
“Mana Salsa?”
“Oh, Ibu Salsa akan datang, nanti. Dia sedang mengurus pekerjaannya,” balas Arin.
“Saya nggak mau berurusan dengan pengacara. Saya mau ketemu Salsa. Istri saya!”
“Istri yang sudah Anda talak, Pak. Maaf, bisa kita langsung ke pokok persoalan? Anda sudah mendaftarkan perceraian Anda, dan karena Anda sudah menjatuhkan talak maka sidang ini tidak akan lama.”
Dear dearest readers. Bab 11 sampai 20 akan dibuka gratis sampai akhir tahun ini ya.
Terima kasih sudah membaca dan memberikan dukungan ^_^
Bab 11. Resmi Bercerai
“Selamat pagi, Pak Aditya? Saya Arina Maulida, pengacaranya Ibu Salsabila,” sapa Arin, membuat Adit bengong.
Perempuan dengan blazer berwarna pink muda dan dress hitam itu mengulurkan tangannya sembari tersenyum tegas pada Adit. Ajakan jabat tangan itu diabaikan Adit, dia tak menyangka Salsa akan menggunakan pengacara.
“Mana Salsa?”
“Oh, Ibu Salsa akan datang, nanti. Dia sedang mengurus pekerjaannya,” balas Arin.
“Saya nggak mau berurusan dengan pengacara. Saya mau ketemu Salsa. Istri saya!”
“Istri yang sudah Anda talak, Pak. Maaf, bisa kita langsung ke pokok persoalan? Anda sudah mendaftarkan perceraian Anda, dan karena Anda sudah menjatuhkan talak maka sidang ini tidak akan lama.”
Lagi-lagi Arin menyunggingkan senyum yang terasa bagai olokan bagi Adit. Lelaki dengan wajah kuyu itu terlihat banyak pikiran. Matanya bersinar redup, rambutnya yang ikal sepertinya sudah lama tidak mendapat sentuhan dari pemangkas rambut. Kemeja dan celananya yang berbahan drill kelihatan tidak serasi dengan kusut di sana-sini.
“Biasanya dua kali sidang semua urusan sudah selesai. Salsa akan resmi menyandang status janda. Tidak ada mediasi karena Salsa juga tidak menghendaki.”
Arin melanjutkan penjelasannya dengan semangat, mengabaikan tatapan gusar Adit karena kata-katanya.
“Salsa? Jangan sok akrab dengan istri saya!”
Tatapan dingin Adit membuat Arin berhenti berbicara dan tersenyum menyindir. Lelaki yang sekarang kehilangan beberapa kilo berat badannya itu heran karena Arin tidak lagi memanggil Salsa dengan embel-embel Ibu.
“Istri? Yang benar mantan istri, saya tegaskan sekali lagi. Oh ya, Salsa dan saya berteman sejak SMA, kalau-kalau Anda lupa. Ah iya, Anda pasti tidak ingat saya. Karena dulu Anda memang cowok kurang update yang nggak banyak teman. Untung ada Salsa kan, yang membawa Anda keluar dari tempurung Anda sehingga Anda jadi lebih terkenal.”
Adit menatap Arin dengan marah. Banyak yang ingin dikatakannya pada perempuan yang telah lancang ini.
“Rin, maaf telat.” Suara yang begitu dikenal Adit itu meleburkan semua emosi Adit yang siap dimuntahkan.
Salsa dengan tenang mencium pipi kanan dan kiri Arin. Perempuan itu terlihat pucat dengan mata sedikit bengkak. Tapi tetap cantik dengan tunik berbahan katun berwarna hijau emerald, warna kesukaan Salsa. Pulasan make up tipis dan lipstick berwarna merah kecokelatan berhasil memudarkan kesan sedih di wajah Salsa.
“Nggak telat kok, Sals. Sudah siap?” tanya Arin, disambut anggukan Salsa.
“Apa kabar, Mas?”
Adit tak menyangka Salsa akan menyapanya. Dia hanya tergagap menjawab pertanyaan basa-basi itu. Salsa segera berlalu meninggalkan Adit yang termangu. Lelaki itu begitu terpukau dan detakan di jantungnya masih sama seperti ketika 12 tahun lalu saat dia melihat Salsa di gang itu. Perasaan hangat yang sekarang memerangkapnya masih bernama cinta.
***
Salsa sejenak lupa ini hari apa, yang dia ingat adalah ruangan sederhana dengan perabot yang juga sederhana. Ada seorang hakim di depannya dan lelaki yang pernah mengucapkan janji suci jauh di bagian lain ruang itu. Adit terlihat sangat tidak bahagia, berulang kali dia mencuri pandang pada mantan istrinya yang terlihat cantik dengan penampilannya.
Samar-samar suara hakim yang membacakan putusan terdengar seperti nyanyian musim kelabu.
“Sa, yuk kita pergi.” Arin mengulurkan tangannya.
“Oke,” balas Salsa lemah.
“Sals, tunggu!”
Arin dan Salsa baru saja mencapai ambang pintu, Ifa sudah menunggu di dekat kursi beton tempat beberapa orang duduk.
Adit mendekat dengan langkah panjang.
“Sals, bisa kita bicara?” Adit melirik Arin.
“Berdua saja, Sals,” lanjut Adit.
“Maaf, Mas. Tidak bisa. Kita bukan lagi suami istri. Kamu yang setuju menjadikan aku orang asing. Urusan kita selesai.”
“Sals, aku tahu aku melakukan kesalahan. Tapi ... aku nggak rela kamu pergi.” Adit menatapnya memelas.
“Sudahlah, Mas. Semua sudah terlambat. Aku sudah merelakan kamu untuk Amara. Oh ya untuk urusan penjualan rumah dan mobilmu nanti Arin yang akan mengurus. Aku sudah memberi dia kuasa. Selamat tinggal, Mas. Kamu sudah dapat apa yang kamu ingin, kan?”
Salsa bergegas menarik Arin untuk menjauh.
“Sals, yang aku ingin cuma kamu!”
Teriakan Adit mengundang tatapan beberapa orang, dan Salsa merasa perih lagi. Dia merasakan matanya basah, dia pun masih sangat mencintai Adit. Tapi semua sudah terjadi, Salsa tak ingin tinggal lebih lama lagi dan semakin hancur berada di antara Adit dan Amara.
Adit akan mempunyai seorang anak yang begitu diinginkannya, sedangkan Salsa kehilangan pernikahan yang begitu dijaganya. Hanya ada dia dan hidupnya yang baru sekarang. Tak ada lagi Aditya.
***
“Ini, Sa. Semua sudah beres. Rumah yang di Nirwana Suite sudah laku. Mobil Pajero juga. Apartemen jatuh ke tanganmu, karena memang itu atas namamu dan dibeli sebagian besar dengan uang kamu.”
Arin mengangsurkan sebuah dokumen, Salsa hanya meliriknya sekilas. Dia tak mengerti perasaannya saat ini. Lega tetapi kosong.
“Adit sama sekali nggak nolak waktu aku jelaskan masalah pembagian hasil penjualan rumah. Gundiknya itu yang teriak-teriak.”
Arin berhenti untuk menyesap teh mint-nya. Ifa yang duduk di sampingnya hanya menyimak. Mereka bertiga bertemu untuk makan siang di Tea n’ Coffee House, sebuah kafe di pinggiran kota.
“Teriak gimana?” tanya Salsa datar.
“Ya, dia nggak terima Adit cuma dapat seperempat dari hasil penjualan rumah dan mobil. Dia marah-marah karena mobil Adit harus dijual, katanya mobil itu dibeli pake duit Adit semua. Heran deh aku, dari mana Adit mungut perempuan model begitu. Nggak ada smart-nya sama sekali, malah keliatan kampungan banget!” Arin menggeleng seraya menyesap tehnya lagi.
“Sudahlah, jangan ngomongin mereka, Rin. Kita bahas yang lain aja.”Ifa menengahi melihat ekspresi wajah Salsa yang seakan tak nyaman dengan bahasan mereka.
“Sa, kamu yakin mau tinggal di apartemen itu? Kamu sendirian loh, Sa,” ucap Ifa.
“Enggak. Aku mau pulang ke rumah Mama, Fa. Apartemen itu ada yang ngontrak.”
“Iya, itu lebih baik, Sa. Kalo ada Ayah sama Mama, aku juga nggak khawatir.” Ifa menatap Salsa dengan lega.
“Tumben kamu khawatirin aku? Biasanya juga nggak peduli. Sibuk sama Mas Dokter.” Salsa menarik bibirnya sedikit.
“Duh, yang udah bisa becanda. Syukurlah aku ikut seneng.”
Arin dan Ifa bertukar tatapan, sedikit merasa lega Salsa bisa menanggapi percakapan dengan senyum.
Ifa menghampir Salsa dan meraih bahunya.
“Everythin gonna be okay, Sa. Memang berat, tapi ketika kamu sudah mulai melangkah maju semua perlahan akan menjadi ringan. Lalu tanpa kamu sadari, Adit sudah tidak lagi ada di hati dan pikiran kamu,” ucap Ifa dengan lembut.
Arin ikut menenangkan, meletakkan tangannya di atas tangan Ifa. Mereka bertiga saling berpandangan dan tersenyum. Seharusnya Salsa merasa lega, tapi entah kenapa dia merasa ada sesuatu yang mengganggunya jauh di sana.
***
Salsa bersiap memasuki mobilnya ketika dia sudah melambai pada Arin dan Ifa yang baru saja pergi. Dia mengurungkan niatnya untuk membuka pintu mobil, ketika suara seseorang menghentikannya.
“Mbak Salsa ….”
Salsa berbalik dan sebelum dia sepenuhnya sadar, Adiba sudah menghambur ke dalam pelukannya. Gadis itu memeluknya erat dan menumpahkan tangisnya. Membuat Salsa tertegun dan hanya bisa membalas pelukannya.
“Kenapa Mbak Salsa menyerah? Kenapa, Mbak? Kami nggak pengen kehilangan Mbak Salsa.”
Salsa tak menjawab. Ternyata sakit ini belum akan selesai. Sekarang Salsa harus menjawab pertanyaan Adiba. Salsa tak mengerti untuk apa cerai diciptakan jika begitu banyak meninggalkan luka.
“Nih, minum dulu.”
Salsa memberikan secangkir teh beraroma lemon pada Adiba. Dia terpaksa membawa Adiba yang tak berhenti menangis, masuk ke dalam kafe itu lagi.
“Mbak, maaf aku jadi ngerepotin.”
“Enggak, kok. Aku juga lagi nggak ada kerjaan.”
“Mbak Salsa sekarang tinggal sama Ayah dan Mama lagi?”
Salsa mengangguk.
“Iya. Mau tinggal di mana lagi, Dib? Aku sekarang cuma punya mereka.”
“Mbak Salsa masih punya aku dan Mama Ainun. Kami sayang sama, Mbak. Mama nggak bisa berhenti nangis ketika tahu Mas Adit sudah menjatuhkan talak. Mama tetep nggak mau nerima perempuan itu, Mbak.”
“Diba, gimana pun juga Amara sekarang kakak ipar kamu. Dia juga hamil anaknya Adit. Kamu harus belajar nerima dia, ya.”
Adiba memasang wajah cemberut.
“Nggak bisa, Mbak! Dia masuk dengan cara nggak sopan. Gimana bisa aku dan Mama nerima dia? Mereka sekarang tinggal di rumah Mbak, Ayah yang nyuruh.”
Salsa merasa ada sesuatu yang menggigit hatinya. Mantan Ayah mertuanya sangat mendukung Adit dan Amara. Sakit rasanya merasa tak diinginkan hanya karena tak bisa mengandung.
“Ya syukurlah kalo mereka tinggal di rumah Mama Ainun, Dib. Eh, ngomong-ngomong aku nggak bisa nganter kamu pulang, Dib. Habis ini aku balik kampus lagi.”
“Gapapa, Mbak. Diba bisa pulang sendiri, kok.” Gadis berhijab biru itu tersenyum. Mereka pun terlibat percakapan sampai menjelang Asar.
“Loh kamu ... Salsa, kan?”
Seorang lelaki berkemeja abu-abu yang melewati meja Salsa dan Adiba tiba-tiba berhenti dan menatap Salsa. Lelaki itu tinggi dan kulitnya gelap. Rambutnya yang lurus kelihatan baru saja dipangkas. Kemejanya bergaris dengan celana cino semata kaki yang serasi. Singkatnya dia charming.
“Iya. Maaf, apa kita kenal, ya?” Salsa memicingkan mata.
“Wah, kamu lupa ya sama aku? Aku, Teguh. Temennya Mas Hanan, yang dulu suka berantem bareng dia.” Lelaki itu terkekeh.
Mata Salsa membulat.
“Ya Allah, Teguh! Aku pangling. Kamu kok ....”
“Berubah?” Teguh tersenyum.
“Iya. Maaf ya, kalo aku jujur,” balas Salsa.
“Gapapa, Sa. Aku memang udah nggak bandel kaya jaman kuliah dulu.”
“Hmm … syukurlah kalo gitu. Eh, iya kenalin ini Adiba adikku.”
Teguh dan Adiba bertukar senyum, keduanya menangkupkan tangan di depan dada bersamaan. Membuat mereka sama-sama tersipu.
“Ehem ... Ehem ...” Salsa berdehem menggoda keduanya yang saling menatap selama beberapa detik.
Teguh segera membuang pandang dan tersenyum malu. Dia bergerak kikuk dan mencoba mengalihkan fokus Salsa dari tingkahnya yang bagai ABG baru kenal cinta.
“Btw Mas Hanan sekarang di mana, Sa?”
“Terakhir aku tahu dia di Jogja. Dia kan jadi dosen di sana. Tapi aku udah lama sih nggak ketemu.”
Benak Salsa memutar sedikit memori tentang Hanan, kakak sepupunya yang dulu nakal dan suka berantem. Hanan yang selalu menjaga dan memenuhi semua keinginannya. Lelaki yang 5 tahun lebih tua itu dulu dititipkan di rumahnya karena orang tua Hanan ingin ayah Salsa mendidik Hanan supaya berubah. Ketika sudah lulus S1, Hanan memutuskan untuk meninggalkan Malang. Mereka bertemu lagi ketika Hanan datang menghadiri pernikahannya dengan Adit. Setelah itu tak ada lagi kabar dari Hanan. Kabar terakhir yang sampai pada Salsa adalah tentang pernikahan Hanan dengan seorang gadis asal Semarang.
Lalu hari ini, kehadiran Teguh mengingatkan Salsa pada lelaki bertubuh tegap itu. Lelaki yang dulu mati-matian melarangnya dekat dengan Adit.
Salsa menghembuskan napas, kesal karena benaknya menggiringnya lagi pada Aditya.
“Kamu punya nomor kontaknya Mas Hanan nggak, Sa?” tanya Teguh. Lelaki itu sedikit heran karena melihat wajah murung Salsa.
“Aku ... nggak punya, Guh. Coba kamu temuin Bang Anton. Siapa tahu mereka masih kontakan?”
Salsa menyebut nama seorang preman, sahabat Hanan dulu.
“Bang Anton masih tinggal di gang yang dulu itu?”
“Masih, Guh. Terakhir aku ketemu dia kira-kira sebulan yang lalu. Dia juga udah berubah, sih. Yah, berkeluarga gitu.”
“Alhamdulillah … Kami bertiga sudah berubah banyak, Sa. Btw, aku minta nomor kontaknya Bang Anton dan nomormu juga, ya? Sama ... ehem ... nomor wa adik kamu.”Teguh terlihat salah tingkah, mencuri pandang pada Adiba yang langsung menunduk malu. Sementara Salsa menahan senyumnya melihat tingkah keduanya.
“Boleh. Nih, nomor wa Bang Anton. Kalo ... nomor wa-nya Adiba, kamu tanya aja sendiri.”
Teguh nyengir sambil mengusap tengkuknya.
“Guh, kalo kamu ntar bisa ngontak Kak Hanan kabarin aku, ya. Aku pengen ngobrol banyak banget sama dia.”
“Pasti aku kabarin, Sa. Mas Hanan pasti bakal seneng banget kalo ketemu kamu. Aku yakin dia belum bisa move on dari kamu,” balas Teguh sembari memperhatikan gawainya, sibuk mengetik nomor yang ditunjukkan Salsa.
“Maksud kamu?” Salsa mengernyit.
Teguh langsung terdiam. Dia menyadari baru saja keceplosan.
“Gapapa kok, Sa. Lupakan aja. Ehm ... kalo ... Dik Adiba nomor wa-nya berapa?”
Salsa teralihkan. Dia menatap Adiba yang tertunduk malu. Melihat tingkah malu-malu Teguh dan Adiba mengingatkannya pada Adit dan dirinya ketika mereka masih saling menyembunyikan perasaan dulu.
Salsa meremas tangannya. Dia tersadar baru saja teringat pada Adit lagi. Diam-diam Salsa kembali menguatkan dirinya. Memohon pada hati dan pikirannya untuk segera menghapus Adit beserta seluruh kenangannya.
Bab 12. Rasa yang Tertinggal
“Mas, kapan kita pindah ke rumah baru?” Amara berjalan perlahan dan meletakkan secangkir kopi di meja tempat Adit sedang bekerja dengan laptopnya. Lelaki tak menjawab, sibuk memperhatikan laptopnya.
“Ayah tadi telepon, cicilan motor sudah waktunya bayar. Terus besok minggu waktunya bayar tukang.”Amara menghenyakkan tubuhnya di kursi tak jauh dari suaminya.
Adit masih tak menjawab, malah menjangkau cangkir di meja dan menyesap kopinya.
“Mas Adit kok diem aja, sih?!” Amara merengut, kesal dengan respons suaminya. Sejak resmi bercerai dengan Salsa, lelaki itu lebih banyak diam. Ini semua tidak sesuai dengan harapan Amara.
Perempuan yang awalnya bersorak gembira ketika Adit resmi bercerai dengan Salsa, sekarang malah merasa risau. Ternyata semua harta yang dimiliki Adit, tak sepenuhnya miliknya. Ada andil Salsa di setiap incinya.
“Apa sih, Ra?”
“Aku kan tadi bilang, uang cicilan motor Ayah dan upah tukang harus dibayar,” balas Amara dengan kesal.
“Iya, aku sudah tahu. Kamu nggak bisa minta ayahmu bayar dulu uang cicilannya? Uangku buat bayar tukang, katanya kamu pengen cepet pindah ke rumah baru.”
Adit melengos. Dia merasa begitu terbebani dengan semua permasalahan Amara dan keluarganya. Betapa berbedanya dengan Salsa yang selalu berusaha membantu meringankan bebannya.
“Mas Adit gimana, sih? Kan dulu yang setuju bayarin motornya Ayah, Mas Adit. Masa sekarang tiba-tiba berubah pikiran? Kan, aku malu sama Ayah!”
“Kopinya kebanyakan gula, Ra.” Adit tak menanggapi kekesalan Amara.
“Lain kali kalo bikinin aku kopi, gulanya satu sendok kecil aja. Kopinya dibanyakin. Salsa kalo bikin kopi ada takarannya dan dia selalu ingat.”
Adit menjauhkan cangkir kopi itu darinya. Rasanya terlalu manis tetapi hambar di akhir. Berbeda dengan kopi buatan Salsa yang masih terasa pahit tetapi entah mengapa terasa sangat pas bagi Adit.
Amara berdiri, wajahnya memerah. Dengan kasar ditariknya cangkir kopi itu sehingga tetes-tetes hitam berceceran di meja dan lantai.
“Salsa lagi, Salsa lagi!! Sampai kapan perempuan brengsek itu kamu sebut, Mas? Kamu nggak bisa lupakan dia? Inget Mas, aku ini sedang hamil! Ini anak kamu! Sedang Salsa nggak bisa ngasi kamu anak!!”
“Cukup, Ara!” Adit menatap Amara yang terlihat emosi.
“Apanya yang cukup, Mas?! Kamu juga mau-maunya nerima uang penjualan rumah yang nggak seberapa? Jadinya kita nggak bisa cepet punya rumah dan harus numpang di sini. Kamu tuh bisanya cuma bikin aku menderita, Mas!! Semuanya buat Salsa! Apa sih hebatnya dia?! Perempuan mandul aja disanjung-sanjung?!”
Amara terengah setelah meluapkan kemarahannya.
“Aku bilang cukup!! Kamu tuh nggak bisa sejajar sama Salsa. Dia terlalu bagus untuk dibandingkan dengan kamu!”
Adit melangkah keluar ruangan dengan wajah geram. Meninggalkan Amara yang mengamuk, melempar benda-benda di dekatnya. Perempuan mungil itu tak hanya kecewa, tetapi juga merasa tak berharga. Salsa sudah tak ada dalam hidup Adit, tetapi perempuan itu tetaplah pemenang dalam permainan yang diciptakan oleh Amara sendiri.
Pertengkaran itu membuat keduanya tidak menyadari kehadiran Ainun yang sejak awal mendengar perdebatan Adit dan Amara. Ainun termangu, teringat Salsa menantu yang sudah seperti putrinya sendiri. Sudah hampir 3 bulan perempuan itu menghilang tanpa kabar. Padahal mereka masih memiliki penelitian yang harus diselesaikan. Ada tanya di benak Ainun, apa yang terjadi pada Salsa setelah bercerai dari Adit? Ainun tahu Salsa pasti mampu bertahan dan melampaui semua konflik ini dengan cemerlang, seperti biasa.
Namun entah mengapa ada sesuatu yang menggelisahkan Ainun. Sembari menggenggam mug berisi teh beraroma leci, dia melangkah menjauh dari ruangan tempat Amara masih mengamuk. Benaknya dipenuhi oleh Salsa. Dia berharap menantu tersayangnya itu baik-baik saja.
***
Salsa masih betah menatap benda persegi yang menampilkan grafik dan tulisan berspasi rapat itu. Sesekali dia meneguk kopi pahitnya. Sudah hampir jam 23.00 dan dia belum bisa memejamkan mata. Karena itu, dia memutuskan untuk bekerja saja walaupun ini Sabtu malam.
Sesekali dia merapatkan kardigan berwarna biru tuanya. Di luar hujan gerimis disertai angin yang bertiup menyapa ranting-ranting dan dedaunan.
“Sa? Kok, belum tidur?” Utami muncul di ambang pintu kamar yang sedikit terbuka itu.
“Belum, Ma. Ini ngerjakan artikel. Hampir deadline,” jawab Salsa sambil tersenyum.
“Ngerjakan artikel karena deadline, apa karena banyak pikiran, Nduk?”Utami mendekati Salsa, memijat bahu putri bungsunya.
Salsa menyentuh punggung tangan mamanya dengan hangat. Betapa insting seorang Ibu tak dapat tertandingi. Tanpa Salsa mengucapkan sepatah kata, mamanya sudah tahu kegelisahannya.
“Ya gitulah, Ma. Salsa kan harus belajar beradaptasi dengan kehidupan baru ini, Ma. Salsa nggak bisa terus-terusan ngarep Adit kembali lagi kan, Ma?”Salsa meraih tangan mamanya dan menciumnya. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Iya, Nduk. Mama paham. Lakukan apa pun supaya kamu bisa melangkah maju. Mama dan Ayah selalu ada untuk kamu. Eh, nih minum teh serai. Jangan ngopi terus. Kalo kebanyakan nggak sehat, loh.”
Salsa meraih mug berukuran sedang yang diberikan mamanya, meminumnya beberapa teguk. Dia merasa bau teh itu terlalu tajam dan perutnya menolak. Tapi ditahannya perasaan itu karena tak ingin menyakiti hati mamanya.
“Kenapa, Nduk? Nggak enak?”
“Enak sih, Ma. Cuma Salsa mungkin lagi nggak enak badan, ya. Dari tadi kepala pening banget.”
Salsa memijat pelipisnya.
“Kamu itu kebanyakan pikiran sama kerjaan. Sudah istirahat dulu. Besok pagi jangan ngopi dulu, ya.”
Utami mengangkat mug dan cangkir kopi milik Salsa. Setelah menepuk bahu putrinya, perempuan berumur 60 tahun itu keluar dari kamar Salsa. Meninggalkan Salsa termangu sendiri.
Ini Sabtu malam. Malam yang biasanya dihabiskannya bersama Adit. Mereka biasanya pergi ke Batu, mengantri satu jam hanya untuk sepiring kecil ketan bubuk dan kopi saset. Kemudian duduk di bangku yang penuh sesak dan bertukar cerita tentang 5 hari yang penuh warna. Salsa akan menyuapkan ketan miliknya pada Adit dan begitu juga sebaliknya.
Tak peduli pengunjung lain akan memperhatikan mereka. Salsa teralihkan ketika gawainya menyala karena ada notifikasi email. Dengan senyum kecut, diperhatikannya screen saver gawainya, gambar Adit dan dirinya ketika sedang berlibur di Thailand. Adit memeluk pinggangnya dan Salsa menoleh padanya dengan dramatis.
Salsa meraih gawainya dan segera mengganti screen savernya dengan gambar musim gugur di kota Szeged, Hungaria. Kota yang pernah disinggahinya 3 tahun yang lalu.
Move on Salsa! As fast as you can!
Bayangkan, sekarang Adit mungkin sedang memeluk Amara dan membelai perutnya yang semakin besar. Kamu sama sekali tak ada di hati dan otaknya!
Salsa membatin memperingatkan dirinya.
Salsa mengeratkan genggaman tangannya menahan sakit yang tiba-tiba datang. Perutnya tiba-tiba bergolak tanpa aba-aba. Tergesa Salsa melangkah ke kamar mandi hingga menjatuhkan kertas-kertas yang sedang dibacanya.
Dia berdiri cukup lama, memuntahkan semua isi perutnya. Ketika semuanya selesai, Salsa berjalan lemas ke ranjangnya. Masih memiliki cukup tenaga untuk menarik selimut dan memeluk boneka beruang lama kesayangannya.
Tak butuh waktu lama dia tertidur. Mimpi yang membuat hatinya berdetak dengan rasa bahagia hadir dalam tidurnya itu. Seseorang mendekatinya dan memberinya bintang yang bersinar begitu terang. Salsa merasa sosok itu seorang pria berkulit sedikit gelap dengan senyum semenarik senja di musim gugur. Pria itu membawanya ke sebuah rumah kaca yang penuh dengan bunga. Salsa melihat bunga begonia berwarna merah muda, mawar merah dan putih, melati, kembang sepatu dan krisan beraneka warna.
Tempat itu mengingatkan Salsa pada sebuah kebun bunga yang pernah didatanginya, tetapi entah di mana. Salsa dibiarkan berjalan sendiri menyusuri lorong-lorong rumah kaca yang dipenuhi bebungaan di sisi kanan dan kirinya. Bagaimana orang itu tahu Salsa begitu menyukai tanaman? Salsa menoleh, mencari dia yang membawanya ke tempat ini.
Lalu ... pria itu tiba-tiba datang begitu saja, menyentuh bahunya, tersenyum dan membisikkan sesuatu yang membuat Salsa tersipu. Salsa bahkan tersenyum dalam tidurnya.
Malam itu, Salsa terlelap dengan perasaan senang yang sulit dilukiskan.
***
“Sa … Bangun, Nduk. Sudah subuh.”Suara lembut Utami membangunkan Salsa. Perempuan itu memaksa matanya yang berat untuk terbuka.
“Jam berapa ini, Ma?”
“Setengah lima, Nduk. Ayo, cepet salat,” bisik Utami.
“Kepala Salsa pening banget, Ma.” Salsa meringis kesakitan sambil menyentuh kepalanya.
Utami meletakkan tangannya di kening Salsa.
“Badanmu tapi nggak deman, Nduk. Malah dingin gini. Mama ambilkan minum anget, ya. Terus nanti Mama bantu salat.”
Salsa hanya mengangguk. Dia bahkan tak berani membuka matanya karena segalanya terasa berputar. Tak lama, Mamanya datang membawakannya teh hangat dan memapah Salsa berwudu. Perempuan itu salat sambil berbaring, ditemani Mama yang duduk di pinggir ranjang.
“Kamu tiduran aja wes, Nduk. Nanti Mama bikinin bubur, ya. Istirahat, nggak usah mikir berat-berat dulu.”
Lagi-lagi Salsa hanya bisa mengangguk. Dia sendiri heran. Setelah semalam merasa berbunga-bunga karena mimpinya, Salsa tak menyangka dirinya akan ambruk.
“Ma, tolong wa ke Ifa ya. Bilangin aku sakit. Mungkin dia punya rekomendasi dokter pas weekend gini.”
Utami sudah siap keluar kamar, ketika Salsa memintanya menghubungi Ifa sahabatnya. Suami Ifa dokter. Salsa berharap Ifa punya kenalan dokter yang bisa memeriksa dan memberinya obat untuk meringankan pening dan mualnya. Salsa orang yang paling tidak tahan ketika harus sakit dan terbaring tanpa daya, karena itulah dia ingin cepat-cepat berobat dan sembuh.
Utami hanya mengangguk dan mencium keningnya sebelum meninggalkan kamar Salsa.
***
“Sa, udah bangun?”
Salsa mengerjapkan matanya. Ifa sudah duduk di pinggir ranjangnya. Tersenyum sambil menyentuh tangan Salsa yang terasa dingin.
“Eh, Fa. Udah lama di sini?”
“Barusan aja, kok. Kamu kenapa?”
“Nggak tau, nih. Badanku rasanya capek, kepala pening, dan perutku mual.”
Ifa mengalihkan tatapannya.
“Mana dokternya, Fa?” Salsa terlihat mencari-cari.
“Dokter Nisa ... lagi cuti, Sa. Tapi ... aku ... aku pikir, ehm ...”
“Kamu pikir apa? Tumben kamu nggak ngomong langsung, Fa?” tanya Salsa.
Ifa ragu-ragu mengangsurkan sebuah benda dalam kemasan. Salsa membelalakkan matanya menatap benda itu.
“Fa, apa-apaan sih kamu?! Bukannya bawain obat malah bawa gituan!” Salsa semakin melotot.
“Sa, kamu harus tahu apa hasilnya. Toh, kamu juga masih dalam masa iddah.” Ifa menenangkan sahabatnya yang sekarang terlihat resah.
“Lima tahun aku nikah, usaha segala macem tapi aku nggak hamil! Nggak mungkin kalo tiba-tiba sekarang aku hamil, kan?!”
Ifa diam. Dia tak ingin menjawab karena takut semakin melukai Salsa. Tapi entah kenapa sejak semalam dia khawatir ketika Salsa terakhir mengirim pesan bahwa tubuhnya tidak seperti biasanya.
“Kamu nggak percaya ya, Fa?! Aku ini mandul, Fa! Ayahnya Adit sudah bilang kalo aku ini perempuan nggak berguna yang nggak bisa mengandung!” Air mata mulai turun di pipi Salsa.
Ifa meraih Salsa ke dalam pelukannya, menepuk punggung Salsa yang berkeringat dingin.
Tiba-tiba Salsa menarik benda di tangan Ifa dengan kasar. Beranjak perlahan dari ranjangnya. Salsa tertatih berjalan ke kamar mandi. Dia menepis tangan Ifa yang hendak membantunya.
“Kamu nggak percaya kan, kalo aku mandul?! Aku buktikan sekarang!” ucap Salsa sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Sementara Ifa berjalan mondar mandir, meremas kedua tangannya dengan gelisah.
Prang!!
Ifa tersentak.
“Sa, kamu gapapa kan?” Ifa menggedor pintu kamar mandi karena terdengar suara benda jatuh lagi.
“Salsa? Buka pintunya, Sa!”
Kenop pintu diputar perlahan dari dalam. Ifa masuk dengan terburu-buru dan menemukan Salsa berdiri berpegangan pada wastafel.
“Sa?” panggil Ifa.
“Aku ... hamil? Ini nggak mungkin! Iya kan, Fa?! Nggak mungkin aku hamil!! Aku ini mandul, Fa!!” Salsa mencengkeram test pack dengan dua garis merah itu. Perempuan itu menatap sahabatnya yang diam, menunduk sembari bergerak gelisah.
“Fa … test pack bisa salah, kan?! Mana mungkin perempuan mandul bisa hamil?! Jawab, Fa? Kenapa kamu diam?!” Salsa mengguncang bahu Ifa, membiarkan test pack itu jatuh ke lantai yang dingin.
“Aku nggak bisa hamil, Fa!! Nggak bisa sekarang!!”
Tak ada lagi suara selain tangisan Salsa. Entah, tangisan bahagia atau penyesalan.
Bab 13. Melawan Dunia
3 bulan kemudian ....
“Loh, Mbak Salsa ... kok gendutan?”
Salsa hanya tersenyum. Pagi ini dia terpaksa keluar rumah karena harus membeli buah-buahan yang sangat ingin dimakannya. Biasanya, Mbak Marni, ART-nya, yang pergi membelikan sayur dan buah. Tapi hari ini si Mbak tidak bisa datang karena anaknya sakit.
Sialnya, Bu Titi tetangga satu kompleks juga sedang membeli buah di kios yang sama. Sebenarnya Salsa sudah siap dengan interogasi yang selama 3 bulan ini sering diterimanya. Interogasi sekaligus pengadilan yang sesungguhnya hanya untuk memuaskan nafsu manusia yang senang melihat orang susah.
“Mbak Salsa ... hamil?”
Bu Titi masih penasaran karena Salsa tidak menjawab. Salsa hanya tersenyum dan mengangguk. Hatinya berbisik mencoba menguatkan. Dengan cepat dia menyerahkan buah pir dan apel yang sudah dipilihnya pada si penjual yang segera menimbangnya.
“Katanya udah cerai? Kok, hamil? Apa sudah menikah lagi ya, Mbak? Tapi rasanya belum ada undangan, ya?”Perempuan setengah baya itu mengernyitkan kening.
Salsa cukup paham, hampir setiap orang yang ditemuinya menanyakan hal yang sama. Sekarang dia sudah nyaris terbiasa dengan itu.
“Iya Bu, saya hamil. Dan betul, saya juga sudah bercerai. Saya hamil karena saya perempuan, dan saya rasa ini bukan urusan Ibu. Saya permisi.”Salsa menarik tas belanjanya dan bergegas melangkah memasuki mobilnya. Diiringi tatapan penuh tanya Bu Titi dan beberapa pengunjung yang mendengar percakapan mereka.
Tidak ada tangis, apalagi rasa perih di hatinya. Hanya bisikan untuk terus bertahan. Salsa menginjak gas sembari mencengkeram setirnya. Dia kadang heran dengan kurangnya empati wanita pada kaumnya sendiri.
***
“Diminum susunya, Nduk.”
“Iya, Ma,” jawab Salsa patuh.
“Sa, kamu ... yakin nggak mau memberi tahu Adit tentang kehamilanmu?” Ayah bertanya, perlahan karena takut membuat Salsa tersinggung.
“Enggak, Yah. Itu nggak perlu. Adit sudah memilih menceraikan aku. Dia juga punya istri yang harus diurus.”
“Tapi, Nduk. Ini kan, anaknya Adit juga?” Mama ikut menimpali.
“Salsa nggak mau lagi berurusan dengan Adit, Ma. Nggak mau lagi.” Salsa menggeleng lemah.
“Baiklah, Nduk. Kami menghargai keputusanmu. Tapi kamu harus jaga kehamilanmu, ya.”
Ayah dan Mama menatap Salsa dengan sendu. Sudah 4 bulan dan Salsa menghadapi semuanya sendiri. Perutnya mulai terlihat membuncit. Di kampus beberapa orang mulai berbisik-bisik tak nyaman. Membuat Salsa mulai risih.
“Ma, Salsa mau ke kampus dulu ya.”
Mamanya terlihat ragu. Perempuan itu tak ingin Salsa terlalu banyak terlihat di tempat umum. Bukannya dia malu dengan kehamilan Salsa, tapi Mamanya khawatir Salsa harus menghadapi tekanan yang lebih berat lagi.
“Nduk, kalo bisa cepet ambil cuti ya.”
“Iya, Ma. Salsa usahakan. Ini juga mau cepet-cepet nyelesaikan kerjaan, Ma.”
Kedua orang tuanya mengantar Salsa dengan wajah khawatir.
“Dik Salsa hamil, ya?”
Seorang perempuan dengan kostum olahraga lewat dan menatap perut Salsa yang membuncit.
Entah ini pertanyaan keberapa yang didapatkan Salsa dan kedua orang tuanya. Perempuan itu namanya Tante Mia, tetangga yang tinggal beberapa rumah dari mereka. Perempuan berwajah oriental itu kebetulan lewat ketika sedang mengajak anjingnya jalan-jalan.
Utami tercekat, tak mampu menjawab pertanyaan itu. Sedangkan Tante Mia masih menatap Salsa nanar.
“Bu Utami, bener Salsa hamil? Saya kemarin diceritain Bu Dirman. Saya nggak percaya karena Dik Salsa kan perempuan baik-baik, dosen lagi. Lalu saya dengar dia juga sudah cerai, ya?”
Utami saling berpandangan dengan suaminya. Sementara Salsa tidak menggubris pertanyaan Tante Mia yang lebih terasa bagai sindiran itu.
“Iya, Bu Mia. Salsa memang sedang hamil.” Utami menjawab lirih, tangannya meremas tangan suaminya.
“Oh, jadi bener toh gosipnya. Apa sudah nikah lagi ya, Dik Salsa?”
“Begini ya Tante Mia, kalo saya tidak salah, dulu juga ada gosip kalo Arlina juga sudah hamil waktu menikah, saya nggak tahu itu bener atau enggak, karena saya juga nggak ambil pusing. Mau dia hamil atau tidak itu bukan urusan saya. Seharusnya Tante Mia juga tidak perlu ambil pusing apakah saya hamil, cerai atau tidak.”
Salsa sama sekali tidak menunjukkan wajah marah. Dia tersenyum, hanya saja kalimat panjangnya itu diucapkan dengan tegas ditambah nada menyindir. Membuat Tante Mia salah tingkah dan terlihat malu. Teringat Arlina putri sulungnya yang dulu juga menjadi bahan pembicaraan karena menikah dalam keadaan perut yang mulai buncit.
“Permisi ya, Tante. Perempuan hamil ini harus kerja.”
Salsa melambaikan tangan sebelum kemudian memacu mobilnya sedikit cepat. Dia tak ingin berlama-lama menatap wajah ayah dan mamanya yang terlihat begitu sedih. Terlebih lagi melayani pertanyaan lain dari orang-orang seperti Tante Mia.
Dalam perjalanan, air mata Salsa tumpah lagi. Kenapa menjadi begitu berat? Dia sangat ingin hamil, memiliki anak dari suaminya. Tetapi bukan sekarang!
Salsa mengelus perutnya dan berbisik.
Maafkan Mama ya, Nak. Mama tidak menyesal kamu hadir. Mama cuma nggak tahu harus apa. Mama sayang kamu. Sekarang ini cuma kamu penyemangat untuk Mama.
Salsa menggigit bibirnya, menahan perih. Dia tidak akan memberi tahu Adit tentang bayinya, tidak! Bayi ini miliknya. Bukankah Adit sudah memiliki bayi dari Amara, lelaki itu tidak akan memerlukan anak darinya.
***
Salsa berjalan cepat ke ruangannya. Dia sengaja melakukan itu untuk menghindari tatapan sinis dan penuh kasihan dari koleganya. Dia tidak bodoh, banyak yang menggosipkannya. Tak sedikit pula yang mengasihaninya. Tapi, Salsa tidak membutuhkan keduanya. Dia hanya butuh orang-orang untuk tidak lagi bertanya. Perselingkuhan Adit, perceraiannya, kehilangan hal-hal yang disayanginya, dan kehamilannya sudah cukup berat. Tak perlu ditambah dengan sinisme dan gosip murahan atau pertanyaan menyudutkan untuk dijawab.
“Sa, kamu beneran hamil? Tuh, perutnya udah keliatan buncit gitu.”
Salsa baru saja menghenyakkan tubuhnya di kursi, ketika Silvi, koleganya, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya. Salsa diam, pura-pura sibuk dengan laptop yang baru dinyalakannya.
“Kok diem aja, Sa? Ini jurusan udah mulai heboh tahu nggak? Kamu kan udah cerai, kenapa bisa hamil?”
Salsa menghembuskan napas kesal.
“Aku jadi bingung, ya? Dulu aku nikah nggak hamil-hamil kalian pada nanya? Sekarang aku hamil kalian juga nanya?” balas Salsa.
“Ya kan kita cuma nanya, Sa. Aku rasa itu wajar ya, karena kamu emang sudah nggak bersuami terus tiba-tiba hamil. Nanya aja boleh, kan? Semua orang punya hak bertanya,” jawab Silvi.
Salsa mulai geram. Dia tahu Silvi memang tipe orang yang suka sekali mengorek-ngorek informasi. Dia dan kumpulannya terkenal sebagai sumber gosip.
“Kamu boleh nanya Sil, dan aku boleh TIDAK MENJAWAB! Tolong keluar dari ruanganku, aku banyak kerjaan. Kalo kamu nggak ada kerjaan, jangan pikir orang lain sama dengan kamu.”
Salsa mengibaskan tangannya. Dia tidak peduli Silvi tersinggung dengan sikapnya. Bukankah perempuan modis itu juga tidak peduli dengan perasaan Salsa. Jadi, tidak salah jika Salsa bersikap egois.
Silvi berbalik dan mencebik kesal. Wajahnya merah menahan marah karena jawaban Salsa.
Sepertinya kehamilan Salsa yang terbilang ‘aneh’ digunakan oleh banyak rivalnya untuk menjatuhkan reputasi Salsa. Perjalanan karier Salsa memang sangat bagus di kampusnya. Selama kurang lebih 6 tahun bekerja, perempuan cerdas itu sudah menghasilkan puluhan artikel ilmiah di jurnal nasional dan internasional. Penelitian yang diajukannya pun sering mendapat dana besar. Belum lagi keberhasilannya dalam memimpin kerja tim yang banyak mendatangkan dana hibah untuk jurusannya. Predikat dosen teladan pun pernah diraihnya, menyingkirkan banyak saingan dari fakultas lain. Ditambah pujian dari pimpinannya, semua alasan orang lain untuk iri ada dalam diri Salsa.
“Pake jilbab, bajunya panjang tapi hamil nggak ada suami.” Suara seorang perempuan memecah fokus Salsa yang sedang berkutat dengan laptopnya.
Anindita, rekan sejurusannya sedang sibuk memperbaiki riasan. Perempuan berambut lurus itu juga menempati ruangan yang sama dengan Salsa.
Salsa diam, tak menggubris. Berharap pernyataan Anindita tak ditujukan padanya.
“Nggak malu ya dengan tampilan dan gaya sok alim? Tapi doyan seks bebas!” Lagi-lagi Anindita berucap walaupun tidak menatap Salsa.
“Urus aja riasan kamu, tuh! Nggak usah ngurus perempuan hamil yang sok alim ini!”
Salsa membereskan barang-barangnya dan melangkah keluar dari ruangan. Dia rasanya tak sanggup lagi menghadapi ini. Dia tidak hanya mengkhawatirkan dirinya, tapi juga bayi yang sedang dikandungnya. Bukankah ibu hamil itu seharusnya menghindari stres.
Salsa berjalan cepat menuju area parkir, dia ingin bertemu Ifa. Sahabatnya itu selalu punya cara untuk menenangkan dirinya. Lalu besok dia akan menemui ketua jurusan mengajukan cuti di luar tanggungan negara. Salsa sudah merancang apa yang akan dilakukannya selama cuti. Dia akan mencari pekerjaan yang bisa dilakukannya secara daring dan lebih fokus pada kehamilannya.
Salsa sibuk dengan berbagai rencana di benaknya, ketika suara yang sangat dikenalnya menyapa.
“Mbak Salsa …”
Salsa spontan berbalik dan menutupkan shopper bag ke perutnya.
“Mbak Salsa ... hamil?”
Adiba menatap Salsa dengan gemetar.
Bab 14. Bohong
“Mbak Salsa … jadi bener, Mbak hamil?” Adiba mengulangi pertanyaanya. Sebenarnya gadis itu tidak bermaksud mengadili Salsa seperti orang lain melakukannya. Dia hanya shock melihat Salsa dengan perut membuncit.
“Diba, ngapain ke sini?”
“Aku udah lama nyari, Mbak. Mama Ainun kangen sama Mbak Salsa. Mama kepikiran Mbak.”
Ah, hati Salsa seperti diremas mendengar kepedulian Mama mertuanya itu.
“Kenapa Mbak Salsa tiba-tiba menghilang? Aku tanya Mas Teguh, dia juga nggak tahu kabar Mbak.”
Salsa menunduk. Teguh memang beberapa kali sempat menanyakan kabar, tapi Salsa hanya menjawab bahwa dia baik-baik saja.
“Eh, aku lagi banyak kerjaan Dib, aku ... ada urusan juga.” Salsa terlihat resah.
“Mbak, aku pengen ngomong sama, Mbak.” Ucapan Adiba terdengar seperti permohonan. Belum lagi wajahnya yang terlihat kuyu, Salsa tak tega.
“Oke, ayo kita cari tempat ngobrol.”
Salsa mengalah. Dia membuka pintu mobilnya dan mengajak Adiba pergi. Area kampus bukanlah tempat yang nyaman untuk mereka ngobrol. Salsa khawatir akan lebih banyak gosip miring yang beredar jika seseorang mencuri dengar pembicaraannya dengan Adiba.
***
“Kamu mau minum apa, Dib?”
“Aku ... mocca frappe saja, Mbak.”
Salsa menulis pesanan mereka di kertas yang kemudian diberikannya pada waiter.
“Tolong tambahkan black tea ya, Mas.” Salsa menambahkan sebelum lelaki muda itu pergi untuk menyiapkan pesanan mereka.
Salsa tersentak ketika tangan Adiba menggenggam tangannya. Gadis itu menatapnya lembut.
“Mbak ... maaf kalau aku nanya lagi. Apa Mbak Salsa hamil?”
Salsa menyembunyikan rasa gugupnya. Dia pun balas menatap Adiba dengan sayang. Adik iparnya ini sudah seperti adiknya sendiri. Mereka sangat dekat, apalagi dia dan Adit sudah berpacaran sejak Adit lulus SMA.
Salsa mengangguk dengan berat. Mata Adiba terbelalak.
“Apa ... itu ... anak Mas Adit?”
Salsa tahu Adiba begitu berharap dirinya mengiyakan. Salsa diam sejenak, membuang pandang dan mengatur napasnya. Otaknya bekerja lebih keras menyiapkan jawaban untuk Adiba.
“Bukan!”
Wajah Adiba terlihat sangat kecewa. Dia langsung melepas genggaman tangannya dari Salsa.
“Apa? Jadi ini bukan anak Mas Adit? Mbak jujur, kan?”
Salsa tetap menggeleng dengan kukuh.
“Ah, Mbak. Kenapa ini bukan anak Mas Adit? Aku harap Mbak Salsa memang hamil, jadi Mas Adit punya alasan untuk balik dengan mbak. Perempuan itu ... aku harap Mas Adit menceraikan dia!”
“Diba, jangan bilang gitu.” Salsa menegaskan suaranya. Dia membenci Amara, tapi tidak berharap perceraian yang pahit terjadi pada orang lain. Apalagi sebagai sesama perempuan.
“Mbak nggak tahu, sih. Rumah kami yang tenang jadi ribut hampir setiap hari. Si Amara itu sering ngamuk dan ngelempar barang-barang. Mama sampe stres, dan Mas Adit kelihatannya juga stres. Heran deh, kok bisa Mas Adit dulu tertarik sama perempuan kaya gitu? Nggak cerdas sama sekali!”
“Udah, jangan dihina terus. Itu kan sudah pilihan Adit. Siapa tahu dia berubah, Dib?”
“Aduh, Mbak. Mbak nggak lihat tingkahnya, sih. Nggak mungkin dia berubah. Bisanya minta ini itu sama Mas Adit. Uang ... uang ... uang terus yang diomongin!”
“Ya, udahlah. Kita ngomong yang lain, ya. Aku jadi bad mood nih denger ceritamu.”
Adiba mengikik.
“Sorry deh, Mbak. Aku nggak tahan mau curhat. Eh ... tapi, apa Mbak Salsa udah nikah lagi? Kok nggak ngasi tahu Diba sih, Mbak?”
Salsa lagi-lagi tertohok. Pertanyaan Adiba benar-benar tidak disangka.
“Eh, emm ... iya aku ... sudah nikah, Dib. Sorry nggak ngundang-ngundang, cuma akad aja.”
“Oh ya? Eh maksudku, alhamdulillah Mbak. Aku ikut senang kalo Mbak Salsa senang. Mbak nikah sama siapa? Sekarang suami Mbak di mana?”
Salsa menangkap kecewa yang tersirat di wajah Adiba. Dia yakin Adiba berharap dirinya suatu saat bisa rujuk dengan Adit. Sekarang Salsa berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Adiba.
“Nikahnya ... sama ... Kak Hanan. Iya Kak Hanan.”Salsa menggigit bibirnya. Entah apa yang ada di dalam kepalanya. Tiba-tiba saja nama Hanan terlintas begitu saja.
“Oh, Kak Hanan yang diceritain Mas Teguh itu?”
“I-i-ya, itu.”
“Emang Mbak Salsa udah ketemu lagi sama Kak Hanan? Kan, kata Mbak udah lama nggak ketemu?”
Salsa semakin bingung karena pertanyaan Adiba begitu detail. Dia tidak menyalahkan Adiba, ini salahnya karena berbohong sejak awal. Memang benar, manusia tidak bisa berbohong hanya sekali, pasti akan ada kebohongan berikutnya untuk menutupi kebohongan pertama. Salsa menyesal karena harus berdusta. Tapi dia juga tidak mungkin menjawab jujur bahwa bayi yang dikandungnya adalah anak Adit. Dia tidak ingin Adit mengganggu hidupnya lagi.
“Aku ... ketemu lagi sama Kak Hanan. Ya, kira-kira dua minggu setelah cerai. Terus nikah sebulan kemudian. Eh, makan yuk, Dib! Aku laper.”
Salsa diselamatkan oleh waiter yang datang membawa pesanan mereka.
Sementara Adiba tampak termenung. Dia merasa semua ini janggal karena seharusnya Salsa masih dalam masa iddah jika memang benar dia dan Hanan sudah menikah sebulan setelah Salsa bercerai dari Adit.
“Tapi ... Kak Hanan baik kan sama, Mbak?”
“Baik, dia ... sangat baik. Aku ... nggak pernah ada laki-laki yang begitu sayang sama aku seperti sayangnya Kak Hanan.”
Salsa menopangkan satu tangannya ke dagu. Kelebatan sosok Hanan dengan gaya berpakaiannya yang khas melintas di pikirnnya. Bahkan samar-samar wangi tubuh Hanan tercium, membuat Salsa benar-benar tersenyum untuk pertama kalinya dalam 4 bulan ini.
Kemudian untuk pertama kalinya dia sungguh berharap Hanan datang menemuinya. Dia akan bercerita banyak hal seperti dulu ketika Hanan masih menjadi kakak ter-favorite-nya. Dia yakin Hanan akan membelanya dan mungkin juga mencari Adit untuk membuat perhitungan dengan mantan suaminya itu. Sejak awal memang Hanan tak pernah menyukai Adit.
Tapi ... Salsa merasa ditampar kenyataan ketika dia sadar Hanan sudah menikah. Pasti Hanan tidak akan sama seperti Hanan yang dulu.
Salsa mengaduk aduk spaghetti-nya, menatap jalanan yang mulai padat di bawah sana. Barisan pohon tanjung dengan batangnya yang ramping dan dedaunan berwarna hijau berhasil menarik perhatiannya. Dia berusaha mengenyahkan bayangan Hanan, tapi anehnya laki-laki itu malah semakin merangsek dalam pikirannya.
Diam-diam dia menyesal, karena kebohongannya membuat hatinya berdetak penuh semangat. Mendendangkan nama Hanan di setiap debarnya.
***
Salsa menatap pintu berwarna coklat itu, sebuah plakat nama ‘Dr. Wahyu Paramita, M.M’ menempel kuat. Menggambarkan karakter si pemilik ruangan yang sebentar lagi akan ditemui Salsa.
Sembari mengatur napasnya, Salsa memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang mungkin diajukan Bu Wahyu karena keputusannya. Hari ini dia akan menemui ketua jurusannya itu untuk mengajukan cuti di luar tanggungan negara. Keputusan yang penuh risiko, karena itu artinya Salsa bisa saja kehilangan pekerjaannya ketika dia nanti kembali.
Sebenarnya Salsa tidak yakin perempuan itu akan mengabulkan permohonannya. Bu Wahyu terkenal sebagai orang yang keras dan tanpa kompromi. Pasti perempuan 50 tahun itu akan menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Salsa merasakan kepalanya berdenyut membayangkan pertemuan mereka yang akan penuh dengan argumentasi.
Tok tok tok
Akhirnya dia mengetuk pintu itu perlahan. Kemudian terhenyak ketika pintu ruangan dibuka. Salsa merasakan ketegangan menjalari tubuhnya.
“Pagi, Bu. Saya bisa menemui Ibu sekarang?” tanya Salsa penuh harap.
“Oh, Bu Salsa. Silakan.” Perempuan berkacamata itu membuka pintu lebih lebar.
Salsa mengekorinya menuju satu set kursi tamu berwarna biru gelap.
“Apa yang bisa saya bantu?” tanya Bu Wahyu.
“Saya ... bermaksud mengajukan cuti di luar tanggungan negara, Bu.”
“Kenapa?” perempuan berkacamata itu mengernyit heran.
“Apa tidak sayang dengan kariernya di sini? Bu Salsa sangat dibutuhkan di kampus ini. Kalo nggak ada Bu Salsa, kami bener-bener bisa timpang.”
“Tapi ... saya ... hamil Bu. Saya ... I need some space for myself,” bisik Salsa.
Bu Wahyu bangkit dan duduk di samping Salsa, memegang bahu perempuan bergaun biru muda itu.
“Saya paham, yang Salsa hadapi sekarang berat sekali. Saya dukung apapun keputusan kamu. Silakan ambil cuti selama yang kamu perlukan. Tidak perlu cuti di luar tanggungan. Kamu bisa bekerja dari rumah atau dari mana pun kamu merasa nyaman. Saya janji, ketika kamu siap kembali, tempatmu akan selalu ada.”
Bu Wahyu tersenyum, membuat Salsa terperangah. Selama ini perempuan itu jarang tersenyum dan bersikap lembut. Tapi yang ditunjukkannya baru saja sungguh di luar dugaan. Sinar matanya yang hangat dan sikapnya yang tulus. Bahkan menyingkirkan embel-embel ‘bu’ dari namanya.
Salsa sudah mengira perempuan ini akan bersikap sinis dan menekannya habis-habisan. Belum lagi mengadili kehamilannya yang tanpa suami. Sama seperti sikap sebagian besar koleganya.
Tapi ini?! Ini benar-benar kejutan.
“Saya tahu, apa yang kamu hadapi berat. Tapi saya mengenal betul siapa Salsa. Kamu punya potensi besar. Kehamilanmu ini jangan kamu anggap sebagai halangan, justru bayimu kelak yang akan memberi kamu semangat. Jangan pedulikan pengadilan publik yang tak adil Salsa. Selama kamu percaya kamu benar, kamu nggak perlu khawatir.”
Perempuan itu merangkul bahunya. Membuat Salsa merasakan kelegaan luar biasa. Dia tak perlu menghadapi pagi yang penuh argumentasi. Sebaliknya dia mendapatkan kembali semangatnya yang sempat luruh.
Salsa hanya mengangguk dengan mata berkaca-kaca mendengar wejangan Bu Wahyu.
“Saya akan pastikan kamu tetap menerima gaji selama kamu cuti. Saya juga akan berikan pekerjaan yang bisa dikerjakan secara daring selama kamu pergi. Kalo kamu perlu apa-apa hubungi saya, ya?” Bu Wahyu tersenyum sebelum membukakan pintu dan membiarkan Salsa melangkah keluar.
Hari ini terasa lebih ringan. Salsa merasa bebannya berkurang. Kadang-kadang simpati dan pertolongan datang dari seseorang yang tak pernah disangka.
Bab 15. Buket Daisy dan Mawar
Adiba berdiri sudah hampir setengah jam di luar gedung tempat ruangan Salsa berada. Gadis itu terlihat gelisah. Beberapa kali dia mengecek arlojinya.
"Dik Diba, kok nunggu di sini? Nggak masuk?" Rini, staf administrasi di jurusan Salsa mengenal Adiba karena gadis itu cukup sering mengunjungi Salsa.
"Eh, Mbak Rini. Aku lagi nunggu Mbak Salsa. Kok dia belum kelihatan ya, Mbak?"
Rini diam, mencoba merangkai jawaban untuk Adiba.
"Emang Dik Diba sudah janjian?"
"Engga sih, Mbak. Hapenya Mbak Salsa udah lama nggak aktif. Apa Mbak Rini tahu nomornya yang baru?"
Adiba menatap Rini penuh harap.
"Setahu Mbak nomornya tetap, Dik."
"Kapan Mbak Rini terakhir ketemu Mbak Salsa?"
Rini memutar otak lagi. Berbohong memang tidak enak.
"Kira-kira seminggu yang lalu. Terus Mbak Salsa ditugaskan ke luar kota, Dik. Sampe sekarang Mbak belum ketemu dia lagi."
"Oh, jadi Mbak Salsa keluar kota. Mungkin karena itu hapenya nggak aktif ya, Mbak. Aku mau ngasi tahu dia kabar penting, Mbak. Tapi ya sudahlah, nanti aja. Kalo Mbak Rini ketemu Mbak Salsa, tolong bilangin kalo aku nyariin ya, Mbak."
Rini hanya mengangguk tanpa sepatah kata. Rasanya dia tidak tega harus membohongi Adiba lagi.
"Aku pamit dulu ya, Mbak," kata Adiba. Gadis berhijab lebar itu kemudian melangkah pergi.
"Hati-hati ya, Dik," balas Rini, disambut anggukan Adiba.
Rini menghelas napas untuk melepaskan beban di dadanya ketika melihat Adiba pergi. Sesungguhnya dia tahu Salsa sudah mengganti nomor hapenya. Salsa sengaja menghindar dari keluarga Aditya, bukan karena dia ingin menyakiti Adiba dan Ainun. Tetapi Salsa ingin memberikan dirinya sendiri waktu untuk berdamai dan menenangkan diri.
Sebelum resmi cuti, Salsa berbicara banyak pada Rini. Meminta Rini tidak memberi tahu Adiba kemana dia pergi. Salsa yakin Adiba pasti akan mencarinya, karena Mama Ainun juga berkali-kali mengiriminya email.
Sungguh berat harus berpisah dengan keduanya. Orang-orang yang telah lama menghuni bagian merah muda di hati Salsa. Orang-orang yang peduli padanya. Rini memahami itu. Dia setuju membantu Salsa bersembunyi dan mengasingkan diri sejenak dari semua kebisingan dan kerumitan hidupnya.
Dengan langkah berat Rini melangkah menaiki tangga, menuju ruang tempatnya bekerja. Dalam benaknya berkelebat dugaan tentang kabar penting apa yang akan disampaikan Adiba pada Salsa.
***
"Sa, coba dicek lagi Nduk. Siapa tahu ada yang ketinggalan?"
Salsa berjalan perlahan, memeriksa rak buku dan meja kerjanya.
"Sudah semua, Ma. Laptop, tablet, buku-buku, dan hape. Sudah Salsa masukkan ke koper hitam."
"Ya, sudah. Yuk, kita pergi sekarang. Ayah sudah siap di depan."
Mama mengulurkan tangannya dan menggandeng Salsa. Mereka berdua berjalan perlahan, karena langkah Salsa sudah semakin berat. Kehamilannya memasuki usia 6 bulan. Namun, perempuan berwajah oval itu tidak kelihatan gemuk. Bahkan tetap langsing walaupun berat badannya naik 10 kilo.
Dengan bantuan Ifa, Salsa rutin memeriksakan kandungannya ke Dokter Nisa. Sejauh ini bayinya sehat dan Salsa pun terlihat sehat.
Sudah sebulan sejak dia mengajukan cuti dari pekerjaannya. Komunikasinya dengan Bu Wahyu berjalan sangat baik. Sungguh tak disangka, Bu Wahyu sangat membantunya. Salsa tak perlu bersusah payah datang ke kampus untuk mengurus dokumen cutinya. Semua ditangani Bu Wahyu.
"Ini lokasinya agak jauh dari rumah Mama loh, Sa. Kamu berani kan tinggal sendiri kalo pas Mama nggak bisa nemenin?"
Ayah dan Mama, serta Mbak Etik, ART-nya, yang akan menemani Salsa di rumah baru, sudah meluncur ke selatan. Sebulan yang lalu, Salsa membeli rumah baru di daerah yang cukup jauh dari kota. Rumah itu menjadi pilihannya karena suasanya tenang, masih dikelilingi perkebunan tebu dan sayur. Sehingga udaranya cukup bersih.
Dia bisa mendapatkan tempat tinggal dengan cepat karena bantuan Haris, sepupunya yang memiliki perkebunan di daerah itu. Salsa sangat bersyukur, dia bisa segera menyingkir dari tatapan sinis orang-orang yang mengadili keadaannya, tanpa mau mengerti faktanya.
"Sudah sampai, Nduk." Utami menepuk lembut bahu putrinya yang tertidur.
"Iya, Ma?" Salsa mengucek matanya dan menggeliat meluruskan lengan dan kakinya.
"Assalamualaikum, Bude."
"Waalaikumsalam. Loh, Haris udah di sini, to? Sama Khaira?"
"Iya, Bude. Itu Khaira lagi beres-beres di dalam." Haris, sepupu Salsa, menyambut kedatangan mereka.
"Makasih ya, Ris, udah bantu aku," kata Salsa sambil tersenyum.
"Santai aja. Kalo perlu apa-apa, bilang aja sama aku atau Khaira ya." Haris membalas dengan hangat. Memahami beban berat sepupunya itu.
"Mbak Salsa, sehat kan?" Khaira, istri Haris, muncul dari dalam rumah. Memeluk dan mencium pipi Salsa.
"Sehat. Kamu sehat juga kan, Ra?"
"Sehat, Mbak. Alhamdulillah. Ih, senengnya yang mau punya bayi. Aku juga pengen, Mbak. Doain ya aku cepet nyusul."
"Iya, pasti aku doain. Makasih ya udah dibantuin beres-beres," ucap Salsa.
"Sama-sama, Mbak. Kalo Mbak Salsa perlu apa-apa, telepon aku aja. Aku sekarang di rumah terus, kok. Kan udah nggak ngajar di SMA yang dulu. Rumah kami juga deket dari sini."
"Iya, pasti kamu yang bakal sering aku repotin, Rim." Kedua perempuan beda usia itu tersenyum.
Sepanjang hari itu dihabiskan untuk membereskan rumah yang akan ditinggali Salsa. Rumah bertipe 60 itu memang tak terlalu luas jika dibandingkan 'Rumah Hujan'. Salsa memang meminta Haris mencarikannya rumah yang tidak terlalu besar, tetapi memiliki halaman yang luas. Sehingga Salsa bisa berkebun dengan nyaman.
Senja sudah mulai turun ketika rumah itu sudah terlihat rapi. Ayah dan Mama sedang beristirahat di kamar tamu, sedangkan Mbak Etik sedang memasak di dapur.
Tinggallah Salsa dan Khaira yang asyik berbincang di ruang keluarga.
"Mbak, aku boleh nanya nggak? Tapi jangan tersinggung, ya."
"Tanya aja, Ra. Sejak kapan aku tersinggungan?"
Mereka terkekeh.
"Mbak Salsa ... ehm, kan lama juga ya nunggu si dedek bayi ini?"
Salsa tersenyum. Dia paham kekhawatiran Khaira yang sudah 1,5 tahun menikah tapi belum hamil.
"Iya, lama. Udah 5 tahun baru hamil. Hamilnya pas sudah pisah lagi," kata Salsa tenang.
"Eh, jangan dibahas bagian itunya, Mbak. Aku nggak bermaksud bikin Mbak Salsa sedih kok."
"Gapapa, aku udah nggak sedih. Udah biasa," balas Salsa yakin.
"Sabar ya, Mbak. Kita semua sayang sama, Mbak." Khaira tersenyum dan merangkul Salsa. Keduanya saling memandang dan tersenyum.
"Kamu nginep sini aja deh malam ini, Kamilia, kan udah gede."
"Iya, Mbak. Aku ijin Mas Haris dulu, ya?"
"Ijin mau ngapain?" Haris tiba-tiba sudah muncul di ruang tengah dengan secangkir kopi di tangannya.
"Aku mau nemenin Mbak Salsa ya, Mas. Malem ini aja, kok."
"Nggak boleh. Sa, istriku jangan dimonopoli dong! Kapan kami bisa bikin anak kalo dia nemenin kamu di sini?"
Khaira tersipu mendengar jawaban suaminya.
"Ya udah, deh. Bawa pulang nih, istrimu. Cepet bikin adik buat Kamilia."Salsa pura-pura kesal.
"Biar nanti Hanan aja yang nemenin kamu, Sa." Haris spontan terdiam menyadari dia sudah salah bicara.
"Maksud kamu?" Salsa membulatkan matanya mendengar nama Hanan.
"Ehm, gapapa. Sorry Sa, salah omong. Pulang yuk, Ra, udah sore." Haris meletakkan cangkir kopinya begitu saja, menghindari tatapan bertanya Salsa.
"Ris, kamu ketemu Kak Hanan?"
Haris berhenti, melirik Khaira yang memberinya kode untuk diam.
"Ris ... nggak usah bohong, deh."
"Aku ... ketemu Hanan. Tapi dia udah balik ke Jogja, Sa."
Salsa merasakan degup jantungnya mendadak harmonis mendengar nama Hanan. Hanan di sini? Tapi kenapa Hanan tidak menemuinya? Apakah laki-laki itu masih kesal padanya karena Salsa dulu bersikeras menikahi Adit?
"Kamu ... punya nomor hape Kak Hanan, Ris?"
Haris diam lagi. Sepertinya masih menimbang-nimbang jawaban apa yang akan diberikannya pada Salsa. Haris tahu hubungan dekat dan kekecewaan Hanan pada Salsa dulu. Mereka berdua cukup akrab untuk saling berbagi rahasia, tentang perasaan Hanan pada Salsa yang tak berbalas.
"Ada. Ntar aja lah aku kasihin ke kamu, Sa." Akhirnya Haris menjawab.
Setelah itu Haris menarik Khaira yang hanya bisa melambai pada Salsa. Haris sengaja bergegas supaya Salsa tidak lagi bertanya.
Meninggalkan Salsa termangu sendiri, lagi-lagi terperangkap dengan kenangan tentang Hanan.
***
Hari itu hujan turun sejak dini hari. Membuat Salsa terjaga karena derunya yang semakin deras.
"Mbak Etik, saya minta tolong bikinkan kopi susu, ya."
"Iya, Bu. Bu Salsa tunggu di ruang tengah saja ya, biar nggak dingin."
Salsa mengangguk dan tersenyum. Dia beruntung memiliki Mbak Etik yang telaten dan sangat memperhatikannya.
Sudah 3 minggu dia tinggal di rumah barunya. Hanya bersama Mbak Etik, karena Utami tak bisa meninggalkan Hamid, ayah Salsa. Sesekali Khaira datang untuk menemaninya, memasakkan makanan sehat dari sayur organik hasil kebun milik Haris.
Salsa menyibak tirai putih di jendela yang menghadap ke halaman, hari masih gelap karena mendung yang bergulung-gulung. Sembari menutupkan scarf berbahan wol, Salsa membuka-buka tabletnya mengecek email. Kopi susu dan sepiring kentang rebus sudah tersaji di depannya.
Tok tok tok
Salsa mengernyit heran. Siapa yang bertamu di tengah hujan begini? Rasanya dia juga tidak membuat janji dengan Rima atau Ifa. Mamanya juga sudah berkabar bahwa minggu ini tidak bisa datang. Selama ini hanya mereka bertiga yang sering datang ke rumah ini. Salsa menyebutnya 'Rumah Bunga' karena halamannya penuh ditanami berbagai macam bunga.
Tok tok tok
Ketukan itu terdengar lagi. Disertai ucapan salam. Salsa mengenakan jilbab instan dan beranjak menuju pintu. Memutar kuncinya dua kali, dan perlahan melongokkan kepalanya.
Dan ...
"Assalamualaikum, Bila." Lelaki berkemeja flanel itu tersenyum lebar menampilkan barisan giginya yang rapi. Rambutnya yang lurus basah di sana sini terkena tetesan hujan.
"Bila, assalamualaikum. Kok nggak dijawab?"
Salsa merasa tenggorokannya tercekat.
Hanan berdiri di hadapannya dengan sebuah buket bunga daisy dan mawar putih.
Bab 16. Hanan Irsyad Mafaza
“Bila, assalamualaikum. Kok nggak dijawab?”
Hanan tersenyum dan melambaikan tangannya di depan Salsa.
“Wa-wa-alaikumsalam, Kak Hanan?”
“Iya, ini aku. Jangan bilang kamu lupa sama kakakmu yang paling ganteng ini.”
Salsa tergelak dengan setetes air mata mengalir cepat. Dia tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini, melihat Hanan tepat di depannya seperti imajinasi yang menjadi nyata. Dia senang sekaligus merasakaan gelenyar aneh melihat Hanan tersenyum. Rasanya ingin berlari ke pelukan Hanan, seperti saat dia SMA dulu. Lintasan memori ketika Hanan masih tinggal di rumahnya membayang samar. Salsa teringat keluh kesahnya yang selalu dicurahkan pada Hanan. Hanan selalu mendengarkan dengan perhatian, tak peduli dia sedang disibukkan dengan tugas-tugas kuliah atau ajakan nongkrong teman-temannya. Salsa selalu prioritas untuk lelaki berkulit sedikit gelap itu.
“Hey … kok nangis, sih? Nggak seneng aku datang? Aku pulang, deh.”
“Jangan ….”
Salsa meraih tangan Hanan, dan sedikit terkejut karena Hanan melepasnya dengan lembut.
“Maaf, ini bunga buat kamu. Bunga daisy artinya siap berbagi rasa, senang dan sedih. Mawar putih artinya, cinta tulus.”
Hanan mengulurkan buket bunganya. Lelaki itu tak berhenti tersenyum. Ingin rasanya menghapus air mata yang sekarang membasahi wajah Salsa. Atau meraih Salsa dan memeluknya, mengatakan bahwa dia akan mendengar apapun cerita Salsa. Setelahnya mungkin akan mendatangi Aditya dan menghajarnya habis-habisan.
Tetapi Hanan hanya bisa berdiri memandangi Salsa dan tersenyum. Dia akan menyimpan semua yang ingin dilakukannya pada Salsa nanti. Nanti jika Salsa bersedia menjadi istrinya.
“Bil, kamu nggak nyuruh aku masuk?”
Salsa tersadar dan menghapus air matanya. Kemudian tergelak lagi. Merasa bodoh karena perasaannya yang bercampur tak menentu.
“Iya Kak, aku lupa. Terpesona sama Kakakku yang paling bengal ini.”
Hanan tertawa. Sedikit lega karena Salsa sudah bisa tertawa.
“Kita di ruang keluarga aja ya, Kak. Aku bikinin minum buat Kakak.”Salsa sudah mengayunkan langkah, ketika suara Hanan menghentikannya.”
“Bil, kamu duduk aja deh. Aku yang bikin minum, ya. Aku tadi beli buah. Aku ambil dulu ya di mobil.”
Salsa memasang ekspresi penuh tanya.
“Kamu kan hamil, jadi harus banyak minum jus. Jangan kopi melulu!”
Salsa tersenyum, perhatian Hanan terasa hangat. Sesaat dia berharap perhatian itu dari ayah bayinya. Tapi Salsa segera menyingkirkan harapan itu dengan satu gelengan cepat.
Tak lama Hanan kembali dengan sebuah tas belanja berwarna hijau.
“Dapurnya di mana, Bil?”
“Lurus aja belok kanan, Kak.”
“Oke, ibu hamil duduk santai. Lurusin kakinya, sambil dengerin ini, ya.”
Hanan meletakkan gawainya, memutar ceramah seorang ustaz dengan judul besar-besar berwarna hijau ‘Rumah Tangga Bervisi Surga’.
“Ih, tumben Kak Hanan tontonannya ceramah?” Salsa mengernyit heran, sedangkan Hanan hanya tergelak dan berlalu ke dapur.
“Jadi, selama ini Kak Hanan kemana aja?”
Mereka sudah duduk berhadapan, pintu depan dibiarkan terbuka membawa suara hujan yang telah melembut. Disertai gerakan sederhana pepohonan tanjung dan mangga. Dengan liukan ranting-ranting bunga berwarna warni.
“Aku ... di Jogja.”
“Iya, itu aku tahu dari Bang Anton. Maksudku, selama di Jogja ngapain aja?”
“Kerja Bila. Aku udah pensiun jadi preman. Sekarang jadi dosen.”
Salsa mengikik, membayangkan Kang Mus dari preman pensiun mengajar mahasiswa.
“Aku dapet beasiswa untuk lanjut S3,” kata Hanan lagi.
“Oh ya, jadi ... Kak Hanan mau pergi lagi? Sama istri juga?”
Hanan tersenyum penuh arti mendengar pertanyaan Salsa.
“Satu-satu dong nanyanya. Aku kuliah di Malang. Minggu lalu dapat LoA dari Universitas Brawijaya,” ucap Hanan sembari meneguk jusnya.
Mendengar jawaban Hanan entah mengapa wajah Salsa berseri. Dia merasa seperti ketika SMA dulu, ketika Hanan membawakannya sebatang coklat sepulang kuliah. Senang dan ingin melompat kemudian memberi Hanan pelukan. Dulu Hanan tak pernah menjaga jarak dengannya, Salsa merasa sedikit heran ketika tadi Hanan melepas genggaman tangannya.
“Wah, selamat ya! Nggak nyangka mahasiswa yang dulu sering bolos kuliah, sekarang mau kuliah doktor!”
Mereka tertawa berbarengan. Teringat masa-masa ketika Hanan masih begitu sulit diatur.
“Kapan Kak Hanan mulai kuliah?”
“Sebulan lagi. Aku ke sini sama Hafizha. Dia juga ketrima S2 di UIN.”
“Eh, emang Fizha sudah segede itu ya, Kak?”
“Kamu kemana aja, Bila? Hafizha tuh udah perawan. Udah ada yang ngelamar pula. Rencananya dia mau nikah dua minggu lagi.”
Hanan bercerita tentang adik bungsunya yang dulu masih SD ketika Hanan dititipkan di rumah Salsa.
“Hah?! Fizha sudah segede itu? Emang dia umur berapa sekarang, Kak?” tanya Salsa dengan mata membola.
“Dua puluh satu. Qadarullah suaminya juga kerja di sini,” sambung Hanan sembari meneguk jus jambu di gelasnya.
“Apa, Kak?” Salsa mengernyitkan kening.
“Apanya yang apa?” Hanan balas bertanya.
“Tadi yang Kak Hanan bilang itu, qadarullah?”
Hanan tertawa memahami kebingungan Salsa. Pasti Salsa tak menyangka perubahan besar yang terjadi pada seorang Hanan.
“Minum jusnya, terus istirahat. Besok pagi usahakan jalan pagi, biar lancar lahirannya,”
“Cerewet, kaya suami siaga.”
“Emang, kamu keberatan aku jadi suami siaga?”
Salsa mematung menatap Hanan tanpa kedip. Begitu juga Hanan yang menatapnya sembari tersenyum manis. Kalimat Hanan membuainya. Dia sempat berpikir hanya terbawa suasana karena kerumitan kisahnya dan kehadiran Hanan baginya bak pangeran berkuda putih. Menyelamatkan Salsa sebelum semua runtuh menjadi puing.
Salsa menyadari detak jantungnya menjadi lebih cepat dengan ritme bagai dentingan piano Yiruma. Dulu perasaannya pada Hanan tidak seromantis ini. Hanya sebatas perasaan adik pada Kakak, entah mengapa sekarang semua terasa berbeda.
“Aku pulang ya, Bil. Besok aku ke sini lagi sama Tyo dan istrinya.” Hanan bangkit dari duduknya.
Salsa mengangguk dan ikut berdiri.
“Jangan capek-capek, inget lahirannya kurang dua bulanan lagi.”
“Iya, ngalah-ngalahin Mama aja nih bawelnya!” Salsa mengikik.
“Bawel itu tanda sayang, Bil.”
Lagi-lagi Salsa tersentak dengan kalimat Hanan. Sedangkan lelaki itu terlihat sedikit salah tingkah.
“Kak, aku boleh nanya nggak?” Hanan menatap Salsa penuh tanya, kemudian menggangguk.
“Istri Kak Hanan kok nggak diajak ke sini?”
Hanan terdiam, seakan kehilangan jawaban.
“Nanti kalo sudah waktunya aku akan jawab ya, Bil.”
Hanan tersenyum dan membalikkan tubuhnya. Dia berbalik dan melambai sebelum memasuki mobilnya. Meninggalkan Salsa dengan tanya dan suasana hati yang tak lagi biru.
***
Adit menghempaskan tubuhnya ke sofa sederhana di ruang serba putih itu. Tak jauh dari tempatnya, Amara tertidur lelap. Perempuan itu terlihat pucat dengan jarum infus yang terpasang di punggung tangannya yang terkulai lemah. Adit meletakkan dua tangan menopang kepalanya yang terasa berdenyut sakit. Peristiwa yang menimpanya membuat gelombang memorinya menyerbu membawa Salsa dan setiap detail sosoknya.
Di mana Salsa sekarang? Apakah dia lebih bahagia tanpa Adit? Apa yang sedang dikerjakannya sekarang? Apakah Salsa tahu Adit begitu membutuhkannya saat ini?
Adit menghembuskan napas lelah.
“Dit, kamu sudah makan?”
Adit membuka mata merasakan sentuhan di lengannya. Mama dan ayahnya sudah berdiri di sampingnya, entah sejak kapan.
“Belum, Ma. Mama sama Ayah udah lama di sini?”
“Baru sepuluh menit,” jawab Ainun sembari menyodorkan sebuah kotak makan berwarna hijau.
“Makan dulu, ini masakan rumahan. Mama yang masak.” Ainun menjelaskan karena yakin Adit akan menolak makanan yang dibeli di restoran. Tanpa Adit menjelaskan, Ainun sudah dapat menangkap sinyal kerinduan itu. Kerinduan pada mantan istri yang diceraikannya karena emosi sesaat.
“Mama kok tahu Adit pengen masakan rumahan?”
“Tahu, kamu kangen masakan Salsa, kan?” Ainun menatap Adit dengan kasihan.
Adit refleks menunduk, tak membiarkan Ainun membaca ekspresinya.
“Dit, apa dokter sudah ke sini? Gimana kondisi Amara?” suara Ayahnya memutus kecanggungan Adit.
“Sudah, Yah. Katanya sudah stabil. Dua hari lagi mungkin boleh pulang.”
“Ya, syukurlah kalo begitu.” Hadi menyandarkan punggungnya ke kursi, terlihat lega.
“Nggak usah terlalu dipikir, setelah ini kalian kan bisa program untuk punya anak lagi.” Hadi menatap tembok yang ditutup wallpaper bergambar bunga bersulur itu. Adit diam tak menanggapi ucapan ayahnya, berpura-pura sibuk dengan makanan di tangannya.
“Kalo Amara sudah sehat, cepet konsul dokter lagi. Biar kamu cepet punya anak,” sambung Hadi.
Ainun mendengar percakapan itu tanpa berniat ikut menjawab. Dia sendiri lelah menghadapi Amara dengan emosi naik turun tak terduga. Sebagai perempuan bekerja dia membutuhkan ketenangan di rumahnya. Kehadiran Amara sama sekali bukan definisi dari ketenangan itu.
“Kapan kamu pindah rumah, Dit?” tanya Ainun mengalihkan topik yang dibicarakan Hadi.
“Sepertinya ... nggak dalam waktu dekat, Ma.”
“Nun, kamu ini kenapa sih? Biarkan mereka pulang ke rumah kita. Amara butuh seseorang untuk merawatnya,” balas Hadi sedikit tidak terima.
“Ya aku tahu, Mas. Tapi yang jelas aku tidak mau merawatnya.” Ainun menatap suaminya tajam.
“Nun, punya simpati lah sedikit. Mereka baru kehilangan anak. Kamu nggak kasian sama Amara?” Hadi mulai terdengar gusar.
“Gimana dengan Mas Hadi? Apa dulu punya simpati untuk Salsa? Jangan berat sebelah, Mas mendukung Amara hanya karena dia bisa mengandung. Ukuran kualitas perempuan nggak hanya dilihat dari rahimnya, Mas! Tapi sejauh mana dia bisa menghadirkan ketenangan untuk suaminya.” Ainun membalas sengit.
Perempuan yang masih terlihat cantik di usia 50 tahun itu kemudian melangkah keluar, meninggalkan Adit dan suaminya terpaku senyap. Adit meletakkan kotak makannya, sudah kehilangan selera dan rasa lapar karena perdebatan ayah dan mamanya.
Jutaan perasaan ditambah perasaan bimbang menyergapnya. Tak ada lagi bayi yang dulu menyatukan dirinya dengan Amara dan menjauhkan Salsa darinya. Dia terperangkap pilihan, mempertahankan Amara dan berharap rumah tangganya membaik, atau kembali mengejar Salsa yang jelas-jelas diinginkannya.
Bab 17. You Are All I Need
Suara tawa terdengar riuh dari ruang tengah. Haris, Hanan, dan Alfi duduk di sofa minimalis berwarna cokelat muda. Di hadapan para lelaki, Khaira dan Ifa duduk mengapit Salsa dengan perut yang semakin besar.
“Hanan sekarang jadi alim, Sa. Coba denger omongannya. Dikit-dikit subhanallah.”
Haris meninju bahu Hanan, lelaki itu nyengir.
“Kaya kamu yang nggak alim aja. Dikasi apa sih dia, Ra? Dulu kalo ngomong ketusnya minta ampun, sekarang jadi lembut macam ikhwan.” Hanan membalas tinjuan Haris dan tertawa melihat wajah sepupunya yang bersemu.
Salsa menatap Hanan, memang lelaki itu jauh berubah. Pandangan matanya lebih teduh, dan Salsa perlahan menyadari mengapa Hanan menjaga jarak dengannya. Tak lagi memeluk Salsa atau sekadar menerima jabat tangannya.
“Tuh, Salsa kagum sama kamu, Nan. Subhanallah ya dari preman jadi calon suami idaman.”
Kali ini Hanan terdiam dan menunduk, berdehem menyingkirkan kegugupannya. Salsa juga mendadak menyembunyikan wajahnya yang merona. Ah, dia heran kenapa mendadak perasaannya serupa sinar matahari senja ketika menatap Hanan. Hangat dan bersemu jingga.
“Sa, kapan jadwal periksa lagi?” Pertanyaan Ifa membuyarkan suasana canggung di ruangan berlapis wall paper cokelat itu.
“Dua hari lagi. Aku udah daftar lewat wa. Kamu mau nganterin kan, Fa?” ucap Salsa.
“Dua hari lagi, pas Rabu ya? Aku kayanya nggak bisa, Sa. Gimana? Apa ditunda Jumat? Dokter Nisa kan, praktik sore kalo Jumat. Mas gapapa kan aku nganter Salsa?”
Ifa menatap Alfi yang duduk di samping Hanan, meminta persetujuan suaminya. Lelaki itu menjawab ‘iya’ tanpa keberatan.
“Kelamaan kali, Fa. Aku sama Khaira aja, deh.” Salsa menepuk bahu Rima lembut.
“Sama aku juga,” ucap Hanan. Membuat ruangan itu mendadak sunyi lagi.
“Iya, Mbak. Aku bisa nemenin Rabu. Boleh kan, Mas?” Khaira menoleh pada Haris. Sebenarnya Khaira hanya berusaha memecahkan suasana kikuk itu.
“Iya sama Khaira, Bil. Aku juga ikut nganter. Supaya kita nggak berduaan.” Hanan mengucapkan itu tanpa menatap Salsa. Lelaki itu sibuk dengan gawainya, entah melakukan apa. Ataukah hanya berusaha meleburkan kegugupannya karena Salsa sekarang memandangnya dengan mata bersinar cerah.
Salsa diam-diam merasa senang membayangkan Hanan akan mengantarnya. Bukankah selama ini tak ada sosok lelaki yang mendampingi untuk memeriksakan kehamilannya. Dia pernah berangan Adit akan menemaninya ke dokter, tetapi sudah lama angan menyedihkan itu dibuangnya. Apalagi sejak Hanan kembali hadir, ruang untuk Adit dalam benak dan hatinya semakin sempit.
“Iya, iya, aku mau diantar Kak Hanan,” jawab Salsa dengan senyum tipis terukir di bibirnya yang berwarna peach.
Membuat semua yang berada di ruang itu saling melirik dan tersenyum penuh arti.
***
“Siang Salsa, apa kabar? Ada keluhan?”
Salsa baru saja duduk di ruang praktik dokter Nisa siang itu. Hanan berdiri di belakangnya, membiarkan Rima duduk di samping Salsa.
“Siang, Dok. Sehat, alhamdulillah. Cuma sekarang frekuensi buang kecilnya lebih sering, dan kadang perutku kaya kencang gitu.” Salsa membelai perutnya lembut.
“Oh, gitu. Kalo frekuensi buang air kecil meningkat emang normal, sih. Perut kencang itu bisa macam-macam sih sebabnya. Bisa aja kontraksi palsu karena udah deket waktu perkiraan kelahiran ya. Mungkin juga Salsa kecapekan atau banyak pikiran. Rileks ya, banyak menghibur diri, kan, sudah ada suami yang nemenin.”
Dokter Nisa memandang Hanan sekilas. Salsa bergerak salah tingkah di kursinya, meraih tangan Khaira dan menggenggamnya. Sungguh lucu, dia gugup bak gadis remaja tengah jatuh cinta hanya karena dokter Nisa menyebut kata ‘suami’.
“Iya, Dok. Aku usahakan rileks, kok,” jawab Salsa masih gelisah. Dia sempat melirik Hanan yang tersenyum padanya.
“Kerjaan masih banyak? Sebaiknya udah mulai dikurangi ya, Sa,” sambung dokter Nisa.
Dokter berusia akhir 30 itu mulai akrab dengan Salsa sejak dia rutin memeriksakan kehamilannya. Apalagi Ifa dan Alfi mengenal dokter Nisa dengan baik. Tak ada lagi alasan untuk menjadi rikuh bagi Salsa. Mereka sudah seperti teman yang saling mengenal bertahun-tahun.
“Pak, tolong Salsa diingetin ya supaya nggak tidur malem-malem. Dia harus mulai nyimpen energi kalo pengen lahirannya normal.” Dokter Nisa menatap Hanan.
Hanan mendongak, sejenak terdiam, kemudian menjawab dengan gugup, “Iya, Dok. Saya siaga terus, kok.”
Ah, lagi-lagi Salsa tersipu mendengar jawaban itu. Ada harapan yang bersemi di hati Salsa.
Siang itu terasa begitu sejuk bagai hari-hari musim semi dengan kelopak bunga yang mulai mekar menyambut sinar matahari pertama.
***
“Mas, sampai kapan kita di sini?” Amara menyodorkan piring pada Adit yang terlihat melamun.
“Sampai ... aku berhasil mendapat rumah baru. Sudahlah Ara, jangan membebani aku dengan pertanyaan yang sama. Kamu nggak lihat aku juga berusaha dapat rumah lagi.” Adit membiarkan piring itu tergeletak begitu saja.
“Kok membebani, sih? Bukannya Mas Adit yang membebani aku dengan semua sikapmu yang lembek itu? Gara-gara Mas Adit bayi kita meninggal. Semua ini salah Mas Adit, nggak bisa membahagiakan aku! Kamu cuma sibuk mikirin Salsa, Mas! Sampai menelantarkan aku!”
“Astaga, Ara! Bisa nggak sih sehari aja sambut aku dengan baik? Bukan dengan keluhan dan kemarahan? Salsa dulu tuh nggak pernah kaya gini. Suami pulang kerja itu capek, butuh ketenangan. Kalo kamu nggak bisa ngomong yang baik paling nggak tersenyum. Itu cukup! Daripada memperlakukan aku kaya narapidana gini.” Adit menatap Amara yang terlihat gusar.
“Tuh kan Salsa lagi, Salsa lagi!! Singkirkan bayangan perempuan itu dari kepala kamu, Mas! Sekarang ini aku istrimu! ”
“Ahh… pusing ngomong sama kamu! Sekali-sekali pakai otak kamu! Jangan cuma perasaan aja!”
Adit berdiri dengan kesal, melangkah meninggalkan Amara yang berdiri kaku, menatap lelaki yang dulu membuatnya terbuai dalam harap dan angan. Harap untuk hidup senang bergelimang harta.
***
Hanan PoV
Nggak tahu sudah berapa lama aku meninggalkan Salsa, berusaha melenyapkan perasaanku padanya. Sebenarnya ini perasaan normal laki-laki kepada perempuan. Tapi, untuk beberapa orang menjadi ‘tidak normal’ karena aku kakak sepupunya yang sudah seperti saudaranya sendiri.Saat itu keluarga besarku belum terlalu paham bahwa sepupu itu non mahram, artinya tidak ada hal yang bertentangan dengan syariat jika aku melamar dan menikahi Salsa.
Aku pun mundur dengan berat hati, setelah Ayah menasihatiku untuk mundur dan melupakan Salsa. Rasanya berat, mengetahui perasaanku bertepuk sebelah tangan saja sudah berat. Ditambah lagi kedua orangtuaku tidak mendukung. Lalu Salsa dilamar Aditya, laki-laki introvert sekaligus kakak kelasnya di SMA.
Aku tak habis pikir saat itu, bagaimana bisa Salsa yang tegas dan berkarakter bisa jatuh cinta pada Aditya yang kelihatannya lemah dan tertutup? Mereka itu bagai bumi dan langit di mataku. Ataukah mungkin bumi dan langit bisa saling melengkapi atau malah saling menjauhi.
“Dit, aku mau ngomong sama kamu.”
Suatu hari aku menemui Aditya ketika dia masih bekerja di sebuah pabrik rokok dengan posisi karyawan rendahan. Berbeda dengan Salsa yang sudah mulai melesat karirnya.
“Ada apa, Bang?”
Dia kelihatan bertanya-tanya. Aku mengajaknya duduk di sebuah warung tenda di samping pabrik.
“Kamu serius sama Salsa?” tanyaku langsung.
“Maksud Abang?” Lelaki bermata sipit itu mengernyitkan kening.
“Ya, aku tanya. Kamu serius sama Salsa? Kamu budeg?”
Aditya tersenyum menyindir.
“Kalo nggak serius saya nggak ngelamar dia, Bang.”
“Bukan itu, serius atau enggak itu nggak sebatas melamar. Tapi camkan di hati dan kepalamu kalo kamu siap membahagiakan dia.” Aku menekan telunjukku di dadanya.
Dia tersenyum miring lagi. Seperti mengejek. Aku memang tidak pernah menyukai Aditya, dan dulu aku anggap ini karena kesubjektifanku. Aku mungkin tidak terima Aditya mendapat cinta Salsa, sementara aku tidak. Egoisme khas lelaki dengan darah muda yang sedikit kotor seperti aku.
“Membahagiakan bukan hanya melimpahi dia dengan duit, tapi juga cinta dan kesetiaan kamu. Percuma kalo kamu cinta, terus kamu selingkuh dengan berbagai pembenaran klise.”
Sungguh saat itu kata-kataku tidak kumaksudkan menjadi doa. Aku hanya ingin menegaskan pada laki-laki itu bahwa aku tidak akan membiarkan Salsa disakiti. Apalagi oleh lelaki yang sepertinya penuh konflik seperti Adit. Aku ini lelaki—itu jelas!—pastilah bisa melihat gerak-gerik Aditya yang menurutku kurang meyakinkan.
“Abang cemburu karena Salsa cinta sama aku? Abang juga cinta sama Salsa, kan?”
Lelaki itu menarik satu sudut bibirnya dan nada bicaranya sungguh membuat darah premanku menggelegak.
“Kalo Abang cinta sama Salsa, kenapa nggak berjuang?! Saya berjuang untuk dapet hati Salsa, dan kalo dia milih saya itu artinya saya layak. Jangan khawatir, Salsa akan baik-baik saja bersama saya.”
Lelaki itu dengan kurang ajar balas menunjuk dadaku dengan jemarinya yang kurus.
“Aku akan ingat kata-katamu! Kalo sampe Salsa kenapa-napa aku cari kamu dan nggak akan sungkan menjadikan kamu sasaran tembakku! Aku pastikan kamu mati menderita!”
Aku meninggalkan Aditya dengan perasaan yang nggak bisa aku lukiskan. Kesal, marah, ragu dan sangsi. Ya ... aku sangsi Aditya bisa mewujudkan janjinya.
Salsa tak pernah tahu tentang pertemuanku dengan Adit. Hari-hari berikutnya kami lewati dengan perdebatan, aku menunjukkan fakta ketidakcocokan Adit dengannya. Lalu Salsa balas mendebatku dengan sengit. Itu pertama kalinya kami saling tidak setuju.
Perdebatan itu berakhir dengan kepergianku.
Suara notifikasi pesan berlogo hijau membuyarkan lamunanku yang berkelana sedikit jauh dari saat ini.
[Kak, besok temenin aku beli perlengkapan bayi ya. Sama Khaira juga, kok. Tenang kita nggak berduaan.]
Pesan dari Salsa. Membuat aku merasa dibutuhkan lagi, seperti dulu ketika dia begitu bergantung padaku. Aku tersenyum. Kelihatannya Salsa sudah menyadari beberapa hal yang berbeda dariku. Perubahan yang disebabkan seorang perempuan yang sekarang sudah pergi jauh dari hidupku.
Bab 18. Pembalasan yang Manis
“Mau kemana kamu?” Adit mengalihkan matanya dari gawai yang sedang di genggamnya, menatap Amara yang terlihat rapi.
Perempuan mungil itu terlihat cantik dengan dress selutut bercorak abstrak, berwarna toska muda.
“Kenapa? Tumben Mas Adit peduli,” balas Amara cuek. Perempuan itu memperbaiki gaunnya.
“Kalo keluar rumah itu ijin sama suami, jangan maen pergi seenaknya!” Adit membalas dengan wajah tak peduli.
“Seperti Salsa maksudmu? Perempuan tanpa cela yang selalu menyokong kamu, basi Mas! Sudahlah aku mau pergi cari hiburan.”
Amara melangkah meninggalkan Adit yang tampak tak peduli. Sibuk memperhatikan gawainya dan tak lama kemudian memasuki ruang kerja.
“Dit, Mama mau bicara.” Ainun berdiri di depan Adit. Ruangan yang sekarang dipakai Adit memang ruang kerja Ainun juga.
“Ada apa, Ma?” Adit sudah menduga apa yang akan dibicarakan Mamanya.
“Hubungan kamu sama Amara itu gimana, sih? Mama nggak nyaman ngelihat kalian seperti ini, capek Dit.”
Adit membuang pandang, lelah.
“Ya hubungannya begitu Ma, nggak tahulah.”
Ainun menghela napas berat.
“Kalo kamu mau melanjutkan pernikahanmu, perbaiki dong! Kalian harus tinggal sendiri, supaya punya privasi. Jangan biarkan Ayahmu mencampuri urusan rumah tangga kamu. Ini hidup kamu dan Amara. Kamu bebas mengatur dan mengarahkan mau kemana rumah tanggamu ini.”
“Ma, bisa nggak sih kita nggak bahas ini? Adit lagi pusing, banyak kerjaan dan masalah kantor.” Adit berdiri siap meninggalkan Ainun. Tetapi Mamanya dengan sigap meraih lengannya.
“Kamu nggak bisa hidup kaya gini terus! Ambil keputusan, maju atau mundur? Kamu itu imamnya. Ajak Amara untuk berubah lebih baik atau sudahi semuanya.” Ainun mengatur napasnya. Dia ikut merasakan kerumitan hubungan Adit dan Amara yang tak pernah melewatkan sehari pun tanpa pertengkaran.
“Urusan rumah kamu gimana? Udah beres?” sambung Ainun.
“Rumahnya sudah dilelang sama bank, Ma. Adit nggak bisa bayar cicilannya. Terlalu mahal.”
Ainun tak lagi bertanya. Dia tahu Adit tak akan punya jawaban.
***
Haris menepikan mobilnya di lobby sebuah pusat perbelanjaan. Tak lama Khaira turun dan membantu Salsa yang kelihatan agak kesusahan untuk turun.
“Mas Haris jemput jam berapa?”
“Hanan yang jemput, aku ada kerjaan di pabrik hari ini,” jawab Haris. Khaira hanya mengangguk dan menggandeng Salsa memasuki mall yang tak begitu ramai itu.
Ditemani Khaira, Salsa memutuskan akan membeli beberapa perlengkapan untuk bayinya. Dia memang sengaja tidak menanyakan apa jenis kelamin bayinya pada dokter Nisa. Membiarkan semua menjadi kejutan manis pada saatnya nanti.
“Mbak Salsa mau beli apa dulu, nih?”
“Kita lihat box bayi dulu yuk, Ra,” kata Salsa.
“Oke, Mbak. Jadi kita naik satu lantai, ya. Mbak Salsa gapapa, kan?”
“Gapapa. Ntar kalo capek aku bilang, ya.”
Khaira mengangguk dan menggenggam tangan Salsa lebih erat. Keduanya melangkah perlahan sambil sesekali bertukar kata dan tertawa lepas.
“Ra, enaknya beli warna apa ya? Aku nggak terlalu suka warna pink, sih.”
Salsa menyentuh sebuah box bayi berselambu pink. Bahannya kayu yang dicat putih dan dipelitur halus. Lucu, dengan gambar hewan-hewan berwarna cerah.
“Pilih warna netral aja, Mbak. Biru, cokelat, hmm … apa lagi, ya? Putih mungkin?”
“Cokelat boleh juga, ya. Seperti warna tanah. Aku berharap anakku kelak bersifat seperti tanah. Menumbuhkan segala sesuatu yang baik, menapak, dan berpijak dengan kokoh seperti ... Mama Ainun.”
Pandangan Salsa menerawang teringat Mama Mertuanya yang begitu dikaguminya.
“Warna cokelat memang bagus. Tanah itu filosofinya dalem banget. Asal tidak membiarkan orang lain menginjak-nginjak kamu.”
Salsa menoleh dan tersenyum melihat Hanan memegang sebuah boneka beruang berpita polkadot.
“Kak Hanan kok udah di sini? Katanya jemput habis duhur,” tanya Salsa.
“Pengen cepet-cepet ketemu kamu, Bil.”
Salsa tersipu tapi berusaha keras menyembunyikan.
“Gimana urusan pindah? Udah beres?” Salsa mengalihkan topik.
Hanan memang sedang berusaha pindah ke Malang. Sebagai dosen PNS pindah ke universitas lain tidak mudah. Membutuhkan waktu panjang dan birokrasi berkelit.
“Sudah dapet tempat dan melewati tahap lolos butuh. Tapi masih panjang urusannya, perlu banyak dokumen.”
“Ya emang gitu, Kak. Namanya juga urusan dengan pemerintah pasti birokrasi rumit.”
“Iya, kalo nggak demi kamu, aku males kali ngurus begituan.”
Lagi-lagi Hanan membuat hati Salsa berdebar merdu. Apakah lelaki ini hanya ingin membuatnya melayang atau memang bersungguh-sungguh. Salsa tak pernah menyadari betapa dulu Hanan berharap padanya. Memang aneh, Salsa yang cerdas dalam hampir segala hal melewatkan sinyal-sinyal cinta Hanan yang begitu jelas. Semua karena hati Salsa sudah terlanjur menjadi milik Adit saat itu.
“Udah milih box-nya? Mau beli apa lagi?” Kata Hanan membuyarkan lamunan Salsa.
“Udah, Kak. Mau beli baju-baju bayi di counter Baby n’ Mom.”
“Ya udah kita jalan lagi,” kata Hanan. Tangan lelaki itu menenteng beberapa tas berisi barang-barang belanjaan Salsa. Beberapa pasang mata menatap interaksi Salsa dan Hanan sambil tersenyum. Mengira mereka pasangan suami istri yang berbahagia.
Hari beranjak siang dan Salsa mulai merasakan pegal di pinggang dan kakinya. Dia mengajak Khaira dan Hanan beristirahat.
“Ra, kita makan di mana?”
“Terserah bumil aja, aku ngikut. Siapa tahu habis ini ketularan hamil?” Khaira tersenyum.
“Kita makan di Ta Wan aja, yuk? Aku pengen nasi ayam Hainan.” Salsa terlihat bersemangat membayangkan menu khas negeri tetangga itu, dengan bumbu bawang putih dan minyak wijen yang wangi.
“Ayo, Ra, kita harus patuh sama bumil. Dia kan peran utamanya.” Hanan meraih pergelangan tangan Salsa dan menariknya lembut. Sementara Salsa mematung melihat reaksi Hanan.
“Eh, maaf-maaf ...” Hanan melepas tangannya dengan wajah bersalah. Dia merasa bodoh karena tidak dapat menahan diri untuk sesaat.
“Eh, em ... gapapa, Kak. Sudah yuk, jalan Ra.” Salsa melangkah tanpa menunggu persetujuan, meninggalkan Khaira dan Hanan di belakangnya.
Sentuhan sesaat Hanan di tangannya membuat Salsa semakin bingung dengan perasaannya. Mungkinkah cinta bisa tumbuh sedemikian cepat? Atau ini semua karena Salsa mencari pelarian atas kekecewaannya pada Aditya?
“Kita duduk di nomor dua belas aja ya, Bil.” Hanan berusaha menormalkan lagi suasana yang sempat kaku karena kesalahannya.
Salsa mengangguk dan melangkah perlahan ke arah meja yang ditunjuk Hanan. Tak lama mereka bertiga sudah duduk dengan nyaman dan menyelesaikan pemesanan.
“Aku ke toilet bentar, ya.” Hanan bangkit meninggalkan dua perempuan itu setelah Salsa mengangguk.
Dia menghindari bertatapan dengan Hanan. Teringat sentuhan Hanan tadi, tiba-tiba pertanyaan tentang di mana istri Hanan muncul lagi. Salsa merasakan ketakutan yang tak dipahaminya. Apakah dia takut kecewa lagi karena suatu hari Hanan akan pergi? Seperti Aditya yang pergi meninggalkan luka.
“Mbak, jangan ngelamun,” bisik Khaira.
“Nggak kok Ra, cuma ....”
Salsa terdiam, menatap ke arah pintu masuk. Matanya tak lepas dari dua orang yang baru saja duduk di meja no 16, tak jauh dari mejanya.Salsa berdiri dengan gesit. Mendadak melupakan pinggangnya yang berdenyut lelah. Khaira menatap kakak sepupunya dengan bingung. Belum memahami apa yang membuat Salsa sedemikian bersemangat.
“Halo Amara yang baik, apa kabar?”
Amara terbeliak menatap Salsa. Tatapannya terpaku pada perut Salsa.
“Ini Handika Bayu, kan? Sudah berapa lama kalian membohongi Adit?”
Amara pucat, tak dapat menjawab pertanyaan Salsa yang terdengar seperti gertakan. Membuatnya kelimpungan, seperti maling yang tertangkap basah dan jatuh terjengkang dalam posisi memalukan.
“Nggak usah melotot gitu Amara. Nggak usah kaget lihat aku hamil. Dulu aku juga kaget ketika kamu ngasikan foto USG itu. Sampe aku lupa berlogika bahwa itu hanyalah foto USG, bukan hasil tes DNA.”
Amara sekarang gemetar.
“Diam kamu!”
“Sttt, nggak usah teriak-teriak! Emang kamu mau aib kamu terbongkar di sini? Ini tempat umum, Sayang. Dan nggak usah khawatir aku akan buka rahasia kamu ke Adit, tenang semua aman. Silakan teruskan permainan kamu. Tapi ingat, kalo main-main hati-hati. Pake otak jangan selangkangan aja dipake!!”Salsa memundurkan wajahnya yang tadinya berada hanya beberapa centi dari wajah Amara yang mengkerut.
Lelaki yang dipanggil Handhika itu tak melakukan apapun. Kelihatannya tak menyangka dengan kehadiran Salsa yang tiba-tiba.
“Kok pada diem, sih? Biasanya Ara Sayang ini suka teriak-teriak manja. Apa kamu juga manja sama Handhika? Sama kaya manjamu ke Adit?”
“Kamu gila, Sa!” teriak Amara, menggeretakkan rahang mungilnya.
“Oh, tidak. Aku sama sekali tidak gila apalagi frustrasi cuma gara-gara kamu mengobrak-abrik rumah tanggaku. Kamu bisa lihat,kan gimana bahagianya aku dengan kehamilanku? Sebentar lagi giliran kamu yang bakal sinting dan depresi berat. Pembalasan itu manis Ara, Sayang!”
Salsa tersenyum penuh ironi. Membuat kejengkelan Amara semakin memuncak.
“Oh ya, gimana kabar anak kamu? Jangan sampe Adit minta tes DNA, ya. Takutnya hasilnya nggak sesuai. Lalu kamu akan merasakan pedihnya didepak sama Adit.” Salsa tersenyum puas.
“Dah Amara, Sayang. Baik-baik ya sama Aditya. Oh ya, rumah baru kamu sebentar lagi juga akan jatuh ke tanganku. Sudah dilelang kan sama Bank? Aku sudah memenangkan lelangnya.”
“Bila, sudah, kan? Ayo balik.” Hanan menggerakkan kepalanya, memberi isyarat pada Salsa.
Entah sejak kapan Hanan berdiri di belakangnya. Lelaki itu membiarkan Salsa menuntaskan kemarahannya. Dia menangkap setiap kata Salsa dengan jelas, dan ketika dirasanya sudah cukup dia mengajak Salsa menjauh dari dua orang yang belum dikenalnya itu.
“Oh, jadi kamu udah punya suami lagi, baguslah. Jadi kamu nggak perlu ganggu suami aku!”Amara tidak terima, matanya menelisik Hanan.
“Iya lah, ngapain aku patah hati. Bilang sama Adit, aku sudah membuang dia dari hati dan pikiranku. Jangan harap aku mendaur ulang cintaku, karena Adit sama sekali nggak layak walau untuk cinta daur ulang sekalipun!”
“Oh ya ceritakan juga sama Adit, aku sudah bahagia sama Kak Hanan. Jangan lupa sebut namanya dengan jelas, HANAN! Jangan sampe lupa, ya. Pastikan otak kamu dipake dengan betul!”
Salsa berbalik dan melangkah tegap. Dengan Hanan di sampingnya dia merasa percaya dirinya tumbuh lagi. Saat ini dia merasa seperti seorang panglima perang yang baru saja memukul mundur musuhnya.
Bab 19. Bersamamu
“Mereka siapa, Bil?” Hanan menautkan alisnya.
Mereka sudah kembali ke meja dan Salsa dengan tenang meneguk segelas teh dengan irisan strawberry.
“Selingkuhannya Adit dengan selingkuhannya!”
Khaira dan Hanan saling berpandangan. Kalimat Salsa sungguh menimbulkan tanya.
“Maksud kamu, Bil?”
Salsa tertawa ringan. Sangat memahami kebingungan Khaira dan Hanan. Dia yakin siapa pun akan bingung dengan ucapannya.
“Amara, selingkuhannya Adit. Lelaki berkemeja biru itu ... Handhika, selingkuhannya Amara.”
Hanan menatap Salsa dengan senyum geli.
“Kok kamu tahu sampe segitunya, Bil?”
Salsa menatap Hanan dengan serius. Kemudian tertawa ringan.
“Kak Hanan, aku tuh punya Bang Anton. Mantan preman yang sekarang jadi direktur preman. Apa susahnya cuma nyari info tentang perempuan kecil kotor yang mengira dia begitu pintar dan bermain-main sama Salsabila ini.” Salsa melepas senyumnya yang tak tertebak.
Sekarang Hanan tertawa dan Khaira menatap Salsa dengan pandangan kagum. Diterpa badai dan diterjang gelombang, tidak membuat Salsa berhenti melawan.
“Jadi kamu minta Bang Anton nyelidikin Adit dan ... siapa tadi? Perempuan kecil lucu itu?” Hanan terkekeh mengesalkan.
Salsa menimpuk Hanan dengan tisu.
“Aku sudah lama curiga sama Amara, tingkah lakunya, segala sesuatu yang dia lakukan terlihat nggak wajar buat aku. Aku bertahan tidak menggugat cerai Adit, awalnya karena aku ingin mempertahankan perkawinanku. Kemudian aku menyadari ketololanku. Ya walaupun udah agak terlambat, sih. Persetan dengan Adit! Perempuan itu boleh mengambilnya, tapi tidak dengan semua yang sudah aku dapat dengan keringatku.”
Salsa menyuapkan sesendok nasi ayam Hainan yang terlihat menggiurkan itu dengan semangat.
“Istighfar dulu, Bil. Dan ... kita ngomong yang lain aja ya.”
“Iya, Mbak. Jangan dibahas lagi, deh. Nanti stres, loh.” Khaira meremas tangan Salsa lembut.
“Nggak, kok. Aku tadi sudah terhibur lihat muka Amara pucat dan ketakutan gitu. Hah, sweet revenge!”
Salsa menyuap nasi Hainannya lagi dengan mata berbinar garang seperti matahari di tengah hari.
***
“Gimana, Dit? Ada kemajuan dengan konsultasi dokter dan program hamil istrimu?”
Adit berhenti sejenak, kemudian menarik kursi dan menghempaskan tubuh dengan lelah. Dia baru saja memasuki rumah setelah bekerja seharian, menyelesaikan berbagai permasalahan di departemennya dan persaingan yang menguras emosi.
Ayahnya ikut duduk di sampingnya. Mengambil jarak beberapa jauh, kemudian mengalihkan pandangan pada secangkir kopi yang dihidangkan Ainun.
“Adit baru datang, Mas. Jangan langsung diinterogasi.” Ainun yang menjawab.
“Bukan interogasi, Nun. Aku hanya bertanya. Adit harus punya keturunan. Dia laki-laki penerus nama keluarga Sasrawijaya. Jangan sampe nggak punya anak!”
Adit masih tidak menjawab sedangkan Ainun menghela napas sembari mengulurkan segelas teh hangat pada Adit. Laki-laki berambut ikal itu terlihat malas menanggapi ayahnya. Gelas keramik itu hanya dipandanginya.
“Aku rasa Adit sudah paham itu, Mas. Hanya saja jangan terlalu menuntut dia untuk mengambil langkah ini dan itu. Adit sudah cukup dewasa, bisa mengambil keputusan sendiri. Dia bukan lagi bocah yang bisa kamu atur-atur kaya dulu, Mas.”
Ainun mulai terlihat kesal.
“Yang ngatur itu siapa, Nun? Aku ini ayahnya. Aku punya hak mendorong dia untuk mengambil langkah. Itu demi kebaikannya!” Hadi bersikeras. Lelaki itu semakin mengeratkan cengkeramannya di cangkir kopi bermotif bunga merah muda.
“Demi kebaikan Adit, apa demi harga dirimu, Mas? Kamu yang ngotot pengen punya cucu! Kamu mempengaruhi Adit, sampe dia bertingkah tolol berselingkuh! Ah, nggak ngerti aku sama kamu, Mas! Adit dan Salsa baik-baik saja. Kamu yang terus-terusan memprovokasi Adit, sampai dia melakukan kesalahan besar dan meninggalkan Salsa! Sekarang apa lagi yang Mas Hadi mau?!”
Ainun bangkit dengan wajah penuh semburat resah dan marah, meninggalkan dua lelaki yang saling memunggungi itu. Adit masih mematung, tak mengeluarkan sepatah kata pun untuk menjawab ayahnya.
Suasana senyap menyelimuti ruang makan bernuansa krem itu. Dua lelaki yang tak saling bicara, membuat detak detik jam dinding yang tergantung di atas mereka terdengar begitu ramai. Adit mengangkat gelasnya, mencoba melonggarkan tenggorokannya yang tiba-tiba kering dengan teh buatan ibunya.
“Dit, Ayah tidak menuntut kamu. Tapi sebaiknya kamu cepat berkonsultasi ke dokter. Usiamu sudah mau empat puluh, loh. Jangan sampe lewat empat puluh dan kamu belum punya keturunan!”
“Yah, bisa nggak biarkan Adit memutuskan sendiri?! Adit nggak bisa terus-terusan memenuhi tuntutan Ayah. Milih jurusan, milih kerjaan, sampe masalah punya anak semua ada campur tangan Ayah. Sekarang biar Adit yang memutuskan. Adit ingin cerai dengan Amara!”
Adit membuang tatapannya dan bangkit dari duduknya, dengan langkah berderap marah ditinggalkannya lelaki sepuh itu. Hadi termangu, Adit tak pernah melawan keinginannya. Tak pernah seperti saat ini. Satu-satunya pemberontakan adalah ketika lelaki berambut ikal itu memutuskan menikahi Salsa, menyelisihi keinginan ayahnya.
Sekarang tak ada lagi Salsa yang menurut Hadi mempengaruhi Adit untuk melawannya. Tetapi Adit tak lagi bisa diaturnya seperti dulu.
Hadi menopangkan kedua tangan ke dagunya yang keriput. Dia merasa kalah!
***
Hari itu cuaca cerah. Suasana di rumah Salsa seperti awal musim semi, pepohonan pucuk merah menggugurkan daun-daun kering. Tak jauh dari barisan pucuk merah, sebuah pohon kersen yang rindang menari gemulai. Sebatang pohon mangga yang berbunga lebat ikut meramaikan pertunjukan alam siang itu.
Salsa berdiri dengan susah payah. Dia baru saja merapikan beberapa pot tanaman. Menambahkan tanah, memberikan batu-batu kecil, dan memindah tunas baru. Aglonema yang cerah dengan perpaduan warna merah fanta dan hijau terlihat mencolok. Tanaman itu baru saja dipindah ke dalam pot berwarna putih.
“Bu, biar saya yang bawa potnya.” Yuwono yang membantu Salsa merawat tanaman mendekat sambil berlari kecil. Melihat Salsa kelihatan terhuyung sembari membawa pot berukuran sedang.
“Iya, Mas. Tolong ini ditaruh di dekat rak di pojok sana, ya.”
“Nggih, Bu. Ibu ngaso saja. Ini juga sudah siang.”
Salsa mengangguk, memang pinggangnya terasa pegal. Perutnya juga beberapa kali kaku. Dia berjalan memasuki rumah dan segera menelepon Ifa. Salsa sedikit kesal karena Ifa tidak mengangkat teleponnya. Dia mencoba menelpon Mamanya, hasilnya juga sama. Salsa baru saja hendak berdiri ketika gawainya berdering.
[Halo Sa, kenapa? Ada apa? Kamu baik-baik aja, kan?]
[Satu satu dong nanyanya, Fa.] Salsa terlihat kepayahan, memegangi perutnya dengan ekspresi menahan sakit.
[Pinggangku pegel banget nih, Fa. Nggak kaya kemarin-kemarin. Mana perut kaya tegang gini.]
Di ujung sana Ifa memegang keningnya. Dia sedikit resah dengan keluhan Salsa. Apa mungkin Salsa akan segera melahirkan?
[Gimana kalo periksa aja, Sa? Btw kapan sih perkiraan kelahirannya?]
[Masih 2 minggu lagi, Fa. Tapi kenapa sekarang sudah mules gini, ya?]
Ifa semakin berdebar mendengar kata ‘mulas’.
[Sa, ajak Khaira, gih. Periksa ke dokter Nisa. Maaf aku nggak bisa nemenin, ini lagi di rumah mertua.]
Salsa menghela napas sambil menahan nyeri lagi.
[Iya deh, aku coba telepon Khaira.]
Mereka mengakhiri percakapan dan Salsa langsung menekan nomor telepon Khaira. Lagi-lagi telepon itu hanya berdering. Salsa pun semakin panik sembari menahan sakit.
“Mbak Etik ... Mbak, tolong ke sini, Mbak!”
Mbak Etik datang dengan wajah panik. Melihat Salsa yang sepertinya kesakitan. “Bu Salsa, Ya Allah, Bu Salsa kenapa?”
Salsa sudah tidak sanggup berbicara. Dia merasakan perutnya semakin mulas. Menahan nyeri yang semakin kuat, Salsa terduduk lemas.
Sementara itu ….
Hanan berdiri di ambang pintu. Menjatuhkan sekantong belanjaan begitu saja. Dengan cemas lelaki berkemeja putih itu mendekati Salsa yang terlihat mengkhawatirkan.
“Bila, kenapa, Bil? Apanya yang sakit?”
Salsa tidak tahu kapan Hanan datang, dia tak sanggup menjawab lagi. Setelah itu, tak ada lagi pertanyaan. Yang diingatnya adalah Hanan menggendongnya ke mobil, dengan Mbak Etik yang berlari gugup sambil membawa tas yang sudah dipersiapkannya.
“Bila, atur napas ya. Istighfar yang banyak. Tarik napas lewat hidung, keluarkan lewat mulut. Gitu terus ya, Bil.”
Hanan sesekali menoleh pada Salsa yang duduk di jok tengah bersama Mbak Etik. Perjalanan ke rumah sakit terasa berjam-jam bagi Salsa.
“Sakiiitt, Kak! Astaghfirullah ….” Salsa berusaha keras mengatur napasnya seperti yang diajarkan Hanan. Dengan keringat yang sudah bercucuran di wajahnya. Tangan kanannya meremas tangan Mbak Etik yang ikut tegang menyaksikan adegan itu.
“Sabar ya, Bil. Lima menit lagi kita sampai. Tetap atur napasmu, ya.” Hanan terlihat gelisah, tetapi berusaha keras mengemudikan mobilnya dengan cepat.
“Cepet, Kak! Arghhhhh sakiiittt!”
Mobil putih itu memasuki lobi rumah sakit, dan beberapa perawat menyambut mereka dengan sigap. Dalam perjalanan tadi Hanan sudah menghubungi dokter Nisa dengan gawai milik Salsa. Lelaki itu gelisah tetapi tahu apa yang harus dilakukan.
“Pak, silakan suaminya boleh menemani.” Perawat yang siap mendorong brankar Salsa, menatap Hanan. Lelaki itu terdiam, terlihat bingung.
“Kak Hannaann, cepettt. Sakiiit, Kak!”
Hanan tersentak dan meraih tangan Salsa yang terasa dingin. Semua seakan terjadi dalam gerakan lambat. Seolah mereka berada dalam sebuah film slow motion. Keraguan Hanan untuk menyentuh tangan Salsa, lebur ketika perempuan berjilbab biru itu mengulurkan tangannya seolah meminta Hanan menyalurkan energi padanya.
“Bil, kalo sakit, kamu boleh remas tangan Kakak, ya. Kakak nggak akan tinggalin kamu. Kamu harus berjuang, Bil. Jangan menyerah!”
“Kakak cerewet, arghh sakiit!” Salsa menatap galak pada Hanan. Lelaki itu tersenyum geli.
“Bil, tetap atur napas. Jangan teriak nanti tenagamu buat mengejan habis.”Hanan tak menyerah, sambil berlari kecil mengiringi gerak brankar dia terus mengucapkan kata penyemangat untuk Salsa.
Sampai di depan ruang bersalin Hanan sontak berhenti. Lelaki itu menatap Salsa yang kesakitan. Wajahnya penuh dengan keringat, dan pandangan mata itu penuh dengan dilema.
“Pak, kami harus segera membawa pasien ke ruang bersalin. Suaminya boleh ikut, kok.”
“Sebentar, Suster.” Hanan tersadar.
“Bila, Kakak yakin kamu pasti bisa berjuang. Kakak ... nggak bisa ikut ke sana, Bil. Maaf. Tapi Kak Hanan akan selalu ada di sini dan ... di hatimu.” Hanan menatap Salsa dengan mesra. Tatapan mereka terkunci beberapa detik.
Hanan mengangkat tangan Salsa yang dingin, menciumnya lembut. Kemudian merapikan beberapa anak rambut yang keluar dari jilbab Salsa.
“Maaf, Bil,” suara Hanan begitu lirih. Lelaki itu tercenung menatap Salsa yang perlahan menghilang di balik pintu ruang bersalin.
“Mbak Etik, tolong tunggu di situ. Saya mau nelepon Mama sama Ayah.”
“Nggih, Pak.”
Hanan bergegas menjauh dari kamar bersalin, mengambil gawainya dan mulai menghubungi Utami. Gerakannya spontan berhenti ketika melihat siapa yang baru saja memasuki lobi rumah sakit itu.
“Aditya?” Hanan mengerutkan keningnya.
Aditnya terlihat panik, berjalan di samping brankar yang membawa seorang perempuan mungil. Tetapi lelaki itu pun seketika terkesiap, tubuhnya membeku melihat siapa yang berdiri nyaris di hadapannya.
“Bang Hanan?” Lelaki itu pun begitu terkejut melihat Hanan.
“Ngapain Bang Hanan di sini?”
Hanan terdiam, matanya menatap Adit tajam.
Bab 20. Pusaran Masa Lalu
Mereka bertatapan dalam diam. Yang satu menatap dengan amarah tertahan, yang lain menatap dengan penuh tanya. Hanan mendekati Aditya, berbicara lirih tepat di telinga lelaki yang sekarang terpaku itu.
“Kamu sudah melanggar janjimu! Laki-laki seharusnya tidak menjilat ludahnya sendiri! Terbukti, kamu memang pengecut!”
Hanan menarik krah baju Aditya, menatapnya dalam jarak yang begitu dekat. Sampai mereka berdua dapat merasakan napas dan aroma kemarahan yang sejak lama terpendam.
“Saya memang pengecut, tapi saya akan merebut hati Salsa kembali! Sia-sia Abang kembali, Salsa nggak akan memilih Abang. Kita buktikan itu!”
Aditya melepaskan cengkeraman tangan Hanan dari bajunya. Hanan tidak menanggapi ucapan Adit, kali ini dia merasa lebih yakin dan percaya diri. Salsa tidak akan melakukan kebodohan yang sama dengan tahunan yang lalu.
“Kamu nantang, Dit? Sekarang kamu lumayan bernyali, ya. Aku terima tantanganmu!”Hanan tersenyum mengejek. Membuat Aditya sedikit gentar dan nyalinya ciut.
“Ngomong-ngomong Abang ada urusan apa di sini?”
“Nungguin istriku yang sedang melahirkan,” balas Hanan dengan tegas.
“Adit? Kamu ... di sini?”
Adit menoleh mendengar suara yang dikenalnya. Utami dan Hamid berdiri tak jauh dari mereka berdua. Kedua mantan mertuanya itu terlihat cemas menatap Aditya.
“Mama ... Ayah? Em ... apa kabar?” Adit menyapa terbata. Kemudian mengulurkan tangan untuk menjabat tangan Utami dan Hamid.
“Baik, kamu apa kabar?” Utami yang menjawab.
“Saya ... alhamdulillah baik, Ma?”
Lagi-lagi Utami dan Hadi berpandangan gelisah. Mereka tidak ingin Adit tahu keberadaan Salsa di rumah sakit ini. Karena Salsa pasti tidak akan menyukainya.
“Siapa yang sakit, Dit?” tanya Utami.
“Oh ... ehm ... Amara, Ma. Yang sakit Amara.” Adit tergagap menjawab pertanyaan Utami. Dia melepaskan pandangan dari Utami. Menutupi rasa bersalah.
“Ngomong-ngomong Mama sama Ayah mau nengok siapa di sini?” Adit mengangkat satu alisnya. Dia merasa aneh dengan gerak gerik Utami dan Hamid yang terlihat canggung.
“Kita ... eh mau ... nengok-”
“Mau nengok istriku. Mereka mau nengok istriku. Ayah, Mama, ayo kita ke ruang bersalin.”
Hanan memberi isyarat dengan matanya pada Utami dan Hamid. Sepasang suami istri itu mengangguk dengan cepat dan mengikuti langkah Hanan. Meninggalkan Adit yang terpaku, terjebak dalam kenangan akan Salsabila dan tanya yang tak terjawab sempurna.
***
Suara langkah kaki terdengar begitu nyaring di lorong rumah sakit yang sunyi. Hanan membiarkan tetes keringat di keningnya mengalir, tanpa berniat menghapusnya. Benaknya terlalu penuh dengan Salsa, dan kelebatan memori 3 tahun lalu terus mengejarnya.
Seorang perempuan yang juga berjuang di tempat Salsa sekarang. Suara halusnya yang tak sekalipun ditingkahi rintih kesakitan. Genggaman tangan mungilnya di tangan Hanan. Dan ... senyum di bibirnya yang pucat. Mengingatkan Hanan pada bulan sabit yang dilihatnya di tepi pantai pada suatu malam tanpa bintang. Hanan terduduk di bangku besi dingin itu, menopang kepalanya yang terkulai lemah.
Perlahan kenangan manis itu datang kembali, merengkuhnya dalam lara.
“Mas, kalau aku harus pergi, Mas Hanan harus cari Salsa.”
“Kamu ngomong apa, sih? Emang kamu mau pergi kemana?”
Perempuan dengan khimar putih pucat itu tersenyum dan meletakkan tangannya di punggung tangan Hanan yang kecokelatan.
“Aku ... nggak tahu apakah aku bisa melewati ini, Mas.”
Hanan menarik tangannya dan menatap Haifa dalam.
“Ngomong yang baik. Inget yang kamu bilang setiap perkataan itu adalah doa,” ucap Hanan sambil membelai kepala Haifa.
Perempuan itu malah tersenyum dan menarik lagi tangan Hanan yang sekarang dingin. Meletakkan tangan itu di dadanya, tepat di atas perutnya yang besar.
“Terima kasih untuk dua tahun yang luar biasa ini ya, Mas. Aku tahu Mas Hanan masih terkenang pada Salsa. Aku pun tahu, aku menghuni tempat istimewa di hati Mas Hanan. Jadi ... aku sama sekali nggak cemburu. Andai saja Salsa masih sendiri, aku ingin Mas Hanan berjuang lagi.” Haifa tersenyum dan menatap kosong.
“Hey, berandai-andai itu jalan masuk setan. Kan kamu sendiri yang ngajarin aku.”
Hanan menarik dagu perempuan bermata kecil itu dan memaksanya menatapnya.
“Lagian Salsa itu sudah menikah dan bahagia. Kamu jangan berharap yang nggak-nggak, ya.”
Tatapan Hanan begitu lembut. Berbanding terbalik dengan gelegak hatinya yang riuh. Memanjatkan doa dalam diam untuk kesehatan Haifa.
“Mas, aku ... minta, kalau aku sudah nggak ada jangan susah move on. Aku gapapa kok, I’m fine and definitely will be happy if you move on. Mas Hanan harus bahagia, janji ya?”
“Bisa ngomongin yang lain aja, nggak? Aku mau keluar sebentar beli kopi, kamu mau?” Hanan menghindarkan matanya dari Haifa.
“Hahaha, Mas Hanan lupa aku tuh sukanya teh melati. Yang suka kopi kan, Salsa?”
Hanan merasa tolol dan hatinya perih. Jika saja Haifa bisa marah dan mengamuk karena nama Salsa masih terukir di hatinya, itu akan lebih baik untuk Hanan. Ketulusan perempuan itu, membuatnya semakin sengsara. Dia bersalah karena tak pernah bisa menyingkirkan Salsa dari hatinya.
10 jam kemudian ...
Tak ada tangis bayi yang terdengar, dan ketika dia diijinkan masuk ke ruang dengan aroma desinfektan itu semua sudah berakhir. Tak ada lagi Haifa, atau pun Yusuf-bayi mereka yang telah lama ditunggunya. Hanan tak sanggup menangis, hanya memandang wajah istrinya yang kini terpejam meninggalkannya dalam senyap.
“Maaf, Nan. Kami sudah berusaha maksimal. Tapi ajal manusia hanya Allah yang berhak.” Dokter Arif menepuk pundaknya, sebelum berlalu membiarkan Hanan sendiri meratapi hidupnya yang akan sunyi.
Pintu berderit terbuka membuat Hanan melonjak berdiri dengan wajah yang semakin pucat. Kepalan tangannya begitu erat sehingga buku-buku jarinya memutih. Dia berdoa dengan gelisah, berharap Salsa tidak berakhir sama dengan Haifa.
“Keluarga Ibu Salsabila?” perawat berseragam hijau itu mengumumkan dengan sopan.
“Iya, Sus. Kami keluarganya,” Hamid menjawab tergesa.
“Selamat, ya. Bayinya perempuan.” Suster itu tersenyum.
Hanan mengusap wajahnya, bernapas lega kemudian luruh dalam sujud syukurnya. Tak peduli betapa dingin lantai putih itu. Tak ada kata hanya air mata bahagia dan lega yang memeluknya hangat.
Semua seperti bergerak perlahan, suara tangisan itu samar-samar terdengar. Semakin keras dan memberikan Hanan energi untuk tersenyum. Suara tangis yang 3 tahun lalu tak di dengarnya.
***
Di bagian lain rumah sakit, Adit duduk dan menatap kosong ranjang Amara. Perempuan itu baru saja tertidur setelah didera sakit sejak semalam. Obat penghilang sakit yang biasanya ampuh, entah mengapa menolak bekerja sama. Membuat Adit beberapa kali terjaga. Lalu pagi ini semua memuncak, Amara pingsan setelah sebelumnya merintih karena kesakitan hebat di perut bagian kirinya.
“Dit, kamu belum makan. Mau teh?”
Adit menoleh dan merasakan sentuhan lembut Ainun di pundaknya yang letih. Pundak yang beberapa bulan ini menopang beban sendiri karena tidak ada lagi Salsabila yang ikut menopangnya.
“Iya, Ma. Teh saja. Adit belum lapar.”
Lelaki itu mengangguk dan menyugar rambutnya yang tebal. Ainun membuka termos kecil berwarna merah itu, menuangkan teh beraroma melati dan mengangsurkannya pada Adit.
“Gimana hasil pemeriksaan dokter?” tanya Ainun sembari menghenyakkan tubuhnya di sofa di samping Adit.
“Tadi baru di USG saja, Ma. Katanya butuh pemeriksaan lanjutan.” Adit menjawab tanpa semangat. Dia sudah begitu terlunta-lunta dalam rumah tangga baru yang dulu dibangunnya karena kebodohan. Sebenarnya dia tidak membutuhkan lagi masalah pelik seperti hari ini.
Bukan saja Amara yang tiba-tiba jatuh sakit, tapi pertemuannya dengan Hanan yang membawanya kembali pada Salsa.
“Terus kapan pemeriksanaan lanjutannya?”
“Ehm ... Adit belum tahu, Ma. Mungkin siang atau sore ini. Entahlah, Adit kayanya nggak sanggup memikirkan semua, Ma.”
Ainun merangkul Adit, memahami apa yang sedang berkecamuk di benak putra sulungnya. Adit memang melakukan kesalahan fatal, tetapi bagaimanpun juga Adit adalah anaknya, dan saat ini lelaki itu membutuhkan Ainun untuk sekadar berkeluh kesah.
Ketukan lirih di pintu membuat Ainun dan Adit menoleh, dokter berkulit cerah dengan kacamata bertengger di atas hidungnya tersenyum menenangkan.
“Selamat siang, saya dokter Tandia yang menangani Ibu Amara.” Dokter itu memperkenalkan diri dan entah mengapa debar di dada Adit semakin tak terkendali.
“Saya Adit, Dok. Suaminya.”
“Baik, Pak. Besok pagi Ibu Amara sudah dijadwalkan untuk pemeriksaan lanjutan. Saya bisa bicara di luar sebentar dengan Pak Adit?”
Adit mengangguk dan dengan patuh mengikuti dokter Tandia ke luar kamar.
“Maaf, Pak. Kami curiga ada tumor di ovarium istri Bapak. Tapi untuk memastikan seberapa ganas kami harus memeriksa lebih lanjut.”
Adit merasakan tangannya mendadak dingin. Kalimat dokter itu terasa menghantamnya. Apakah itu penyebab meninggalnya bayi mereka?
“Apa sebelumnya Ibu pernah hamil, Pak?”
“Ah ... eh ... iya, Dok. Hamil kemudian bayi kami meninggal dalam kandungan.”
Dokter itu entah mengapa terlihat sedikit gusar.
“Baik, Bapak jangan khawatir. Insya Allah istri Pak Adit baik-baik saja.”
Adit tak menjawab hanya mengangguk pasrah. Dia tidak siap dengan serangan bertubi-tubi yang dihadapinya dalam beberapa bulan ini. Dengan lunglai dia kembali ke dalam ruang rawat Amara dan mendekati ibunya.
“Dit, kenapa? Apa kata dokter? Apa ... Amara baik-baik saja?”
Adit diam, dan sedetik kemudian meraih pelukan Ainun. Meletakkan kepalanya di atas bahu Ainun dan menangis. Dia merasa kalah sebagai laki-laki. Tak tersisa apa pun dalam hidupnya. Kepergian Salsa membawa semua yang berharga untuknya, khususnya cinta Salsa.
Ainun membiarkan Adit menangis mencurahkan keresahan yang tertahan. Dia pun larut dalam kesedihan putra sulungnya itu.
Tok tok tok
Adit mengusap air matanya. Kemudian berjalan ke arah pintu dan meraih kenopnya yang dingin. Matanya menyipit melihat seorang lelaki yang berdiri dengan kepala sedikit tertunduk di depannya.
“Cari siapa?” tanya Adit.
“Saya ... Handhika. Saya mencari Amara.”
Lelaki itu kini mengangkat wajahnya dan menatap Adit yang terkesiap.
Terima kasih sudah membaca dan mendukung Setelah Bercerai ya <3 <3 <3
30 Juli 2023
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
