalah. Kali aja ketemu paranormal yang bisa menghubungkan aku sama arwah Papa. Banyak nian yang mau kutanya."

"Oh gitu, ya. Uhm, oke. Siapkan alasan indah untuk Bastian dan Om Har, ya. Misal, tiba-tiba kau demam dan ternyata terjangkit raja singa. Jangan jujur mengatakan perkara pakaian atau paranormal, keduanya sama-sama memalukan, fatal."

Semburan panas Bima seperti melelehkan sebongkah besar es batu di kepala Eca. "Maaf, deh, aku kebablasan," ucapnya.

"Kau macam anak kecil tantrum, tumben."

"Iya, iya." Eca menarik napas dalam-dalam. "Pikiranku lagi carut-marut."

"Ada apa?"

"Masalah yang perlu dibawa tidur aja," dalih Eca, dan ini definisi teler alias hangover dalam kamus mereka.

"Pantasan. Nanti susah bangun kau."

"Aman, aman," balas Eca. "Ya sudah, bye."

      

      

     

KEADAAN sekitar begitu gelap. Sumber cahaya hanya berasal dari sofa panjang yang sedang menyala-nyala oleh api yang sedemikian muntab. Susuk Rudi duduk sendirian di tengah-tengah sofa itu. Di bawah kedua telapak kakinya yang telanjang, tanah merah yang sangat basah.

Di hadapan Susuk, Eca berdiri. Keduanya saling pandang, diam-diaman. Susuk begitu tenang. Eca pun sama, tak berusaha memadamkan atau sekadar khawatir, sebab di dalam hatinya dia sadar bahwa Susuk tidak datang dari dunia yang sama dengannya.

Sementara, alunan musik blues beredar di pendengaran, intro dari sebuah lagu berjudul The Sky is Crying versi Gary B. B. Coleman, salah satu lagu favorit Eca. Dulu, lagu favorit Mama.

Sekian lama, hanya musik saja. Tak ada suara manusia.

Eca menciptakan ketukan dalam hati, memutuskan dia saja yang akan bernyanyi. Tepat pada ketukan ketika dia seharusnya memulai, musik justru berhenti.

Musik mengalun dari awal lagi.

Eca kembali menciptakan ketukan, tetapi hal yang sama terjadi lagi, musik berhenti.

Tanpa menunggu musik, Eca langsung bernyanyi, ingin dibuktikannya pada Susuk bahwa musik ini benar-benar berlirik. "The sky is crying. Can you see the tears roll down the street .... The sky is crying. Can you see the tears roll down the street .... I've been looking for my baby. And I've been wondering where can she be ...."

Susuk menggeleng tiga kali dalam gerakan lamban. Eca memaknai itu sebagai larangan melanjutkan, maka dia pun diam.

Musik kembali terdengar.

Berhenti.

Terdengar lagi.

Berhenti.

MENJENGKELKAN SEKALI!

Eca mengedarkan pandangan, berharap menemukan posisi pemutar musik di sekitar. Hendak dibantingnya saja benda itu. Tak usah berbunyi kalau hanya hendak berkelakar.

"Jangan menengok ke belakang," titah Susuk.

"Memangnya kenapa?"

"Cari jalan ke depan."

Eca tahu itu kiasan, bukan benar-benar berjalan ke depan untuk terbakar bersama sofa sialan. Tapi bodo amat. Eca menengok ke belakang. Gelap.

"Suk?"

Gelap. Segala sesuatunya, gelap sudah.

        

      

      

ECA memicing. Terbit secuil kelegaan dalam hatinya karena menemukan cahaya. Dia membuka mata lebih lebar, lalu menyadari dirinya berada di ruang tamu rumah Papa, menelungkup pada kursi kayu panjangnya. Susuk Rudi yang bertingkah macam Megaloman Fire itu hanyalah mimpi belaka.

Mata dipejamkan lagi. Tak kuat, berat sekali. Beginilah jadinya kalau setengah botol liquor kedua, akhirnya ditenggak sendirian saja, saking lelah pikirannya dan ingin berhenti memikirkan Mama untuk sementara.

Tak lama, musik yang sama kembali berbunyi. Dia mulai kesulitan meyakini dari mana asalnya, alam nyata atau alam mimpi.

"Oh ...." Dia menarik napas dalam-dalam, menyadari betapa si musik adalah nada dering ponselnya sendiri.

Dia benar-benar membuka mata dan duduk, melihat-lihat, lalu mendapati ponselnya menyala, bergetar-getar di atas salah satu kursi kayu lainnya. Dia meraihnya, segera menekan tombol hijau dan menempelnya ke telinga. "Ya, Liv?"

"Kamu di mana?"

"Rumah. Baru bangun."

"Dari tadi, loh ... berulang-ulang aku telepon."

"Pantasan." Eca mengusap muka dengan tangannya yang bebas.

"Pantasan apanya?"

"Kamu bikin mimpiku jadi sangat menjengkelkan," keluh Eca, teringat musik intro yang berulang-ulang didengarnya.

"Oh, kamu harus lebih khawatir mulai sekarang. Soalnya, di luar mimpi aku bisa lebih menjengkelkan. Jam berapa sekarang?"

Eca melirik jam di pergelangan tangan. "Astaga!"

"Hah," desah Liv. "Kamu bikin Bang Bastian khawatir. Dia juga telepon kamu dari tadi."

"Maaf, maaf. Aku ke hotel sekarang."

"Tunggu jemputan di luar. Sebentar lagi sampai."

"Kenapa dijemput sega—"

"Awas! Jangan sampai Jordan juga keluar!"

Sambungan diputus.

Eca bangkit dan beranjak. Nyaris pukul dua belas siang. Dari pintu kamar yang terbuka lebar, dia tidak melihat Jordan. Langkah dilanjutkan, dia pun menemukan Jordan masih berada pada titik jatuh semalam, tidur sembari memeluk galon kosong bersama jemuran yang roboh, centang perenang.

"Jo!"

Jordan bergumam tak jelas.

"Aku mau pergi dulu."

Lagi-lagi, Jordan bergumam. Lagi-lagi, tak jelas.

Sudahlah, percuma.

Usai membilas muka dan menyikat gigi di bak cuci piring, Eca kembali ke ruang tamu dan meraih ransel. Ya, ransel saja yang akan dibawanya. Urn tidak usah. Dia dan Jordan belum memutuskan urn akan disimpan di kolumbarium atau isinya dilarung ke lautan. Tetapi setidaknya kini, urn aman ditinggal di rumah. Karena Jordan sudah berjanji tak akan meneruskan niatnya yang tersembunyi di balik kremasi.

Tahu?

Menjadikan abu Papa sebagai penggosok pantat panci, supaya Papa termakan omongan sendiri.

Yah ... tetap saja yang namanya janji, kalau bukan ditepati, ya diingkari. Apalagi janji seorang dengan track record panjang di bidang keusilan seperti Jordan. Hanya saja, di titik ini Eca sedang tidak peduli.

Sama halnya dengan perkara Liv versus pertaruhan sisa penjualan toko atau rumah. Eca pun tidak benar-benar serius, menganggapnya nothing to lose. Logikanya gampang, seseorang yang bisa-bisanya membeli mobil di hari Papa meninggal saking senang memegang banyak uang, akan sangat bisa bersilat lidah demi mendapatkan keinginan dan mempertahankan uangnya.

Ya, kan?

Iyalah.

Eca baru selesai mengenakan boots ketika sebuah mobil merah memelan dan berhenti di depan rumah sebelah. Tak lama, ponselnya berbunyi. Liv lagi.

"Ya?"

"Kamu sudah di depan," balas Liv. "Ayo, aku di Mazda merah."

Oh.

"Oke."

Liv memutus sambungan telepon.

Ternyata, Liv yang menjemput. Pantaslah jangan sampai Jordan juga keluar.

Eca beranjak dari kursi teras dan keluar. Hal pertama yang dia lihat melalui jendela penumpang depan yang terbuka adalah senyum Liv yang merekah, melunturkan perasaan tak nyaman di hati Eca lantaran keketusan suara perempuan itu dalam dua kali sambungan telepon sebelumnya.

"Haiii," sapa Liv.

"Tadi aja ... jutek amat suaranya," keluh Eca.

"Tadi aku masih waswas ketemu Jordaaan."

Eca membuka pintu dan masuk. "Kenapa jemput segala?" tanyanya seraya memakai sabuk pengaman. Sementara, Mazda 3 merah itu mulai bergerak.

"Disuruh Bang Bastian."

"He?" Eca menoleh pada Liv. "Mau-maunya."

"Maulah. Disuruh atasan, masa nolak?"

Eca membeliak. "What? You got that goddamn job?"

"Bahasa Indonesia aja, Mister, tolong."

Sorry.

"Kamu jadi kerja di GV?"

"Yeah."

Eca sekonyong-konyong merasa senang untuk Liv. "Artinya, usaha rahasiamu kemarin berhasil?"

"Iya, hahah."

"Apa coba?" Eca jadi penasaran.

"Kamu ingat nggak, pas ngobrol di warung tenda Pemalang, Bang Kala bilang dia juga punya LC 70. Yang dia beli murah banget karena pemiliknya kepepet itu, loh."

"Ya."

"LC 70 nggak terlalu gampang ditemuin. Sejauh ini, belinya kudu lewat importir. Nah, aku teringat orang yang sepertinya bakalan mau karena dia ini penggila mobil klasik dan offroad. LC 70 cocok banget. Ya udah kutawarinlah. Dia bilang, oke, dia mau lihat unitnya. Jadiii, kemarin sore aku hubungi Bang Kala, minta izin pinjem si LC, eh ... dia izinin. Demi apa, Caaa! Dibeli!"

"Wah, gila."

"Iya, gila emang. Seumur-umur, aku belum pernah jual mobil semahal ini! Tuhan baiiik, Tuhan baiiik!"

"Berapa duit?"

"Hampir 2.5 M."

"Lebih murah dari LC 300 yang Kala pakai, ya?"

"Iya. Tapi jual LC 300 senilai 3 M, keuntungannya belum tentu segede jual LC 70 senilai 2.5 M," balas Liv. "Lagian, kalau aku tawarin LC 300, pembeli ini nggak bakalan mau. LC 300 dan 70, kan, beda banget secara look, tuh. Dan ternyata, setelahnya aku tahu Bang Kala nggak mau jual LC 300. Takut dimarahin anaknya. Itu mobil favorit anaknya."

Eca terkekeh membayangkan Celia marah-marah. "Kala untung berapa?"

"Aku nggak tahu yang dia maksud beli murah banget tuh berapa. Anggap 1.8 M, deh. Jadi, berapa untungnya? Banyak, haha."

"Liv keren."

"Makasiiih."

"Lumayan komisimu, dong?"

"Entah. Aku nggak mau nanya. Aku cuma bilang ke Bang Kala, please mobil itu bisa dapat free jasa dua kali tune-up di GV, karena ini yang aku janjiin ke pembeli. Bang Kala iyain. 'Potong dari komisimu,' katanya. Nggak tahu, deh, serius atau bercanda. Yang jelas, komisi ada."

"Kerjaan pun didapat pula. Ya, kan."

"Yaaa, hahah! Besok Senin aku ajuin resign! Akhirnyaaa! Aku udah kangen berat nulis surat resign!"

"Ya, ya, tapi nggak usah ngegas mendadak juga, dong. Motor depan bisa keserempet tuh."

"Hehe, maap."

"Ini mobil siapa?"

"Cece Atha. Dia suruh aku pakai."

"Oh, kamu sudah ketemu Atha?"

"Iya. Semalam, di hotel," jawab Liv. "Pembeli udah transfer tanda jadi ke Bang Kala. Pelunasan dalam minggu depan. Sesuai perintah Bang Kala, aku bawa dulu si LC balik ke GV. Terus, dari GV ke hotel bawa Mazda merah membara nan jelita ini. Nyampe hotel, mereka lagi makan di resto. Aku diajak, dikasih undangan juga buat hari ini. Pulangnya, ternyata disuruh bawa Mazda, hahah! Kepercayaan luar biasa. Aku tersipu-sipu jadinya."

Eca kembali menoleh dan menyadari Liv mengenakan blus biru muda. "Ke Pemberkatan juga?"

"Iyaaa. Huhuuu, aku terharu. Akhirnya, aku naik kapal pesiar walau cuma acara Pemberkatan, bukan jalan-jalan."

"Bukan kapal pesiar."

"Bodo amat. Pokoknya kapal, dan ada kata CRUISE di belakang nama kapalnya." Liv ngotot. "Harusnya aku masih nyantai di rumah nih. Maksimal, pamer keliling kampung dulu pake mobil ini. Tapi tahu-tahu ditelepon Bang Bastian, suruh jemput kamu. Katanya, menurut Bang Bima kemungkinan besar kamu lagi teler. Huh. Pengin bilang aku nggak mau ketemu Jordan, tapi ... yah masa, sih, bawa-bawa urusan pribadi."

"Temani aku cari dresscode, ya. Aku nggak bawa."

"Ah siap, bosque! Satu Liv untuk segalanya. Hihi!"

Ingin sekali Eca meremas mulut mungil itu.

"Gaunmu cantik."

"Akunya gimana, Mister? Cantik, nggak?"

"Ya."

"Makasih atas kejujuran Anda." Pede abis. "Aku nggak nyangka. Soalnya, yang aku cari tuh gaun satu lagi. Pas bongkar-bongkar, lah ... nemu ini. Aku lupa pernah punya. Nyucilah aku tengah malam buta. Dikeringkan pakai kipas angin segala," ocehnya. "Lihat, Ca?"

Eca menoleh dan melihat Liv sedang membusungkan dada, tampak pula belahannya.

"Menurut kamu, gimana?"

"Seksi, kok."

"Kok, seksi?"

"Memangnya komentar apa yang kamu harapkan dengan nanya soal dadamu?"

Liv serta-merta bersandar sehingga si dada tak lagi menantang pemandangan.

"Besar?" sambung Eca. "Bergejolak?" Eca sontak terbahak.

"Bros yang aku tanya, bukan dada."

"Oalaaah. Nanyanya yang lengkap, dong, biar aku fokusnya ke situ," keluh Eca. "Coba, dibusungkan lagi dadanya, coba. Biar aku fokus ulang."

"Gamauk."

Bros lumayan besar. Eca masih bisa melihat dengan jelas tanpa perlu Liv mengulang keteledorannya. "Bagus, kok. Cocok."

"Enggak kegedean?"

"Enggak. Kalau kegedean, pasti dia yang langsung kukomentari gara-gara mencuri perhatian. Bukan malah komentari dad—eh ... yang lebih gede dari dia. Eh? Salah juga, ya?"

Liv ngakak.

"Yah begitulah sekurang-kurangnya cara otakku bekerja," simpul Eca, setengah tertawa pula.

"Mana yang lebih gede aja. Gitu, ya?"

"Mana yang lebih menantang."

Lagi-lagi, Liv tertawa. Oke-oke saja rupanya beliau dengan gurauan liar. "Bros ini juga salah satu yang aku temuin tadi malam selain gaun sama lipstik. Aku kalau nyari sesuatu, pasti gini, deh. Bakalan nemu juga yang nggak terduga-duga."

"Kali aja si lipstik sudah expired."

"Belum. Baru dua-tiga bulan lalu aku belinya. Tapi lenyap dari pandangan dan aku lupa. Biasanya karena dipakai adikku, tapi nggak dibalikin ke tempat semula," jelas Liv. "Nyari dresscode di mana, nih?"

"Terserah."

"Tempat mahal, tempat murah?"

"Terserah."

"Kamu bisa bayar sendiri?"

Oh ya ampun.

"Bisa."

"Oke. Kalau gitu, aku suka 'terserah' versi kamu. Karena aku nggak bisa bayarin walaupun pada dasarnya aku mau. Tanggal tua."

"Terserah versi siapa yang kamu nggak suka?" pancing Eca. "Bos dealer?"

"Hah? Sejak kapan yang namanya bos bilang terserah? Ada-ada aja," balas Liv. "Yang aku nggak suka, maksudku jarang suka, adalah 'terserah' versi Jordan. Karena kalau dia bilang terserah, artinya pilih sesuai kemampuan keuanganku aja. Walaupun yang sedang harus aku pilih tuh justru buat keperluan dia."

"Kamu yang bayar maksudnya?"

"Iya. Dia keseringan bokek. Aku tuh berharap dia bilang, 'Tunggu aku usahain uangnya.' Bukan 'Terserah.' Karena cuma bikin aku merasa bersalah kalau nggak bantu dia."

"Kenapa harus merasa bersalah?"

"Karena aku tahu dia butuh."

"Sekarang dia lagi banyak uang tuh. Kamu tahu?"

"Tahu."

"Dia keseringan bokek, kamu mau. Giliran sekarang dia banyak uang, malah nggak mau?"

"Bodo amat."

Apa yang perempuan ini lihat dari Jordan kalau begitu?

Entahlah.

Eca melengkungkan pinggang, merasakan kelegaan. Tidur di kursi kayu benar-benar bikin pegal. Dia menarik napas panjang, menghelanya pelan-pelan. Pikirannya tertuju pada Om Har.

Hanya Om Har dan Om Adi yang mengenal Papa dan masih hidup.

Om Adi, kawan dekat Papa sejak dulu. Terkadang, manusia (Eca salah satunya) lebih nyaman mengaku dosa kepada kawan ketimbang Tuhan. Mungkin Papa pun demikian.

Hanya saja, membicarakan perkara semacam ini dengan Om Adi, tidak bisa via telepon. Harus tatap muka, artinya Eca harus ke Subang.

Om Har, orang yang mencari dan menemukan Papa di Singapura, menjadi penyuplai toko pula. Abaikan Bahrun. Si bangsat itu cuma boneka, cuma wayang, tak bergerak kalau tak dikendalikan.

Dan seperti Liv menemukan benda-benda lain yang tak terduga saat mencari gaun, mungkin Om Har juga menemukan fakta-fakta lain yang tak terduga saat mencari Papa. Semoga.

"Liv."

"Heem?"

"Papaku pernah bilang apa tentang mamaku?"

"Nggak pernah. Aku juga jadi nggak berani nanya-nanya. Karena Jordan bilang Tante Lily pergi sama ...." Liv tak meneruskan ucapannya. "Ya gitu. Makanya aku nggak berani nanya."

Hening.

"Kenapa emang, Ca?"

"Enggak apa-apa."

Hening lagi.

"Kamu pengin cari mamamu?" tanya Liv.

"Ya." Entah mengapa, Eca menjawab apa adanya. "Proyek rahasia," tambahnya buru-buru.

"Siap. Kalau ada yang bisa aku bantu, bilang-bilang, ya, Ca. Aku pasti mau."

"Kecuali bantu bayar-bayar, ya."

"Enggak gitu juga kali, Caaa." Liv tertawa lepas. "Ke depan akan lebih baik, segalanya, keuanganku juga. Aku yakin."

"Sebesar itu keyakinanmu?"

"Ya. Yang penting, aku terus berdoa, bekerja keras, dan main sama orang-orang yang tahu cara melihat ke depan. Seperti sekarang."

"Para bos barumu?"

"Iya. Kamu juga."

"Masa?"

"Iyaaa. Siapa seseorang tuh bisa dilihat dari pergaulannya. Ya, kan? Kamu, ya mereka, lebih kurang. Enggak bakalan mereka tahan bergaul sama kamu bertahun-tahun kalau kamunya nggak selevel. Ya, enggak sih?"

Eca terkekeh.

"Terus terang, jiper aku semalam, Ca," kata Liv lagi. "Karena suasananya jauh berbeda, nggak kayak pas ke Pemalang. Orang-orangnya juga lebih banyak. Penampilan mereka sederhana, tapi, kok, keren-keren. Pokoknya, semalam tuh benar-benar bukan kelasku. Aku penginnya kasih kunci Mazda, terus langsung pamit aja. Tapi Ce Atha ngelarang. Akhirnya, aku segera lega karena ternyata nggak ada yang mandang aku sebelah mata." Liv menepuk pelan lengan Eca satu kali. "Sejak awal, jelas banget kalau kamu tuh lebih dari aku dan Jordan dalam segala hal. Nyatanya, kamu juga nggak mandang aku sebelah mata. Sama kamu, aku bisa ngerasain Liv Janadi tuh beneran ada, aku nyata, bukan sekadar ada. Karena kamu selalu kelihatan senyumannya, kamu bisa diajak bercanda."

"Aduh, aduh, sudah. Kausku jadi sempit, nih. Mau robek."

"Tenang. Nanti beli kaus juga. Aku yang bayar. Kaus, loh, ya. Hahah!"

Liv, Liv.

"Namamu apa tadi? Liv Janadi?"

"Liv doang, sih. Janadi nama bokap. Janadi, ya, Ca. Bukan Jan, spasi, Adi. Jadi, enggak ada hubungannya sama Jan Darma."

Eca terkekeh.

"Per semalam, aku penginnya Liv Hartanto, sih. Kayaknya enak jadi adik Bang Bastian."

"Kenapa gitu?"

"Kata Dilla, Ce Atha nggak pakai Mazda ini karena udah punya yang baru dari papa mertuanya. Tahu apa? Audi A7. Baru!" Liv berdecak. "Menantu aja dikasih gitu. Apalagi anak, kan."

Lagi-lagi, Eca terkekeh. Teringat seperti apa kisah nasib Bastian semasa pembuangan ke Australia. Getiiir, getir.
 
  
 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Melbakara
Sebelumnya TIME WILL TELL - 15
35
16
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan