
Not a meet-cute.
SEBULANAN menemani Mama di Rumah Sakit, tidurku sangat kurang. Seperti dalam dua puluh empat jam terakhir, aku tidur sekadar belasan menit. Rasa badan sudah tidak keruan, tapi aku menyesal tertidur. Yang kuinginkan hanyalah sebanyak-banyaknya melihat Mama.
Dan itu menjadi dua puluh empat jam terakhir di RS. Mama sudah diperbolehkan pulang. Administrasi selesai pukul empat subuh, lalu kami langsung ke Soekarno–Hatta untuk kemudian terbang menuju kampung halaman.
Menanti penerbangan pukul 09.45, aku duduk di food court dengan menahan segenap ketidakkeruanan. Teman sekerja, teman kuliah, teman-kenal-di-mana, silih-berganti menemui, mengantar empati. Bu Sari, atasanku yang lakonnya mirip Miranda Priestly itu pun datang. Yah setidaknya dia datang meski lebih banyak membahas pekerjaan yang kutinggal cuti selama menemani Mama. Jika aku masih merasakan percik empati darinya, itu karena dia berkata, “Kamu urus mamamu sampai selesai. Selalu ada orang yang bisa gantikan peran kita di pekerjaan, tapi nggak ada yang bisa gantikan peran kita sebagai anak.” Terima kasih.
Tandi tidak datang. Pacarku. Dia sempat menelepon dan meminta maaf karena ada meeting penting, lalu berjanji menyusul besok dengan pesawat paling pagi. Seingatku, itu yang kedua kalinya kata penting keluar dari mulut Kristoforus Tandio dalam beralasan. Sebelumnya, demi mengantar mamaknya ke arisan. Maka benar, meeting itu sangat penting. Melewatkannya, sama celakanya dengan dikeluarkan dari Kartu Keluarga.
AKU sudah di pesawat dan menempati salah satu kursi samping jendela. Kukirim pesan WhatsApp pada Cita, adikku, bahwa pesawat yang kutumpangi bersama Mama akan segera lepas landas. Kepulangan ini mendadak dan kami tidak mendapat pesawat yang sama. Papa, Cita, Rean—suami Cita, dan Ailin—anak mereka, terbang lebih dulu pukul 08.45 dengan maskapai lain.
Aku menyimpan ponsel di tas. Saat akan menaruh tas dekat kakiku, kusadari seorang lelaki tengah menengadah untuk menyimpan koper pada kompartemen di atasku. Dia?
Dia!
God. Begitu banyak tempat di dunia, mengapa aku justru bertemu dia pada tempat di mana aku tidak bisa melengos pergi atau pindah kursi?
Kuambil selembar masker dari tas, mengenakan, lalu menaruh tas sesuai niat semula. Bersandar, aku berpaling ke jendela. Aku sedang tidak baik-baik saja. Sebagian jiwaku mati, pun pikiran terpecah-pecah. Tapi, andai bertemu orang yang kukenal, aku masih bisa menyapa, sanggup beramah tamah, asalkan orang itu bukanlah dia.
“Hai, Kep.” Suara perempuan. Pelan, tapi masih bisa kudengar.
“Hai.” Dia yang menjawab!
Melirik, aku melihat sosok si penyapa, seorang pramugari cantik. Uhm, apa tadi? Kep? Sejak kapan dia berganti nama jadi Kep?
“Jalan-jalan nih, Kep?”
“Mudik.”
“Oh mudiknya ke Bengkulu, ya, Kep? Kok, aku baru tahu, yaaa?”
“Karena kamu nggak pernah tanya.”
Mbak Pramugari terkekeh kecil. “Di Bengkulu ada makanan enak apa nih, Kep? Entar mau minta tolong ground staff beliin.”
“Gorengan.”
“Gorengan? Yang beneeer?”
“Ya, cuma itu yang kami makan. Kamu lihat hasilnya, how do I look?”
“Awesomeee.”
Entahlah apa yang dilihat, yang dinilai awesome itu. Yang jelas, bukan badan overweight kelewat banyak makan gorengan atau wajah bertekstur bakwan jagung.
“Nah, pesanlah gorengan.”
Anjuran membegokan itu dibalas tawa kecil nan renyah. “Enjoy the flight, Keeep.” Mbak Pramugari beralih ke deret kursi di depan kami dan menegur seorang ibu dengan bawaan yang terlalu banyak. “Ibu sama anaknya duduk dulu aja, biar penumpang lain bisa lewat. Nanti saya yang simpan barangnya di atas.”
Si ibu bengong sehingga titah diulang sekali lagi, barulah dia patuh. Sumbat antrean terbuka.
Mbak Pramugari mulai membereskan barang si ibu dengan menaruh tiga kotak donat ke kompartemen. Dalam gerak cepat, tahu-tahu Kep melepas sabuk pengaman, lalu membantu dengan mengangkat boneka beruang besar yang terbungkus plastik transparan.
“Oh, ya ampun, Kep, thank youuu.”
Kep tidak mengatakan apa-apa, lanjut mengangkat set bed-cover, juga dalam plastik transparan. Aku memejam saja, tidak tertarik bertahan melirik aksi heroik itu lebih lama.
Tidak lama, Mbak Pramugari berterima kasih sekali lagi padanya. “Thank you, Kepten.”
Captain.
Mengingat konteks percakapan mereka tadi, lalu mendengar panggilan utuh ini, maka sepertinya pada waktu-waktu lain, Sebastian Hartanto alias Bastian alias Kep justru duduk di kokpit, memegang kendali.
Yah, kalau bukan captain sejenis itu, mungkin sejenis Captain America, Captain Ahab, atau Capt … whatever. Penerbangan akan berlangsung kurang lebih satu jam, cukuplah untuk memejam, syukur-syukur tertidur, lalu bangun dan segera minggat dari hadapannya.
AKU tersentak, merasa lenganku diusap-usap. Di detik aku membuka mata, aku sontak memejam lagi, tidak sanggup menghadapi kenyataan bahwa yang mengusap-usap lenganku untuk membangunkan bukanlah Mama seperti yang kerap dilakukannya di RS, melainkan Bastian.
Kutegakkan leher, buru-buru memisahkan diri. Yah ... kenyataan selanjutnya dan terparah, aku tertidur dengan kepala bersandar di bahunya.
“Maaf, Mas, enggak sengaja.”
“Sudah hampir sampai,” katanya. “Apa kabar, Atha?”
DIA TAHU AKU!
“Kenapa nggak dijawab, Tha? Noleh, kek.”
Karena masih takjub dengan kesia-siaan kedok ini.
Aku pun menoleh padanya, sekilas saja daripada aku dianggap kenop AC pesawat. “Sori, masih ngantuk. Kabarku baik.”
“Nggak kaget lihat aku, ya, Tha? Atau … sudah lihat dari tadi, tapi pura-pura nggak lihat, mau menghindar, makanya pakai masker?”
Sial.
“Barusan aja aku sadar kau siapa. Sori kalau nggak kaget.”
“Jutek amat, Tha.”
Terdengar pengumuman pendaratan. Penumpang diizinkan melepas sabuk pengaman setelah tandanya dipadamkan.
“Aku merasa melihat kau pas check-in,” katanya lagi, sementara pengumuman masih mengudara. “So, aku iseng minta seat di samping Agatha Christiana Manullang ke petugas. Eh, ada. Tapi kupikir mending kusapa di kabin aja biar kau nggak bisa kabur—yah barangkali kau nggak berubah, masih sombong, masih keras kepala. Nah, sekarang, apa aku harus menyesal, ya? Karena kau memang nggak berubah.”
Aku belum lupa, diam menjadi tanggapan terjitu kalau yang kuhadapi adalah dia.
“Yang berubah cuma ukuran bra, deh, Tha.”
Brengsek.
“Ya? Cuma itu, ya?” cecarnya. “Kalau ngiler, nggak berubah dari dulu?”
Serius?
Aku spontan menoleh padanya. “Aku ngiler, ya?”
Dia menyeringai, mengedikkan bahu kiri. “Basah. Pegang, deh.”
Tapi aku memilih memantau tanda sabuk pengaman.
“Pulang ke mana, Tha? Rumah Tante Yuli atau Mama-Papa?”
Bukan urusan sampeyan.
“Tha, come on, yang dulu-dulu tuh dibawa santai aja, dong. Sekarang sudah 2017, loh. Umur sudah kepala tiga. Malah jangan-jangan anakmu sudah setengah lusin.”
“Ke rumah Mama,” balasku, cepat. “Ini, aku antar Mama pulang.”
“Mama? Mana?”
Tanda dipadamkan. Pas.
Aku melepas sabuk pengaman dan meraih tas. Syukurlah cuma hand-bag. Koperku dibawakan Cita karena tadi aku tidak sempat pulang dulu ke rumahnya yang sebulanan terakhir menjadi tempat bolak-balik berhubung dekat dari RS.
“Perasaan, sejak check-in kau cuma sendiri,” katanya lagi.
Aku berdiri, menatap dia pada matanya. Kuangkat tangan kananku dengan telunjuk mengarah ke bawah. “Mamaku di bagasi, Capt.”
Dia terbeliak.
“Permisi.”
“Tha,” dia meraih pergelangan tanganku, “Tha, tunggu.”
Aku menarik tanganku, melangkahi pahanya, lalu nekat seakan tak tahu malu menembusi lorong yang mulai padat. Semoga kepadatan ini menjadi penjeda yang cukup untuk dia berpikir bahwa sejak lima belas tahun lalu aku memang tidak berubah, masih sombong, masih keras kepala, maka tidak usah didekati lagi.
MENAPAKI landasan, aku sudah tidak memikirkan Bastian dan segenap kalimat brengseknya. Pikiranku berisi satu pertanyaan: Di mana bagian kargo?
Entah sudah berapa kali aku pulang kampung via bandara ini, tapi tidak pernah tahu di mana bagian kargo karena selalu cuma bawa diri dan satu koper. Tidak pernah terbayang berurusan dengan kargo, lebih-lebih urusan peti.
Tampak laki-laki muda berseragam di samping pintu pertama gedung terminal. Kuputuskan bertanya padanya.
“Kak, tanya. Kargo di mana, ya?”
Tangannya menunjuk arah pintu keluar yang sudah terlihat dari titik kami berdiri. “Ke luar, belok kiri.”
“Makasih, Kak.”
“Sama-sama.”
Aku berjalan cepat.
Tiba di luar, belok kiri dan … bengong. Sebuah lorong di hadapanku, plang TOILET di atasnya.
Berdiri di tempat, aku melihat sekeliling sambil membuka tas, ingin meraih ponsel. Barangkali sudah ada Cita, Rean, atau siapalah saudara kami yang menungguku di sekitar sini.
“Taksi, Ce?” tanya seseorang.
Aku menoleh padanya dan menggeleng. “Enggak, Pak. Makasih.”
“Mau diantar ke mana, Ce?” Tawaran serupa dari orang lain.
“Enggak, makasih.” Kujawab sambil kembali melihat sekeliling.
“Cari apa?”
“Enggak, maka—” mataku menangkap si penanya. Kep.
“Cari apa?” ulangnya.
“Kargo.”
“Ayo.” Dia langsung menuruni beberapa anak tangga di depan kami dengan cepat.
“Enggak usah merepotkan. Bisa, kok.”
Dia berhenti di anak tangga terbawah, berbalik badan dan menengadah. “Caranya?”
“Aku mau telepon adikku. Dia bisa jemput atau arahkan.”
“Itu sepuluh menit lebih lama.” Dia mengedik. “Ayolah.”
Yah, okelah, kuikuti aja. Aku pun tidak mau ribet sendiri terlalu lama.
Kami melintasi area parkir. Dalam gerak mode cepat seperti ini, aku agak terpontang-panting menyamai langkahnya. Mungkin setelah sekitar lima puluh meter, berulah BELOK KIRI. Tampak gedung besar di ujung. Jika itu gudang kargo, kurasa lumayan jauh untuk tiba di sana dengan berjalan kaki.
Fiuh. Napasku memendek. Kurang tidur, apalagi sejak turun pesawat dan langsung diterpa panas terik, kepalaku berdenyut-denyut.
“Sudah ada kendaraan buat ke rumah, Tha?”
“Adah ….” Hah.
“Sudah siap di sana?”
“Hah.” Aku terhenti.
“Eh?” Dia menoleh dan ikut berhenti. “Kenapa?”
“Sesak ….”
“Astaga, Athaaa,” dia melepas pengait masker dari telinga kiriku. “Better?”
Aku menarik masker hingga benar-benar lepas. “Harus kuakui dua hal; much better dan aku merasa bego.”
Dia mendengus seraya tersenyum. “Lanjut?”
“Heem.”
Tiba di ujung, kami kembali belok kiri. Sekitar tiga puluh meter di depan, tampak keluargaku dan beberapa orang saudara dari pihak Mama.
“Mana berkas? Ada, kan?” tanya Bastian.
“Ada.”
“Sini, kasih aku. Kautemani bapak berkemeja putih itu, aku urus sisanya.”
Bapak berkemeja putih?
Cuma Papa berkemeja putih di sana. Berdiri bersedekap menatap langit, bibir melengkung ke bawah. Sejak semalam, roman Papa sudah begitu adanya. Bersuara kalau ditanya, itu pun meledak-ledak seakan marah, tapi entah marah kepada siapa.
“Dari mana kautahu itu papaku?” tanyaku sambil meraih map dari tas.
“Cuma bapak itu yang kelihatan … Manullangbanget.”
Aku makin merasa bego. Agaknya, tidak ada orang Indonesia yang menolak pendapat bahwa Papa terlihat Batak banget saat berdiri seorang diri, apalagi berdiri di tengah keluarga Mama yang notabene … Tionghoa.
“Bas.” Aku mengulurkan map. “Makasih, ya.”
“Oke.”
Di sana, Ii Yuli menghambur memelukku, lalu bergantian dengan saudara Mama yang lain. Sempat kulihat Bastian menyalami Papa dan Rean, berbicara entah apa, lalu pergi bersama Rean ke bagian dalam gedung.
Segala yang terjadi kemudian, terjadi tanpa menunggu lama. Peti cepat dikeluarkan, dimasukkan ke ambulans. Papa juga masuk ambulans, duduk di depan. Kuminta Cita dan Rean naik ke mobil sewaan Ii Yuli supaya bisa bergantian menjaga Ailin.
Semua siap, tinggal aku yang belum masuk kendaraan. Aku melihat sekeliling, mencari Bastian untuk pamit dan berterima kasih sekali lagi, tapi tidak menemukan. Setelah mencium Ailin dari jendela mobil sewaan yang masih dibuka, aku bergegas menuju ambulans dan naik ke bagian belakang. Ingin menutup pintu, tapi pintu ditahan dari luar.
“Kakimu bakal sengsara terjepit peti. Empat jam di jalan, loh.” He is none other than a jerk named Bastian. “Nggak sama adikmu aja?”
Aku menggeleng. “Kasihan Mama sendirian.”
Dia tersenyum. “Ya, ya ….”
“Makasih banyak ya, Capt.”
“Dari tadi kap, kep, kap, kep, kaulupa namaku, ya?”
“Mana mungkin.” Aku tersenyum. “Lumayan lama aku terima bully-an orang gara-gara nama itu. Mana mungkin lupa.”
“Bully? Di-bully bagaimana?”
“Sudahlah. Sudah lama lewat.”
Dia menggaruk bibir bawahnya dengan gigi atas. “Aku boleh minta nomor handphone-mu, ya.”
Sebetulnya, tanpa pertimbangan aku akan mengiyakan, dan aku yakin setelah itu dia akan mengeluarkan ponselnya. Tapi ….

Kutelan saliva sekaligus jawabanku. Suara megafon di tenggorokan Pak Manullang itu menempeleng, menyadarkan aku akan satu hal yang kutakutkan dari Sebastian Hartanto. Karenanya, aku menggeleng.
“Kenapa?”
“Kaulah yang harus lupakan namaku. Bye, Bas. Terima kasih.” Kutarik pintu mumpung sudah tidak ditahan.
Tertutup sudah.
Semoga tertutup pula segala pintu yang bisa mempertemukan aku dengannya kelak-kelak. Aku takut.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
