Nama Saya Agnes

0
0
Deskripsi

Cerita mengenai Agnes, wanita muda yang memiliki ‘kelebihan’ meilhat yang tidak kasat mata, namun berusaha untuk tetap ‘normal’

Perkenalan

Nama saya Agnes. Saya anak sulung dari tiga bersaudara—dua adik saya laki-laki. Tidak ada yang istimewa dari saya. Saya bukan indigo, tidak punya kemampuan khusus, hanya orang biasa yang kebetulan terlahir di keluarga yang sudah terbiasa menghadapi hal-hal yang tidak masuk akal dan …. ganjil.

Sejak kecil, saya sering mengalami kejadian yang sulit dijelaskan. Suara-suara, perasaan aneh, dan dua kali saya bahkan sempat melihat sesuatu yang seharusnya tidak terlihat oleh mata manusia biasa. Mungkin ini karena latar belakang keluarga saya yang masih menjaga tradisi leluhur. Zaman dulu, orang-orang tua kami sering melakukan tirakat atau berpuasa. Mereka lebih peka terhadap dunia lain, dan mungkin… saya pun mewarisi sedikit dari itu.

Ketika saya dan adik-adik saya masih kecil, kami tinggal di sebuah rumah di pinggiran Jakarta. Saat itu, sekitar akhir tahun 80-an, perumahan tempat kami tinggal masih sangat sepi, sepi sekali. Rumah-rumah di sekitar kami sebagian besar kosong. Saya ingat betul, rumah kami terasa begitu besar untuk kami berempat, dengan garasi yang panjang, ruang tamu yang luas, dan jendela besar yang menghadap ke luar. Rumah kami terletak di tengah-tengah blok, sebelah kiri ada tetangga, tapi kanan dan depan rumah kami kosong. Di seberang rumah kami, ada sebuah pohon besar, yang puncaknya lebih tinggi dari atap rumah kami.

Kadang-kadang, saat tengah malam, saya terbangun mendengar suara lolongan yang terdengar sangat aneh. Suaranya mirip seperti lolongan serigala. Tapi apakah itu serigala? Jakarta, bahkan yang pinggiran sekalipun, tidak punya serigala. Mungkinkah itu suara… sesuatu yang lain?

Saya terlalu takut untuk mengecek. Tapi saya selalu lari mencari ayah, yang biasanya masih bekerja hingga larut malam. Ia akan menenangkan saya, lalu menggendong saya kembali ke tempat tidur. Saya merasa aman di pelukannya—untuk sementara.

Selain itu ada malam-malam yang terasa berbeda. Waktu itu, saya sedang tidur di kamar depan bersama ibu, ayah, dan adik saya yang masih sangat kecil. Ada satu jendela besar di kamar itu yang menghadap ke garasi. Setiap malam, ibu selalu menutup gorden jendela sebelum kami tidur. Tetapi entah mengapa, ada malam saya merasa ada yang aneh. Saya melihat bayangan yang bergerak di balik gorden. Awalnya saya pikir itu hanya bayangan dahan pohon yang terayun, tetapi semakin lama semakin jelas, semakin menyeramkan. Bayangan itu seolah-olah hidup. Dahan-dahan itu saling berayun, bertemu, dan terpisah dengan cara yang tidak wajar. Dan itu seringnya itu terjadi hanya pada saat saya terjaga, sementara yang lain sudah terlelap.

Saya bercerita kepada ibu, tetapi beliau hanya tertawa kecil dan berkata, “Itu cuma imajinasi Kakak. Ga mungkin ada pohon sebesar itu di garasi, khan?!” katanya. Saya percaya pada ibu, tetapi sesuatu di dalam diri saya merasa tidak tenang. Ternyata, bertahun-tahun kemudian, saya baru sadar apa yang sebenarnya terjadi malam itu.

Tapi kejadian yang paling membekas... terjadi malam itu. 

Hujan turun deras. Dan seperti biasa di masa itu, listrik padam. Rumah gelap gulita. Tapi pohon besar di seberang rumah tetap terlihat—seolah... ada cahaya samar menyinarinya. Siluetnya tampak jelas dari jendela ruang tamu.

Aku dan adikku bermain kejar-kejaran naik sepeda roda tiga. Bolak-balik dari ruang depan ke belakang. Setiap melewati jendela ruang tamu, mataku sempat menangkap sesuatu… putih. Menggantung di pohon itu. Awalnya samar, tapi semakin sering aku lewat, semakin jelas bentuknya. Putih, bergoyang pelan. Ke kanan. Ke kiri.

Aku berhenti. Terpaku di depan jendela.
“Itu apa?” gumamku tanpa sadar. Sesuatu menggantung di pohon itu. Panjang... seperti guling. Tapi kenapa ada guling tergantung di pohon? Di malam gelap, saat hujan, saat semua orang seharusnya sedang tidur?

Ibu melihatku diam di jendela dan ikut mendekat. Lalu beliau bertanya pelan, “Kakak lihat putih-putih di pohon itu?”
Aku mengangguk. Iya Ma... itu apa ya?”

Ibu tidak menjawab. Wajahnya tiba-tiba berubah. Pucat. Pandangannya tak lepas dari arah jendela.
Kemudian ia membisik pelan, “Sudah, jangan dilihat lagi. Ayo sana main... tapi jangan ke sini-sini dulu ya.”

Aku menuruti. Tapi rasa penasaranku tak pernah benar-benar padam. Aku ingin melihatnya lagi... tapi Ibu melarangku. Entah kenapa, malam itu punggungku terasa berat. Merinding.

Dan sampai hari ini, saat aku menulis ini... aku masih bisa merasakan sensasi dingin itu di punggungku.
Aku tidak pernah melupakan malam itu. Aku tidak pernah tahu pasti apa yang kulihat. Tapi satu hal yang kuingat jelas: rasa takutnya bukan rasa takut biasa. Itu seperti... tubuhku tahu, ada sesuatu di sana, yang tak seharusnya aku lihat.

Tapi anehnya, meski semua itu terjadi... aku tidak takut rumah itu.
Aku justru menyayanginya. Rumah itu menyimpan banyak kenangan indah. Tawa, pelukan hangat orang tua, dan masa kecil yang tak tergantikan—meski di sela-sela kenangan itu, ada sesuatu yang gelap... yang masih menyisakan tanda tanya hingga hari ini.

 

Kakek Siapa?

Hari itu aku ingat, terbangun karena suara gaduh. Beranjak dari kasur, aku berjalan keluar kamar, lalu ke arah pintu depan dan melihat ayah sedang bersiap berangkat kerja. Namun tidak seperti biasanya, hari itu beliau berangkat pagi-pagi. Beliau menenteng tas kerjanya serta membawa koper kecil, sedang berdiri di ambang pintu depan.

Spontan aku bertanya, “Papa mau ke mana?”. Ayah yang kaget dan tidak menyangka aku terbangun, berbalik dan melihat ke arahku, “Papa hari ini harus keluar kota selama seminggu. Jadi anak baik ya, dan bantu mama.” Setelah itu beliau memanggil ibuku dan berpamitan.

Aku sedih karena artinya hari ini aku tidak akan diantar ke sekolah oleh ayah. Tapi ibu berusaha menghibur dengan mengatakan bahwa beliau telah membuatkan makanan kesukaanku, nasi dengan lauk telur dadar dan kecap. Buatku, itu makanan paling enak dan nikmat. Jadi aku pun segera kembali ke kamar untuk mengambil seragam sekolah, lalu mandi. 

Tapi ketika masuk ke kamar, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Lampu terasa redup, lalu udaranya terasa agak berat. Selain itu, di sudut kamar dekat dengan jendala yang mengarah ke garasi, seperti ada sesuatu tapi entah apa. Aku terpaku cukup lama di dekat pintu, sambil melihat terus ke sudut tersebut. Seakan-akan ada sesuatu yang lambat laun akan muncul jika aku terus melihat ke sudut itu. Namun pintu kamar tiba-tiba terbuka dan ibuku masuk ke kamar sambil mengatakan, “Ayo, kenapa diem aja di situ? Cepat ambil baju, mandi, trus sarapan. Mama ga mau kalau sampai telat ya?!”, yang membuat perhatianku buyar dan segera melaksanakan perkataannya.

Setelah mandi dan sarapan, aku bersiap-siap ke sekolah. Karena jarak sekolah dengan rumahku hanya 1 blok, jadi kami akan berjalan kaki. Ibu mengantarkanku ke sekolah sambil menggandeng adikku yang kala itu masih 3 tahun. 

Ketika kami keluar rumah dan berjalan ke arah pagar, sekilas pandanganku melihat ada kain kecil berwarna kuning di garasi. Kain itu seperti menempel di jendela luar, dan melambai pelan seakan-akan tertiup angin. Aku tidak ambil pusing karena merasa mungkin saja itu kain penutup mobil. Jadi aku tidak mengatakan apapun ke Ibu dan adikku, namun aku dikejutkan oleh suara adik. Dia berkata, “Dadahhh....!”. Aku menengok ke arah adikku, dan ternyata dia sedang melihat ke arah garasi sambil melambaikan tangannya. Pikir ku, aneh. Adikku melambaikan tangan ke siapa, karena jelas-jelas di garasi tidak ada siapa-siapa. Ibu yang juga melihat hal itu, diam saja lalu segera menggendong adik dan berusaha mengalihkan pandangannya ke arah depan. 

Sesampainya di sekolah, Ibu berkata bahwa kali ini akan menunggu sampai aku pulang. Ini tidak biasanya, karena selama ini Ibu tidak pernah menungguku di sekolah. Setiap pagi setelah mengantarku sekolah, ayah akan berangkat ke kantor, lalu nanti ibu akan menjemput sepulang sekolah. Tapi hari ini, Ibu menemaniku di sekolah. Beliau duduk di luar dan berbincang dengan ibu-ibu lain yang juga menunggu anaknya di sekolah. Adikku, langsung berlari untuk bermain ayunan di halaman sekolah. 

Sekolahku cukup besar untuk ukuran Taman Kanak-kanak. Apa mungkin karena aku yang masih kecil, sehingga sekolah itu terasa cukup besar untukku? Hmm.. Bisa jadi! 

Sekolah itu terdiri atas 1 gedung yang isinya 4 ruang kelas, 1 ruang guru, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang untuk makan bersama, lalu 1 ruang UKS jika ada murid yang sakit atau tidak enak badan. Di samping kanan sekolah ada masjid kecil, jadi kalau hari Jumat, kami akan mengaji di masjid itu. Lalu di bagian depan masjid dan samping gedung adalah tempat bermain yang ada ayunan, jungkat-jungkit, monkey bar, perosotan, dan lain-lain. 

Biasanya kami akan belajar selama sekitar 1 jam, lalu Ibu guru akan membimbing kami ke ruang makan untuk bersama-sama makan cemilan yang memang di sediakan sekolah. Saat berjalan ke arah ruang makan, aku melihat adikku main perosotan, tapi aku juga melihat ada yang berdiri di samping perosotan itu. Sosok itu perempuan, karena aku melihat rambutnya sangat panjang, dengan baju berwarna kekuningan. Yang aneh, perempuan itu sangat tinggi karena kepalanya hampir sejajar dengan besi atas ayunan. Aku tidak melihat wajahnya karena perempuan itu berdiri membelakangiku, jadi wajahnya menghadap ke adikku. Rasanya aku penasaran, siapa perempuan ini, kenapa melihat adikku seperti itu, dan mau apa dia. Pikiran ini masih ada sampai aku selesai makan. 

Jadi setelah selesai makan, aku langsung cuci tangan, dan segera berlari ke arah taman bermain sekolah. Setelah makan, memang anak-anak akan bermain di taman. Saat itu aku mencari adikku tapi tidak menemukannya, jadi aku berlari ke arah pagar sekolah tempat ibu-ibu berkumpul menunggu anak-anak. Di situ aku menemukan ibuku yang berusaha menenangkan adikku yang menangis sambil menggendongnya. Ibu-ibu yang lain juga berusaha ikut membantu menenangkan. Aku yang penasaran bertanya ke Ibu, “Adek kenapa Ma?”. “Tadi adek main perosotan, trus tiba-tiba jatuh. Tangan dan kakinya luka, berdarah. Sekarang udah gak apa-apa, udah minta obat tadi sama ibu guru. Sana, kakak main, nanti dicari sama Ibu guru”, jawab Ibuku. Jadi ya sudah, aku meninggalkan tempat itu dan berjalan ke arah taman. Saat itu sama sekali tidak ada pikiran bahwa jatuhnya adikku ada hubungannya dengan perempuan yang tadi aku lihat, sampai dengan malam itu.

Di rumahku ruang makan letaknya di belakang, menyatu dengan dapur dan kamar mandi di ujung. Ruang makan dengan ruang tengah terpisah tembok dan pintu. Jadi kalau Ibu sedang masak, kami bermain di ruang makan, dan pintu ruang makan akan di tutup. Sehingga sambil memasak, ibu bisa sekaligus memperhatikan dan menjaga kami. Kalau kami bermain di ruang tengah atau di depan, Ibu jadi sulit kalau harus mondar-mandir masak sambil sesekali mengecek kami. Jadilah setiap ibu masak, kami akan menemani beliau di ruang makan sambil bermain. 

Hari itu, ibu tidak masak. Beliau membeli lauk untuk makan siang dan malam. Sesampainya di rumah, kami makan siang. Ibu selalu membiasakan untuk tidur siang beberapa saat setelah makan siang. Seingatku setelah naik ke kasur, aku langsung terlelap, tapi tiba-tiba terbangun oleh suara ibu yang mencari-cari adikku. 

“Adit... Adittt..” 

Aku yang masih pusing karena terbangun tiba-tiba, bertanya ke Ibu, “Mama, nyari siapa? Khan adek tidur di samping mama”. Ibuku melihat ke arahku dengan tatapa bingung, dan berkata, “Adek ga ada di kasur, kak! Ga tau adeik ke mana.” 

Sungguh tadi aku melihat adikku tidur di samping ibu, tapi setelah ibu mendengar ibu berkata seperti itu, aku tengok lagi ke samping, ternyata memang benar tidak ada. Aku bingung, tadi ketika terbangun aku yakin aku melihatnya, tapi sekarang, gimana bisa tidak ada?!

Aku mengikuti ibuku turun dari kasur, dan keluar kamar. Ibu berlari ke arah depan sambil terus berteriak memanggil adikku, tapi adikku tetap tidak ketemu. Ibu lalu keluar mencari ke garasi dan halaman rumah, sampai lari ke arah luar. Ibu sampai menanyakan ke tetangga yang sedang berkumpul di depan rumah mereka, apakah ada yang melihat adikku. Aku yang mengamati ibuku yang panik mencari adikku hanya bisa berdiam di halaman rumah. Sampai aku merasakan tangan hangat di pundak kananku. Aku melihat ke tangan itu, tangan keriput, namun terlihat bersih, kuku-kukunya pun rapi. Lalu aku mendongak untuk melihat pemilik tangan yang memegang pundakku. Ternyata seorang kakek-kakek, beliau memegang tongkat di tangan kirinya, berbaju hitam, dengan janggut yang cukup panjang sampai ke dadanya. Rambutnya sudah memutih dan kepalanya memakai kain ikat. Aku tidak kenal dengan kakek-kakek ini, atau darimana dia, bagaimana dia ada di halaman rumahku. Tapi tidak ada rasa takut ketika melihatnya, hanya perasaan hangat.

Kakek itu hanya menunjuk ke arah rumah, tidak berkata apa-apa. Entah mengapa aku seolah mengerti apa maksudnya. Jadi aku berjalan masuk ke arah rumah, lalu kaget karena kakek itu sudah ada di depan pintu dapur yang sekarang sedang tertutup dan beliau menunjuk ke arah pintu. Aku yang tersadar, lalu berlari keluar memanggil ibu.

“Mamaaaaa, Adit ada di ruang makan, tapi pintunya kekunci!”, Ibuku langsung berbalik, menghampiriku, dan berkata “Kakak tau darimana? Kakak lihat adek masuk ke dapur?” Aku menggeleng, tapi juga tidak mampu bercerita. Ibuku juga tidak mendesakku bercerita karena beliau lalu berjalan masuk ke rumah dan menghampiri pintu dapur. Ketika berusaha membuka, ternyata tidak bisa, seperti terkunci dari dalam. Ibuku panik lagi, menggedor-gedor pintu sambil memanggil adikku, “Dekkk,, addekkkk,, adek di situ? Ini mama, ayoo buka pintunya dek!”.

Tidak lama terdengar seperti rengekan suara adikku. Ibu semakin kencang menggedor-gedor pintu, berusaha mendobrak pintu itu juga. Suasana sangat panik, aku kebingungan harus apa. Anak TK yang tidak tahu harus berbuat apa disituasi seperti itu. Ingin menangis tapi tidak bisa. Kalau saja saat itu sudah ada smartphone seperti saat ini, mungkin ibu sudah pasti akan menelepon ayah. Tapi saat itu alat komunikasi sangat minim, di rumahku juga tidak ada telepon. 

Ibu masih berusaha membuka pintunya, walapun tahu bahwa kemungkinan besar akan sia-sia. Pintu itu terbuat dari jati, berat, dan besar, penuh ukiran. Dibutuhkan kekuatan yang besar untuk bisa mendobrak pintu itu. Jadi satu-satunya cara adalah menuntun adikku agar mendekat ke arah pintu dan melepas kuncinya, lalu menggeser kuncinya ke bawah pintu agar Ibuku bisa mengambil dan menggunakan kunci itu untuk membuka pintu dari luar. Tapi mengarahkan anak 3 tahun sungguh sangat sulit. Entah berapa kali aku seperti mendengar ibu putus asa untuk menuntun adek mengambil kunci. Selama itu pula aku juga mendengar bahwa adikku menangis di dalam sana, dan ada suara samar perempuan yang menangis, atau kadang seperti suara tertawa. Atau kadang seperti suara berbisik. Aku mencoba mendengarnya suara itu namun tidak dapat menangkap dengan jelas.

Aku tidak tahu berapa hal ini berlangsung, tapi lalu terdengar suara kunci berhasil di lepaskan. Bersamaan dengan itu, aku kaget dan terhentak ke belakang karena aku mendengar suara teriakan yang penuh amarah. Suara teriakan perempuan, tidak panjang, hanya sekali namun cukup keras dan memekakkan telinga. Namun, seperti hanya aku yang mendengar suara sosok perempuan itu, karena Ibu masih fokus mengarahkan adikku untuk menyelipkan kunci ke bawah pintu. Setelah beberapa saat, kuncinya berhasil diselipkan dan di tangkap ibu. Cepat-cepat ibu memasukkan kunci, memutarnya, dan segera menekan gagang pintu untuk mendorongnya terbuka. Di sana, adikku terlihat sungguh malang. Dia berdiri dengan celana basah karena ompol, dan wajah yang penuh ingus serta air mata. Ibu langsung menggendong, memeluk, dan berusaha menenangkannya. Aku cuman bisa melihat sambil berdiri di ambang pintu.

Setelah semua kehebohan itu, Ibu tidak pernah melepas padangannya dari kami sejak sore sampai malam hari. Kami lebih banyak bermain di kamar ketimbang di luar. 

Malam itu kami juga tidur lebih cepat. Tapi sebelum kami tidur, ibu menggosokkan bawang putih ke jempol kaki kami masing-masing, dan mengunci pintu kamar. Kepercayaan di keluarga kami, menggosokkan bawang putih ke jempol kaki adalah untuk perlindungan dan menolak bala.

Aku belum bisa langsung tidur, karena memang bukan jam tidurku. Tapi setelah beberapa nyanyian ibuku dan usapan di kepala, sepertinya aku tertidur. Tapi anehnya, aku juga seperti tidak tertidur, antara sadar dan tidak.

Jadi aku seolah-olah bermimpi turun dari kasur dan berjalan ke ruang tengah. Di situ aku melihat kakek itu lagi, tapi ternyata ada seorang nenek-nenek juga berdiri di samping kakek itu. Mereka tersenyum kepadaku. Aku yang tidak merasa takut atau terancam, berjalan ke arah mereka. Mereka terasa seperti kakek atau nenekku sendiri, tapi sudah jelas bukan. Karena kakek dan nenekku tinggal di kota lain dan wajah atau pewarakannya pun juga tidak sama. Setelah aku mendekat ke mereka, tangan mereka terangkat dan menunjuk ke jendela. Di situ aku melihat sosok yang tadi siang aku lihat berdiri dekat adikku, sedang berdiri di depan jedela, berusaha untuk masuk. Tapi dia tidak bisa masuk karena dia seperti terbentur oleh jendela dan atap. Aku tidak melihat matanya karena tertutup rambutnya yang terurai acak-acakan, tapi jelas aku merasakan aura kemarahannya. Dia marah karena tidak bisa masuk ke rumah. 

Lalu kakek dan nenek berjalan ke arah jendela, sesampainya dekat jendela, kakek mengibaskan tangannya ke arah sosok itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi sosok itu terlempar ke arah luar pagar. Aku mendengar lagi jeritan yang memekakkan telinga. Namun kali ini jeritannya panjang dan nyaring, walaupun aku menutup telinga, aku masih mendengarnya. Tidak lama aku merasa tangan hangat mengusap kepalaku dan aku seperti mendengar suara, “Tidur lagi nak sayang, kami yang akan menjaga. Jangan takut.” 

Aku sempat bertanya, “Kakek dan nenek siapa?”

Sampai sekarang aku tidak pernah ingat jawabannya, karena aku tiba-tiba terbangun. Aku  mendengar ibu membangunkan, “Bangun kakak, sudah pagi. Waktunya sekolah!”. 

Saat membuka mata, aku menyadari hari sudah pagi. Aku segera bangun, bersiap ke sekolah dan sarapan. Ketika keluar rumah, aku mencoba melihat ke arah garasi, dan tidak melihat kain kuning yang hari sebelumnya aku lihat menempel di luar jendela kamar. Aku perhatikan adikku, tapi di cuek saja waktu melewati garasi seolah tidak melihat apapun atau siapapun di situ. Jadi aku merasa apapun itu sudah pergi kemarin setelah di usir kakek. 

Pertanyannya, jadi semalam itu benarkah mimpi?

 

Obvius

Setelah kejadian tempo itu, terkadang aku sekilas melihat sosok kakek di taman, atau kadang terlihat dari sudut mataku. Tapi kalau aku menengok dan sengaja melihat, beliau akan menghilang. 

Berbeda lagi dengan sosok nenek. Aku sering melihatnya berdiri di depan lemari hias yang ada di ruang tengah. Biasanya sosok ini hanya berdiri diam sambil tersenyum dan mengamati aku dan adikku bermain. 

Sosok nenek ini selalu terlihat memakai kebaya brokat warna hitam dengan kain jarik warna coklat tapi motifnya hitam juga. Aku lupa motifnya apa, tapi kurang lebih seperti itulah pakaian beliau. Rambutnya pun tersanggul seperti orang-orang zaman dulu. 

Dari keduanya, sosok neneklah yang paling sering menampakkan diri. Rasanya beberapa kali aku juga bermimpi bertemu beliau. Tapi tidak pernah beliau mengatakan apapun. Hanya memandang aku, baik dari dekat maupun kadang seperti dari kejauhan.

Suatu hari rumahku kedatangan kakek dan nenek asliku dari pihak ibu. Selain beliau berdua, datang juga adiknya nenekku, yang sering aku panggil Mbah Lek. 

Mbah Lek ku ini dikenal dengan tirakatnya, jadi tingkat sensitifitas dan bisa dibilang pemahamannya akan dunia tak kasat mata juga sangat tinggi. Beliau kerap berinteraksi dengan hal-hal tersebut. Hal ini diketahui dengan baik oleh seluruh keluargaku. Sebenarnya nenekku pun juga sama, walaupun tidak seperti Mbah Lek.

Jadi ketika mereka sampai di rumahku, seperti biasa, ibu menyuruhku untuk cium tangan. 

“Cucuku, Agnes. Sudah besar dan tambah tinggi ya!”, seru nenekku ketika melihatku.

“Iya, makannya tambah banyak. Tambah pinter juga, Eyang. Tapi ya gitu, ga bisa diem.” kata ibuku. 

“Sudah salim sama Mbah Lek? Dulu terakhir ketemu waktu kamu umur tiga tahun, sekarang sudah lima tahun. Halaaahh, ga terasa cucuku sudah gedhe saiki!”

Waktu aku mengalihkan pandanganku dari nenek ke mbah Lek, aku merasa beliau mengamatiku. Tapi aku tidak berpikir apa-apa, dan segera meraih tangannya. Anehnya, aku merasa tangannya sangat hangat, hampir terasa panas. Jadi, aku segera melepaskan tangannya. Tapi beliau tidak marah, malah beliau tertawa kecil dan mengusap kepalaku.

“Oh, jadi kamu bisa ya?!”, kata mba Lek sambil tetap mengusap kepalaku. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke ibuku dan berkata, “Kamu tau khan kalau anakmu yg ini bisa?”.

Jujur aku tidak mengerti apa maksudnya perkataannya. Aku pikir beliau akan marah karena hal tadi, tapi nyatanya beliau malah tertawa. Seolah-olah apa yang aku lakukan membenarkan pemikirannya.

Ibuku hanya menjawab: “Tadinya aku mikir dia cuman mengkhayal aja, Lek. Tapi ternyata bener toh. Bisa ditutup aja ga, Lek? Nanti kalau anaknya ga kuat gimana?”. 

“Aku liat dulu, kalau sekiranya memang ga kuat, nanti aku tutup. Tapi suatu saat ya pasti akan terbuka lagi. Wong memang dasarnya dia bisa”. 

Ibuku menghela napas dan tidak berkata apa-apa lagi.

Sementara itu, aku hanya bisa berdiri diam melihat mereka, tanpa bisa mengerti apa maksud dari itu semua. Baru bertahun-tahun kemudian aku mengerti maksud dari pembicaraan itu.

Selama beberapa hari mereka menginap di rumahku, suasana rumah terasa sangat menyenangkan. Pagi-pagi setelah sarapan, kami akan jalan-jalan mengunjungi keluarga ayahku, atau ke rumah adik bungsunya nenek yang juga tinggal di Jakarta, seingatku juga pernah juga mengunjungi tempat wisata. Yang pasti saat itu aku sangat senang karena tidak harus sekolah, tapi aku lupa, apakah karena aku memang libur sekolah atau memang izin tidak sekolah. Lalu malam hari biasanya kami akan berkumpul di ruang tengah. Seingatku dulu siaran tv tidak sampai malam, tidak seperti sekarang. Jadi kalau sudah malam, kegiatan kami bermain atau bertukar cerita. Atau seperti malam ini, tebak gambar dengan kakekku!

Kakekku sangat pintar menggambar, jadi hiburan kami malam itu bermain tebak gambar. Kami akan bergantian menggambar apa yg sekiranya kami lihat di ruang tengah. Kakekku menggambar kursi, meja, bufet, lemari; adikku menggambar benang kusutnya; lalu aku menggambar jam dinding, tv, lalu… nenek. Karena aku melihatnya sedang berdiri di depan lemari pajangan, mengamati kami semua sambil tersenyum. 

“Wah, ini pasti Mbah Putri ya. Hahaha, Mbah Kung tau khan?!” Kata kakekku, karena mengira yang aku gambar adalah nenekku yang asli. 

“Bukan, Kung. Ini bukan Mbah Putri, ini tuh eyang itu lho, yang lagi berdiri di situ.” tunjukku ke arah lemari.

Kebetulan semuanya sedang berkumpul di ruang tengah. Ayah, Ibu, nenekku, kakekku, Mbah Lekku, aku, dan adikku. Semua tatapan melihat ke arahku, karena sudah pasti mereka tidak melihat siapa-siapa di depan lemari. 

Akhirnya Mbah Lekku memecah keheningan, “Oh iya, eyang ya. Lagi ngapain eyang nya nak?”

“Berdiri depan lemari mbah Lek, ngeliatin dari tadi sambil senyum-senyum sendiri.”

Kriiieekkkk… Terdengar suara pintu dapur yang tadinya tertutup tiba-tiba terbuka pelan. Tidak berselang, aku melihat sosok kakek yang biasanya ada di taman, sekarang berdiri di samping pintu dapur. 

“Eyang Kung, kuq tumben masuk ke sini, biasanya di taman.” Ku arahkan pandanganku ke ke Mbah Lek yang masih menatapku.  

Ibuku bukan penakut, tapi tidak bisa dikatakan pemberani juga. Mendengar perkataanku, beliau langsung berkata, “Sudah, ayo sudah malam. Ayo tidur! Besok lagi mainnya.” sambil beranjak dan membawaku ke kamar. Aku merasa sedih karena sepertinya Ibu tidak percaya dengan apa yang aku katakan. Jadi aku hanya bisa menurutinya beliau masuk ke kamar, lalu bersiap tidur.

Malamnya aku gelisah, aku tidak ingat bermimpi apa, namun terasa seperti ada sesuatu. Lalu aku tiba-tiba terbangun. Saat itu sayup-sayup aku mendengar seperti ada yang sedang berbicara. Penasaran, aku turun dari kasur, berjalan ke arah pintu, lalu membukanya sepelan mungkin, supaya tidak membangunkan Ibu dan Ayahku. Lalu aku berjinjit ke arah suara. Ternyata, aku melihat Mbah Lekku sedang duduk di sofa sambil merokok, di depannya ada cangkir kopi, dan di sofa aku melihat sosok nenek dan kakek duduk di sofa juga.

“Mbah Lek” panggilku. 

Tidak ada raut kaget di wajah beliau, malah beliau tertawa kecil melihatku dan berkata, “Haha, kamu pasti denger ya?! Sini, duduk samping Mbah Lek.”

“Kamu sudah sering ketemu sama eyang-eyang ini khan? Iya, eyang ini yang akan jaga kamu. Ndak apa-apa, nanti kalau kamu sudah besar, mereka akan pergi sendiri.” Diam sebentar, lalu melanjutkan lagi, “eyang putri ini, rumahnya di bunga mawar yang ada di atas lemari. Ingetin mama buat sering bersihin rumahnya ya!”

“Oh, jadi sekarang mereka di sini buat jagain Agnes toh? Iya, pernah ada monster Ibu datang ke rumah, mau ganggu adek, tapi akhirnya sama eyang Kung di usir. Tapi Agnes ga takut kuq mbah. Agnes berani mbah. Pinter.”

“Hehehe, iya. Agnes cucunya siapa dulu!”, timpal mbah Lekku.

Tiba-tiba beliau menengok ke arah sosok kakek dan nenek, lalu seolah-olah mereka bicara. Tapi aku tidak melihat bibir kedua sosok itu bergerak. Anehnya, mbah Lekku paham dan berbicara dengan mereka berdua. Tidak lama, aku di suruh tidur lagi oleh Mbah Lekku, karena aku merasa mengantuk, jadi aku menurut dan masuk ke kamar lagi untuk melanjutkan tidur.

Beberapa hari kemudian, kakek, nenek, dan Mbah Lekku akan pulang ke kota S di Jawa Timur. Kota asalku. 

Saat berpamitan, mereka berpesan ke Ibuku, supaya menjaga kami baik-baik. Lalu Mbah Lek juga berpesan, “Nduk, kalau kamu diganggu siapapun, terutama kalau muka atau badannya aneh, baca doa ya. Jangan takut. Banyak nanti yang akan jaga dan bantu kamu”. “Iya Mbah Lek”, kataku.

Setelah semua tamu pulang, rumah rasanya sepi lagi. Padahal sebelumnya juga kami hanya berempat di rumah itu. 

Setiap aku melihat sosok nenek muncul di depan lemari, aku selalu panggil Ibu dan mengingatkan untuk membersihkan bunga mawarnya. Awalnya aku kira bentuknya benar-benar bunga, tapi ternyata, ‘rumah’ sosok nenek adalah pajangan meja berbentuk bulat yang di tengahnya seperti ada pahatan atau ornamen berbentuk mawar. Ke manapun kami pindah, Ibu selalu membawa pajangan ini. 

Lain halnya dengan sosok kakek di taman, sepertinya sosok ini adalah penjaga yang memang terikat dengan rumah itu. Karena tidak lama berselang, ayahku memutuskan untuk pindah ke kota S di Jawa Timur. Semenjak itu aku tidak pernah lagi melihat sosok kakek tersebut. Tapi, sosok nenek masih menemaniku hingga aku dewasa.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan