
"Mantanku Nikah, Aku Nikah Sama Nasi Padang"(Kisah move on gagal yang dibumbui rendang)
Cerita ini adalah kisah patah hati yang dibumbui pedasnya rendang dan getirnya realita. Saat mantan menikah, Vina memilih "menikah" dengan nasi Padang teman setia yang tak pernah PHP. Dari air mata di atas gulai otak hingga tawaran ayam pop gratis dari abang delivery, kisah ini mengajak kita tertawa getir, merasa hangat, dan menyadari satu hal: move on bukan soal cari pengganti, tapi menemukan rasa yang nggak pernah bohong.
Aku tahu aku belum move on... saat aku ngiler lihat rendang, bukan pelaminan.
Hujan turun sejak pagi, langit kelabu seperti hatiku, dan sialnya: notifikasi WhatsApp-ku menyala pukul 08.01 pagi.
"Undangan Pernikahan: Dinda & Fikri"
Dengan latar daun-daun kering dan kutipan ayat suci, seolah Tuhan pun turut merestui pengkhianatan itu.
Tanganku gemetar.
Bukan karena cinta, tapi karena aku sedang memegang piring panas isi nasi padang yang tumpah sedikit ke paha.
Sakit. Tapi nggak sesakit liat mantan nikah duluan.
Aku menatap undangan digital itu lama, berharap ada typo.
Mungkin "Dinda & Fikri" itu pasangan lain.
Tapi tidak. Itu dia. Fikri. Cowok yang katanya mau nabung dulu sebelum nikah, tapi ternyata... dia nabung buat orang lain.
Ironi? Tidak. Ini lebih mirip prank Tuhan yang kelewat niat.
---
Aku menghabiskan rendang pertamaku dengan kecepatan yang tidak manusiawi.
Pedasnya membakar lidah, tapi hatiku lebih terbakar.
Kuambil satu lagi. Dan satu lagi.
Sampai tiba-tiba, ibu kost datang ke kamarku dengan tatapan ngeri.
“Vina, kamu nangis sambil makan gulai otak. Kamu nggak apa-apa?”
Aku tersenyum.
Air mataku jatuh, dan sialnya, tercampur dengan sambal hijau.
“Enggak, Bu. Ini air mata bahagia.”
Dia mundur perlahan. Mungkin takut aku kerasukan. Atau takut dompetku kerasukan jin lapar.
---
Hari demi hari aku lewati dengan rutinitas absurd:
Kerja pulang nangis makan nasi padang.
Ulangi.
Bahkan abang nasi padang depan kost mulai hafal pesanan:
“Rendang dua, sambal banyak, hati ditambahin, ya Kak?”
Ironis.
Rendang bisa aku dapet kapan aja.
Tapi "hati"?
Mesti nambah. Dan tetap aja nggak cukup.
Sampai suatu malam, di tengah guyuran hujan, aku iseng DM Fikri:
"Selamat ya. Aku doain kalian bahagia."
Kirim.
Hapus.
Tulis lagi.
Kirim.
Blokir.
Karena keberanian perempuan itu biasanya muncul jam 1 pagi, lalu menyesal jam 7.
---
Aku makin tenggelam. Bukan dalam pekerjaan, bukan dalam healing.
Tapi dalam lautan kuah padang yang pekat dan penuh kenangan.
Setiap gigitan rendang mengingatkanku pada omongan Fikri dulu:
“Aku suka cewek yang nggak ribet. Simpel. Kayak kamu.”
Katanya.
Tapi sekarang dia nikah sama wanita yang makan salad, bukan sambal.
Yang diet, bukan doyan gulai.
Aku merasa kalah.
Tapi lucunya, aku tetap beli rendang.
---
Sampai pada satu titik, aku berdiri di depan cermin, buncit.
Perutku mulai protes. Hatiku masih trauma.
Tapi entah kenapa, aku merasa... damai.
Karena ternyata, nasi padang tidak pernah ghosting.
Tidak pernah PHP.
Tidak pernah bilang "aku belum siap" lalu siap untuk orang lain.
Aku mulai menyadari satu hal:
Kadang kita nggak perlu cinta, cuma butuh rasa.
---
Hari H pernikahan Fikri tiba.
Aku tidak datang. Tapi aku merayakan.
Dengan cara yang agung dan bermartabat:
Aku memesan nasi padang satu nampan penuh.
Sendiri. Di kost. Pakai daster.
Dan nyalain lilin kecil di tengah ruangan.
Bukan buat romantis, tapi karena PLN mati.
Tiba-tiba, ada ketukan pintu.
“Permisi, Kak. Abangnya yang biasa ngantar nasi padang. Ini orderannya... tapi boleh tanya?”
Aku heran. “Apa?”
“Kenapa tiap minggu Kakak pesen nasi padang, tapi ditulis di notes: ‘Untuk merayakan patah hati yang gagal move on?’”
Aku tercekat.
Tiba-tiba malu. Tapi juga pengen ketawa.
“Karena... mungkin aku nggak bisa nikah kayak mantan, Bang. Tapi aku bisa nikah sama yang nggak pernah ninggalin aku.”
Dia mengangguk.
Lalu berkata pelan, “Kalau gitu, besok... boleh saya tambahin ayam pop-nya? Gratis. Buat Kakak.”
Aku menatap wajahnya.
Dia tidak tampan. Tidak juga pakai dasi atau parfum. Tapi dia... hangat.
Ada sesuatu dalam senyumnya yang tidak seperti rendang.
Lebih... tulus.
---
Dua bulan kemudian, aku masih sering pesan nasi padang.
Tapi sekarang, sering bareng dia.
Kadang kami makan di taman. Kadang di warung kecil.
Dan kadang... di pelaminan orang lain yang kami datangi sambil nyicipin gratisan.
Sampai suatu hari, dia bertanya,
“Kalau nanti kamu udah bisa move on... kamu masih mau makan nasi padang bareng aku?”
Aku jawab cepat:
“Justru karena kamu, aku bisa move on. Tapi jangan harap aku berhenti makan rendang.”
---
TWIST:
Setahun setelahnya, aku nikah.
Bukan dengan Fikri. Bukan dengan abang nasi padang.
Tapi dengan pria yang datang ke hidupku waktu aku berhenti cari siapa-siapa.
Dia bukan cinta pertama, bukan yang kutunggu,
tapi dia... yang datang pas aku paling lapar dan butuh rasa.
Kami nikah sederhana, tanpa katering mewah.
Cuma ada satu menu di meja panjang pesta kami:
Nasi padang.
Lengkap.
Dengan rendang, sambal, dan hati.
Karena akhirnya... hatiku juga ikut disajikan kembali.
---
Kalau kamu pikir cerita ini berakhir bahagia...
tunggu sampai kamu tahu: Fikri sekarang buka usaha diet food bareng istrinya.
Dan mereka bikin konten “cara move on sehat”.
Sementara aku?
Masih makan nasi padang.
Dan tiap gigitan...
selalu mengingatkanku,
bahwa rasa tidak pernah bohong. Tapi cinta? Sering.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
