
Mas. Dia manggil aku Mas. Demi Tuhan dan semua promo cuci gudang, itu panggilan terdengar seperti rayuan lembut dari drama Korea.
Jadi begini…
Namaku Aldi, 24 tahun, belum punya pacar. Tapi hatiku sudah berkali-kali jatuh. Terutama di Indomaret.
Hari itu, aku cuma niat beli sabun cuci muka. Tapi takdir berkata lain. Di balik kasir berdirilah dia: mbak kasir dengan name tag “Lia”, senyum manis, dan logat Jawa halus yang bikin hatiku kayak kerupuk kena kuah—lembek, leleh, dan tak berdaya.
“Totalnya dua puluh tujuh ribu, Mas.”
Mas. Dia manggil aku Mas.
Demi Tuhan dan semua promo cuci gudang, itu panggilan terdengar seperti rayuan lembut dari drama Korea.
Besoknya aku balik lagi. Kali ini beli satu roti, satu air mineral, satu permen karet—semua tak penting, yang penting: bertemu Lia.
“Totalnya tujuh belas ribu, Mas.”
Masih Mas. Masih senyum. Hatiku mengembang.
Hari ketiga, aku panik. Aku kehabisan alasan. Masa aku beli bantal di Indomaret?
Akhirnya aku pura-pura salah masuk. “Eh, aku kira ini Alfamart, loh.”
Dia ketawa. “Ya ampun, Mas bercanda terus. Gak apa-apa kok, saya udah hafal Mas-nya.”
Saya udah hafal Mas-nya.
Saat itu juga, aku nyaris sujud syukur di depan rak shampo.
Tapi kamu tahu gimana akhirnya?
Tiga hari kemudian, aku datang lagi. Tapi kasirnya udah ganti. Cowok. Namanya Wawan.
Senyumnya juga ramah. Tapi panggilanku udah bukan “Mas” lagi.
“Totalnya lima belas ribu, Bang.”
Dan di situ, aku sadar…
Kadang cinta tak selalu dipromokan ulang.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
