Haram Jadah: Hari Pembalasan (BAGIAN 1)

1
0
Deskripsi

Tangan kusam berkulit kecokelatan berlumuran darah itu mengencang, memberikan instruksi agar Nurdewi menahan setiap gejolak rasa takut. Namun sia-sia karena tangis gadis malang itu tumpah sedemikian hebat dalam rasa takut yang kalut. Nurdewi nyaris mati sebelum peluru menembus setiap bagian tubuhnya. Untungnya amunisi para pembunuh bayaran itu habis, dan mereka tak membawa cadangan apa pun. Sebenarnya mereka sudah membawa amunisi yang cukup hanya untuk membunuh bocah perempuan haram jadah dan laki-laki...

Tangan berlumur darah itu membekap mulut Nurdewi sangat erat, seolah-olah tidak ingin membiarkan satu huruf pun lolos dari tenggorokannya. Alih-alih mengeluarkan suara, bernapas pun Nurdewi nyaris tak mampu. Namun, sebisa mungkin dia menahan napas dan suara apa pun yang dapat menghasilkan berisik. Dia tidak boleh bersuara. Bahkan meski hanya bergerak satu mili, dia tidak boleh. Atau jika tidak, dua laki-laki dan satu wanita yang memegang bedil itu mengetahui keberadaannya.

            Sementara Nurdewi berkonsentrasi demi membuat napasnya senyap, tiga orang mengobrak-abrik seluruh ruangan kecil lembab lagi lusuh itu. Mereka melempar perabotan-perabotan yang ditemukan di meja, membuang piring, gelas, menginjak tempat tidur bobrok yang kasurnya terlihat sudah tak lagi empuk.

            “Bajingan! Di mana bocah haram jadah itu!” umpat wanita berwajah tegas dengan rahang mengerit. Dua laki-laki yang bersamanya memelesatkan peluru ke langit-langit gubuk reyot yang sebenarnya sudah bolong-bolong.

            “Tahi kucing!”

            Mereka nyaris putus asa. Namun tak lama kemudian, salah satunya menemukan sebuah pintu menuju bilik ruangan lain di gubuk itu. Mereka saling pandang, memberikan senyuman penuh arti satu sama lain. Tak tanggung-tanggung, mereka menarik pelatuk dan senjata itu menumpahkan amunisi tanpa henti, tak peduli bocah perempuan haram jadah itu mampus di tempat di mana pun dia bersembunyi.

            Tangan kusam berkulit kecokelatan berlumuran darah itu mengencang, memberikan instruksi agar Nurdewi menahan setiap gejolak rasa takut. Namun sia-sia karena tangis gadis malang itu tumpah sedemikian hebat dalam rasa takut yang kalut. Nurdewi nyaris mati sebelum peluru menembus setiap bagian tubuhnya. Untungnya amunisi para pembunuh bayaran itu habis, dan mereka tak membawa cadangan apa pun. Sebenarnya mereka sudah membawa amunisi yang cukup hanya untuk membunuh bocah perempuan haram jadah dan laki-laki keparat yang bersamanya, tetapi beberapa orang sebelum masuk ke gubuk reyot ini menghadang, dan mereka harus menghabisinya.

            “Tahi! Kita sudah kehabisan amunisi,” kata laki-laki berambut jambul sambil mengangkat senjata, lalu meletakkan laras panjangnya di bahu. Dia mengeluarkan keretek dari saku celana jin. “Tapi aku yakin bocah haram jadah itu sudah mampus! Di mana pun dia sembunyi, dia pasti sudah jadi mayat sekarang.”

            Si wanita menarik sudut kanan bibir. Dia tersenyum masygul. “Jangan senang dulu karena kita belum menemukan laki-laki keparat itu. Bisa jadi bocah haram jadah itu sedang bersembunyi bersamanya. Tidak menutup kemungkinan dia dilindungi,” komentarnya.

            Si laki-laki jambul duduk di atas ranjang kayu bobrok yang kasurnya robek di mana-mana dan kapuknya beterbangan di sekitar, membuat dia batuk sesekali. Sebelum mengembuskan asap rokok, mulutnya membentuk huruf “O”, lidahnya mendorong asap membubung membentuk lingkaran. Dia melihat asap yang menggumpal padat berbentuk lingkaran itu, seolah-olah berharap memberinya ide cemerlang, atau bahkan memberitahunya tempat dua orang keparat yang sedang dicari.

            “Aku tahu,” katanya sambil tersenyum simpul. Dua orang teman si jambul seketika menatapnya, menunggu lanjutan kalimat itu. “Aku tahu sekarang di mana mereka sembunyi.” Dia menyipitkan kedua mata, lalu berdiri mendekati dua orang temannya.

            Si jambul mengisyaratkan teman-temannya mendekat ke mulutnya yang monyong, dan mereka menurut. “Mereka sebenarnya masih ada di gubuk sialan ini. Tepat di sini. Lihat, ruangan ini luas. Di sebelah kanan ada meja. Kolongnya ditutup menggunakan pelat besi,” kata si jambul yang lantas membuat kedua temannya membelalak sambil manggut-manggut.

            Senyum menyeringai ketiganya kembali terbit. Tanpa aba-aba, kaki mereka otomatis bergerak pelan sekali menuju meja yang berada di sudut ruangan. Salah satu alasan mengapa belum ada jerit kesakitan yaitu karena pelat besi paten itu menghalangi peluru mereka. Anak haram jadah dan laki-laki keparat itu sangat beruntung karena masih bisa selamat, bahkan sampai para penjahat sialan itu kehabisan amunisi.

            Nurdewi membelalak saat merasakan tangan yang membekap mulutnya tak lagi erat, bahkan tak lama kemudian terlepas. Dia menoleh ke belakang dengan sorot bertanya pada lelaki berambut ikal. Nurdewi hanya diberikan anggukan pelan bercampur senyuman masygul. Dia mengerti arti senyuman itu, dan Nurdewi menolak dengan gelengan cepat. Tangan mungilnya yang dipenuhi kotoran dan debu bahkan bekas tangis itu langsung bergerak menyentuh wajah si lelaki.

            Nurdewi dan lelaki itu berkomunikasi hanya dengan gerakan kepala dan ekspresi wajah. Lelaki itu berniat keluar dari kolong meja demi melindungi Nurdewi, tetapi Nurdewi tidak mengizinkannya. Sebab dia tidak ingin ayahnya mati konyol. Tidak ada harapan untuk hidup karena para pembunuh bayaran itu sangat kejam. Nurdewi sudah melihatnya sendiri sejak awal dikejar-kejar. Beberapa warga kampung miskin itu tidak berdaya menghadapi mereka. Apalagi ayahnya yang kurus kerempeng tak pernah makan itu.

            Ada sesuatu yang berpendar di hati Nurdewi, yaitu kesedihan yang meledak-ledak. Tangis ketakutannya makin jadi, bahkan jauh lebih buruk daripada berpikir mati bersama ayahnya. Justru Nurdewi ingin mati bersama ayahnya, agar dia tidak lagi sendirian.

            Sorot redup laki-laki itu bersinar kusam, seolah-olah memberikan harapan untuk Nurdewi agar tetap hidup. Tangannya mengangkat, lalu diletakkan di puncak kepala gadis kecil hasil persetubuhannya dengan wanita anak dari bos bandit di kota. Dan kini bos bandit itu menginginkan si anak haram jadah dan ayahnya mampus. “Nurdewi tidak perlu takut, karena Ayah akan melindungi Nur,” kata laki-laki itu, berbisik di dekat telinga anak gadisnya yang baru berusia 12 tahun itu.

            Garis-garis wajah Nurdewi tampak mati, dia pucat pasi. Garis bibirnya melengkung naik, dan kesedihan seketika menyeruak makin tak tertahan. Dia seperti sudah melihat ajal kematian ayahnya sendiri di depan mata. Bayang-bayang kematian mengerikan itu tidak pernah henti singgah di kepala Nurdewi.

            “Ayah janji akan menemui Nur kalau Ayah sudah menyelesaikan urusan Ayah. Nur juga harus janji sama Ayah. Kalau nanti Ayah keluar dari kolong meja, Nur harus lari. Lari yang jauh. Jangan pedulikan Ayah. Nur harus lari yang jauh agar Nur bisa hidup, dan bisa bertemu Ayah lagi.”

            Tangan lusuh itu untuk terakhir kalinya menggenggam erat tangan mungil Nurdewi. Kesedihan tidak dapat dibendung dengan cara apa pun. Sebab sudah tak punya pilihan. Laki-laki itu harus menyelamatkan malaikat kecilnya. Sebab Nurdewi berhak hidup. Makin erat genggaman tangan itu, makin terasa sangat menyedihkan. Namun mereka tak bisa berlama-lama, sebab para pembunuh bayaran itu sudah mengetahui keberadaan mereka.

            Laki-laki itu merogoh saku celana bahan kotornya, mengeluarkan secarik kertas, lalu memberikannya pada Nurdewi. “Bawa ini. Setelah Nur berhasil lari yang jauh, Nur harus pergi ke alamat itu di kota.”

            Laki-laki itu beranjak, tapi Nurdewi mencengkeram erat baju putih kotornya. Dia tersenyum getir, lalu memberikan sang putri kecupan di kening. Kehangatan yang tidak pernah pudar di hati Nurdewi. Dan dalam sekejap, kehangatan itu mau tak mau harus dia relakan. Bersama kenangannya yang memabukkan, semua itu akan sirna. Air mata Nurdewi tak terhentikan. Saat laki-laki itu berposisi membelakangi Nurdewi, sorotnya berubah waspada. Nurdewi seperti diinstruksi secara otomatis. Sorotnya sama waspada sebagaimana ayahnya.

            Derap langkah tiga pembunuh bayaran makin dekat. Manakala derap itu tak terdengar lagi, lelaki itu menendang pelat besi paten dalam satu embusan napas panjang. Kolong meja tidak lagi dihalangi apa pun. Ketiga pembunuh bayaran itu terdorong ke belakang akibat benturan pelat besi.

            “Nurdewi, lari! SEKARANG!” jerit laki-laki itu sambil berdiri seolah-olah siap menghalangi ketiga musuhnya.

            “Tahi kucing!” umpat si jambul sambil berdiri dengan satu kaki dan memegang kaki kanannya yang terasa ngilu. Tampaknya pelat besi paten itu berhasil membentur tulang keringnya.

            Nurdewi keluar dari kolong meja. Dengan keragu-raguan yang masih bersemayam di dalam hati, dia kabur keluar dari gubuk reyot. Langkah kecilnya berkali-kali tersaruk berbagai macam benda yang tergeletak di lantai tanah. Tanah berlumpur di luar gubuk membuatnya terpeleset, Nurdewi terpelanting. Nyaris saja kepala membentur sebatang pohon. Kesigapannya yang amat bagus menyelematakannya, sehingga tangannya memanfaatkan batang pohon demi bertumpu. Nurdewi kembali berlari secepat yang dia bisa.

            “Bocah haram jadah!” umpat wanita pembunuh bayaran itu kesal. Kendati berusaha mengejar bocah kecil itu, laki-laki berambut ikal menghadangnya dengan pukulan yang melayang di depan wajah. Wanita itu nyaris tidak bisa melihat sama sekali pukulan secepat kilat yang didorong keadaan terdesak itu, dan darah muncrat dari hidungnya.

            Kedua pembunuh bayaran lainnya masih sibuk mengurus kaki mereka yang nyeri. Laki-laki berambut ikal tidak sedetik pun menyia-nyiakan waktu. Bagaimanapun, dia tidak berniat mati secara keparat di gubuk tersebut. Tak heran laki-laki itu mampu melawan, sebab dia cukup ahli dalam seni bela diri. Kendati sudah lama tak menggunakan kemampuan itu, beberapa gerakan mematikan dari aliran bela dirinya masih dia ingat. Sayang, dia sungguh kehabisan tenaga. Beberapa waktu lalu, sebuah peluru bersarang di perutnya. Dia mengalami pendarahan parah.

            Laki-laki berambut ikal itu membungkuk, menahan rasa sakit di perutnya yang bolong. Masih ada peluru di dalam lukanya, hingga menyebabkan gerakannya tidak segesit dalam kondisi normal.

            “Bajingan! Seharusnya kamu sudah mampus dari tadi!” kata wanita itu. Tendangan lurusnya datang sebagai pembantu malaikat maut melaksanakan tugas. Laki-laki berambut ikal itu lunglai sebelum akhirnya roboh di dinding pagar gubuk.

            “Terkutuk!” umpat si jambul setelah menyelesaikan urusan dengan rasa sakitnya. “Ternyata kamu belum mampus juga. Untungnya, aku sudah menyisakan satu peluru untuk mengakhiri hidupmu dengan tenang.” Dia bergerak maju perlahan sambil mengeluarkan pistol kecil yang terselip di pinggang, demikian pula dengan rekan lelaki satunya. Peluru terakhir dalam pistol kecil itu mereka sebut sebagai senjata darurat. Biasanya digunakan dalam keadaan terdesak. “Matilah kamu secara keparat, pengkhianat!”

            Sebelum pelatuk ditarik si jambul, wanita itu merentangkan tangan kanan, isyarat untuk memberikannya sedikit waktu.

            “Ada apa lagi? Dia sudah tidak ada gunanya hidup. Lebih baik kita lempar ke neraka.”

            “Tunggu sebentar. Biarkan aku balas dendam sama si kampret ini.”

            Tatapan bengis si wanita menyorot tajam. Garis-garis wajahnya menegang. Tak lama kemudian, kakinya mengangkat mengadili kepala keparat itu dengan dendam menyeruak. Darah muncrat dari mulut lelaki itu. Sekelebat cahaya di matanya meredup. Kelopak matanya sayu menyipit. Bengkak dan lebam di kepalanya timbul beberapa saat kemudian.

            “Mampusin!” perintah wanita itu. Dan tak lama kemudian, pelatuk ditarik dari dua pistol secara bersamaan. Laki-laki berambut ikal itu mampus membawa kenangan dan dosanya ke neraka.

 

-II-

 

Nurdewi berjalan lunglai di tanah becek yang seharian diguyur hujan. Kakinya terperosok lubang berlumpur digenangi air. Gadis kecil itu meringis sambil berusaha menarik kakinya yang menempel lekat seolah-olah ditarik sepasang tangan. Dia masih harus berjalan menyusuri desa kecil di pelosok itu sampai tiba di kota sesuai amanah ayahnya. Perjalanannya masih sangat jauh. Sementara itu, hari bertambah gelap. Tak seorang pun tampak di desa itu. Tak satu pun kepala muncul di gubuk-gubuk yang berjarak puluhan meter dari satu gubuk ke gubuk lain.

            Sungguh itu pengalaman paling buruk selama Nurdewi hidup. Gadis kecil sepertinya harus memikirkan cara bertahan hidup, dan bahkan lebih buruk didera kesedihan atas kehilangan sang ayah. Tentu saja, Nurdewi berharap ayahnya masih hidup, lalu berhasil kabur dari para pembunuh bayaran itu. Namun ia tak tahu laki-laki berambut ikal itu sudah dilempar ke neraka. Selain itu, Nurdewi tak mengerti mengapa dia dan ayahnya dikejar-kejar orang dan mau dibunuh. Sekuat apa pun dia berusaha mencari jawaban dari banyak pertanyaan di kepala, dia tak menemukan.

            “Ayah,” gumam gadis itu sambil menatap langit yang menampakkan sekelebat cahaya, lalu hilang ditelan entah menjadi gelap.

            Nurdewi kembali berjalan di tengah kegelapan. Dia berharap bisa menemukan sebuah tempat, setidaknya untuk beristirahat dan memejamkan mata yang lelah. Dan satu hal yang dia khawatirkan, bahwa hujan sebentar lagi menumpahkan bulir-bulir membekukan. Suhu udara desa yang dingin saja sudah membuatnya menggigil setengah mati, ditambah embun-embun yang membasahi rambut kepang dua sepanjang punggungnya. Apalagi jika hujan turun, Nurdewi cemas dia mati kedinginan.

            Kaki-kaki kecilnya makin tersaruk karena tak sanggup lagi mengangkatnya lebih tinggi. Apalagi batu kecil dan duri beberapa kali sudah berhasil melukai telapak kakinya. Nurdewi terengah-engah. Mata sayu menyipit. Pandangan buram di tengah-tengah perjalanan yang belum seberapa jauh. Hingga tak lama kemudian, hujan menurunkan bulir-bulir kecemasan yang Nurdewi khawatirkan. Dengan kaki terpincang-pincang, dia terus berjalan. Tak mungkin diam karena para pembunuh bayaran bisa menangkapnya. Dia tak ingin mengecewakan sang ayah. Beberapa puluh meter di depan, Nurdewi melihat sekelebat cahaya kuning remang-remang di sebuah gubuk. Seolah mendapat kekuatan dari entah, Nurdewi mempercepat langkah, dan dia berhasil tiba di gubuk itu. Namun tak seorang pun ada di tempat tersebut. Bahkan pintunya terbuka lebar. Lampu minyak menggantung di tengah-tengah satu-satunya ruangan gubuk reyot.

            “Permisi,” katanya lirih. Suaranya nyaris tak bisa keluar, tapi Nurdewi mendengar ucapan keluar dari mulutnya. “Apa ada orang?” Kepalanya melongok di ambang pintu, bergerak ke kiri dan kanan melihat sekeliling gubuk sempit itu. Tak ada siapa pun. Bahkan jika berpikir ada orang pun, di mana dia bersembunyi sedangkan gubuk itu luasnya hanya sepetak, hanya cukup untuk tidur dua manusia kecil.

            Nurdewi makin cemas tak bisa menahan kantuk dan rasa lelah. Kakinya otomatis bergerak, lalu dia masuk ke gubuk itu meskipun tak seorang menyahut. Paling tidak, dia bisa beristirahat. Meskipun besar kemungkinan para pembunuh bayaran bisa menemukannya, tapi tak ada pilihan lain. Nurdewi juga butuh mengembalikan tenaga sehingga dia bisa melanjutkan kabur.

            Ada satu tikar dari jerami yang digelar di gubuk itu, membuat Nurdewi berpikir pemiliknya pasti sedang keluar. Dia tak tahu daerah di sekitar sini. Namun, dia meyakinkan diri pemiliknya pasti orang baik. Jadi tak apa-apa meminjam tempat itu demi istirahat. Nurdewi lekas mendudukkan diri. Karena sudah kehilangan banyak tenaga, dia menggelepar tak sadarkan diri. Gadis kecil yang malang.

 

Mata gadis kecil itu membuka. Sekilas kemudian, dia membelalak mendapati dirinya tak lagi ada di gubuk sempit dengan satu lampu minyak remang-remang. Nurdewi tercenung dengan berbagai pertanyaan di kepala. Tatapannya nanar, mengedar ke sekeliling yang dipenuhi anak-anak gadis seumuran dengannya. Tiap-tiap wajah itu menyiratkan kesedihan sempurna nan dalam. Ada yang menangis, meringis, ada pula yang sedih dalam diam. Setelah kesadarannya terkumpul cukup banyak, barulah Nurdewi mengetahui fakta bahwa dirinya berada dalam kendaraan yang memelesat cepat.

            Dia tidak tahu siapa yang membawanya. Bahkan jika disuruh mengingat secuil pun dari kejadian saat dirinya dimasukkan ke kendaraan itu, dia sama sekali tak bisa mengingat. Yang dia ingat hanya ketika dirinya menemukan gubuk dan sebuah tikar jerami. Dia lelah, lalu tidur lelap.

            “Aku di mana?” Dia mendengar dirinya bertanya. Sementara itu, tak satu pun para gadis kecil kumal yang bersamanya di mobil itu punya jawaban. Para gadis malang itu punya tatapan dan keputusasaan yang sama. Nyaris tak bisa dideskripsikan. Berpasang-pasang mata menyorot redup. Sama seperti Nurdewi yang kebingungan setengah mati.

            Tak lama kemudian, dia melihat gadis yang tampak lebih tua darinya duduk meringkuk di sebelahnya. Nurdewi memberanikan diri bertanya. Dia membuka mulut setelah keberanian terkumpul dalam menit-menit membingungkan.

            “Kak, Kak. Kita ada di mana? Kita mau dibawa ke mana?” tanyanya, seolah-olah tak sabar mendapat jawaban. Alih-alih menjawab, gadis berambut sebahu bertubuh kurus kering itu menyorot tajam tak suka. Dia membuang muka, meringkuk makin erat. Dia sama bingungnya dengan Nurdewi.

            Mendapat respons begitu, Nurdewi tak berputus asa. Dia menghampiri gadis-gadis malang lain yang berada di jangkauan. Namun, tak satu pun dari mereka punya jawaban. Mungkin mereka sama bingungnya dengan Nurdewi karena dibawa pada saat tidur lelap. Kening gadis itu mengerut, bersamaan dengan garis bibir yang melengkung naik.

            Nurdewi menunduk, mencoba menjelajahi tiap-tiap jejak memori di kepala, tapi justru membuatnya pusing. Kini, dia terpaksa meringkuk mengikuti para gadis lain sambil bersedih hati dalam kebingungan yang menyeruak.

            “Kita mau dijual.”

            Suara itu membuat Nurdewi tercengang. Dia melihat gadis dengan gigi ompong di depannya menatap. Gadis ompong itulah yang bicara barusan. Dia terlihat lebih tua dan berbadan besar daripada Nurdewi. Mungkin dialah yang paling tua di antara gadis-gadis lain. Pakaian putihnya tampak kotor dengan beberapa lumpur yang sudah kering menempel. Kedua alisnya saling bertautan. Hidung kembang kempis, seolah berusaha menahan setiap tangis yang mencoba mendera. Nurdewi menatapnya lamat-lamat.

            “Mau dijual? Kenapa kita mau dijual? Dijual ke mana, Kak?” tanya Nurdewi polos. Bibir mungilnya yang kering itu bergerak-gerak secara tak konstan.

            Gadis ompong itu menyatukan kedua tangan di atas lutut yang menekuk, lalu bertopang dagu. Sorotnya makin redup. Mungkin dia tahu beberapa hal dari situasinya saat ini.

            “Kita akan dijual ke orang-orang kaya untuk jadi budak,” jawabnya dengan ingus yang turun-naik dari lubang hidung. Dia nyaris menangis, tetapi mungkin karena merasa memalukan menangis di usianya yang terbilang sudah cukup remaja, dia tak melakukannya.

            Nurdewi membelalak atas jawaban si gadis ompong. Ia tak tahu apakah harus percaya atau tidak. Namun, mengetahui situasinya saat ini, kemungkinan hal buruk bisa terjadi sangat besar. Nurdewi sudah lelah bersedih hati. Tangis dan kesedihannya seolah habis karena harus meninggalkan desa dan ayahnya yang tidak berdaya. Karena itulah, meskipun situasinya sekarang sangat sulit, dia tidak menumpahkan barang sebulir pun air mata.

            Seolah tak lagi penasaran dengan situasinya saat ini, Nurdewi justru mengamati besi berkarat yang merupakan penutup daripada truk, tempatnya saat ini berada. Di segala penjuru, hanya ada besi. Namun, Nurdewi penasaran dari mana datangnya angin yang sesekali mengembus ke permukaan kulit lehernya yang berkeringat. Udara di tempat itu memang sangat pengap minta ampun. Bahkan bernapas pun sangat sulit. Ada sebuah lubang kecil, tepat di belakang tempat Nurdewi duduk dan bersandar. Tampaknya angin masuk melalui celah itu. Timbul gagasan untuk mengintip ke luar. Nurdewi mengubah posisi, membalik badan. Tubuhnya condong ke depan dengan mata kanan memejam, sedangkan mata kiri dibiarkan terbuka.

            Melalui celah kecil itu, Nurdewi bisa melihat ke luar, tentu saja. Dan betapa tercengangnya, dia melihat berbagai kendaraan melintas, saling menyalip dengan truk tempatnya berada. Bangunan-bangunan bermacam gaya, tak jarang pula ada yang tinggi menjulang. Lampu kelap-kelip warna-warni. Berbagai makanan lezat. Poster dan baliho. Asap yang menyeruak dari pedagang bakso. Nurdewi melihat semuanya dalam sekali sapuan pandangan. Meskipun penglihatannya terbatas, tetapi dia menikmati semua hal yang dilihatnya di sepanjang jalan.

            Baru kali ini Nurdewi melihat kota besar yang riuh rendah dengan segala macam aktivitas. Tak seperti desanya yang gelap. Dia hanya punya lampu minyak di gubuk reyot yang sudah menjadi kenangan. Di kota, warna-warni cahaya membuat kegelapan makin menyenangkan. Nurdewi merasa tak takut lagi jika harus berhadapan dengan malam. Dia yakin itu.

            “Ternyata ini namanya kota.” Nurdewi mendengar dirinya bergumam. Saking takjub dirinya pada pemandangan yang tak pernah dia saksikan. Seolah-olah, dia seperti manusia purbakala yang bertahun-tahun bebas dari cangkang batu. Bahkan melihat penampilan orang-orang kota, sangat berbeda dengan dirinya. Gaun dengan kain renda lusuh, ketinggalan zaman sekali. Dia bahkan sudah mengenakannya seminggu lalu.

            Kendati demikian, kesedihan seketika itu merasuk ke benaknya manakala melihat seorang gadis tengah dimanja kedua orang tuanya. Nurdewi ingat sang ayah. Namun, dia tak ingat pernah punya ibu. Dulu, dia selalu bertanya, ke mana ibunya pergi. Ayahnya tak pernah menjawab, atau bahkan selalu menjawab sekenanya, “Ibu sudah lama meninggal saat melahirkanmu.”

            Nurdewi sangat sedih. Dia selalu berharap bertemu ibunya, meskipun hanya di dalam mimpi. Bulu mata lentiknya mengembun kala itu. Sinar terang dari berbagai lampu sirna seketika dilahap kegelapan. Sekilas kemudian, truk itu berhenti, membuat Nurdewi menarik dirinya dari jejak-jejak memori menyedihkan.

 

“Kita akan segera dijual. Aku melihat semuanya. Mereka orang-orang jahat. Mereka membawaku pergi di depan kedua orang tuaku,” kata si gadis ompong setelah beberapa menit kendaraan berhenti dan mesin dimatikan si sopir.

            Terlihat wajah-wajah takut penuh keputusasaan. Sorot-sorot kusam. Ringis kegelisahan. Semua itu terjadi di sekeliling Nurdewi. Namun entah mengapa dia tak setakut gadis-gadis lain. Dia justru menantikan hal luar biasa apa yang sesaat lagi akan dia lihat. Atau hal menyenangkan apa yang sudah menantinya. Sebab pikirnya kala itu, enak sekali hidup di kota. Dia bisa pergi ke bangunan-bangunan megah di pinggir jalan yang dia saksikan. Dia akan bisa makan apa pun. Dia akan hidup bebas di kota, berbaur dengan orang-orang yang dimabuk kesenangan. Gagasan itu sampai tak sadar membuat jantung Nurdewi berdentam keras.

            Hingga tak lama kemudian, pintu belakang truk membuka lebar. Semua gadis tak ada yang berani menatap orang-orang yang membuka pintu itu. Namun Nurdewi, dengan keyakinan dan gagasan barunya, dia seolah menantang semua orang yang ada di situ untuk membawanya dengan senang hati. Dia berdiri lebih dulu daripada gadis-gadis lain. Sorotnya melebar, seolah-olah menyambut dua orang pesuruh berkulit kecokelatan dengan rambut gondrong itu. Keduanya mengernyit heran, lantas tak memedulikan sikap Nurdewi.

            Seorang laki-laki berjaket kulit hitam dengan keretek terjepit di antara jari telunjuk dan jari tengah naik ke truk. Tangan besarnya yang mengepal membentur badan truk sambil berkata, “He! He! Semuanya! Bangun! Kita sudah sampai! Ayo, lekas turun!”

             Gadis-gadis lusuh itu terhenyak tak main-main. Tak ada yang berani melawan. Kendati demikian, ringis cemas masih tetap terdengar. Nurdewi mendului semuanya, menjadi paling depan di antara mereka, lalu diikuti si gadis ompong, lalu gadis-gadis penakut lainnya yang masih bersedih hati. Nurdewi turun dari truk, seketika takjub melihat lahan luas dipenuhi material-material bangunan. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Tak lama kemudian, puluhan mobil datang ke tempat itu. Salah satu mobil menyorot ke para gadis, lalu mata Nurdewi menyipit sambil menatap orang yang tengah keluar dari sana.

            Ada seorang wanita, berusia sekitar 40-45 tahun dikawal puluhan laki-laki berjas. Satu kata yang terlintas di benak Nurdewi manakala melihat wanita itu, “Cantik.” Dia tak sadar berkata begitu, tanpa satu pun yang mendengar.

            Wanita itu bergaun merah panjang dengan bulu-bulu lembut yang menggantung di leher. Bibir tipisnya yang melengkung ibarat busur panah dilapisi lipstik merah menyala pula. Mata agak sipit dengan bulu mata yang minimalis terlihat sangat mengintimidasi siapa pun. Kedua alis hitam yang di masing-masing ujungnya lancip makin menambah intimidasi begitu sempurna. Bentuk wajahnya yang tirus, memesona. Tak salah Nurdewi langsung tak sadar berkata cantik. Sebab memang seperti itulah adanya. Wanita itu cantik tak kurang satu apa pun. Namun yang menjadi pertanyaan, siapa dia?

            Si wanita berdiri, para pengawalnya berderet di kedua sisi. Para gadis makin meringis. Tak ada yang tahu nasib mereka akan seperti apa beberapa waktu ke depan. Tak ada yang menjamin mereka akan tetap hidup.

            “Semuanya diam! Jangan ada yang menangis! Hapus air mata kalian!” teriak si laki-laki berjaket kulit. Rokoknya nyaris habis. Dengan satu isapan panjang, dia membuang puntung rokok, lalu menginjaknya lamat-lamat. “Mulai sekarang, kalian ikut dengan Tante Melisa. Tante Melisa yang cantik akan mengurus semua kebutuhan kalian. Kalian akan hidup sejahtera. Kalian tidak akan kekurangan satu apa pun, asal kalian tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Jika ada yang berani kabur atau macam-macam, kalian akan kami buang, atau bahkan kami bunuh!”

            Para gadis malang itu menelan ludah kasar. Ucapan si lelaki berjaket kulit seolah menghentikan dengan cepat aliran napas mereka. Alih-alih tenang, yang ada mereka makin didera ketakutan yang dalam. Namun Nurdewi masih terlihat santai. Bahkan sejak awal sorotnya tak luput dari memandangi wanita cantik bernama Tante Melisa. Sekilas kemudian, Tante Melisa memberikan senyuman merekah penuh arti pada Nurdewi.

            Nurdewi membelalak. Secara naluri, dia mengetahui Tante Melisa orang jahat yang akan membawa hidupnya menuju sebuah dunia gelap. Meskipun begitu, ada kehangatan yang tersalur secara alami dari senyuman yang dia beri. Nurdewi merasakan sekelebat perasaan nyeri di dada, sekaligus tenang, tetapi dia tak tahu apa namanya perasaan itu. Sepasang mata itu sangat mengintimidasi. Sayang, dia tak bisa memungkiri kenyamanan yang datang begitu saja.

            “Hai, anak-anak,” sapa Tante Melisa. “Mulai sekarang, kalian ikut dengan Tante, ya. Ya, Tuhan. Kalian kusam sekali. Nanti sampai di rumah kita, Tante akan memberikan kalian perawatan ekstra. Tante yakin kalian adalah gadis-gadis cantik pilihan di desa masing-masing. Tenang saja, ya. Kalian tidak akan tinggal di rumah bobrok kalian lagi. Tante akan membiayai hidup kalian. Jadi, jangan sungkan minta apa pun yang kalian butuhkan.”

            Sekian pidato singkat Tante Melisa yang seketika itu memenuhi gagasan Nurdewi. Gadis berkepang dua itu tak sabar ingin cepat-cepat dibawa ke rumah yang di dalam pikirannya sangat megah seperti bangunan yang dimiliki orang-orang kaya perkotaan. Dia amat senang, bahkan nyaris melupakan tujuannya datang ke kota. Nurdewi langsung ingat amanah ayahnya. Dia ingat diberi secarik kertas. Dia yakin menaruh kertas itu di kantong gaunnya yang kecil. Nurdewi meraba-raba, merasakan tekstur kertas yang sudah agak kering dari basah beberapa waktu lalu. Namun untuk sekarang, dia tak bisa langsung melakukan apa yang ingin dia lakukan. Yang penting adalah menikmati momen tinggal di kota sesuai gagasan barunya yang menyenangkan.

            Para gadis itu dibawa masuk ke mobil. Masing-masing mobil mewah itu berisi setidaknya tiga gadis. Sementara ada 21 gadis, yang berarti ada tujuh mobil yang membawa mereka. Kebetulan Nurdewi berpasangan dengan si gadis ompong dan satu gadis yang terlihat lebih kecil darinya. Mereka berada di satu mobil dengan Tante Melisa. Dan Nurdewi di sepanjang perjalanan, tak lepas dari memandangi wanita itu dari kaca spion. Tentunya, Tante Melisa menyadari itu. Dia hanya bisa tersenyum dengan arti yang tidak bisa dipahami siapa pun.

            Sejak malam itulah, kehidupan baru Nurdewi dimulai. Setiap aspek dalam kehidupannya seolah diprogram ulang. Dia akan tinggal di rumah besar lagi megah. Mungkin puluhan kali lipat lebih luas dari tanah gubuk reyotnya, dan Nurdewi menikmati setiap hal yang terjadi di dalam hidupnya meskipun terkadang pikiran tentang ayah dan desanya di pelosok kerap kali menghantui.

            Para gadis itu dikumpulkan di halaman depan rumah megah berarsitektur klasik. Mulai dari pilar yang memiliki ukiran berbagai macam bunga dan hewan. Pintu yang terbuat dari kayu jati paten berukiran abstrak, ibarat diukir seniman paling legenda di dunia. Belum lagi pegangan pintu berwarna kuning emas yang bentuknya seperti kepala naga. Suasana di rumah itu benar-benar tenteram sebagaimana yang dirasakan Nurdewi. Apalagi saat dia memperhatikan warna yang mendominasi setiap dinding, secorak dengan ubin-ubin berukuran besar setiap lantainya, yaitu hijau muda. Tak terbayang rumah itu memiliki berapa banyak ruangan. Yang terlihat dari tampak depan, jendela-jendela berbentuk persegi, semestinya ada lebih dari sepuluh ruangan.

            Meskipun Nurdewi berada di halaman depan bersama gadis-gadis lain, tetapi dia masih bisa menyaksikan dengan jelas ada berbagai furnitur dari kayu jati paten berukiran macam-macam. Ada kursi, meja, lemari, bahkan asbak pun tampak sangat bernilai di mata Nurdewi. Tak pernah dia melihat benda-benda seperti itu di desanya. Paling-paling yang sering dia lihat adalah tempat duduk yang kebanyakan terbuat dari bambu. Mencari bambunya pun tak susah. Hanya perlu keluar dari gubuk reyotnya, lalu berjalan beberapa meter, siapa pun boleh menebang bambu itu.

            “Baik, anak-anak. Mulai sekarang, kalian akan tinggal di rumah besar ini,” kata wanita bergincu merah itu, seketika membuyarkan lamunan Nurdewi tentang betapa asyiknya bila tinggal di rumah megah seperti orang-orang kota. “Mulai sekarang, kalian panggil saya Mama. Mama Melisa.”

            Tante—bukan—Mama Melisa merekahkan senyuman. Dia membuka kipas tangan yang terbuat dari bambu dengan beberapa corak unik itu, lalu mengibas-ngibaskannya di dekat leher. Sementara para gadis, termasuk Nurdewi tak sedikit pun bersuara. Mereka takjub melihat rumah megah Mama Melisa. Beberapa gadis yang semula bersedih hati, kini berubah pasrah menerima nasib. Beberapa lainnya masih tetap meringis samar.

            “Kalian adalah anak-anak Mama yang cantik. Mama akan mengabulkan semua permintaan kalian,” lanjut Mama Melisa dengan senyuman menenangkan. Nurdewi percaya itu, atau lebih tepatnya ingin percaya pada wanita itu. Namun beberapa gagasan di kepalanya menolak, sebab merasa masih ada sorot licik di mata Mama Melisa. Kendati demikian, sungguh sempurna bahwa Mama Melisa memainkan perannya sebagai wanita bijaksana yang dalam seketika dapat menghipnotis para gadis itu.

            Intonasinya yang rendah, ketenangannya yang intens, serta raut wajahnya yang selalu dihiasi senyuman, membuat para gadis itu makin percaya bahwa Mama Melisa adalah bidadari penyelamat bagi mereka. Mereka tak dijual! Bahkan gadis ompong nyaris sepenuhnya percaya bahwa gagasannya selama ini salah.

            Mama Melisa berjalan mendekati beberapa gadis, menanyakan nama mereka satu per satu. Hingga tiba giliran Nurdewi yang berada di deretan paling kanan terakhir. Mama Melisa menatap Nurdewi lamat-lamat. Tangannya mengangkat, menyentuh rahang, ceruk leher, hingga mengusap-usap wajah gadis polos itu.

            “Namamu siapa, Cantik?” tanya Mama Melisa sambil mencondongkan tubuh. “Kamu cantik sekali. Mama bangga bisa mendapatkanmu. Mulai malam ini, kamu milik Mama, Sayang,” imbuhnya dengan ketenangan intens.

            Nurdewi menyorot tenang. Manakala garis bibirnya bergerak-gerak, dia mulai buka suara. “Nurdewi, Mama.”

            Nurdewi sangat cerdas dan bijaksana. Dia terlihat seperti gadis penurut. Bahkan setelah mendengar pidato singkat Mama Melisa, dia mulai mencoba mengakrabkan diri dengan wanita itu. Kesannya pada wanita itu masih tetap sama, yaitu cantik. Sebab seperti itulah adanya. Tak ada yang tidak mengenal Mama Melisa, khususnya para laki-laki yang keluar-masuk tempat pelacuran. Mama Melisa adalah sosok wanita tegas lagi bijaksana yang diinginkan para lelaki. Mereka ingin bercinta dengan Mama Melisa. Namun wanita itu selalu menolak, dan memberikan anak-anak perempuannya yang lain melayani mereka. Kendati demikian, Mama Melisa juga sosok misterius yang tiada satu pun dapat menebak apa yang ada di pikirannya.

            “Gadis penurut. Dibandingkan putri Mama yang lain, kamu sepertinya akan membuat Mama menjadi lebih kaya raya. Berapa usiamu sekarang, Sayang?” Tangan itu berganti mengusap lembut penuh perhatian puncak kepala Nurdewi.

            “Dua belas tahun, Mama.”

            “Mama akan menjagamu sampai usia yang cukup untuk bekerja. Sampai saat itu tiba, mintalah apa pun pada Mama. Hiduplah dengan nyaman di rumah ini.”

            Tentu saja, Mama Melisa tidak akan langsung mempekerjakan para gadis mungil tersebut sebagai pelacur di usia semuda itu. Paling tidak, dia harus menunggu beberapa tahun lagi sampai mereka matang, dan bisa membangkitkan nafsu berahi para pelanggan tempat pelacurannya yang diberi nama “Keluar Puas”. Seperti namanya, setiap laki-laki yang masuk ke tempat pelacuran itu tak akan keluar sebelum puas. Dan mereka yang keluar pasti sudah puas. Itu mutlak! Sebab pelanggan Mama Melisa datang dari berbagai penjuru. Bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga para turis dari luar negeri. Keluar Puas terbuka untuk siapa pun, dan punya segudang perempuan untuk memuaskan berahi para lelaki.

            “Nur boleh tanya, Ma?” Gadis polos itu memiringkan kepalanya dengan sorot tenang.

            “Boleh, Sayang. Mau tanya apa?” Mama Melisa membalas sorot tenang Nurdewi demikian lembut.

            “Kita akan kerja jadi apa?”

            Senyuman Mama Melisa terbit. Tangannya merapikan anak rambut Nurdewi yang sedikit berantakan. “Bekerja sebagai perempuan baik yang akan memberikan kebahagiaan bagi para laki-laki.”

            Nurdewi tak cukup mengerti maksud Mama Melisa. Namun dia berusaha menghargai jawaban yang telah diberikan. Sehingga itu, dia pun mengangguk ritmis sambil berkata, “Oh, begitu. Nur mau jadi orang baik.”

            Dan ucapan itu membuat si gadis ompong dan beberapa gadis yang tampak lebih tua dari Nurdewi, mengernyit heran. Sebab si gadis ompong mengerti apa yang akan Mama Melisa lakukan pada mereka. Sebab dia juga memahami, akan dipekerjakan jadi apa nantinya. Sebab si gadis ompong juga amat sangat mengetahui di usia 18 tahun nanti, mereka akan menjadi pelacur menyedihkan.

 

Seperti yang diduga, rumah Mama Melisa sangat luas bak istana di negeri dongeng. Ruang tamunya saja puluhan kali lebih luas dari gubuk reyot mana pun. Begitu banyak lukisan klasik dan abstrak di dinding yang disaksikan Nurdewi ketika melewati ruangan itu. Selain itu, matanya tertumbuk pada berbagai barang elektronik yang sama sekali tidak pernah ada di desanya. Seperti misalnya, televisi. Bahkan radio pun dia tak punya di desa. Sungguh-sungguh tak ada hiburan saat Nurdewi tinggal di desa. Dia hanya punya satu buku cerita yang sudah dibacanya puluhan kali. Dan benar, dia bisa membaca. Untungnya seperti itu.

            Di rumah itu, tidak ada yang bisa kabur. Usaha apa pun yang dilakukan para gadis polos penakut itu, mereka tidak akan bisa melarikan diri. Setiap jendela memang tak ditutup. Ada banyak celah untuk kabur dari rumah itu, tetapi tak ada kesempatan melakukannya karena para penjaga Mama Melisa siap siaga di segala sudut dengan pistol dan bedil mereka. Berusaha kabur barang satu kali pun, darah bakal muncrat dari kepala mereka. Hingga itulah, kabur adalah sebuah pilihan yang tidak akan pernah diambil oleh para gadis itu. Lebih baik diam dan menurut, bersikap bijaksana karena, toh, hidup mereka akan enak dalam beberapa tahun ke depan sebelum bisa melayani laki-laki bernafsu berahi tinggi.

            Setelah melewati beberapa ruangan di lantai bawah dan lantai kedua, mereka tiba di depan sebuah ruangan yang tak kalah luas. Pintu ruangan itu terbuka, terlihat tempat tidur empuk berseprai putih dengan motif bunga. Setiap tempat tidur berderet menjadi dua bagian, jumlahnya mungkin mencapai 20 ranjang. Dan tentu saja, satu di antara para gadis itu akan tidur berdua dalam satu ranjang nantinya.

            Nurdewi semringah dengan gagasannya. Dia menghirup wangi lavender yang menyeruak di ruangan itu. Dia kembali membandingkan tempat mewah itu dengan gubuk reyot di desanya. Sungguh-sungguh amat menakjubkan melebihi apa pun yang pernah Nurdewi lihat. Saking berdentam detak jantungnya, dia tak sadar bergerak masuk mendului para gadis lain. Bahkan Mama Melisa belum mempersilakan. Buka mulut barang sedikit pun belum. Akibat sikap Nurdewi yang bikin geleng-geleng kepala itu, Mama Melisa tersenyum merekah.

            “Baik, anak-anak. Kalian boleh istirahat. Besok pagi, kita akan bersihkan kalian.”

            Mama Melisa berjalan menuruni tangga. Seperginya wanita itu, para gadis saling menatap satu sama lain. Mereka kelelahan, tak punya daya dan tenaga. Bahkan ada yang perutnya sampai berbunyi karena keroncongan. Untuk bisa mendapatkan tenaga kembali, mereka menuruti ucapan Mama Melisa. Lagi pula, tak ada yang bisa dilakukan.

            Nurdewi merebahkan dirinya di atas tempat tidur besar nan wangi itu. Dia berguling-guling ke sana kemari. Tangannya merentang dengan sorot menatap ke langit-langit yang tinggi.

            “Kenapa kamu begitu senang? Kita akan dijadikan pelacur. Apa kamu tidak memikirkan sedikit pun nasib kita ke depan?”

            Tiba-tiba suara si gadis ompong membuat Nurdewi beranjak duduk. Gadis ompong duduk di ranjang dengan sorot sendu seperti sebelum-sebelumnya.

            “Tidak apa-apa, Kak. Kita nikmati saja dulu.” Nurdewi tersenyum menenangkan.

            Mungkin saraf Nurdewi sudah putus, kata si gadis ompong dalam hatinya sambil tersenyum masygul.

 

-II-

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Haram Jadah: Hari Pembalasan (BAGIAN 2)
1
0
Si gadis ompong yang duduk di sebelah Nurdewi memperhatikan raut wajah datar gadis itu. Setelah meminum segelas air putih, dia menyadarkan Nurdewi dari lamunan menggunakan sikutnya yang dibenturkan di lengan Nurdewi.            “Ada apa?” tanya si gadis ompong dengan kerutan di kening. Dia mungkin mengira Nurdewi tengah memikirkan cara agar bisa kabur dari rumah Mama Melisa, atau merenungi bakal nasibnya ke depan. Namun mustahil, sebab si gadis ompong sudah melihat sendiri betapa ajaib gagasan Nurdewi.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan