Haram Jadah: Hari Pembalasan (BAGIAN 2)

1
0
Deskripsi

Si gadis ompong yang duduk di sebelah Nurdewi memperhatikan raut wajah datar gadis itu. Setelah meminum segelas air putih, dia menyadarkan Nurdewi dari lamunan menggunakan sikutnya yang dibenturkan di lengan Nurdewi.

            “Ada apa?” tanya si gadis ompong dengan kerutan di kening. Dia mungkin mengira Nurdewi tengah memikirkan cara agar bisa kabur dari rumah Mama Melisa, atau merenungi bakal nasibnya ke depan. Namun mustahil, sebab si gadis ompong sudah melihat sendiri betapa ajaib gagasan Nurdewi.

Nurdewi sudah wangi, cantik, bersih, glowing, dan bahkan anggun. Mama Melisa sangat terampil mengubah penampilan para gadis lusuh itu sehingga terlihat menjadi gadis berkelas perkotaan pada umumnya. Masing-masing dari mereka diberikan gaun baru bersih. Tak lupa disemprot wangi parfum aroma lavender yang searoma dengan wangi setiap ruangan rumah megah itu. Si gadis ompong yang sebelumnya terlihat seperti nenek peyot kekurangan gigi pun sudah jauh berubah menjadi gadis cantik berkelas. Gigi ompongnya itu sama sekali tidak membuatnya terlihat menyedihkan. Kulit para gadis mengilap, seolah debu dan kotoran takut hinggap barang sedikit pun.

            Tak kurang satu apa pun, mereka sudah diberi makan makanan mahal dan berkelas. Nurdewi masih tercenung dengan ketakjubannya pada kehidupan baru itu. Dari gadis desa kumal yang hanya makan ubi dan tumbuh-tumbuhan, makan daging setahun sekali, kini akan lebih sering makan makanan lezat. Jantungnya berdentam, sementara pantatnya menempel lekat di kursi kayu jati paten seolah-olah tidak ingin beranjak barang sedikit pun. Disaksikannya para gadis lain makan sangat lahap. Tak ada yang meringis kali ini. Mereka sama gembiranya seperti Nurdewi. Demikian pula dengan gadis ompong yang sedari tadi sudah nambah nasi serta lauk sebanyak tiga kali.

            Mama Melisa yang sedang makan dengan raut wajah tenang, sesekali tersenyum melihat para anak gadisnya kenyang dan cantik. Pandangannya tertumbuk pada Nurdewi yang duduk di kursi paling tengah. Sungguh-sungguh gadis itu memang cantik, entah siapa ibunya, entah siapa ayahnya, Mama Melisa hanya bisa bertanya-tanya. Bahkan tak jarang dia merasa mustahil Nurdewi berasal dari desa pelosok di antara pelosok.

            “Kamu tidak nambah lagi makannya, Sayang?” tanya Mama Melisa yang kemudian meraih segelas minuman di sebelahnya.

            Nurdewi menoleh karena merasa dirinya yang diajak bicara, sementara yang lainnya masih terus nambah mengisi perut mereka sampai entah. Gadis itu menggeleng pelan. Sebelum menjawab, dia beserdawa amat keras. Sehingga secara refleks, dia membekap mulut.

            “Maaf,” katanya, tersenyum getir. “Nur sudah kenyang,” lanjutnya. Dia menggaruk pelipis. Sekilas kemudian, matanya mengedar ke sekeliling ruang makan yang sangat luas itu. Saking luasnya, Nurdewi sampai bertanya-tanya, untuk apa ruangan makan dibuat seluas itu. Lagi pula, meja makan memanjang yang berada di tengah-tengah ruangan tersebut hanya bisa menampung sekitar 25 orang. Tempat di ruangan itu tersisa masih sangat banyak. Namun tak ada yang diletakkan, entah lemari, bufet, atau apa pun. Yang tampak ramai justru dindingnya karena dipenuhi lukisan abstrak yang Nurdewi tidak ketahui maknanya.

            Selain itu, juga ada beberapa bedil yang terpajang di sebelah lukisan-lukisan tersebut. Mata Nurdewi menyorot pada bingkai foto besar yang menampilkan wajah cantik Mama Melisa. Mungkin itu foto Mama Melisa sewaktu usia dua puluhan, begitulah pikir Nurdewi. Bahkan setelah cukup berumur pun, Mama Melisa masih sangat cantik. Apalagi ketika masih muda dan belia. Nurdewi mengernyit sekilas kemudian, sebab entah seperti siapa Mama Melisa terlihat di matanya.

            Si gadis ompong yang duduk di sebelah Nurdewi memperhatikan raut wajah datar gadis itu. Setelah meminum segelas air putih, dia menyadarkan Nurdewi dari lamunan menggunakan sikutnya yang dibenturkan di lengan Nurdewi.

            “Ada apa?” tanya si gadis ompong dengan kerutan di kening. Dia mungkin mengira Nurdewi tengah memikirkan cara agar bisa kabur dari rumah Mama Melisa, atau merenungi bakal nasibnya ke depan. Namun mustahil, sebab si gadis ompong sudah melihat sendiri betapa ajaib gagasan Nurdewi.

            “Oh, maaf. Tidak apa-apa.” Nurdewi tersenyum pasrah sambil menatap si gadis ompong yang menarik sudut kanan bibirnya.

 

Setelah acara makan itu berakhir, para gadis kembali ke kamar. Mama Melisa, demi para gadis itu tidak bosan diam di rumah sepanjang hari, dia membelikan berbagai buku bacaan, novel tentunya. Itu juga cara yang cukup efektif untuk mengalihkan pikiran mereka dari gagasan-gagasan untuk melarikan diri. Lagi pula, gagasan melarikan diri berpotensi sia-sia. Seperti yang dikatakan sebelumnya, tak ada celah untuk keluar dari gerbang di halaman depan. Gerbang itu tak pernah ditinggal barang sedetik pun oleh para penjaga. Memangnya mereka bisa kabur dari mana? Tembok pekarangan rumah saja tingginya lebih dari tiga meter, belum lagi ada pecahan kaca di tiap ujungnya. Apalagi, ada beberapa anjing galak di beberapa tempat.

            Meskipun sudah bersama semalaman dengan para gadis lain, Nurdewi tak pernah berkenalan dengan mereka. Hanya dengan si gadis ompong dia akrab, tetapi belum mengetahui nama aslinya. Sementara para gadis lain sudah mulai saling mengakrabkan diri. Mereka lebih asyik mengobrol daripada membaca buku. Sedangkan Nurdewi sebaliknya. Dia fokus dengan buku bacaannya. Hingga tak lama kemudian, si gadis ompong keluar dari obrolan acak bersama gadis-gadis lain. Dia menghampiri Nurdewi di tempat tidur.

            “Kamu senang membaca?” tanya si gadis ompong, mulai duduk di sebelah Nurdewi yang berbaring tengkurap.

            “Iya,” jawab Nurdewi singkat, masih fokus dengan jalan cerita novel yang lagi seru. Si gadis ompong agak kesal karenanya. Dia tak suka bicara tanpa saling menatap satu sama lain. Di tengah-tengah keseruan Nurdewi membaca novel, si gadis ompong melongok, membaca judul novel yang dibaca Nurdewi. Di sampulnya bertuliskan “Novel Dewasa” yang seketika itu membuat si gadis ompong membelalak.

            Tak tanggung-tanggung, si gadis ompong seketika merebut novel dari tangan Nurdewi. “Kamu belum boleh baca novel ini!” tandasnya.

            Nurdewi mengerutkan dahi. Sorotnya menghadap si gadis ompong dengan raut tak suka. “Kenapa, Kak? Aku suka baca bukunya. Ceritanya seru dan bikin aku merasa seperti ….”

            Nurdewi tidak melanjutkan karena tidak tahu bagaimana harus menjelaskan. Mungkin maksudnya merasa panas dan tidak nyaman. Atau perasaan-perasaan lain yang ditimbulkan saat terlalu fokus membaca tiap-tiap kalimat deskriptif seputar hubungan intim laki-laki dan perempuan.

            “Itulah kenapa kamu tidak boleh membaca bukunya.” Si gadis ompong membuang buku itu ke lantai. “Namamu Nurdewi, kan?” imbuhnya.

            Nurdewi menjawab dengan anggukan pelan. Masih ada rasa kecewa dan kesal di benaknya.

            “Aku Nirmala. Panggil aku Mala.”

            Nurdewi menggaruk-garuk lengannya. Setelah mengangguk, dia lagi-lagi melirik ke novel yang terletak di lantai. Menyaksikan ketertarikan Nurdewi pada novel itu, Nirmala mendengkus. “Ya, ampun. Kamu ini sebenarnya orang mana? Kenapa kamu sangat tertarik dengan bacaan dewasa seperti itu? Mama Melisa sengaja memberikan kita bacaan seperti itu karena dia mau menjadikan kita pelacur, Nur. Sebenarnya kamu sadar atau tidak dengan kelicikan Mama Melisa?”

            Nurdewi beranjak duduk, berhadapan dengan Nirmala. “Memangnya kenapa kalau jadi pelacur? Kata Mama Melisa, itu pekerjaan baik untuk menyenangkan orang.”

            Nirmala mengembuskan napas kesal, dia berdecak heran. “Suatu saat kamu akan mengerti, Nur. Sekarang umurku sudah 15 tahun. Mungkin kamu juga akan mengerti di usia yang sama sepertiku. Pekerjaan pelacur itu sama sekali bukan pekerjaan mulia.”

            “Kalau begitu, aku akan menyadarinya nanti. Sekarang aku hanya perlu membaca bukunya.” Nurdewi turun dari tempat tidur, lalu memungut buku yang sempat terputus ia baca. Melihat sikap tidak acuh Nurdewi, Nirmala membeku.

 

Nurdewi adalah satu-satunya yang menerima keadaan secara lapang dada dari sekian gadis lain yang dibeli Mama Melisa dari si agen penjual manusia dari desa. Nurdewi sudah menganggap Mama Melisa sebagai ibunya sendiri. Sebab dia selalu diberikan perhatian yang hangat. Jika itu yang dinamakan kehangatan dari seorang ibu, maka artinya sama seperti Nurdewi pernah memiliki ibu yang membesarkannya. Meskipun pada kenyataannya, Nurdewi tidak tahu rasanya seperti apa memiliki seorang ibu, tapi dia amat yakin debaran dan kenyamanan yang dia rasakan saat diperhatikan Mama Melisa adalah salah satu dari perasaan yang tidak pernah dia rasakan selama hidup.

            Nurdewi tumbuh dengan gembira. Dia menjadi gadis periang. Dia selalu bermain dengan anjing Mama Melisa di halaman depan rumah. Dia meminta apa pun pada Mama Melisa dan selalu dikabulkan. Nurdewi benar-benar berbeda dari teman-teman gadisnya. Kini Nurdewi berusia 15 tahun. Dia sudah menjalani kehidupannya bersama gadis lain dan Mama Melisa di rumah megah itu selama kurang lebih tiga tahun. Karena kehidupan memabukkan itu, dia bahkan tidak ingat pernah memiliki masa lalu kelam. Dia tidak ingat pernah berpisah dengan ayahnya di tengah-tengah suasana mendebarkan. Demikian pula Nurdewi tidak pernah bermimpi tentang kehidupan lamanya.

            Karena menjadi gadis penurut bijaksana, hanya Nurdewi satu-satunya yang diperbolehkan keluar dari rumah, bermain ke tempat-tempat hiburan, mencari teman di luar, membeli apa pun di luar, dan bahkan dimanjakan lebih dari apa pun. Nurdewi jadi punya banyak kenalan. Para laki-laki terpesona karena kecantikan keparatnya. Rambut panjangnya yang tergerai hingga punggung, mengibas-ngibas ditiup angin di bulan Januari yang dingin. Bibir tipisnya yang melengkung tampak seperti busur panah, masing-masing sudutnya presisi tak kurang satu apa pun. Bahkan hidung lancip dengan dua lubang kecil itu tampak menyenangkan dipandang berlama-lama.

            Tubuh Nurdewi bahkan sudah jauh berubah. Dulu ia sangat mungil, nyaris kurus kering. Kini dia berisi. Tulang belikatnya menyembul sedikit hanya untuk melengkapi keseksiannya tiada ampun. Kedua lengannya apalagi, nyaris tak tampak bertulang. Dia gadis yang bertulang besar, tetapi padat berisi dengan dada yang terlihat menonjol. Mengingat usianya yang masih remaja itu, sepertinya Mama Melisa melakukan keajaibannya lagi dalam merawat Nurdewi. Karena tak hanya dada yang menyeruak. Pinggulnya pun tampak lebar dengan lekukan sempurna hingga paha. Bokongnya mencuat naik.

            Di suatu malam, Nurdewi menatap kemilau gemintang berpola di langit cerah. Dia berdiri di balkon tingkat dua dengan kepala mendongak. Cahaya berkelebat di iris matanya yang bening. Lengannya mengangkat, lalu bertopang dagu. Tak lama kemudian, telinga gadis itu menangkap ringis samar yang tertahan. Dia menoleh ke sekitar. Tak menemukan apa pun, dahinya mengernyit. Kaki Nurdewi mengangkat, berjalan ke sudut balkon. Tepat di ambang pintu, Nirmala—si gadis ompong—meringkuk dengan kedua lengan menyatu di lutut. Kepalanya menunduk dengan wajah disembunyikan.

            Nurdewi begitu saja menghampiri Nirmala. Dia berdiri di depan gadis itu, lalu menunduk menyorot lamat-lamat.

            “Kamu kenapa?” Nurdewi mendengar dirinya bertanya. Suaranya serak, nyaris tak terdengar. Namun dia mengulang pertanyaan itu dengan suara bersih. “Kamu kenapa? Apa yang terjadi?”

             Nirmala bukannya tak mendengar pertanyaan itu. Dia hanya berusaha untuk terus menyembunyikan wajah. Dia sedang bersedih hati, gundah gulana, meringis, bersimbah air mata. Nurdewi jelas tak pernah melihat Nirmala bersikap seperti itu. Meskipun kadang gadis itu selalu mengeluh dan bersedih hati, tetapi tak pernah tak menjawab pertanyaan Nurdewi. Itu yang mendasari gagasan Nurdewi agar memberikan perhatian penuh pada Nirmala. Dia menjongkok kemudian. Kepalanya dimiringkan ke kiri, mencoba memahami apa yang terjadi.

            “Apa Mama memarahimu?” Pertanyaan ke sekian keluar dari mulut Nurdewi. Kali ini, Nirmala menanggapi dengan gelengan pelan, tak mengubah posisinya barang sedikit pun. “Lalu, apa?”

            Nurdewi menggigit bibir bawah, meletakkan kepalan tangan di dagu lancip putih bersihnya. “Kalau ada apa-apa, katakan saja padaku.”

            Lama sekali Nurdewi menunggu Nirmala menjawab. Keheningan dilalaluinya dengan tenang. Terdengar suara anjing di halaman depan menggonggong. Suara-suara kendaraan yang melaju demikian ditangkap telinga. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 tengah malam. Tak banyak kendaraan melintas. Mungkin setidaknya lima kendaraan dalam waktu sepuluh menit.

            Nurdewi mulai bosan menunggu. Dia menguap karena sudah waktunya tidur. Namun tak mungkin dia  membiarkan Nirmala tetap meringkuk di ambang pintu diterpa angin malam. Paling tidak, sebagai teman yang sudah akrab sejak tiga tahun lalu, dia mesti melakukan sesuatu. Entah menghibur atau memberikan sedikit perhatian.

            “Sebaiknya masuk ke kamar. Makin malam, udara makin dingin. Kamu bisa sakit.” Nurdewi merasa pegal. Lagi pula, kakinya juga kesemutan karena menjongkok terlalu lama. Demikianlah dia berdiri.

            Nirmala mendengar gerak-gerik Nurdewi, lalu dia mulai mengangkat kepala. Wajahnya dipenuhi bekas tangis. Matanya sembab. Garis-garis wajahnya terlihat mati. Cahaya di iris matanya meredup. Nirmala memberikan senyuman terpaksa.

            “Nur,” katanya parau. “Kamu tahu ‘kan kalau umurku sudah genap delapan belas tahun?”

            Nurdewi mengangguk. Dia menatap sorot Nirmala lamat-lamat. Nurdewi tahu apa artinya jika gadis-gadis di rumah Mama Melisa sudah genap berumur 18 tahun. Kendati demikian, Nurdewi tak pernah meresahkan hal yang diresahkan para gadis lain. Dia terlalu menikmati kehidupan mewahnya. Menikmati hidup dalam buai manja Mama Melisa. Tidak dengan Nirmala. Gadis tinggi berwajah tirus itu tak pernah siap harinya tiba.

            “Aku tahu artinya apa. Itu yang dulu selalu kamu takutkan,” kata Nurdewi. Dia menjongkok lagi. Matanya berusaha menenangkan Nirmala. “Bahkan sampai sekarang kamu masih takut. Kamu memang penakut.”

            Gadis yang dulunya ompong itu kini sudah tak lagi ompong. Dia tumbuh menjadi gadis cantik yang matang. Setidaknya matang dan cukup untuk bikin laki-laki ngaceng di rumah pelacuran Keluar Puas. Dia tak kalah memesona dari Nurdewi. Namun Nurdewi masih tetap nomor satu. Setidaknya begitu bagi Mama Melisa.

            “Rasanya sakit sekali, Nur. Saat laki-laki yang kamu tidak tahu datang dari mana, mengambil kesucianmu. Rasanya nyeri dan aku tidak bisa mengikhlaskan apa yang terjadi. Aku sungguh tidak ikhlas, Nur.” Suara rendah Nirmala seolah-olah meminta Nurdewi melakukan sesuatu untuknya. Dan Nurdewi memahami hal itu. Dia langsung menarik Nirmala dan membenamkannya di pundak.

            Ringis yang semula tertahan berubah tangis, memecahkan kebekuan di malam dingin. Nirmala menumpahkan semua kesedihan. Tak ada tempat dia bisa menumpahkan tangisan, selain Nurdewi. Sejak dulu. Meskipun Nurdewi tiga tahun lebih muda darinya, tetapi sikap dan sifatnya sangat dewasa. Bahkan bisa dikatakan Nurdewi jauh lebih dewasa dari gadis mana pun di rumah Mama Melisa. Dan Nirmala menyadari itu sejak awal. Tak ada ketakutan apa pun di bola mata Nurdewi. Nirmala selalu bertanya-tanya, kehidupan macam apa yang pernah Nurdewi jalani sehingga menjadi gadis setegar batu karang di tepi laut? Dia tidak seperti gadis pada umumnya. Nurdewi tak manja. Kendati dulu dia sangat polos. Kini terbukti kepolosan itu yang menyelamatkannya dari kesedihan bertubi-tubi. Tak seperti Nirmala yang saat ini menangisi keperawanannya yang telah sirna diambil lelaki terkutuk, pelanggan tetap rumah pelacuran Keluar Puas.

            “Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi pelacur. Tapi aku yakin itu sangat sakit dan hina setelah aku menyaksikan air matamu, Mala.” Nurdewi menggesek-gesek tangan di punggung Nirmala.

            “Terima kasih karena selalu ada untukku, Nur.” Begitu kata-kata terakhir yang sekaligus menutup obrolan di antara kedua gadis itu.

 

-II-

 

Selain cinta dari ayahnya dan Mama Melisa, Nurdewi tak pernah mengenal cinta lain. Sejauh pengetahuannya, berdasarkan buku-buku fiksi yang pernah dia baca, ada debar perasaan yang pula adalah cinta. Namun anehnya, Nurdewi tidak pernah merasakan cinta seperti yang tertulis di buku-buku fiksi itu. Atau mungkin itu hanya karena dia tak pernah bertemu laki-laki seusianya selama hidup, bisa saja. Padahal dengan kecantikannya yang biadab itu, dia bisa saja mendapatkan sepuluh atau bahkan lebih laki-laki hanya dalam sekali kedipan mata. Kendati demikian, Nurdewi memang tak ramah pada lawan jenis. Pernah waktu itu, seorang laki-laki biasa yang bekerja di toko roti mencoba mendekatinya. Nurdewi hanya memberikan sorot tak suka pada laki-laki itu ketika merayunya dengan segenap kemampuan.

            Nurdewi memang sering menongkrong di toko roti milik orang Belanda yang tak jauh dari persimpangan. Dia menghabiskan waktu dari siang hingga sore hari hanya untuk melihat kendaraan berlalu-lalang melalui jendela lebar toko itu. Selain menjual roti, para pekerja di toko itu juga terpaksa menjual kopi atau teh karena Nurdewi sering memintanya. Laki-laki bercodet di bawah matanya itu kerap mengambil kesempatan memberikan Nurdewi kedipan nakal. Dan Nurdewi hanya merespons dengan menarik sudut kanan bibir serta sebelah alisnya. Sungguh Nurdewi merinding dan merasa jijik dibuatnya.

            Si laki-laki bercodet mengenakan celemek putih itu berpura-pura membersihkan meja-meja yang sebetulnya tidak kotor. Padahal tak ada pelanggan selain Nurdewi di tokonya sejak pagi. Lagi pula, meskipun toko itu kerap ramai, jarang ada pelanggan yang makan di tempat.

            “Namanya siapa, Neng?” tanya lelaki bercodet itu, masih berpura-pura mengelap meja mengilap di sebelah tempat Nurdewi duduk. Bola mata Nurdewi bergerak ke sudut tampak tak suka. “Sudah lama sekali Neng jadi pelanggan tetap toko roti ini, tapi Abang tidak tahu nama Neng. Agar lebih enak bicaranya, bagaimana kalau Neng kasih tahu nama Neng?”

            Garis bibir Nurdewi bergerak-gerak. Dia mendengkus kasar. “Nurdewi,” jawabnya uring-uringan.

            “Namanya cantik amat, Neng. Nurdewi, kira-kira artinya apa, ya?” Lelaki bercodet melanjutkan godaan mautnya yang sama sekali tak mempan itu. Nurdewi beranjak bangkit sambil meletakkan selembar uang di meja.

            “Saya tidak tahu,” kata Nurdewi datar. “Saya sudah kenyang. Mungkin ini terakhir kali saya jadi pelanggan.”

            Tanpa pertimbangan lebih lanjut, Nurdewi berjalan cepat menuju pintu. Si lelaki bercodet hanya bisa menatap dengan sorot membelalak. Di saat itulah dia menyadari bahwa godaan mautnya justru membuat toko rotinya kehilangan satu pelanggan berharga.

 

Setelah mendapat tatapan jijik dari Nurdewi beberapa hari lalu, lelaki bercodet justru makin terpacu untuk menggoda Nurdewi. Gadis cantik dan manis berlesung pipit seperti Nurdewi tak banyak jumlahnya. Si lelaki bercodet tak pernah menemukan gadis anggun seperti Nurdewi di tempat-tempat pelacuran yang pernah dia kunjungi. Mungkin hanya ada satu di tempat pelacuran Keluar Puas. Itu pun tidak bisa dia sewa barang lima menit pun. Sebab wanita itu sudah lama tidak melayani pelanggan. Wanita itu tak lain adalah Mama Melisa. Dan si lelaki bercodet seolah menemukan kembali Mama Melisa dalam usia remaja. Itu sungguh sebuah anugerah, rezeki, atau apa pun sebutannya. Si lelaki bercodet tidak peduli namanya apa. Yang jelas, dia sudah mengatur sebuah rencana agar bisa mendapatkan Nurdewi dan menikmati tubuh sintalnya.

            Memang gila. Gadis itu sangat subur di usia sangat remaja. Jika bisa disebutkan, mungkin tak hanya lelaki bercodet yang pernah punya niat buruk terhadap Nurdewi. Namun si pedagang bakso di pinggir jalan, laki-laki tua penjual ketoprak di sebelah persimpangan, pak tua topeng monyet, bocah penjual gulali, dan sederet tua bangka pencari barang rongsokan di emperan. Mereka semua itu pernah mengkhayalkan bercinta dengan Nurdewi sampai membuat diri mereka ngaceng di depan pelanggan. Sekian banyak laki-laki yang pernah ngaceng karena Nurdewi itu, hanya si lelaki bercodet yang punya tekad membara tak padam. Sudah enam bulan lamanya dia mengamati Nurdewi, tapi dia tak pernah punya keberanian menyapa gadis itu. Sekalinya punya keberanian, Nurdewi justru menghancurkan harapannya.

            Sudah seminggu lebih Nurdewi tak berkunjung ke toko roti. Sebagaimana janjinya untuk berhenti menjadi pelanggan di toko itu, Nurdewi kini punya tempat menongkrong baru, yaitu di kedai kopi Pak Burhan. Dan si lelaki bercodet mengetahuinya, bahkan sering melihat Nurdewi berjalan pulang-pergi lewat depan toko. Sebab kedai kopi Pak Burhan berada di sebelah barat toko roti Belanda. Untuk menuju ke sana, Nurdewi pasti melewati toko roti.

            Hari itu, pertama kalinya Nurdewi pulang malam-malam dari kedai kopi Pak Burhan. Itu adalah hari setelah Nirmala bercerita banyak hal tentang menjadi pelacur di Keluar Puas. Nurdewi amat gusar kala itu. Padahal sebelumnya dia sama sekali tak keberatan menjadi pelacur, tapi setelah mendengar pengakuan dan pengalaman Nirmala, Nurdewi jadi sedikit terguncang hatinya. Dia selalu bertanya pada hati sendiri tentang kesiapannya menjadi pelacur nanti. Kendati demikian, Nurdewi masih tetap bertekad menepati janjinya pada Mama Melisa. Kebaikan Mama Melisa itu tak bisa dia balas dengan apa pun selain menjadi penurut dan bijaksana.

            Nurdewi berhenti di bangunan megah yang adalah tempat pelacuran Keluar Puas. Banyak laki-laki keluar dan masuk. Sejauh pengetahuan Nurdewi, yang keluar sudah pasti puas. Namun kenyataannya, kepuasan lelaki hanya bersifat sementara. Sebab para lelaki yang keluar dari tempat pelacuran itu kerap memandangi tubuh Nurdewi, terlebih ke dadanya yang menonjol menawarkan kenikmatan itu. Nurdewi sama sekali tak terganggu. Dia tetap berdiri di bangunan megah dengan plang yang terpampang di depan pintu masuk. Tak lama kemudian, Nirmala tampak berjalan keluar dari tempat pelacuran itu. Dia menghampiri Nurdewi.

            “Ini aku bawakan kamu makanan,” kata Nurdewi sambil memberikan kantong plastik hitam yang berisi martabak manis, yang dibelinya sepulang dari kedai kopi Pak Burhan. Nirmala mengambil kantong plastik itu sambil mencondongkan tubuh dengan sorot bertanya.

            “Aku tahu di sini banyak makanan. Kamu boleh makan atau buang kalau tidak suka,” lanjut Nurdewi. Dia sebenarnya amat iba melihat sorot Nirmala yang meredup. Sama sekali tak ada kebahagiaan di mata gadis itu. Dia sudah mengerjakan sesuatu yang tak dia suka, dan tetap mengerjakannya meskipun harus menangis setiap malam.

            “Terima kasih, Nur. Tapi tumben sekali kamu langsung datang ke sini.” Nirmala berkata dengan datar.

            “Aku hanya ingin tahu seperti apa tempat kerjaku nanti. Ternyata tempat seperti ini yang bisa menyenangkan laki-laki.”

            “Bukan karena tempatnya,” kata Nirmala, meluruskan.

            “Memang bukan. Setidaknya tempat seperti ini yang menjadi surga bagi laki-laki. Tentunya, mereka hanya menginginkan payudara dan lubang sanggama perempuan.”

            Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Nurdewi, Nirmala terkekeh. Usia Nurdewi boleh saja muda, tapi jiwanya memang tak salah lagi sudah melampaui usianya yang remaja itu.

            “Kalau begitu, aku pulang.” Pada saat Nurdewi akan beranjak, Nirmala menghentikannya. “Kamu tidak akan tidur secepat ini, kan?”

            “Tidak. Aku akan menunggumu. Kamu bisa cerita banyak hal nanti.”

            Nirmala mengangguk, merelakan kepergian Nurdewi. Namun baru saja Nurdewi melangkah beberapa meter, Mama Melisa yang datang dari arah berlawanan, menghentikannya.

            “Nur sayang. Apa yang kamu lakukan di tempat kerja Mama?” Mama Melisa menyentuh puncak kepala Nurdewi, lalu menggesekkan tangannya turun mengelus rambut lembut gadis itu.

            “Tidak ada, Ma. Aku hanya ingin melihat tempat kerjaku di masa depan. Ternyata di sini.” Nurdewi berusaha berkata dengan nada senang, tapi dia gagal karena suaranya rendah sekali.

            “Benar, Sayang. Kamu akan kerja di surga ini. Apa kamu sudah tidak sabar menunggu harimu tiba?” Senyuman Mama Melisa merekah. Nurdewi membalas senyuman itu masygul.

            “Iya, Ma. Tentu saja. Nur tidak sabar menantikan waktu itu tiba.”

            Seketika itu, Mama Melisa menarik Nurdewi, lalu menggiringnya masuk ke Keluar Puas. “Kalau begitu, biar Mama perkenalkan kamu ke sejumlah pelanggan setia Mama dan beberapa lelaki tampan.”

            Nurdewi tak bisa menolak. Meskipun dia sangat malas untuk masuk ke tempat ramai lagi pengap itu, kakinya tetap berjalan mengikuti langkah Mama Melisa. Nirmala yang melihat itu mendengkus kasar. Dia mengikuti di belakang.

 

Nurdewi duduk di sofa merah memanjang bersama Mama Melisa. Beberapa lelaki berdatangan, lalu duduk di tempat yang tersisa. Sementara lainnya berkerumun berdiri. Tiap-tiap sorot itu menatap ke Nurdewi dan betapa cantiknya dia. Tak sedikit lelaki yang langsung berwajah merah padam. Yang ngaceng makin ngaceng. Sungguh kecantikan biadab Nurdewi menjadi sebuah pemujaan bagi para lelaki. Mama Melisa senang melihat itu. Dia jadi sama tak sabarnya dengan Nurdewi. Bahkan saking ajaibnya kehadiran Nurdewi di tempat itu, pelanggan yang akan dilayani Nirmala menunda waktu bercintanya. Nurdewi menyita perhatian semua orang, termasuk pelacur-pelacur lama yang sudah Mama Melisa pekerjakan. Ada yang menampakkan raut skeptis, ada pula yang bersyukur karena kehadiran Nurdewi, mereka jadi bisa mengistirahatkan lubang sanggamanya untuk diganyang pelanggan masing-masing.

            Nurdewi melongok ke kiri dan kanan. Di tempat itu ada meja bar, berbotol-botol minuman, bufet tempat minuman ditata dengan rapi, rak untuk berpuluh-puluh gelas, serta kursi bundar tinggi sebagai tempat duduk. Di bagian lainnya, ada pintu menuju ruangan lain. Tentunya, Nurdewi menebak ruangan apa itu. Tepat sekali! Itu adalah pintu menuju bilik kamar bagi pelanggan yang sudah memesan satu atau lebih perempuan dan ingin segera bercinta. Itulah mengapa bangunan Keluar Puas sangat luas. Di dalamnya terdapat puluhan ruangan bak hotel berbintang. Sebab Mama Melisa tidak ingin para anak perempuannya dibawa keluar. Selama ini, tak ada yang berani melakukannya. Jika pelanggan berkeras, maka akibatnya adalah dibedil sampai mampus oleh para pengawal Mama Melisa.

            Meskipun terbilang kejam membeli gadis desa dan mempekerjakan mereka sebagai pelacur, tapi Mama Melisa menyayangi gadis-gadis itu lebih dari menyayangi putri sendiri. Mama Melisa tak pernah sembarangan dalam merawat mereka, semata-mata bukan karena mereka akan menjadi pelacur cantik yang bakal membuat ngaceng laki-laki di tempat pelacuran, tetapi Mama Melisa memang suka sekali merias para anak gadisnya sehingga terlihat cantik nan anggun.

            “Namanya Nurdewi. Dia putriku yang paling muda. Beberapa tahun lagi dia akan menjadi gadis paling laris di tempat pelacuran ini,” kata Mama Melisa berpidato.

            Seolah-olah kecewa, para lelaki mendengkus kasar. Tak jarang pula ada yang pergi setelah mendengar pidato singkat Mama Melisa itu. Kendati demikian, ada juga yang bertanya biadab. “Kenapa tidak sekarang? Kalau dia jadi pelacur sekarang, dia akan jadi gadis paling laris. Kami semua rela mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya untuk keperawanan Nurdewi.”

            Manakala argumen itu dilontarkan lelaki sipit berkulit putih yang juga adalah pelanggan Nirmala, Mama Melisa memberikan komando ke para penjaganya dengan entakan kepala. Lelaki keparat itu pun dibawa orang-orang Mama Melisa bertubuh kekar keluar untuk dibikin babak belur. Si lelaki sungguh sial, tapi sebaliknya, Nirmala punya keuntungan besar karena tak jadi melayaninya. Begitulah Mama Melisa menyayangi para anak perempuannya. Siapa pun yang berani menyinggung atau menyakiti, maka mampus tak bisa ditoleransi.

            Di tengah-tengah kerumunan itulah si lelaki bercodet bersembunyi. Sengaja menyamarkan diri agar tak terlihat Nurdewi. Tekadnya bulat sempurna. Dan saat Nurdewi pulang seorang diri, lelaki bercodet mengikuti. Padahal Mama Melisa sudah menawarkan agar Nurdewi diantar pulang oleh para pengawal, tapi Nurdewi menolak. Katanya, dia ingin menikmati malam dengan berjalan-jalan. Mama Melisa cemas, tapi yakin Nurdewi bisa menjaga diri dengan baik. Begitulah hasil kekeraskepalaan Nurdewi. Hingga ketika dia melewati jalan sepi yang jauh dari jalan raya dan persimpangan empat yang sebetulnya masih cukup ramai lagi terang, Nurdewi merasakan kehadiran seseorang. Atau lebih tepat mengikutinya. Tentu saja, itu adalah lelaki bercodet yang sudah dikuasai berahi.

            Sejak kecil, Nurdewi sangat peka dan sigap terhadap segala niat buruk. Bahkan bila bahaya sedang mengancam nyawanya, dia bisa mengetahuinya jika dalam keadaan sadar. Lain halnya jika dia tak sadar atau lelah sekali. Nurdewi berhenti di sebuah gang yang diapit dua bangunan bobrok menjulang tinggi. Nurdewi menoleh ke belakang, tapi tak menemukan siapa pun. Sebab si lelaki bercodet bersembunyi di balik tong sampah besar yang penuh barang rongsok dan bekas kemasan makanan dan minuman.

            Nurdewi melanjutkan langkahnya, tetapi kewaspadaan meningkat secara otomatis. Dia sengaja memelankan langkah, bahkan berusaha agar sandalnya tidak berderap barang sedikit pun. Gang itu cukup panjang, sehingga menjadi kesempatan bagi lelaki bercodet menyiapkan rencana penyekapan. Manakala Nurdewi membelok di persimpangan gang, lelaki bercodet menikamnya tak tanggung-tanggung. Untungnya, Nurdewi masih sigap seperti biasa. Dia bergerak membungkuk secara naluri dengan sorot menghadap ke belakang. Di saat itulah dia mengetahui bahwa lelaki bercodet yang mengikutinya. Tak salah lagi, sebab sejak awal Nurdewi sudah merasakan niat buruk lelaki itu.

            “Kamu!” Nurdewi membelalak sambil berangsur-angsur mundur. Punggungnya mentok di tembok bangunan tinggi yang penuh coretan. Lelaki bercodet menyeringai. Jantung Nurdewi berdentam keras. “Apa yang kamu inginkan?”

            Bahkan jika tidak bertanya pun, Nurdewi sudah mengetahui apa yang diinginkan si lelaki bercodet. Tentu saja, dia menginginkan tubuh Nurdewi. Paling tidak, pertanyaan itu hanya sebuah pengalihan agar Nurdewi bisa berpikir harus bagaimana selanjutnya.

            “Nurdewi. Kita bertemu lagi setelah lebih dari seminggu tidak bertemu,” kata si lelaki bercodet dengan senyuman yang berkesan jahat. “Kalau boleh, aku ingin mengantarmu pulang.”

            Sekelebat cahaya licik bersinar di mata si lelaki bercodet. Nurdewi mana mungkin percaya dengan kata-kata lelaki keparat itu. “Pergi kamu! Aku bisa pulang sendiri. Aku tidak butuh bantuanmu!”

            Dahi si lelaki bercodet makin beriak. “Baiklah. Ini sudah ke sekian kalinya kamu menolakku, Nurdewi. Aku tidak suka penolakan.”

            “Aku tidak peduli. Tinggalkan aku.” Nurdewi berkeras. Meskipun dalam keadaan terdesak pun, dia tidak berniat melembutkan nada suaranya.

            Wajah lelaki bercodet makin murka. Tak tanggung-tanggung, tangannya bergerak ke leher Nurdewi. Tangan satunya menempel di dada gadis itu, lalu dengan berahi sempurna, dia meremas payudara Nurdewi yang menonjol. Nurdewi melenguh dalam kenikmatan sekaligus kemarahan. Tubuhnya bergetar-getar. Bagaimanapun, kenikmatan yang dia dapat dari cengkeraman tangan si lelaki bercodet pada payudaranya itu tak lebih dari kemarahan yang dia alami. Nurdewi berkeras melawan dengan tangannya yang bisa bergerak bebas. Ditepisnya tangan lelaki bercodet sekuat tenaga, menariknya dengan tangan satunya lagi, lalu mendorongnya tak tanggung-tanggung.

            Sungguh tenaga Nurdewi amat besar. Entah itu karena makanan lezat nan bergizi yang sehari-hari disajikan Mama Melisa atau memang karena tenaga yang dia miliki secara alami. Nurdewi melihat peluang besar untuk melarikan diri sementara si lelaki bercodet menahan kesakitan di pinggangnya yang langsung encok. Kaki Nurdewi mengangkat, tapi sialnya dia tersaruk karena terlalu buru-buru. Keberuntungan berpihak pada si lelaki bercodet. Dia mengejar Nurdewi, dan mencengkeramnya lagi dari belakang. Dia mencoba merobek-robek pakaian ketat Nurdewi, tapi sungguh kain itu sangat elastis dan susah dirobek. Lelaki bercodet nyaris putus asa. Namun dia mengangkat kain itu, berusaha menelanjangi Nurdewi.

            Rasa sakit di lutut Nurdewi masih terasa sempurna. Dia tak mau kalah. Adrenalinnya terpacu lebih dari itu. Lagi-lagi dia tak kalah tenaga dari si lelaki bercodet. Nurdewi membalik tubuhnya, mendorong lelaki itu dalam satu entakan mengejutkan. Sayang, cengkeraman lelaki bercodet nyaris tak bisa dilepas, menempel bersama berahinya yang sempurna. Payudara Nurdewi kembali diremas. Perlawanannya berpotensi sia-sia. Karena Nurdewi sengaja mengguncang-guncang dirinya, lelaki bercodet terpaksa mendorong Nurdewi amat keras ke tembok. Kepala Nurdewi terbentur hingga berdarah. Dia pingsan, tak lagi melawan.

            Sekali lagi, keberuntungan memang berpihak pada lelaki bercodet. Dia kini bisa mengganyang habis tubuh sintal Nurdewi. Namun keberuntungan itu dirampas seorang lelaki yang berdiri di ujung gang. Lelaki yang entah mengenakan pakaian bak ninja sehingga hanya memperlihatkan kedua matanya saja.

            “Lepaskan gadis itu,” kata si lelaki ninja. Lelaki bercodet yang baru saja akan membuka rok mini Nurdewi, menoleh ke belakang. Dahinya mengerut, lantas membisu. “Lepaskan dia,” imbuh si lelaki ninja.

            Keheningan terjadi beberapa saat. Angin yang berembus pelan menerbangkan sampah-sampah di gang itu. Lelaki bercodet tertawa membahana. “Apa kamu juga mengincar Nurdewi? Maaf, Saudara. Saya sudah lebih dulu mengincarnya daripada siapa pun langganan Keluar Puas. Keperawanan Nurdewi hanya milik saya. Kamu menyerah saja.”

            Lelaki bercodet kembali berkutat dengan tubuh Nurdewi. Saking berahinya, dia sampai tak sadar air liurnya merabas keluar. Baru saja akan mengangkat pakaian Nurdewi, sebuah sabit berantai—kusarigama—terlontar ke leher lelaki bercodet. Mata sabit mengilap memancarkan sekelebat sinar itu menempel di lehernya. Nyaris lelaki bercodet tak bisa bernapas. Matanya membelalak.

            “Bajingan keparat!” Lelaki bercodet mengumpat samar. Suaranya nyaris tak bisa keluar. “Siapa kamu sebenarnya—”

            Rantai sabit itu ditarik tak tanggung-tanggung oleh si lelaki ninja dengan sekelebat sinar mengintimidasi di sorotnya. Darah muncrat dari leher si lelaki bercodet. Lehernya putus tak ada ampun. Dia pun mampus sebagaimana pemerkosa-pemerkosa lainnya di kota itu. Kepala si lelaki bercodet menggelinding dengan mata membelalak. Sedangkan tubuhnya roboh ke belakang dengan darah yang masih muncrat dari leher. Lelaki ninja itu berjalan mendekati Nurdewi, menatap gadis itu lamat-lamat. Sorotnya seolah-olah menyadari sesuatu dari Nurdewi, tapi dia tak yakin sebelum mendapat kepastian langsung dari orangnya. Akhirnya, si lelaki ninja mengangkat tubuh Nurdewi setelah memasang kembali rok dan pakaiannya. Dia membawa gadis itu lenyap melewati kegelapan gang.

 

-II-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Haram Jadah: Hari Pembalasan (BAGIAN 3)
0
0
Nurdewi membelalak. Dia tak tahu pasti lelaki di depannya membunuh si lelaki bercodet atas tujuan apa. Hanya ada dua jawaban, yaitu apakah dia membantu Nurdewi, atau mungkin justru merebutnya dari lelaki bercodet, sedangkan dia juga punya niat busuk sebagaimana lelaki bercodet. Kewaspadaan Nurdewi makin meningkat. Namun anehnya, dia tidak mencium kebusukan apa pun dari sorot lelaki di depannya itu.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan