Hasrat Seorang Ipar-Pov Wisnu Bagian 5

0
0
Terkunci
Deskripsi

Melani benar-benar mentransfer uang senilai tiga puluh juta ke rekeningku siang itu juga. Gila! Anak trainee yang belum genap setengah tahun bekerja, sudah jor-joran memberi uang sebanyak itu hanya demi lelaki yang baru dikenal. Apa yang dia harapkan dariku hingga nekat berbuat demikian? Ah, itu urusannya lah. Ini ada rejeki yang betul-betul sayang jika ditolak. Mubazir! 

Langsung kutransfer lima belas juta buat Mama. Perempuan paruh baya itu seketika menelepon dan mengucapkan terima kasih berpuluh...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
25
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya Hasrat Seorang Ipar-Pov Wisnu Bagian 6
0
0
Malam itu, setelah merapatkan kancing jaket denim, kupacu kembali laju motor dengan kecepatan sedang. Beberapa kilometer jauhnya aku meninggalkan rumah Melani yang berada di pinggiran kota (agak masuk ke wilayah perkampungan), telepon pintarku bergetar dari dalam saku celana. Aku bergeming dan terus memacu kendaraan, karena hari sudah lumayan malam dan suhu udara cukup dingin menusuk kulit. Namun, panggilan itu terus saja berlangsung tanpa kenal berhenti.Akhirnya, aku menepi dan menghentikan motor tepat di depan halaman sebuah ruko yang telah ditutup. Kurogoh ponsel dan menemukan nama Septi tengah melakukan panggilan. Sontak, aku merasa kaget. Untuk kali pertama, perempuan dingin itu menghubungi duluan. Ada apa ini? Perasaanku malah menjadi tak enak. Apakah sesuatu sedang terjadi padanya?“Halo?” Kuangkat telepon dengan perasaan berdebar. Entah, feeling-ku jadi tiba-tiba tak nyaman.“W-wis ... t-tolong aku—” Gadis itu menangis pilu. Ucapannya terbata seolah tak mampu lagi berkata-kata.“Shareloc! Aku segera ke sana.” Kumatikan sambungan telepon dan menunggu pesan berisi peta lokasi keberadaan Septi saat ini. Sedetik kemudian, masuk pesan WhatsApp darinya. Sekitar dua puluh kilometer dari sini. Sebuah minimarket franchise yang memiliki teras luas yang biasa digunakan untuk nongkrong.Cepat kupacu laju motor dengan kecepatan maksimum. Tak kuhiraukan pengendara lain yang membunyikan klakson saat kusalip. Beberapa lampu merah nekat kulanggar tetapi setelah membuat perhitungan matang. Di otakku saat ini hanya ada Septi saja. Hingga keselamatan sendiri pun jadi terabaikan.Kurang dari lima belas menit aku tiba di sana. Parkiran tampak lengang, sementara di depan minimarket tersebut ada seorang perempuan yang sedang membenamkan kepala di atas ransel yang dia bawa. Cepat aku turun dari motor dan melepas helm, berlari ke arah gadis yang mengenakan piyama tidur warna marun berbahan satin tersebut.“Sep!” Kupanggil gadis itu dengan nyaring. Napasku terengah. Jantung ini berdegub kencang.Gadis itu mengangkat kepalanya. Matanya merah dan sembab. Yang membuatku ternganga, bibir perempuan berwajah pucat tanpa riasan itu jontor dan menyisakan darah kering di ujung sisi kanannya.“Kamu kenapa, Sep?” Kusentuh pelan pipinya. Gadis itu bangkit dari duduknya dan seketika memeluk tubuhku dengan erat.“Bawa aku pergi, Wis. Aku mohon.” Septi menangis tergugu. Gadis itu sesegukan di dalam dekapan. Tentu saja aku reflek untuk mengelus kepala dan menenangkan isakan pilu miliknya.“Sudah, Sep. Jangan menangis lagi. Kita ke kost-ku sekarang, oke?” Kulepaskan dekapan dan memegang kepala gadis itu dengan kedua tanganku. Kutatap dia lekat-lekat, mengecek kondisi wajahnya siapa tahu ada luka lain yang luput dari mataku. Ternyata kening kirinya juga benjol dan memar. Ada apa sesungguhnya? Siapa yang tega menghajar gadis secantik Septi?“Iya, aku mau ikut kemana pun.” Septi mengangguk, mengusap air mata yang jatuh membasahi wajah.Segera kubawakan ransel dan merangkul gadis itu untuk naik ke atas motor. Septi tanpa disuruh, telah memeluk pinggang dan merebahkan kepalanya ke punggungku. Gadis ini terlihat begitu ketakutan dan sangat terluka. Siapa pun yang membuat masalah kepadanya, jelas saja harus berhadapan denganku!Kami tiba di kost-ku kala malam semakin larut dan pagar telah digembok. Untunglah semua penyewa kamar diberikan kunci serepnya sehingga kami tak perlu khawatir tidur di luar jika pulang terlalu malam.Aku memarkirkan motor di halaman kost yang cukup luas dan berkanopi. Septi mengikuti langkahku di belakang saat aku berjalan dan membuka pintu.“Jangan sungkan, kamu tidur di kamarku. Oke?” Tangan Septi kugandeng. Perempuan itu hanya diam dan mengangguk. Seketika sirna sudah sikap angkuh yang dia tampakkan kemarin padaku.Kami naik ke lantai dua, tempat kamarku berada. Di atas terdapat 4 kamar dengan luas 5 x 5 meter. Terdapat fasilitas AC, kamar mandi dalam, dan shower air panas. Kost ini juga bentuknya seperti rumah mewah yang memiliki banyak kamar. Total ada 10 kamar, sisanya ada 6 di bawah. Bayarannya memang cukup mahal, tetapi sebanding dengan kelengkapan dan kenyamana yang ditawarkan. Bersih, wangi, dan aman meski bawa pasangan. Nikmat, bukan?Septi ternganga melihat kondisi kamarku. Wajah kagumnya tak dapat disembunyikan. Mungkin pikirnya ini sudah seperti hotel yang begitu nyaman. Tempat tidur ukuran king, furnitur kayu yang elegan, kulkas mini, televisi pintar ukuran 42 inch, dan banyak lagi kelebihan yang bakal bikin betah seharian di kamar. Jangan ditanya dari mana aku bisa mendapat uang untuk menyewa kamar ini. Jawabannya sudah pasti Tante Merlyn. Nah, setelah wanita tua kaya itu meninggalkanku, mungkin kalian bakal tahu siapa yang akan meneruskan pembayaran sewa selanjutnya.“Silakan istirahat di sini, Sep. Aku bisa tidur di bawah.” Kupersilakan Septi untuk rebah di kasurku, tetapi gadis itu memilih untuk duduk di kursi belajar dan meletakkan ranselnya.Aku melepas jaket dan mengendurkan kancing kemeja, lalu duduk di tepi ranjang menghadap Septi yang terlihat mengedarkan pandang.“Jadi, siapa yang telah tega memukulimu seperti ini, Sep?” Aku membuka omongan. Gadis itu langsung terkesiap dan memfokuskan pandangannya padaku.“Mantan pacarku tadi sore datang ke kost. Dia menagih utang sebanyak 10 juta beserta bunga yang totalnya jadi 20 juta. Aku bilang kalau aku belum punya uang. Awalnya dia bilang akan memberikan waktu padaku. Namun, saat jam 20.00, dia datang lagi dan mengobrak abrik kamarku. Aku melawan, aku bilang tidak ada uang sama sekali. Dia malah naik pitam dan memukuliku. Kami ribut hebat. Lalu pemilik kost datang untuk melerai. Setelah itu aku malah disuruh untuk meninggalkan kost malam ini juga.” Septi mengusap air matanya yang jatuh perlahan. Dia menarik napas dalam, mungkin untuk menahan tangis, tetapi bulir dari maniknya malah semakin menganak sungai.“A-aku telepon Sandra, Ibeng, Nata, dan teman kerja lainnya. Mereka semua menolak menampungku karena takut jadi bulan-bulanan si Rosid, mantan pacarku yang juga rentenir dan sesekali mengedarkan narkoba. Aku bingung harus menghubungi siapa lagi. Tiba-tiba aku teringat denganmu. Maaf, aku jadi merepotkan.” Septi mengatur napasnya dan mengibas-ngibaskan jemari di depan wajah sembari mendongak ke atas.Aku hanya diam dan tak memberi tanggapan sebelum gadis itu selesai bercerita. Saat dia sudah mulai tenang, aku bangkit dari duduk dan membuka kulkas. Kuraih sekaleng susu steril dingin dan sebuah sedotan plastik, lalu memberikannya pada Septi yang tengah dirundung lara.“Minum dulu, Sep. Kamu sudah makan belum? Kita pesan makanan di aplikasi, ya?” tanyaku dengan penuh kelembutan padanya.Gadis itu menerima kaleng minuman dengan senyuman kecil. Dia lalu membuka tutup kaleng menancapkan sedotan ke dalam lubang, lalu minum dengan perlahan akibat bibirnya yang bengkak. Kasihan wanita itu, dia pasti belum sempat makan. Dengan gerakan cepat, aku mengetik di layar ponsel untuk memesan makanan cepat saji yang buka 24 jam.“Kita obati lukamu dulu, Sep. Sebentar, aku cari dulu obatnya.” Kakiku cepat melangkah menuju kotak P3K yang tergantung di sudut ruangan dekat kepala ranjang. Untung saja aku masih menyimpan salep memar dan antiseptik luka yang juga biasa kupakai sebagai obat sariawan. Tak lupa kuambil cutton bud yang berguna sebagai pengoles antiseptik tadi.“Sep, aku bantu olesin salep ini ke keningmu, ya?” Aku meminta izin pada Septi. Gadis itu meletakkan kaleng minumannya dan mengangguk pelan.Dengan telunjuk, kuoles perlahan memar di kening sebelah kiri Septi. Benjolannya lumayan besar, seperti kelereng dan berwana keunguan. Brengsek si Rosid. Beraninya sama perempuan. Meski aku tak pernah kenal dengan bajingan itu, sudah kubayangkan pasti dia adalah tipe lelaki jelek dengan mulut bau rokok dan alkohol. Sungguh menjijikan. Secantik Septi begini sungguh tak pantas pernah menjadi kekasih dari orang seperti itu.“Ouch! Sakit!” Septi berteriak kecil saat aku menyentuh keningnya.“Maaf, Sep. Terlalu kuat, ya?” Kuhentikan telunjukku saat semua salep sudah teroles merata di bagian yang memar.“Nggak apa-apa, Wis.” Ucapan Septi terdengar manis, tak seperti dulu kala saat kami beberapa kali ketemu di mal.Kulap tanganku dengan tisu yang tersedia di meja belajar. Setelah itu, antiseptik cair tadi kutuang sedikit di ujung cutton bud.“Sekarang bibirmu.” Aku sedikit merendahkan posisi tubuhku hingga kepala kami saling sejajar. Kini, wajah oval Septi tepat di depanku. Jarak kami hanya beberapa inci saja, sehingga embusan napas gadis itu dapat kurasakan menyapu wajah.“Pelan-pelan,” lirih Septi sembari memajukan dagunya padaku.Perlahan kuoles luka dan gumpalan darah yang mengering di kulit bibir Septi dengan cutton bud tadi. Kali ini Septi tak mengaduh, karena aku melakukannya dengan sangat hati-hati agar dia tak kesakitan.Jantungku berdegup kencang. Adrenalin dalam darah ini rasanya meningkat dua kali lipat. Aku merasa tertantang untuk mencium pipi tirus milik Septi yang putih bersih mengkilap bagai porselen antik peninggalan Dinasti Ming.Kutatap Septi sesaat. Gadis itu tampak malu dan mengalihkan pandangannya. Jelas saja aku semakin gemas kala melihat kerlingan mata yang cantik itu. Ternyata, Septi lebih manis tanpa sapuan make up sama sekali. Bola matanya ketika tanpa kontak lensa, ternyata hitam pekat dan begitu menawan.“Sep, aku boleh mencium pipimu?” Kubelai Pipi Septi dengan lembut. Gadis itu tak berontak atau menepis tanganku. Dia hanya diam mematung tanpa sepatah kata pun.“Diam artinya setuju.” Tak banyak menunggu, aku langsung mencium kedua pipinya dengan penuh rasa sayang. Gadis itu tampak memejamkan matanya sesaat. Seolah tengah menikmati rasa cinta yang kusuguhkan kepadanya.Kupeluk gadis itu dengan erat. Tanpa disangka, tangan Septi ikut melingkar di pinggangku. Perempuan yang tengah duduk di kursi putar itu seolah tak mau lepas dari dekapan. Kami saling melekap cukup lama. Dia bahkan membiarkan aku berkali-kali mencium rambutnya yang wangi.“Wis, maaf aku banyak merepotkan. Maaf juga atas tindakan burukku selama ini. A-aku ... hanya trauma dengan cinta. Rosid membuatku berpikir bahwa semua pria sama saja. Namun, ternyata tidak denganmu ....” Septi terlihat begitu tersentuh saat kami melepaskan pelukan dan saling bersitatap.Aku tersenyum. Ternyata, semudah ini menaklukan gadis dingin yang kusangka sekeras batu cadas tersebut. Wisnu Adhikara memang tiada dua. Sekeras apa pun seorang wanita, lambat laun akan jatuh bertekuk lutut di hadapanku. Hanya butuh kesabaran dan beberapa waktu untuk membuatnya sempurna jatuh ke dalam pelukan.“Tidak, kamu sama sekali tidak membuatku merasa kerepotan. Aku senang sekali kamu mau diajak ke sini. Lagi pula, aku sudah benar-benar merasa tersiksa dengan perasaan cinta kepadamu, Sep.” Aku duduk kembali di tepi ranjang. Menghadap Septi dan mencoba untuk meraih tangannya. Perempuan berkulit putih dengan tinggi semampai hampir 170 sentimeter itu tak banyak berkata saat tangannya kugenggam mesra. Dia hanya menatap ubin dengan wajah yang tersipu. Bahkan dengan bibir jontor dan kepala benjut pun, Septi tetaplah seorang gadis ayu dengan sejuta pesona yang melekat.“Beri aku waktu untuk membuka hati, Wis.” Septi berucap pelan sembari menyelipkan rambut keriting gantung berwarna ash-nya dengan tangan kiri ke telinga.“Besok atau lusa, sebenarnya sama saja, Sep. Sama-sama membuatku menjadi semakin tak sabaran dan menggebu. Namun, semua terserah padamu. Aku tak bakal memaksa.” Kucium dengan lembut punggung tangan Septi yang halus. Rasanya, ingin kuikat gadis ini dengan sebuah cinci permata agar dia tetap berada di sisi. Namun, tak bakal semudah itu. Sekarang aku juga memiliki Melani dengan segudang agenda yang dia miliki. Dua perempuan itu kini harus kujaga kelestariannya. Bedanya, Septi untuk mengisi hati dan Melani untuk memenuhi isi dompet.Septi masih terdiam. Dia sekarang telah berani mengangkat kepala dan menatap ke arahku. Begitu wajah Septi membuatku jatuh hati untuk kesekian kali. Pipi putih, hidung bangir, dan dagu lancipnya begitu memesona kala kupandang. Sayang sekali, bibir tipisnya yang dulu begitu menggemaskan, harus jontor dan luka seperti itu. Coba kalau tidak, sudah pasti jadi menu santapku malam ini.Tiba-tiba ponselku berdering. Seorang kurir sudah berada di luar untuk mengantarkan pesanan pizza dan minuman ringan. Aku segera pamit pada Septi untuk turun. Gadis itu hanya mengangguk sembari tersenyum kecil.Setelah membayar dengan sejumlah uang, aku naik kembali ke atas sembari membawa dua kotak makanan khas Italia dengan berbagai topping nikmat di atasnya tersebut. Dua botol air mineral dan dua cup ukuran besar soda dingin juga turut dalam genggaman.Kupersilakan Septi untuk makan. Gadis itu tampak kesulitan membuka mulut karena bibir bengkaknya. Dengan sigap, aku menyobek pizza ke dalam ukuran yang lebih kecil dan menyuapkan gadis itu sedikit demi sedikit. Septi tampak bahagia. Matanya tak berhenti mengilatkan bunga-bunga asmara. Inikah pertanda bahwa dia telah luluh dan menyerahkan hatinya?“Sudah kenyang belum?” tanyaku pada Septi ketika box pertama sudah hampir hanis kami nikmati. Gadis itu mengangguk pelan sembari mengelap bibirnya perlahan dengan tisu.“Masih mau makan atau tidur?” Aku bertanya lagi sembari mengemaskan sisa makanan dan memasukkan bekas sampah kemasan ke dalam kantung plastik besar.“Tidur saja. Sudah larut banget, Wis.” Septi bangkit dari duduknya. Dia ikut mengemasi sampah dan berniat untuk ikut aku turun ke dapur di lantai satu.“Kamu di sini saja. Langsung tidur. Oh, ya, di dalam laci meja ini ada sikat gigi baru. Kamu bersih-bersih aja dulu di kamar mandi sebelum tidur,” ujarku sembari membawa bungkusan besar isi sampah dan berniat untuk membawanya ke bawah. Besok pagi sampah yang dikumpulkan di dapur akan diangkut oleh tukang bersih-bersih kost.Mendengar ucapanku, Septi terlihat membuka laci dan meraih sikat gigi baru yang kumaksud. Kutinggalkan gadis itu sendirian di kamar, sedang aku melanjutkan langkah.Saat aku naik kembali ke kamar, aku melihat Septi sudah berbaring di sisi kanan ranjang dengan bed cover warna hijau mint polos menutupi sebagian tubuhnya.“Selamat tidur, ya, Sep. Lampunya mau diredupkan?” tanyaku sembari hendak menekan remot lampu LED yang kutempel di dinding dekat pintu.Gadis itu bangun dan terduduk. “Terserah saja, Wis. Tapi, kamu jangan tidur di luar atau di bawah. Kamu di sampingku saja.”Hati siapa yang tak senang mendengarnya. Aku tersenyum tipis, sembari mengatur lampu menjadi warna kuning redup. Segera aku masuk ke kamar mandi untuk sikat gigi dan kumur-kumur agar napas segar. Setelah itu, perlahan aku naik ke atas kasur dan berbaring di sebelah Septi.“Nggak apa-apa, Sep?” tanyaku meyakinkan padanya.Gadis itu mengangguk dan tersenyum. Dia lalu berbaring membelakangiku. Dasar Wisnu, mana aku betah membiarkan seorang wanita berada di sisi tanpa kuberikan sebuah 'hadiah'.Tanpa ragu, kupeluk Septi yang sebenarnya sama sekali belum tidur. Gadis itu hanya diam tak melawan. Dia tenang meski tanganku melingkar erat dari belakang punggungnya.“Selamat malam, Sayang. Mimpi indah,” bisikku pelan tepat di kuping Septi. Gadis itu hanya diam. Kulirik, dia terlihat senyum semringah tanpa membuka kedua matanya. Septi, sebentar lagi kau akan benar-benar terkunci dalam hati dan rayuan mautku.(Bersambung) 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan