
Delima baru saja kehilangan suaminya ketika masalah beruntun menimpa. Utang yang begitu besar melilitnya sehingga dia harus berhadapan dengan debt collector yang mengancam kehormatan dan nyawanya.
Keluarga dan sahabat tidak bisa menolong, sedangkan dia tidak punya sisa barang yang bisa dijual. Untunglah, kenalannya yang sangat misterius menawarkan bantuan. Muak dikejar penagih utang, Delima bersedia menjadi istri dengan semua syarat yang diajukan.
Namun saat hari pernikahan tiba dan pria itu menunjukkan...
1|Perpisahan Tragis
~Delima~
Tanggal dua puluh lima adalah tanggal suamiku menerima gaji dari tempat kerjanya. Setiap tanggal itu pula, ibu dan adik laki-lakinya datang ke rumah untuk meminta uang. Seakan-akan ingin memberi tanda kepada kami semua, tanggal itu juga yang dipilihnya untuk mati.
Aku hanya bisa duduk dan menatap kosong ke arah tangan suamiku yang berada di atas perutnya. Dia berbaring kaku di dalam kotak kayu jati berukir indah berukuran satu kali dua meter. Benda yang sangat mahal untuk hidup kami yang serba kekurangan.
Orang-orang berpakaian serba hitam datang silih berganti menyatakan duka. Beberapa dari mereka menyelipkan sesuatu di tanganku yang terpaksa aku terima. Uang tunai atau amplop berisi uang duka yang aku masukkan ke tasku. Keluargaku menangis, sahabatku bersedih, bahkan rekan kerjaku meneteskan air mata, tetapi aku tidak.
Setelah ritual singkat di rumah, kami menuju tempat peristirahatan terakhir belahan jiwaku selama lima tahun terakhir. Aku ingin berada di dalam mobil jenazah untuk mendampingi dia yang terakhir kali, tetapi ibu mertuaku melarang. Dia yang masuk ke mobil dan menjerit sedih menangisi putra yang katanya adalah kesayangannya itu.
Aku mengalah dengan duduk di mobil bersama keluargaku. Mama memegang tanganku sepanjang perjalanan. Dia tidak mengatakan apa pun untuk menghibur aku, dan itu sangat menenangkan. Karena aku sedang tidak membutuhkan kata-kata pada saat ini, hanya kehadiran.
Kami semua berdiri melingkari lubang yang telah digali, di mana jasad suamiku akan tinggal untuk seterusnya. Suara isak tangis terdengar saat tanah dijatuhkan ke atas petinya. Jeritan penuh duka memekakkan telinga memenuhi tempat itu ketika kayu nisan ditancapkan.
Hanya aku yang sama sekali tidak menangis. Aku percaya bahwa suamiku sudah meninggal, aku juga tahu bahwa dia tidak sedang berpura-pura mati. Begitu aku kembali ke rumah, aku tahu bahwa dia tidak akan pulang sekalipun aku menunggu hingga larut malam. Dia telah pergi untuk selamanya.
Mungkin aku hanya butuh waktu untuk memproses semua ini. Kami adalah pasangan yang sangat bahagia. Kami saling mencintai dan telah menjalin hubungan sejak kami kuliah. Memang kami juga bertengkar layaknya pasangan suami istri yang lain. Tetapi bukan karena kami sudah tidak cinta lagi.
Pertengkaran itu selalu mengenai uang. Kami sama-sama bekerja, jadi uang seharusnya bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Namun hanya aku yang memiliki pendapatan yang bisa kami gunakan untuk bertahan hidup. Gajinya yang jauh lebih besar dikuasai oleh keluarganya. Mereka hanya menyisakan uang sebesar saldo minimal di tabungannya.
“Aku akan bicara baik-baik dengan mamaku, sayang,” katanya yang selalu menjanjikan hal yang sama selama bertahun-tahun, tetapi tidak pernah berani dia lakukan.
“Kapan?” tanyaku menuntut. Dia menyisir rambut dengan tangan kanannya. Gerakan yang dia lakukan setiap kali dia gugup.
“Pada saat gajian nanti, aku akan bicara dengan Mama. Aku janji.”
Tetapi janji hanyalah tinggal janji. Hari di mana dia seharusnya bicara dengan ibunya untuk memberi pengertian malah menjadi hari penuh tangisan. Mama yang melihat putranya itu tergantung tak bernyawa lagi di ambang pintu kamar kami menjerit seperti orang yang kesetanan. Aku bertanya-tanya. Dia sedih karena kehilangan putranya atau sumber pendapatannya?
“Ima, kamu yakin tidak mau tinggal di rumah mama saja? Kamu tinggal sendirian di rumah begini tidak baik. Bagaimana kalau ada apa-apa?” ucap Mama khawatir saat kami sudah kembali ke rumah dan duduk di ruang depan.
“Tidak akan ada bedanya, Ma. Aku tetap tidak akan bisa tidur malam ini. Lebih baik aku tinggal di sini untuk lebih cepat memproses bahwa Bakti sudah tiada,” kataku pelan. Bakti. Namanya memang cocok untuk orangnya. Sampai matinya, dia sangat berbakti kepada orang tuanya.
“Ima benar, Ma. Lagi pula kita bisa datang besok pagi untuk melihat keadaannya.” Kak Pangestu menyentuh bahu Mama.
“Baiklah. Segera kabari kami kalau ada apa-apa.” Mama mengusap-usap tanganku. Aku mengangguk.
Begitu mereka keluar dari rumah, aku mengunci pintu dan membiarkan Kakak yang menggembok pagar. Hal pertama yang aku lakukan adalah mandi dan berganti pakaian. Aroma tubuhku sangat tidak sedap karena seharian berkeringat menyambut tamu di rumah kecil ini.
Merasakan perutku lapar, aku memeriksa meja makan dan menemukan ada banyak makanan yang tidak dihabiskan oleh pelayat. Beberapa makanan itu aku simpan di dalam kotak bekal dan aku masukkan ke kulkas. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, aku tidak perlu memasak.
Aku baru selesai mencuci piring di wastafel ketika ada yang memukul pagar pertanda ada tamu yang datang. Jarum jam di dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Siapa yang datang? Apa masih ada yang ingin melayat?
Melihat ibu mertua dan adik iparku yang berdiri di balik pagar, aku mendesah pelan. Apa lagi yang mereka inginkan? Aku membuka pintu, kemudian membuka gembok. Mama yang terlihat tidak sabar segera membuka gerendel dan mendorong aku ke samping.
“Ada apa datang ke sini, Ma?” tanyaku bingung. Aku membiarkan pagar tetap terbuka dan mengikuti mereka masuk ke rumah. “Apa ada barang yang tertinggal?”
“Ini adalah rumah anakku. Apa karena dia sudah mati, jadi aku dilarang datang ke sini?” hardik ibu mertuaku hingga aku berhenti melangkah karena terkejut.
“Bukan begitu, Ma. Bila ada yang tertinggal, akan aku bantu carikan.”
Dia melihat ke sekeliling ruang depan entah mencari apa. Lalu dia masuk ke kamarku, membuka setiap laci bufet, lemari, bahkan tasku. Setiap lembar uang, amplop berisi uang duka dimasukkan ke tas tangannya. Dia kemudian berjalan ke dapur memeriksa setiap pakaian kotorku dan memastikan tidak ada isi di dalam setiap kantong.
“Bagaimana bisa kalian berdua tidak punya hati sama sekali? Bahkan uang duka untukku sebagai istri Bakti pun kalian rampas?” Aku tertawa histeris. “Apa uang itu cukup? Kurang berapa lagi? Nanti aku akan berikan uang hasil menjual barang-barang suamiku untuk kalian. Supaya kalian puas.”
“Aku yang mengandung dia selama sembilan bulan. Aku yang menyabung nyawa saat melahirkan dia. Aku juga yang membesarkan, merawat, menyekolahkan hingga dia menjadi orang besar.” Wanita itu menatap aku dengan tajam. “Yang aku minta darinya ini tidak seberapa dibandingkan yang sudah aku korbankan untuknya. Kamu yang tidak pernah punya anak, tidak akan mengerti.”
“Jangan lupa. Mama juga yang sudah membuat dia memilih mati. Dia—” Kalimatku itu terhenti karena sebuah tamparan keras di pipiku.
“Lancang sekali mulutmu! Perempuan tidak tahu diri! Bukan aku yang membuat dia mati tapi kamu! Dia tidak tahan dengan omongan orang karena kamu tidak hamil juga!” tuduhnya dengan jahat.
“Hamil?” Aku mendengus keras. “Bakti tidak mau punya anak sekarang karena ibu dan adiknya yang terus datang merampas uangnya. Memangnya anak kami mau diberi makan apa?”
“Diam! Uang ini hanya untuk menutupi kebutuhan kuliah adikmu selama bulan ini. Aku akan datang bulan depan dan sebaiknya kamu siapkan uang kebutuhan mereka. Bakti sudah tidak ada, maka itu menjadi tanggung jawabmu. Kamu mengerti?” ancamnya. Aku nyaris tertawa mendengarnya.
“Aku tidak punya tanggung jawab apa pun pada kalian. Bakti sudah meninggal, maka kami bercerai secara sah. Kamu sudah bukan ibu mertuaku lagi,” kataku dengan berani. “Kalau kalian masih berani datang mengusik hidupku, aku tidak akan segan-segan mengadu kepada polisi.”
Untuk pertama kalinya, ibu mertuaku tidak bisa berkata-kata. Siapa yang tidak takut pada polisi? Ancaman ini tidak akan berlaku pada saat suamiku masih hidup. Tetapi sekarang, itu menjadi senjata terkuatku. Meskipun dia sering bertindak tanpa berpikir, dia tidak bodoh. Dia pasti tahu bahwa aku tidak punya tanggung jawab apa pun lagi pada mereka setelah suamiku tiada.
Begitu mereka pergi, aku menggembok pagar dan masuk ke rumah. Aku mengingatkan diriku sendiri agar tidak membukakan pintu rumahku untuk mereka lagi. Aku menyandarkan tubuhku ke pintu saat jantungku berdebar lebih kencang dan lututku melemas. Pipiku kini berdenyut dan terasa sakit. Tenagaku seolah-olah mendadak habis hanya beberapa menit bicara dengan ibu mertuaku.
Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak mau menjadi korban mereka seperti yang mereka lakukan kepada suamiku. Bakti, mengapa dia meninggalkan aku sendiri? Apa masalah yang begitu berat sehingga dia mengakhiri hidupnya?
___
2|Kembali Bekerja
“Ima? apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Ayu, teman baik sekaligus rekan kerjaku di tempat ini. Melihat dia yang masuk ke ruanganku, sepertinya dia yang ditunjuk untuk menggantikan posisiku sementara selama aku cuti karena duka.
“Tentu saja melakukan tugasku,” kataku seraya tersenyum. Aku membawa dokumen yang telah aku periksa ke ruangan direktur utama.
“Apa kamu yakin kamu sudah siap untuk bekerja?” Dia mengikuti aku hanya sampai ambang pintu.
“Jangan khawatir. Bekerja justru membantu aku menjauh dari rasa sedih.” Aku meletakkan semua dokumen itu di atas meja kerja, lalu merapikan beberapa alat tulis yang berantakan.
“Baiklah. Kalau kamu butuh bantuanku, kamu tahu mencari aku di mana.” Ayu tersenyum.
“Terima kasih,” ucapku tulus.
Kami keluar ruangan bersama karena aku harus melewati elevator menuju dapur. Ayu menunggu pintu lift terbuka, sedangkan aku menyiapkan kopi hangat untuk atasanku. Saat aku berjalan kembali ke ruang kerjaku, sahabatku sudah tidak ada lagi di depan pintu elevator tersebut.
Yakin semua yang dibutuhkan bosku sudah ada di ruang kerjanya, aku mengerjakan tugasku yang lain. Hari Senin ada rapat dewan direksi, maka aku menyiapkan ruang rapat sesuai instruksi atasanku. Minuman hangat, kudapan, hingga materi rapat sudah aku letakkan di tempatnya masing-masing.
“Delima? Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya bosku saat aku kembali ke ruang kerjaku.
“Selamat pagi, Pak. Ruang rapat sudah saya siapkan, setiap dokumen yang Bapak butuhkan juga sudah ada di atas meja Bapak. Untuk menjawab pertanyaan Bapak tadi, saya sedang bekerja,” ucapku dengan sopan.
“Tidak perlu berlagak pintar bicara denganku. Aku jelas-jelas memberi kamu cuti sampai hari Rabu. Apa yang kamu lakukan di sini? Aku tidak mau pekerjaanku hari ini rusak karena kamu mendadak menangis saat rapat atau diskusi dengan kolegaku nanti,” katanya berang.
“Saya akan bekerja dengan baik seperti biasanya, Pak,” kataku berjanji. Dia menatap aku sesaat. Aku sudah siap menghadapi amarahnya selanjutnya.
“Baiklah,” katanya mengejutkan aku. “Panggil aku saat rapat akan dimulai.”
Dia membalikkan badan dan memasuki ruang kerjanya. Tumben. Biasanya dia marah-marah selama tiga puluh menit setiap pagi. Hal yang bukan kesalahanku pun akan dia sebutkan, kalau perlu dia akan mencari-cari kesalahanku sampai dia puas.
Kematian suamiku sepertinya membawa hal positif juga. Bosku jadi kasihan kepadaku dan tidak memarahi aku pagi ini. Semoga saja selama seharian segalanya akan berjalan sebaik ini. Walaupun aku lebih suka mendengar amarahnya daripada belasungkawanya.
Rapat berjalan dengan lancar tanpa perdebatan yang berarti. Bosku tersenyum bahagia karena aku mengerjakan tugasku dengan sigap. Tidak ada yang mengeluhkan presentasi tidak lengkap, halaman laporan yang tercetak tidak sesuai urutan, atau makanan tidak enak. Semua peserta rapat puas.
Aku bersiap untuk pertemuan berikutnya yang tidak kalah pentingnya. Bosku akan makan siang dengan salah satu kolega yang cukup disegani di negeri ini. Benedict Kumara. Pengusaha pakaian, sepatu, juga tas yang modelnya disukai oleh ibu-ibu untuk anak mereka. Sebagai pemilik tiga mal besar di ibu kota, kehadiran merek dagang pria itu membuat pusat perbelanjaan milik bosku selalu ramai dengan pengunjung.
Hanya satu yang tidak aku mengerti. Pria itu tidak mau bertemu secara langsung dengan bosku atau siapa pun. Setiap pertemuan mereka selalu dilakukan melalui panggilan video. Tetapi kamera hanya tertuju pada pemandangan di luar jendela kantornya atau kursi kerjanya yang dilihat dari belakang. Kami bisa mendengar suaranya dengan jelas, cuma orangnya yang tidak pernah terlihat.
Dari desas-desus yang beredar, dia adalah pria yang pemalu. Karena itu wajahnya tidak pernah tampil di mana pun. Orang-orang mencoba mencari tahu, wartawan mengikuti dia, tetapi belum ada yang berhasil mendapatkan fotonya.
Beberapa menyimpulkan bahwa dia punya wajah buruk rupa atau tubuh yang cacat sehingga dia tidak mau publik melihat dan mengetahuinya. Tetapi aku lebih setuju pada pendapat pertama, dia seorang yang pemalu. Didengar dari suaranya yang berat dan dalam, aku tahu dia bukan pria yang buruk rupa.
“Delima,” panggilnya tiba-tiba setelah mereka selesai membahas beberapa poin penting mengenai penambahan kuantitas produknya yang perlu dikirim ke salah satu mal milik bosku. Aku mengangkat kepalaku dari buku catatanku. “Aku turut berbelasungkawa atas kepergian suamimu. Maaf, aku tidak bisa datang melayat.”
“Terima kasih, Pak Ben. Tidak apa-apa. Bunga dan uang duka dari Bapak sudah saya terima,” kataku dengan sopan. Sayang sekali, amplop paling tebal yang pernah aku terima itu malah diambil oleh ibu mertuaku. Bahkan amplop dari atasanku sendiri tidak sampai seperempat amplop itu tebalnya.
“Aku harap bukan Pak Luis yang memaksa kamu masuk kerja pada hari cuti dukamu,” kata pria itu setengah bercanda. Pak Luis mengangkat kedua alisnya saat menoleh ke arahku.
“Ti-tidak, Pak. Sama sekali tidak. Saya yang ingin masuk kerja karena tidak tahan lama-lama diam saja di rumah. Ini bukan salah Pak Luis.” Aku cepat-cepat membela atasanku.
“Baiklah. Sampai pertemuan berikutnya, Luis, Delima.” Kami membalas salamnya dan panggilan video itu pun berakhir. Atasanku menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu berdiri. Dia menuju mejanya, maka aku bergegas merapikan kotak makanan kami dan mengembalikan laptopnya ke meja kerjanya.
Badanku terasa remuk saat tiba di rumah pada malam itu. Namun aku memaksa diri untuk mandi, berganti pakaian dan makan malam. Saat aku akan kembali ke kamar, aku melihat ke arah ventilasi di atas pintu kamar. Tubuh Bakti yang terkulai tak bernyawa, dengan lehernya terjerat dasinya sendiri masih bisa aku ingat dengan jelas.
Aku sudah memeriksa ponselnya, tas kerjanya, dompetnya, bahkan saku celana dan kemeja yang dia kenakan pada hari itu. Tidak ada satu petunjuk pun yang bisa menjelaskan mengapa dia sampai nekat begini. Aku tahu hidup kami susah karena semua gajinya diberikan kepada mamanya, lalu sebagian besar gajiku digunakan untuk membayar cicilan kredit rumah ini. Tetapi alasan ekonomi terlalu lemah untuk menjadi alasannya mengakhiri hidupnya.
“Senangnya sudah awal bulan lagi!” seru Ayu saat kami makan siang bersama di kantin. “Sebentar lagi kita akan gajian.”
“Sepuluh hari lagi. Itu masih lama,” gerutu Adel, rekan kerja kami yang duduk di sisinya. “Kamu yang masih sendiri enak, semua gajimu hanya untukmu. Aku harus menggunakan setiap pesernya dengan baik agar bisa cukup makan selama sebulan penuh. Belum lagi pengeluaran tambahan suami dan anak-anak yang tidak ada habisnya.”
“Kita semua punya kebutuhan masing-masing. Aku juga sama seperti kalian. Gaji hanya menumpang lewat di rekening.” Ayu mendesah pelan. “Enak, ya, jadi orang kaya. Bisa hidup nyaman dan tidak pusing memikirkan uang seperti kita.”
“Apa yang kamu keluhkan, Yu? Kamu belum menikah. Belajarlah dari pengalaman kami dan pilih suami yang bisa memberi kamu segala hal. Jangan menikah karena cinta. Itu hanya perasaan sesaat,” ucap Adel yang aku setujui dengan anggukan.
Sedikit banyak yang dikatakan Adel ada benarnya. Aku dan Bakti menikah karena cinta dan lihatlah di mana kami sekarang. Dia meninggalkan aku sendiri tanpa pesan atau ucapan perpisahan. Mungkin ikatan di antara kami sudah lama hilang karena aku tidak merasakan adanya firasat atau pertanda sebelum kepergiannya. Hal yang biasanya dialami orang saat orang terdekat mereka akan meninggal.
Ada sebuah mobil yang parkir di depan rumah pada saat aku pulang kerja. Melihat lampu di dalam rumah menyala, aku segera mempercepat langkahku. Siapa yang datang dan bagaimana dia bisa masuk? Bahkan ibu mertuaku pun tidak memegang kunci rumah kami. Ada beberapa sepeda motor yang diparkir di belakang mobil tersebut yang tidak terlihat saat aku berjalan dari arah depan mobil. Para tetangga melihat ke arah rumahku dengan rasa ingin tahu.
Keadaan pagar sedikit bengkok karena dibuka paksa saat gemboknya masih terpasang, pintu juga rusak pada bagian kenop dengan salah satu engselnya hampir lepas, dan kondisi dalam rumah berantakan dengan beberapa barang dilempar begitu saja ke lantai. Ada suara orang sedang bicara dengan sengit dan melakukan sesuatu di kamar tidur. Aku mendekat dan menarik napas terkejut.
___
3|Uang yang Raib
Kondisi kamarku seperti kapal pecah. Tempat tidur berantakan, lemari pakaian dibiarkan terbuka dengan baju berceceran di sekitarnya, pigura foto dengan kaca yang retak juga berserakan di lantai, dan ada tiga orang pria yang tidak aku kenal. Mereka tiba-tiba berhenti bergerak dan bicara, lalu menatap ke arahku dengan tajam. Aku menelan ludah dengan berat.
“Ibu Delima Aruna?” tanya seorang pria berpakaian serba hitam dan bertubuh besar yang mendekati aku dengan wajah garang. Aku mengangguk, takut bila aku membuka mulut, suaraku tidak keluar. “Kami datang untuk menagih cicilan utang.”
“Ci-cicilan utang?” tanyaku tidak mengerti dengan suara tertahan. Dia mengeluarkan secarik kertas dari saku celananya, lalu memberikan kepadaku.
“Bakti Ekaputra adalah suami Anda, bukan?” tanyanya. Aku kembali mengangguk pelan. “Dia telah meminjam uang sebesar lima ratus juta rupiah dan pembayaran cicilan ketiganya sudah lewat dua puluh hari.”
“Li-lima ratus juta?” tanyaku bingung. Aku segera mengambil kertas itu dari tangannya. “Kapan dia meminjam uang sebanyak itu? Aku tidak tahu-menahu tentang ini. Kalian pasti salah.”
“Buktinya ada di tangan Ibu. Baca saja. Itu hanya fotokopi. Aslinya ada pada bos saya. Ibu juga bisa periksa apa KTP dan semua data pribadi Ibu dan Pak Bakti adalah benar.”
Aku membaca isi pada kertas tersebut. Namanya benar, begitu juga dengan foto KTP yang tertera di sana. Setiap identitas pribadi dia dan aku juga benar. Lima ratus juta. Aku tidak pernah mendengar atau melihat uang sebanyak itu. Ke mana semua uang itu bila benar dia melakukan peminjaman ini? Oh, Tuhan. Apakah ini ulah keluarganya? Mengapa mereka jahat sekali? Sudah merampas gajinya setiap bulan dan mereka masih meminta uang sebanyak ini?
Mataku kemudian melihat ke arah jumlah cicilan setiap bulannya, lalu bunga harian apabila cicilan tidak dibayar tepat waktu. Apa yang Bakti lakukan? Mengapa dia meminjam uang sebanyak ini dan menggunakan namaku sebagai jaminan, tetapi tidak mendiskusikan hal ini lebih dahulu denganku?
Dari mana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar cicilannya saja? Gajiku tidak akan cukup karena sebagian besar akan ditarik secara otomatis untuk membayar cicilan kredit rumah ini. Aku maupun Bakti tidak punya simpanan. Emas atau barang berharga juga tidak ada.
Kertas yang aku pegang itu bergetar. Aku menarik napas panjang menyadari bahwa tanganku yang gemetar. Jantungku berdetak dengan kencang dan aku merasakan butir keringat mengalir turun di tengah dada dan punggungku. Aku tidak tahu aku sedang marah atau gugup.
Dengan kepergian Bakti, ada satu hal yang melegakan. Aku tidak perlu berhadapan lagi dengan ibu mertua parasit yang tahunya hanya meminta uang hasil kerja keras orang lain. Aku hanya perlu membiayai hidupku sendiri karena aku tidak punya adik. Papa dan Mama punya pendapatan sendiri, Kakak juga hidup mandiri dengan istrinya. Seharusnya aku bebas, bukan malah terlilit utang yang jumlahnya jauh lebih besar seperti ini.
“Aku akan bayar cicilannya nanti. Kalian sudah mengambil barang-barang berharga dari rumah ini, jadi itu bisa menutupi untuk sementara, ‘kan?” Aku melihat mereka mengambil televisi layar datar yang ada di ruang depan, bahkan penyejuk ruangan yang ada di kamar ini pun mereka bongkar.
“Barang itu adalah barang bekas, tidak akan bernilai tinggi. Apa Anda tidak baca jumlah yang harus Anda bayar segera? Lima puluh dua juta.” Dia menunjuk ke arah di mana angka itu berada. “Jumlah itu akan terus bertambah beberapa kali lipat setiap harinya, jadi bayar sekarang juga.”
“Aku tidak punya uang sebanyak ini sekarang. Beri aku waktu. Aku akan menerima gaji pada tanggal sepuluh. Beri aku waktu untuk mengumpulkan sisa uangnya juga,” kataku dengan suara bergetar. Ya, Tuhan. Mengapa Bakti tega sekali?
“Kamu pikir ini main-main, ya? Itu uang yang besar dan kamu meminta kami datang sepuluh hari lagi? Yang mengatur jadwal di sini adalah kami, bukan kamu!” hardik pria itu. Aku menutup mataku untuk membantu menenangkan diriku sendiri.
“Suamiku baru meninggal. Biaya pemakamannya cukup besar. Aku bahkan harus menjual murah sepeda motor miliknya. Setelah kalian mengambil semua barang dari rumah ini, memangnya apa lagi yang bisa aku jual dengan cepat untuk membayar cicilan?” ucapku memberi penjelasan.
Dia berjalan mendekat, aku mundur satu langkah. Dia sengaja memperkecil jarak di antara kami agar aku merasa terintimidasi. Aku beruntung memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua senti, jadi tubuhku cukup tinggi dari rata-rata orang yang ada di sekitarku, termasuk ketiga pria ini. Tetapi itu tidak membantu mengurangi kecepatan debaran jantungku yang semakin liar.
“Kamu masih punya satu aset lagi yang bisa dijual dengan cepat. Wajah kamu cantik dan tubuh kamu bagus. Aku yakin bila kamu menawarkan diri pada bosku, dia akan mau membayar sekitar sepuluh sampai dua belas juta untuk satu malam. Lima malam bersama, kamu bisa membayar cicilan ini dengan mudah,” katanya setengah berbisik. Aku nyaris muntah mencium aroma mulutnya. “Aku mau membayar lima juta untuk satu jam saja.”
“Jika kalian berani menyentuh aku sedikit saja, aku akan menyusul suamiku. Aku yakin bos kalian lebih membutuhkan aku hidup daripada mati. Karena kalau aku mati, kalian tidak punya jaminan lagi bahwa uang yang dipinjam ini akan kembali. Jadi, hati-hati dengan apa yang akan kalian lakukan dan ucapkan kepadaku.” Aku memberanikan diri untuk menjawab.
Pria itu menatap aku sesaat, lalu mundur satu langkah. Dia saling bertukar pandang dengan kedua temannya. Mereka yang tadi memasang wajah mengejek, kini berubah serius. Jelas sekali bahwa yang aku ucapkan itu benar. Mereka lebih membutuhkan aku tetap hidup daripada mati.
“Delima?” Terdengar suara seorang wanita memanggil dari ambang pintu depan. “Apa kamu tidak apa-apa? Ada yang bisa kami bantu?”
“Sepuluh hari. Kami akan kembali pada tanggal sepuluh dan jangan coba-coba lari. Kami pasti tahu ke mana kamu bersembunyi,” ancam pria itu dengan tatapan mematikan. Dia mengangguk ke arah temannya, lalu mereka berjalan keluar kamar melewati aku.
Begitu terdengar bunyi mobil dan sepeda motor menjauh, aku membiarkan kakiku menyerah dan terduduk di lantai. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya dengan cepat. Setelah cukup lama menahan napas, akhirnya aku bisa bernapas dengan lega.
“Apa yang terjadi, Delima?” tanya wanita tadi yang sudah duduk di sisiku. Dia memberikan segelas air kepadaku. “Siapa pria itu? Kami tidak berani bertindak karena mereka bertubuh besar dan membawa pemukul. Apa ada yang bisa kami bantu?”
“Terima kasih, Bu. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir.” Aku meletakkan gelas yang sudah kosong tersebut ke lantai, lalu mencoba untuk berdiri. Dia segera membantu aku.
Tanpa bicara, aku menuju dapur dan menemukan apa lagi yang mereka ambil. Kulkas, kompor, dan mesin cuci. Setidaknya, mereka tidak mengambil sapu dan sekop. Aku mulai membersihkan kamar dan wanita itu bersama tetanggaku yang lain membantu sebisa mereka.
Pagar dan pintu diperbaiki dengan memasang gerendel baru agar bisa dikunci. Walaupun itu tidak akan ada gunanya. Buktinya, mereka berhasil masuk ke rumah tadi. Tetapi aku berterima kasih atas usaha mereka untuk membuat aku merasa aman pada saat tidur.
Sepulang kerja pada keesokan harinya, aku pergi ke rumah mertuaku. Langkahku terhenti saat aku melihat kondisi rumah itu. Pagarnya terlihat baru dicat, ada sebuah mobil baru di garasi luar, bahkan dinding rumah bagian luar juga baru dicat. Mereka membuat taman kecil di halaman depan dengan rumput yang hijau dan berbagai tanaman bunga. Tanganku mengepal melihat semua itu.
Ayah mertua yang membukakan pintu rumah untukku dan mengajak aku masuk. Keadaan di dalam rumah lebih mengherankan lagi. Beberapa perabotan lama diganti, ada karpet baru, tirai jendela yang terlihat mewah, dan cat tembok yang juga masih baru.
“Ada apa datang kemari, Delima? Tidak biasanya kamu datang tanpa memberi tahu,” kata pria itu. Seorang wanita yang tidak aku kenal datang membawa baki berisi minuman hangat dan kudapan. Mereka bahkan mempekerjakan seorang asisten rumah tangga sekarang. Dia meletakkan gelas di depanku, Papa, dan satu lagi di sisi ayah mertuaku itu. Pasti itu untuk istrinya.
“Di mana Mama, Pa?” Aku melihat ke bagian dalam rumah.
“Sebentar lagi dia akan turun, ah, itu dia.” Wanita yang menjadi pembicaraan itu muncul dari balik tembok yang memisahkan ruang tengah dengan dapur.
“Ada apa kamu datang kemari? Setelah mengusir aku dari rumah anakku sendiri dan mengancam akan melapor ke polisi, apa kamu datang untuk meminta maaf?” tanya wanita itu dengan arogan.
“Mama sudah mencuri uang dari rumahku, bersyukurlah, aku tidak melaporkan perbuatan Mama ke polisi.” Aku membuka tas dan mengeluarkan buku tabungan suamiku. “Ke mana uang lima ratus juta yang ada di buku ini? Berapa pun yang tersisa, tolong, kembalikan kepadaku.”
Wanita itu segera merebut buku itu dari tanganku dan matanya membulat melihat angka tersebut. Matanya bergerak-gerak dengan liar seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu telunjuknya bergerak di atas buku itu, mungkin sedang menghitung jumlah angka nol di sana.
“Ma, apa benar ini? Mama meminta uang sebanyak ini dari Bakti?” tanya Papa tidak percaya.
“Aku tidak pernah tahu tentang uang ini. Bakti tidak pernah memberi uang sebanyak ini kepadaku.” Wanita itu melemparkan buku itu dengan marah ke atas meja. Pembohong. Papa segera mengambil dan membukanya.
“Uang ini diambil secara tunai dan tidak ditransfer. Bagaimana kamu bisa tahu bahwa ibumu yang memiliki uang ini, Delima?” tanya Papa. Aku nyaris tertawa mendengar pertanyaan itu. Selama ini hanya mereka yang berani datang meminta uang dengan cara mengancam pada kami. Siapa lagi yang tega melakukan ini kalau bukan mereka?
“Gampang saja. Aku akan cari tahu jawabannya sekarang.” Aku berdiri dan berjalan memasuki bagian dalam rumah.
“Apa yang kamu lakukan? Kamu mau ke mana?” pekik ibu mertuaku panik dari arah belakangku.
Aku tahu di mana kamar mereka, jadi aku segera menaiki tangga dan memasuki kamar yang ada di lantai atas. Lemari pakaian menjadi tempat pertama yang aku periksa. Nihil. Aku menarik tanganku dari genggaman Mama yang memaksa aku untuk keluar dari kamarnya, lalu memeriksa semua laci nakas, bufet, sampai di bawah kasur. Nihil. Uang tunai yang aku temukan jumlahnya tidak sampai sepuluh juta. Wanita itu segera mengambil uang itu dari tanganku.
“Di mana Mama sembunyikan uang itu? Katakan, di mana?” tuntutku mulai frustrasi. Lima ratus juta itu bukan jumlah yang main-main.
“Keluar dari rumah ini sebelum aku memanggil polisi!” usirnya sambil menarik tanganku dengan paksa. Aku melepaskan diri darinya, lalu menuju kamar adik iparku. Bisa jadi dia menyembunyikan uang itu di sana.
Aku memeriksa kamar kedua adik Bakti. Setiap lemari, laci, dan sudut ruangan aku periksa dengan teliti, tetapi uang itu juga tidak ada. Aku tidak mau menghabiskan seluruh hidupku membayar utang yang sama sekali tidak aku gunakan. Rasanya aku ingin sekali berteriak marah, menangis, ketika membayangkan sepuluh hari bukanlah waktu yang lama. Ke mana? Ke mana uang sebanyak itu bisa hilang tidak berbekas?
___
4|Bukan Utangku
“Apa kau sedang mempermainkan kami!?” hardik pria itu di depan wajahku. Pria yang datang kali ini adalah pria yang berbeda. Bila sebelumnya yang datang adalah tiga orang, maka yang datang malam ini adalah empat orang. Dua di antaranya bertubuh lebih tinggi dariku. Mereka pasti sengaja memilih orang-orang ini untuk mengintimidasi aku.
Jantungku yang sudah berdebar sangat cepat, kini serasa akan lepas dari dadaku. Telingaku nyaris tuli mendengar detak jantungku sendiri dan gertakan mereka. Tubuhku bergetar dengan hebat menahan rasa takut. Aku menggigit bibirku dengan kuat menahan diriku agar tidak berteriak.
“Hanya itu yang bisa aku kumpulkan dalam waktu sepuluh hari yang kalian berikan.” Aku berusaha memberanikan diriku sendiri untuk menjawab. Syukurlah, aku tidak tergagap saat bicara. “Utang itu bukan utangku. Bagaimana aku bisa mencari alternatif lain untuk mencari uang secepat ini?”
“Kau seorang perempuan, mengapa kau tidak pikirkan saja cara lain untuk mendapatkan uang yang lebih banyak? Atau perlu aku tunjukkan caranya?” geramnya.
Mengapa mereka selalu memberi alternatif agar perempuan menjual tubuhnya di saat terlilit utang? Apa tidak ada cara lain yang ada di kepala mereka selain yang ada hubungannya dengan menikmati badan wanita? Aku memang sedang terjepit, tetapi aku lebih baik mati daripada melayani mereka atau bos mereka di tempat tidur.
“Rumah ini dijual dan belum ada yang berani membelinya karena ulah kalian. Kalau kalian tidak membuat suamiku takut, dia tidak akan bunuh diri di rumah ini. Kamu memaksa aku untuk memberi uang sekarang pun aku tidak punya. Hanya itu yang bisa aku kumpulkan sampai hari ini. Tolong, beri aku waktu untuk mengumpulkan sisanya.” Aku mencoba untuk tawar-menawar.
“Dalam waktu sepuluh hari kau hanya bisa mengumpulkan dua puluh juta, memangnya berapa lama yang kau butuhkan untuk membayar tiga puluh juta sisanya?” ejeknya.
“Aku tidak tahu kapan rumah ini laku,” jawabku frustrasi.
Terdengar bunyi benda dari kaca pecah di lantai. Bunyinya dari arah dapur. Pasti temannya sedang memecahkan salah satu piring atau gelasku. Aku melompat terkejut saat bunyi benda yang pecah berikutnya lebih banyak dari yang pertama. Sekali lagi aku berusaha untuk menegarkan diri.
“Aku tahu kau wanita pintar. Tetapi kau berani memandang rendah kami dengan menjawab semua kalimatku dengan nada arogan.” Pria itu meninju dinding di samping kepalaku dengan keras. Aku akhirnya menyerah pada rasa takutku dan menjerit terkejut. “Satu minggu. Kalau dalam waktu satu minggu kau tidak bisa memberi sisanya, maka bosku sendiri yang akan datang menangani ini.”
Dia menendang meja di belakangnya dengan keras sebelum berdiri menjauh dariku dan keluar dari rumah. Ketiga temannya memecahkan piring, melempar kursi, bahkan menendang pintu dengan kuat saat melewati aku. Mereka memang tidak memukul aku, tetapi teriakan, hardikan, bunyi benda yang mereka pukul dan hancurkan sudah sangat mengguncang jiwaku.
Hanya setelah bunyi kendaraan milik mereka tidak terdengar lagi, maka aku berani menyerah dan membiarkan tubuhku meluncur bebas ke lantai. Aku memeluk lutut dengan kedua tanganku dan meletakkan kepalaku di atas tanganku. Tangisku pecah dengan air mata jatuh tidak terbendung lagi.
Inikah yang Bakti rasakan? Putus asa, tertekan, pikiran buntu, tetapi harus cepat bertindak untuk mengatasi masalah yang mencekik leher. Aku menoleh ke arah ventilasi di atas pintu kamar tidur. Apa hidupku akan berakhir di tempat yang sama dengan suamiku?
Sepuluh hari aku meminta bantuan pada keluarga dan orang terdekat, tidak ada yang bisa memberi pinjaman yang cukup besar. Papa dan Mama akhirnya memberi pinjaman sebanyak dua juta dan satu juta dari Kakak. Ayu meminjamkan dua juta. Jumlah itu tidak cukup.
Papa dan Mama punya rumah, tetapi aku tidak tega meminta mereka menggadainya. Dari mana uang untuk membayar cicilannya? Bila rumah mereka dijual, ke mana orang tuaku akan tinggal? Kakakku dan istrinya tidak bisa banyak menolong karena mereka juga punya masalah keuangan sendiri. Setiap bulan gaji mereka dipotong untuk membayar kredit rumah dan mobil. Teman-teman kerja punya kebutuhan yang mendesak dan tidak bisa memberi pinjaman kepadaku.
Aku menjual semua barang yang bisa aku jual. Bahkan cincin kawin kami berdua pun terpaksa aku lepaskan. Rumah ini sebagai satu-satunya harapan juga tidak bisa terjual dengan cepat. Aku tidak mau menjualnya dengan harga murah karena aku tidak hanya memikirkan melunasi cicilan kredit. Aku juga harus pikirkan bagaimana membayar lima ratus juta itu.
“Delima?” Aku merasakan sentuhan pada lenganku. Aku mengangkat kepalaku dan melihat Pak Luis menatap aku dengan tajam. “Pak Ben menanyakan sesuatu kepadamu.”
“Oh, ma-maafkan saya, Pak. Sepertinya saya sedang melamun,” kataku menyesal. Aku melihat ke arah catatanku. Syukurlah, aku masih mencatat beberapa percakapan penting. Kami sedang diskusi sambil makan siang seperti biasanya, aku malah melamun. “Apa yang ingin Bapak tanyakan?”
“Aku hanya bertanya apa kamu baik-baik saja. Karena aku melihat kamu dari tadi sibuk dengan pikiranmu sendiri. Atau kamu ada ide yang lebih baik mengenai masalah yang kita bahas tadi?” tanya Pak Benedict dengan sopan. Gawat. Aku tidak memperhatikan percakapan mereka.
Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur karena memikirkan cara mendapatkan uang. Aku bahkan tidak bisa menutup mata dan hanya menatap pintu kamar. Mereka bisa masuk saat aku tidak ada di rumah, bagaimana kalau mereka nekat masuk waktu aku sedang tidur?
Aku ingin sekali bisa tinggal di rumah orang tuaku, tetapi aku tidak mau menyeret mereka dalam masalahku. Lagi pula, para penagih utang itu pasti tahu siapa orang tuaku dan di mana tempat tinggal mereka. Aku tidak bisa membiarkan Papa dan Mama mengalami ketakutan yang aku rasakan andai mereka datang menemui aku di sana.
“Sekali lagi, maafkan saya, Pak. Saya tidak menyimak pembahasan Bapak dengan bos saya.” Aku menundukkan kepala, tidak berani menatap mata tajam atasanku.
“Tidak apa-apa.” Pria misterius itu tertawa kecil. “Sepertinya aku harus mengubah jadwal diskusi kita, Luis. Menggunakan jam makan siang sekretarismu sehingga dia tidak bisa istirahat adalah kesalahan dari pihakku. Tolong, jangan marahi dia.”
Begitu panggilan video dengan Pak Benedict berakhir, Pak Luis memang tidak memarahi aku. Namun dia berteriak kesal dan melempar tangannya ke udara untuk meluapkan emosinya. Aku kembali hanya menundukkan kepala menyadari aku hampir membuat dia kehilangan kolega terpentingnya.
Aku pergi ke toilet dan merapikan penampilanku kembali. Setelah mencuci tangan dan wajah, aku merasa sedikit lebih lega. Kepalaku terasa mau meledak karena belum juga menemukan solusi untuk masalahku. Tetapi aku harus bertahan sampai jam kerja usai.
Kalau tadi aku beruntung karena rekan bisnis bosku berpihak kepadaku, lain kali aku bisa saja sial. Aku tidak bisa kehilangan pekerjaan ini sekarang. Jika aku dipecat, ke mana aku akan mencari sumber pendapatan yang baru yang memberi gaji sama tingginya dengan posisiku saat ini?
Pak Luis pamit pulang lebih dahulu saat aku masih mengerjakan dokumen yang dia minta untuk aku letakkan di atas mejanya besok pagi untuk dia periksa. Aku tahu bahwa dia sengaja menghukum aku atas keteledoran aku tadi. Tetapi aku pantas untuk menerimanya.
Semua pekerjaanku akhirnya selesai ketika ponselku bergetar. Nomor yang muncul pada layar bukan nomor yang aku kenal atau tersimpan dalam ponselku. Jangan-jangan dari penagih utang itu. Dari mana mereka tahu nomor ini? Aku sudah melihat data yang pernah mereka tunjukkan kepadaku. Tidak ada nomor ponselku di sana, hanya nomor suamiku.
Getaran itu berhenti. Aku mendesah pelan dan segera merapikan meja kerjaku. Walaupun belum satu minggu dari waktu yang dijanjikan, aku mendadak takut pulang ke rumah. Ada baiknya aku menginap di rumah teman lamaku saja. Mereka tidak akan tahu aku ada di sana.
Ponselku bergetar membuat aku melompat dari tempat dudukku. Aku melihat ada sebuah pesan baru. Aku menelan ludah dengan berat, lalu membukanya. Tolong, jawab telepon dariku. Benedict. Pesan dari Pak Benedict? Tetapi mengapa dia menggunakan nomor yang berbeda?
Sepertinya dia menyadari kesalahannya tersebut, karena saat ponselku bergetar, kali ini yang dia gunakan adalah nomor yang biasanya dia pakai. Aku menggeser tombol berwarna hijau dengan ragu. Setelah menarik napas panjang, aku menyapanya.
“Almarhum suamimu meminjam uang tanpa sepengetahuanmu dan kamu yang harus melunasi sebagai pengganti dia. Itukah yang sedang mengganggu pikiranmu?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ba—” tanyaku tergagap.
“Bagaimana aku bisa tahu?” tukasnya dengan cepat. “Aku punya sumberku sendiri. Kapan mereka akan datang lagi untuk menagih utang itu?”
“Ha-hari Jumat ini,” kataku dengan jujur. Aku tidak tahu apa gunanya menceritakan ini kepadanya atau apa yang dia inginkan dengan mencari tahu masalahku, tetapi aku sudah tidak peduli pada apa pun lagi. Mungkin sebaiknya aku menyusul Bakti saja. Aku bisa menyeberang jalan dan membiarkan mobil yang lewat menabrak aku. Sudah tidak ada gunanya lagi aku hidup.
“Aku akan membayar semua utangmu dengan lunas. Aku hanya akan meminta satu hal sebagai balasannya. Tetapi tentu saja ada banyak syarat yang harus kamu setujui—” Aku tidak mendengar apa yang dia katakan selanjutnya, karena aku hanya peduli dengan kalimat pertamanya. Lunas, kata itu adalah kata ajaib yang ingin sekali aku dengar.
“Saya setuju,” kataku dengan cepat sebelum dia mengubah pikirannya.
“Apa? Tetapi kamu belum mendengar apa yang akan aku sampaikan—” Dia masih mencoba untuk menjelaskan apa yang ingin dia tawarkan.
“Saya tidak peduli. Saya hanya ingin lepas dari para penagih utang itu dan hidup damai kembali. Bila Bapak bersedia membantu saya melunasi semuanya, maka saya akan memenuhi semua syarat dari Bapak.” Aku sudah muak pulang dalam keadaan takut. Aku tidak mau lagi tidur harus selalu menatap pintu kamar, berjaga-jaga siapa tahu mereka kembali lagi. Aku ingin hidupku normal lagi.
“Baiklah. Kalau begitu, aku akan bicara dengan Luis mengenai cutimu. Kamu hanya perlu datang dan tidak perlu mengurus persiapan apa pun. Orangku yang akan mengurus segalanya.”
“Cuti untuk apa? Dan persiapan apa yang Bapak maksudkan?” tanyaku tidak mengerti.
“Kita akan menikah pada hari Kamis,” jawabnya dengan suara jernih, sama sekali tanpa keraguan.
___
5|Sang Penolong
Aku tidak menduga dia akan mengajukan hal itu sebagai syaratnya. Karena dia adalah rekan bisnis bosku, aku pikir dia akan meminta aku membujuk Pak Luis untuk menyetujui proyek baru darinya atau hal lain yang ada hubungannya dengan pekerjaan.
Hari Kamis artinya tiga hari lagi. Bila kami menikah pada hari Kamis, apa utangku baru akan dibayar setelah kami resmi menjadi suami istri? Tetapi kami tidak saling mengenal. Aku bahkan tidak tahu seperti apa orangnya. Tidak, tidak. Apa yang membuat aku ragu? Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Pria mana yang mau menikah dengan janda yang terlilit utang seperti aku?
Terlebih lagi, Pak Benedict bukan pria biasa. Dia seorang pengusaha sukses yang punya banyak usaha lain selain yang berhubungan dengan garmen. Aku bukan hanya lepas dari utang, tetapi aku juga akan hidup nyaman selama dia masih menginginkan aku menjadi istrinya. Aku tidak akan hidup susah lagi seperti yang aku alami bersama Bakti.
“Jadi, maksud Bapak, kita menikah pada hari Kamis ini dan utang saya akan Bapak lunasi pada hari Jumat?” tanyaku mengonfirmasi ucapannya.
“Benar. Apa kamu keberatan?” tanyanya kemudian.
“Tidak. Saya sama sekali tidak keberatan. Apa yang harus saya lakukan? Apa saya perlu memberi tahu orang tua saya atau Bapak yang akan datang menemui mereka?” Aku pasti akan dimarahi Papa dan Mama, tetapi aku tidak punya jalan lain.
“Hal itu aku serahkan kepadamu. Aku hanya akan mengirim orang untuk mengukur tubuhmu besok pagi. Lalu pada Kamis pagi orangku akan menjemput dan membawa kamu ke hotel. Kamu akan bersiap-siap di sebuah kamar yang akan aku pesankan untukmu. Pemberkatan akan dipimpin oleh pendeta dari gerejaku, sedangkan resepsi akan diadakan di restoran hotel.”
Seperti biasanya. Dia sudah menyiapkan segala detail dengan baik. Persiapan pernikahan ini bahkan sudah dia pikirkan sebelum menelepon aku. Aku yakin itu. Bagaimana dia berbisnis, begitu juga dia mempersiapkan pernikahan kami.
“Apa kamu membutuhkan sesuatu? Ada yang perlu aku siapkan khusus untukmu?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut, jauh dari kesan seriusnya saat membahas pekerjaan.
“Tidak, Pak. Saya sangat berterima kasih atas bantuan Anda. Apa yang sudah Bapak siapkan lebih dari apa yang bisa saya minta.” Lalu aku teringat pada sesuatu. “Ng, bila ini tidak merepotkan, apa saya boleh meminta hal khusus mengenai gaun pernikahan saya?”
Aku merasa jauh lebih baik setelah bicara dengan Pak Benedict. Beban yang sangat berat terangkat begitu saja dari pundakku sehingga air mataku tidak berhenti menetes saat aku pulang ke rumah. Bahkan untuk pertama kalinya sejak para penagih utang itu datang, aku bisa tidur pulas.
Orang yang dia katakan akan datang itu menepati janjinya. Mereka bekerja dengan cepat saat mengukur badanku. Lalu kami duduk bersama dan mereka memberi aku buku berisi foto gaun koleksi mereka. Gaun khusus yang aku minta.
“Apa kamu tidak salah bicara? Kamu akan menikah lusa ini? Bakti belum genap meninggal selama tiga minggu dan kamu sudah mendapatkan penggantinya? Apa kata orang nanti, Ima? Tidak. Kamu tidak bisa menikah secepat ini. Kamu harus membatalkan niatmu itu!” hardik Papa.
“Aku mengerti bahwa kamu kesepian dan membutuhkan perhatian seorang suami. Tetapi kamu hanya bisa menikah lagi paling cepat satu tahun setelah kematian suamimu. Tidak kurang dari itu,” timpal Mama dengan tegas.
“Bukankah kamu mencintai Bakti? Mengapa kamu bisa secepat ini melupakan dia dan berpaling hati? Aku tahu kamu berhak untuk menikah lagi karena suamimu sudah meninggal. Tetapi seperti Papa dan Mama katakan, tidak secepat ini, Ima. Kamu harus tunda rencanamu itu. Jika kamu memaksa, maka kami tidak akan menghadirinya dan Papa juga tidak akan mengantar kamu ke altar,” kata Kak Pangestu dengan tegas. Istrinya yang duduk di sisinya hanya diam, tidak ikut menasihati aku.
Aku tahu bahwa mereka tidak akan menyetujui rencanaku ini. Jangankan mereka. Aku juga tidak akan melakukan ini bila aku punya pilihan lain. Menikah lagi sebelum lewat masa duka bukan hanya merusak reputasiku sendiri, tetapi juga nama baik keluargaku. Selama beberapa hari, minggu, bahkan mungkin tahunan, kami akan menjadi bahan gunjingan orang. Aku juga tidak akan tahan.
Namun setelah mendapatkan perlakuan kasar dari para penagih utang itu, mimpi buruk yang terus menghantui aku, dan keinginan untuk mengakhiri hidupku sendiri, omongan orang menjadi hal yang tidak menakutkan lagi bagiku. Menghadapi orang jahat itu jauh lebih mengerikan.
“Jika kalian bisa memberi lima ratus juta kepadaku sekarang, maka aku tidak akan menikah pada hari Kamis nanti,” kataku dengan serius. Mereka menatap aku sejenak, lalu membulatkan mata mereka. “Aku tidak menikah karena aku punya selingkuhan atau mencintai pria lain di belakang suamiku. Pria ini mau menolong aku dan sebagai gantinya dia meminta aku untuk menikah dengannya.”
Mama terisak. “Mengapa keluarga itu jahat sekali kepadamu? Kamu dan Bakti baik-baik saja pada tahun pertama pernikahan kalian. Mengapa sekarang semuanya jadi begini?” Mama menutup mulutnya dengan tangannya untuk menahan isakannya.
“Mereka yang memakai semua uangnya, seharusnya mereka yang membayar. Mengapa Bakti tega mencantumkan namamu sebagai jaminan? Apa dia berbohong saat dia berjanji akan menjaga kamu saat datang melamar? Pangestu, kamu bilang sahabatmu itu orang baik. Lihat, apa yang sudah dia lakukan kepada adikmu.” Papa menatap Kakak dengan sedih. Kakak hanya menundukkan kepalanya.
Walaupun percakapanku dengan keluargaku tidak berakhir dengan baik, yang penting mereka setuju untuk menghadiri pernikahanku. Papa juga bersedia untuk mengantar aku ke altar. Mereka tidak tahu bahwa aku didatangi penagih utang dan mendapat ancaman. Jika mereka tahu, mereka tidak akan membiarkan aku tinggal sendiri. Bisa jadi mereka tahu, tetapi tidak berdaya untuk menolong.
Pak Luis mengejutkan aku pada Rabu sore itu saat mengucapkan sampai jumpa pada hari Senin. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Pak Benedict sebagai alasan cutiku, tetapi dia hebat bisa mendapat kata iya darinya. Atasanku terkenal pelit memberi cuti karena dia benci harus tetap membayar karyawannya pada saat mereka tidak bekerja.
Aku bersiap untuk keluar dari ruanganku ketika pintu terbuka dan Ayu masuk. Dia segera berjalan mendekati aku. “Apa yang terjadi, Ima? Mengapa kamu mendadak mengajukan cuti? Apakah ada hal buruk yang terjadi kepada keluargamu?” bisiknya.
“Tidak. Apa Pak Luis meminta kamu untuk menggantikan aku sementara?” Aku mengajaknya keluar dari ruangan itu. Aku ingin segera tiba di rumah.
“Iya. Apa ada tugas tertentu yang harus aku selesaikan segera besok pagi?” tanyanya antusias. Aku menggeleng. “Untung saja kamu akan kembali bekerja pada hari Senin. Aku tidak yakin akan bisa mempersiapkan rapat dewan direksi.” Aku tertawa mendengarnya.
Hari pernikahan tiba, seorang wanita muda datang menjemput aku di rumah. Sebuah mobil dengan seorang sopir di dalamnya telah menunggu kami di depan pagar. Mereka hanya diam saja sepanjang perjalanan kami menuju hotel.
Kamar yang dimaksud Pak Benedict ternyata sebuah apartemen dengan dua kamar. Bagian tengah apartemen itu telah diubah menjadi tempat berias. Dua orang pria dan seorang wanita berdiri di sana menyambut aku. Mereka mempersilakan aku untuk duduk dan memulai sulap mereka.
Setengah jam sebelum pemberkatan dimulai, aku sudah tiba di gereja. Pengurus gereja mengantar aku ke sebuah ruangan di mana Papa akan menjemput aku nanti. Aku tidak melewati pintu masuk utama, jadi aku tidak tahu apakah keluargaku sudah tiba. Pak Benedict menawarkan mobil untuk menjemput mereka, tetapi aku menolak. Kak Pangestu yang akan mengurus orang tuaku.
Aku tidak tahu siapa saja yang akan datang dari pihak pengantin pria, tetapi aku hanya mengundang keluargaku. Seperti kata Papa dan Mama, pernikahan ini terlalu cepat dan aku masih dalam masa berkabung. Sebisa mungkin, aku menghindari gunjingan orang. Bila saatnya tiba, semua orang akan tahu juga mengenai hal ini.
Pintu diketuk dengan halus dari luar, jantungku tiba-tiba saja berdebar lebih cepat. Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Baiklah. Saatnya untuk memasuki lembaran baru hidupku berikutnya. Papa sudah datang, maka ini saatnya bagiku untuk berjalan menuju altar.
Namun saat aku menoleh ke arah pintu, bukan Papa yang berdiri di sana. Seorang laki-laki yang tidak aku kenal tersenyum kepadaku. Dia mengenakan setelan berwarna hitam senada dengan gaun yang aku kenakan. Penampilan fisiknya menarik perhatianku. Aku tahu bahwa dia tidak muda lagi dari bentuk wajahnya yang layaknya pria dewasa, tetapi tubuhnya sedikit lebih rendah dariku bahkan saat aku dalam posisi duduk.
“Hai, Delima. Akhirnya, kita bertemu,” sapanya dengan ramah. Aku membuka mulut ingin membalas sapaannya, namun aku tertegun begitu mengenali siapa pemilik suara itu.
Aku punya banyak gambaran di kepalaku mengenai dia hanya dari mengenali suaranya. Seorang pria berwajah tampan, ramah, dengan tubuh tinggi sedikit atletis karena suka berolahraga, tipe miliarder yang selalu tampil di televisi dan majalah. Tidak pernah tebersit di benakku bahwa Pak Benedict bertubuh kerdil.
Dia tertawa kecil. “Ambil waktu sebanyak yang kamu butuhkan. Aku tahu bahwa penampilanku ini di luar dugaanmu.” Dia meletakkan sebuah map dan pulpen di atas meja di sampingku. “Ini adalah surat perjanjian pranikah yang perlu kamu tanda tangani sebelum kita menikah. Karena kamu setuju dengan semua syarat yang aku ajukan, maka tidak ada yang perlu kita diskusikan.”
Kemudian dia mengeluarkan sebuah amplop dari saku bagian dalam jasnya dan meletakkannya di atas map tersebut. “Ini adalah bukti bahwa semua utangmu sudah dibayar dengan lunas. Aku hanya menguji apakah kamu serius dengan ucapanmu di telepon pada malam itu. Kamu mau melakukan semua yang aku minta dan hadir di sini saja sudah cukup.
“Bila keadaanku ini membuat kamu berubah pikiran, kamu bebas untuk keluar lewat pintu itu dan pulang ke rumahmu. Aku tidak akan menuntut apa pun. Hanya ada keluargamu dan keluargaku di dalam gereja, jadi hal ini tidak akan menjadi bahan pembicaraan orang.” Dia mundur satu langkah. “Aku akan menunggu di altar. Pemberkatan akan dimulai pada pukul tiga, tetapi bila kamu tidak datang sampai pukul empat, maka pernikahan ini aku anggap batal.”
Dia memberi aku sebuah senyuman sebelum keluar dari ruangan, meninggalkan aku dengan pikiran yang berkecamuk. Aku menoleh ke arah amplop yang dia letakkan di atas map. Dengan tangan bergetar, aku mengambil, mengeluarkan kertas di dalamnya, dan membacanya.
___
6|Tidak Dianggap
~Benedict~
Lahir dan besar di tengah-tengah keluarga terpandang dan kaya raya memberi aku begitu banyak kemudahan. Sebagai anak pertama, aku merasakan semua kemewahan sejak aku masih sangat kecil. Pakaian yang aku kenakan lebih bagus dari anak-anak kebanyakan. Makanan yang aku santap selalu enak di lidah. Rumah dan tempat tinggalku juga sangat nyaman.
Kedua orang tua juga kakek dan nenekku sangat menyayangi aku. Hidupku penuh dengan cinta dan kasih sayang yang mereka curahkan kepadaku. Meskipun aku punya seorang adik laki-laki dan adik perempuan, mereka selalu memfokuskan perhatian mereka kepadaku.
Aku sadar dengan tanggung jawab yang dibebankan kepadaku sebagai penerus utama keluarga kami. Karena itu sejak aku masih sangat muda, aku belajar keras untuk mempersiapkan diriku menjadi pengganti Ayah kelak. Ibu meninggalkan kariernya demi membantu aku belajar di rumah.
Namun saat aku menginjak usia sebelas tahun, Ayah menemukan ada yang aneh padaku. Ketika aku berusia dua belas tahun dan memasuki SLTP, kecurigaannya itu terbukti. Aku berhenti tumbuh. Badanku bahkan menjadi lebih pendek dari kedua adikku.
Ibu dan Nenek berusaha menenangkan Ayah dengan mengatakan bahwa setiap anak memiliki fase pertumbuhannya sendiri. Kakek juga mulai tidak suka dengan tinggi badanku yang berada di bawah rata-rata anak seusiaku. Wajah dan tubuhku menunjukkan tanda-tanda perubahanku menjadi seorang pria, tetapi tinggiku tidak juga bertambah.
Mereka memindahkan aku ke SLTP lain di mana tidak ada orang yang akan mengenal aku sebagai bagian dari keluarga besar kami. Nenek dan Ibu berusaha untuk melindungi aku dari sikap kejam Kakek dan Ayah. Mereka membawa aku menemui spesialis untuk mencari masalah yang terjadi pada tubuhku dan menemukan solusinya. Bahkan membayar seorang pelatih fisik agar tinggiku bisa bertambah. Semua itu terasa bagai neraka.
Nenek meninggal dunia saat aku berusia empat belas tahun, maka duniaku pun berubah seratus delapan puluh derajat. Ayah dan Kakek bersikap semakin keras kepadaku. Mereka mulai memberi aku label, memperberat latihan fisikku, juga memaksa aku mengonsumsi berbagai macam obat, ramuan, dan entah apa lagi supaya badanku tumbuh.
Aku yang biasanya mereka bawa dengan bangga menghadiri undangan demi undangan digantikan oleh adikku. Setiap kali keluarga kami mengadakan perayaan, aku tidak boleh menghadirinya. Ulang tahunku yang biasanya dirayakan setiap tahun pun tidak diingat lagi.
Perlahan namun pasti, Kakek dan Ayah menjauhkan aku dari mata publik. Mereka menyembunyikan aku dari pandangan dunia. Sampai akhirnya orang-orang lupa bahwa aku, Benedict, adalah bagian dari keluarga besar Kumara yang terpandang. Bahkan lebih dari itu, ahli waris utama mereka.
Kedua adikku memperlakukan aku sama buruknya dengan Kakek dan Papa. Mereka pasti cemburu kepadaku yang selalu dianakemaskan sejak aku kecil. Begitu kedua orang yang punya kuasa tertinggi di keluarga kami berbalik sikap kepadaku, mereka memanfaatkannya. Aku yang harus membayar setiap perlakuan istimewa mereka dengan penghinaan dari kedua adikku.
Mereka memberi aku pakaian dan sepatu bekas mereka yang sudah kekecilan. Adik laki-lakiku bahkan menghina aku dengan memberi pakaian dalam bekasnya. Ketika tubuh mereka semakin lebih besar dariku, mereka mulai menyakiti aku secara fisik. Mungkin mereka merasa tidak puas karena aku tidak menunjukkan rasa sedih saat mereka menyakiti aku secara verbal.
Pada saat duduk di bangku SMU, sudah tidak ada lagi yang mengingat siapa Benedict Kumara. Guru di sekolah suka menyebut namaku sebagai bahan guyonan. Guru olahraga sering menjadikan aku bahan bulan-bulanannya. Aku melaporkan kejadian itu kepada Ayah, dia tidak peduli. Menurutnya, semua itu aku perlukan agar aku tumbuh menjadi laki-laki kuat.
Melihat guru tidak menghormati aku, maka para siswa juga mulai merundung aku, baik di saat ada guru di sekitar kami maupun tidak. Serendah apa pun penghinaan yang mereka lakukan kepadaku, aku tidak meneteskan air mata atau menunjukkan rasa takut. Hal yang membuat mereka semakin geram dan terus menyakiti aku hanya untuk melihat aku menangis minta ampun kepada mereka.
Untuk apa aku menangis? Untuk apa juga aku minta ampun? Semua itu tidak akan membuat mereka berhenti, justru semakin merendahkan aku. Tidak ada siswa yang mau dekat denganku. Juga tidak ada guru yang peduli kepadaku, jadi aku memilih untuk mengasingkan diri. Lalu mereka pun berhenti mengganggu aku dan menganggap aku tidak ada.
“Ibu,” kataku pada hari Minggu itu, saat semua orang sedang tidak ada di rumah. Wanita baik hati itu tersenyum dan membalas sapaanku. “Pakaianku terasa tidak nyaman. Bisakah kita pergi ke penjahit dan membuat baju khusus untukku?”
"Tidak.” Entah bagaimana Ayah bisa ada di rumah, karena aku yakin aku melihat dia pergi dan belum kembali. “Keluarga ini tidak akan mengeluarkan uang lebih banyak untuk anak memalukan seperti kamu. Apa yang tersedia untukmu, itu yang bisa kamu pakai, makan, atau minum.”
“Bila putraku membutuhkan pakaian yang nyaman untuknya, dia tidak perlu menggunakan uang dari keluarga ini. Aku punya cukup uang untuk menjahitkan puluhan pakaian untuknya.” Ibu berdiri dari tempat duduknya dan membawa aku pergi dari ruangan itu.
Penjahit yang kami temui sangat sabar mendengarkan permintaanku. Tinggiku hanya seratus tiga puluh senti, jadi keluargaku berpikir bahwa pakaian anak-anak cocok untuk aku kenakan. Tetapi aku bukan anak-anak, aku adalah seorang pemuda dengan tubuh pendek. Jadi, ada beberapa bagian pada baju dan celana yang aku pakai yang terasa tidak nyaman.
Kejadian itu memberi aku sebuah ide. Aku punya begitu banyak model pakaian di dalam kepalaku yang aku tuangkan ke sebuah gambar. Aku memberikan desain itu kepada seorang penjahit dan hasilnya sangat memuaskan. Penampilanku tidak kalah dari orang lain dan aku semakin percaya diri.
Suatu hari seorang siswa di tempatku mengikuti les tambahan memperlihatkan beberapa pesan kepadaku di media sosial miliknya. Tanpa izinku, dia memasang fotoku dengan berbagai pakaian yang aku desain sendiri. Orang-orang menyukainya dan bertanya di mana pakaian untuk orang seperti aku bisa didapatkan.
Itu adalah sepuluh pesanan pertama yang aku dapatkan dalam satu hari. Aku memberikan alternatif ukuran yang aku sediakan dan mereka memesan sesuai ukuran yang mereka butuhkan. Aku hanya perlu menemui penjahit yang telah membantu aku, mengirim pakaian yang mereka pesan, dan uang pun aku terima. Penghasilan pertamaku.
Aku semakin bersemangat mendesain berbagai model pakaian, celana, dan mulai tertarik untuk merambah sepatu juga. Aku menjadikan diriku sendiri sebagai model dari busana desainku. Teman baruku yang memotret dan menggunakan sosial medianya sebagai tempat promosi. Usaha kecilku itu sangat sukses dan aku menghasilkan cukup banyak uang.
Kedua adikku mengejek usahaku tersebut, tetapi aku menutup telinga. Mereka menghina desainku tidak akan memberi pengaruh apa pun karena mereka bukanlah pembeli pakaian yang aku desain. Mereka mengadukan usahaku itu pada Kakek dan Ayah dengan harapan mereka akan menyuruh aku untuk berhenti melakukannya. Mereka justru hanya diam saja.
Segalanya berjalan dengan baik. Aku bersekolah dari pagi sampai siang hari, lalu menggunakan beberapa jam untuk mengurus usahaku. Aku dan sahabatku mendapatkan banyak uang setiap bulannya. Sampai suatu hari, aku mengetahui bahwa teman bisnisku itu menerima beberapa pesanan tanpa sepengetahuan aku dan menyimpan uang yang didapat untuk dirinya sendiri.
Pakaian, sepatu, bahkan topi yang ada pada fotoku itu adalah desainku sendiri. Hasil kerja kerasku. Jadi, saat dia mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri, aku berhenti bekerja dengannya. Aku membuat media sosialku sendiri menggunakan nama merekku. Aku sengaja tidak menggunakan nama asliku agar tidak dikait-kaitkan dengan nama besar keluarga Kumara.
Namun hal yang tidak aku duga adalah pemuda yang aku kira temanku itu menyebarkan hal buruk mengenai aku sehingga aku kembali menjadi sasaran perundungan di sekolah. Dia menyebut bahwa aku mencuri ide usahanya. Buku desainku dirobek di depan mataku, ponselku mereka injak-injak sampai hancur, dan mereka menampar aku ketika aku tidak menjawab semua tuduhan mereka.
Aku pulang dalam keadaan babak belur membuat ibuku panik dan histeris, tetapi kedua adikku tersenyum puas. Dan ayahku? Dia hanya menatap aku sekilas, lalu masuk ke ruang kerjanya. Aku berhenti berharap pada bantuannya, maka aku tidak mengadukan apa pun.
Pada hari itu aku mempelajari satu hal paling penting dalam hidupku, aku tidak bisa percaya kepada siapa pun. Aku juga tidak perlu bergantung kepada siapa pun lagi. Bila aku ingin bertahan hidup, maka aku hanya punya diriku sendiri sebagai andalanku.
“Ini adalah kampus dan jurusan yang harus kamu lamar.” Ayah meletakkan setumpuk kertas di atas meja belajarku pada hari itu. Aku sedang belajar untuk mempersiapkan diri mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri.
“Ilmu Sosial?” tanyaku bingung. “Aku akan menjadi penerus Kakek dan Ayah. Mengapa aku diminta untuk mengambil jurusan ini?”
“Aku tidak sudi mengakui kamu sebagai putraku apalagi menunjuk kamu sebagai dirut selanjutnya. Reputasi keluarga dan perusahaan bisa tercoreng karenamu. Adikmu yang akan menjadi dirut menggantikan aku nanti,” kata Ayah dengan tegas.
“Tetapi aku adalah anak pertama Ayah. Aku sama sekali tidak punya cela yang bisa membuat nama baik keluarga atau perusahaan kita hancur.” Tiba-tiba saja kepalaku dicengkeram dari belakang dan Ayah mengantukkan kepalaku ke meja. Karena aku sedang menoleh ke arahnya, sisi kepala kiriku yang mengenai permukaan meja.
“Dengar. Aku sudah cukup menahan diri melihat manusia gagal sepertimu lahir dari rahim istriku.” Kalimat itu menghunjam dadaku dengan tajam. Tangan Ayah masih mencengkeram kepalaku, jadi aku tidak bisa bergerak. “Jangan buat aku kehabisan kesabaran dengan semua ucapan sok pintarmu. Aku yang menentukan siapa yang akan duduk di kursi direktur utama, bukan kamu.”
Karena sudah terbiasa dipukul, dihina, dan dianggap tidak ada, semua itu tidak terasa sakit lagi. Jadi, aku tetap maju menemui Kakek untuk bicara dengannya. Mereka boleh menghina aku, menganggap aku tidak ada, bahkan menyembunyikan aku dari dunia. Tetapi aku tetaplah putra sulung yang punya hak atas seluruh kekayaan keluargaku.
Ayah sangat marah saat melihat aku datang menemui Kakek yang sedang berada di ruang kerjanya. Kami berdua berdebat sangat alot, tetapi aku tidak mundur. Aku sedang memperjuangkan hakku, maka aku mengerahkan seluruh tenaga dan pikiranku melawan pendapat Ayah.
“Baik. Kamu benar. Kami tidak bisa menyangkal bahwa ini adalah hakmu sebagai putra sulung.” Kakek akhirnya menengahi perdebatanku dengan Ayah.
“Pa,” protes Ayah. Kakek segera mengangkat tangannya, memberi tanda bahwa dia tidak ingin dibantah. Ayah pun merapatkan bibirnya.
“Begitu ayahmu pensiun, kamu akan mendapatkan semua hakmu sebagai ahli waris utama Kumara.” Kakek bicara dengan tenang yang justru membuat aku curiga bahwa dia punya agenda lain di balik kalimat itu. “Tetapi kamu harus memenuhi dua syarat yang aku ajukan.”
___
7|Syarat Kedua
Syarat yang pertama bisa dengan mudah aku penuhi. Aku membangun usaha yang aku miliki dari nol. Pengkhianatan rekan kerja pertama telah memberi aku pelajaran yang berharga. Jadi, aku berhati-hati saat memilih orang yang bekerja untukku, terutama mereka yang mengelola uangku.
Berawal dari usaha pakaian yang tidak punya penjahit sendiri, kini aku punya beberapa pabrik, butik, bahkan peternakan dan perkebunan yang membantu persediaan bahan mentah usahaku. Merek dagangku diminati oleh para ibu, jadi aku tidak hanya menyediakan pakaian untuk orang spesial seperti aku, tetapi juga merambah pakaian anak-anak.
Dalam waktu lima tahun, aku berhasil mengalahkan kesuksesan usaha perhotelan milik Kakek. Aku bahkan masuk daftar orang terkaya di ASEAN dua peringkat lebih tinggi dari Kakek. Keluargaku tidak berhenti mengejek dan menghina prestasiku. Tetapi aku mengabaikan hal itu dan fokus pada tujuan. Kakek adalah pria terhormat yang selalu memegang kata-katanya. Karena itu, aku percaya dia akan memenuhi janjinya sendiri begitu aku berhasil memenuhi syarat yang dia ajukan.
Yang menjadi syarat kedua seharusnya hal yang paling mudah. Aku pikir membangun usaha yang lebih sukses dari milik Kakek adalah hal yang paling sulit. Ternyata aku salah besar. Setelah memiliki uang yang melimpah dan harta kekayaan yang tidak akan habis seumur hidupku, aku masih gagal memenuhi syarat Kakek yang kedua.
Umur Kakek terus bertambah dan kesehatannya semakin menurun. Tetapi aku belum juga berhasil membawa istri untuk aku perkenalkan kepadanya. Dalam keadaannya yang sudah tidak bisa jalan lagi karena jatuh sakit, Kakek pernah berkata bahwa dia pasti akan menghadiri pernikahanku.
Dia tidak peduli aku akan menikah selama satu minggu atau satu hari, selama aku menikah secara resmi, maka syarat kedua terpenuhi. Hal yang terdengar sangat mudah ketika aku mendengarnya pertama kali. Kenyataannya tidak demikian. Aku hampir berusia empat puluh tahun dan belum juga menemukan wanita yang mau menikah denganku.
“Nelson, cari tahu apa yang terjadi pada sekretaris Luis,” kataku setelah kami mengakhiri panggilan video untuk membahas beberapa kesepakatan bisnis sebelum menanda-tangani surat perjanjian kerja sama yang baru.
“Maksud Bapak, Ibu Delima?” tanyanya mengonfirmasi. Aku menganggukkan kepalaku. “Bapak butuh info yang mendalam atau hanya hal terbaru yang sedang dia alami?”
“Yang pertama. Tetapi aku mau kamu mencari tahu apa yang terjadi padanya setelah suaminya meninggal. Dia sangat berubah sejak kembali bekerja. Selebihnya bisa kamu laporkan kepadaku setelah kamu mendapatkan informasi lengkapnya.”
“Baik, Pak.” Dia segera mencatat sesuatu pada buku agendanya. “Saya akan segera membuat surat perjanjian bisnis baru antara Bapak dengan Pak Luis. Setelah selesai akan saya kirim kepada Bapak untuk diperiksa. Apa ada lagi yang perlu saya kerjakan untuk hari ini?”
Nelson adalah asisten pribadiku yang melakukan hampir segalanya untukku. Dia mirip bayangan yang tidak akan pernah aku temukan gantinya di dunia ini. Setiap pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, dia kerjakan dengan sempurna. Meskipun dia nyaris dua puluh empat jam bersamaku, dia tidak pernah mengeluh.
Bila ada orang yang berniat melukai aku, aku yakin dia akan menjadi orang pertama yang berdiri di depanku untuk melindungi aku. Padahal aku tidak pernah melakukan hal besar untuknya. Hanya satu kali aku pernah membantu membayar biaya pengobatan ibunya. Sejak itu dia sangat setia kepadaku.
“Tidak. Kamu sudah boleh kembali ke ruanganmu.” Aku mengambil salah satu map yang ada di atas meja kerjaku dan mulai memeriksa laporan dari salah satu pabrik.
Aku tidak bisa memeriksa semua dokumen yang menumpuk di atas mejaku, jadi aku putuskan untuk melanjutkannya esok pagi. Jarum jam tangan sudah menunjukkan pukul enam sore, sudah saatnya bagiku untuk pulang. Nelson tidak akan pulang bila aku masih berada di ruanganku.
Selama dua tahun terakhir ini dia berhubungan sangat serius dengan seorang wanita. Mereka akan menikah dalam tahun ini, jadi aku tidak mau memonopoli semua waktunya. Dia juga perlu bertemu calon istrinya dan merencanakan masa depan mereka. Bila keadaannya berbeda, aku pasti masih bekerja sampai malam.
Aku punya alasan menjadi orang pertama yang masuk dan orang terakhir yang keluar dari gedung perkantoran milikku ini. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat wajah apalagi wujud seorang Benedict Kumara. Kakek mau aku tetap menjauh dari muka publik. Kesuksesan yang aku miliki mereka anggap bukan apa-apa karena fisikku yang membuat mereka malu.
Ini juga yang menjadi alasan aku memilih Nelson. Dia tidak pernah memandang rendah aku. Sejak aku pertama kali mengangkat dia menjadi asisten pribadiku, hanya sikap hormat yang dia berikan kepadaku. Tentu saja dia terkejut saat tahu tubuhku kerdil, tetapi hanya itu.
Kami berpisah di tempat parkir tertutup di mana hanya aku dan Nelson yang punya akses untuk menggunakannya. Dia menuju sepeda motor kebanggaannya, sedangkan aku memasuki mobil yang sudah menunggu aku tepat di depan pintu keluar.
“Kita ke rumah atau apartemen, Tuan?” tanya Karno dengan sopan. Aku selalu menghabiskan akhir pekanku di rumah. Jadi pada hari Senin seperti ini, aku kadang-kadang memilih pulang ke rumah. Namun aku lebih sering tinggal di apartemen pada hari kerja agar tidak perlu menghabiskan banyak waktu di jalan saat pulang pergi ke tempat kerja.
“Apartemen,” jawabku bersamaan dengan ponselku bergetar di dalam saku kemejaku. Aku melihat nama Nelson pada layar. Dia mengirim sebuah surel.
Bagaimana cara dia bisa mendapatkan informasi serahasia ini dalam waktu beberapa jam saja, aku tidak peduli. Satu hal yang pasti, dia tidak akan melanggar hukum karena namaku adalah taruhannya. Dia pernah menyebut bahwa dia punya seorang teman yang bisa dipercaya, tetapi dia tidak pernah mau menyebut namanya.
Selesai membaca laporan tersebut, aku mengerti mengapa Delima terlihat gelisah sepanjang rapat kami lewat panggilan video tadi. Almarhum suaminya meminjam sejumlah uang yang sangat besar dan kini menjadi tanggung jawabnya untuk membayar. Mengapa masih ada orang yang meminjam uang dari rentenir? Mengapa juga mereka pikir kematian adalah cara untuk lepas dari utang?
Karena aku tahu bahwa wanita itu adalah orang baik, aku memutuskan untuk menolongnya. Lagi pula, dia juga bisa membantu aku keluar dari masalahku. Aku memikirkan berbagai skenario di dalam kepalaku saat aku menunggu dia menjawab panggilan masuk dariku.
Dia tidak menjawab telepon dariku. Aku memeriksa nomor yang aku pilih. Itu benar adalah nomor ponselnya. Aku menyimpan nomornya untuk keadaan darurat andai aku tidak bisa menghubungi Luis, atasannya. Aku mengirim pesan kepadanya agar dia menjawab telepon dariku.
Saat akan menghubunginya lagi, aku baru menyadari bahwa aku telah melakukan kesalahan. Aku menelepon menggunakan nomor pribadi, bukan nomor kerjaku. Dugaanku benar karena kali ini dia menjawab panggilan masuk dariku.
Aku menyampaikan maksudku untuk menolong mengatasi masalahnya. Dia tidak membiarkan aku menyelesaikan kalimatku. Sebelum mendengarkan semua syarat yang sudah aku siapkan, dia langsung menyetujuinya. Penagih utang itu pasti membuat dia ketakutan sampai dia tidak peduli dengan apa pun lagi asal bisa lepas dari mereka.
Begitu aku selesai bicara dengan Delima, aku mengirim beberapa instruksi kepada Nelson. Dia akan membacanya nanti saat dia sedang luang. “Aku berubah pikiran, Karno. Tolong, putar balik. Kita ke rumah orang tuaku,” kataku memberi perintah kepada sopirku.
~Bersambung~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
