
Jika pilihannya bertahan atau menyerang, mana yang akan kau ambil? Salsabila memilih keduanya. Bertahan dalam pernikahan yang dihantam badai, dan menyerang Amara yang berusaha menghancurkan pernikahannya. Sayangnya, setiap perjuangan harus berhenti di satu titik. Untuk Salsabila, titik itu adalah kata talak dari Aditya, suaminya. Mitsaqan Ghaliza yang diperjuangkannya hancur tak bersisa. Ketika Salsabila merasa tidak sanggup lagi berdiri, justru hidupnya dimulai. Buah hati yang sejak lama dinantinya...
Bab 1. Amara
Salsabila melangkahkan kaki perlahan menuruni tangga dari lantai 2. Dia sedikit lelah tapi masih bersemangat untuk mengajar di kelas selanjutnya jam 2 nanti. Sekarang masih jam 12.15. Artinya, dia masih punya waktu untuk salat. Kemudian dia akan membaca materi sembari menikmati kopi hitam dari kantin Bu Nurul.
Udara hari ini panas karena musim kemarau sudah mencapai pertengahan. Penyejuk ruangan diputar cukup dingin, mengimbangi panasnya hari.
"Mbak Salsa, ada yang nyariin tuh." Kepala Rini menyembul dari pintu, membuat Salsabila mendongak dari laptopnya.
"Eh? Siapa ya, Rin?" Salsa mengerutkan kening. Dia heran karena hari ini merasa tidak membuat janji dengan siapa pun.
"Perempuan, Mbak. Cantik dan imut. Aku suruh ke sini aja, ya?"
Salsabila tak sempat mengangguk karena Rini sudah menghilang.
Tak lama kemudian seorang perempuan dengan midi dress bercorak bunga berwarna oranye muncul di ruangannya. Sepatunya sewarna dengan motif dress-nya. Rambutnya dipotong pendek sampai di bawah telinga dan dijepit sederhana dengan jepit berhias bunga kecil di bagian poninya. Make up-nya sederhana. Perempuan ini mencangklong sebuah tote bag berwarna coklat di bahunya.
Perempuan bertubuh mungil yang manis. Tetapi Salsabila sama sekali tidak mengenalnya. Walaupun sudah berusaha keras memutar otaknya.
"Halo … dengan Mbak Salsa?"
"Ya, saya Salsabila."
Perempuan itu mengulurkan tangannya dengan kuku-kuku yang terawat. Punggung telapak tangannya begitu putih dan mulus. Salsabila menyambut uluran tangannya dengan enggan. Entah kenapa, tiba-tiba perasaannya tak enak.
"Silakan duduk, Mbak ...? Eh, maaf siapa?"
"Oh, iya. Saya Amara. Amara Febriana."
"Apa kita pernah ketemu? Maaf kalo saya nggak sopan. Tapi saya ngerasa nggak mengenal Mbak Amara." Salsa mengernyitkan kening masih berusaha keras mengingat.
Perempuan itu tersenyum. Tapi untuk Salsa, senyumnya terasa mengejek. Ah, mungkin ini pengaruh udara panas sehingga membuatnya suuzan.
"Kita memang belum pernah kenal, Mbak. Tapi saya kenal suami Mbak Salsa."
Deg
Jantung Salsa berdetak, perasaannya menjadi tak karuan. Kenapa perempuan ini kenal dengan Aditya, suaminya?
Perempuan itu duduk dengan anggun, memperbaiki letak bagian bawah bajunya yang sedikit tersingkap. Kemudian dia memasukkan tangannya ke dalam tote bag-nya. Mencari-cari sesuatu. Ketika akhirnya dia menarik keluar tangannya dari dalam tas, selembar kertas mirip hasil USG berada di genggamannya.
"Ini, Mbak," ucap Amara.
"Ini apa, ya?" Salsa semakin tak mengerti menatap kertas yang sekarang diletakkan di meja, tepat di bawah hidungnya.
"Ini hasil USG saya," Amara menjelaskan masih dengan tersenyum.
"Saya nggak ngerti, deh. Apa hubungannya sama saya?"
Salsa agak tersentak karena perempuan itu terbahak, tapi tidak keras. Karena dia buru-buru menutup mulutnya. Dengan gaya yang gemulai dan perlahan. Dari gerakannya itu sepertinya Amara seorang perempuan yang lembut.
"Saya hamil, Mbak." Amara mengucapkan ini dengan bangga.
Kabar itu menohok bagian hati Salsa yang sensitif. Dia sudah menikah selama 5 tahun dan belum ada tanda-tanda dia hamil.
"Oh, selamat kalo gitu," respons Salsa sangat lirih dan tak percaya diri.
"Ini anaknya Mas Aditya, Mbak." Amara menyunggingkan senyum dan mengerling Salsa. Semua dilakukannya dengan tenang. Tidak terburu-buru dan tanpa rasa gugup sedikit pun.
Salsa sontak berdiri dan melotot. Dia lupa dengan pelajaran manajemen diri yang sudah lama diterapkannya. Pelajaran untuk tidak dengan mudah menampakkan emosi di hadapan banyak orang. Tapi kali ini berbeda. Dia tidak bisa lagi menguasai dirinya.
Apa?! Tunggu?! Apa perempuan ini menyebut nama Aditya? Aditya siapa? Ada berapa laki-laki yang namanya sama dengan suamiku?!
Salsabila membatin gusar, merasa pening, dan sekarang tangannya pun mendadak dingin.
"Aditya siapa yang kamu maksud?"
"Ya … Aditya siapa lagi, Mbak? Aditya suamimu!"
"Tunggu! Bisa kamu sebutkan nama lengkap si Aditya ini?"
Salsa tidak tahu kenapa dia merespons begini. Apakah sekadar ingin menenangkan dirinya bahwa ini Aditya yang lain? Siapa tahu perempuan ini salah orang. Ya, kan? Tapi, kenapa dadanya bergetar hebat menunggu jawaban Amara?
"Aditya Giri Nugraha. Dia manajer HRD di perusahaan tempat saya bekerja. Sudah setahun kami menjalin hubungan, dan sekarang saya hamil."
Salsabila merasa dadanya sesak. Apa semua ini nyata?! Kenapa dia sama sekali tidak melihat tanda bahaya apa pun? Apakah dia bisa mempercayai Amara? Perempuan yang tiba-tiba datang menuduh suaminya berselingkuh. Ini bukan drama korea, kan?
"Tunggu, Amara! Saya nggak bisa langsung percaya sama kamu. Saya lebih percaya suami saya! Bisa saja kamu bicara ngawur, kan?!"
Salsabila berpikir bahwa sebagai manajer yang karirnya sedang cemerlang pastilah mengundang iri banyak orang. Siapa tahu seorang rekan suaminya menyuruh Amara berpura-pura menjadi selingkuhan suaminya supaya rumah tangga yang sudah mereka bangun dengan susah payah ini hancur berantakan.
"Ya silakan saja Mbak Salsa nuduh saya ngawur, bohong, atau apa. Lebih baik Mbak temui suami Mbak. Tanyakan sama dia, siapa saya."
Amara berdiri dengan anggunnya. Gayanya yang natural sama sekali tidak menyiratkan bahwa dia adalah perempuan pengganggu suami orang. Apa memang deskripsi pelakor sudah berubah? Bukan lagi seperti yang umum digambarkan sebagai perempuan dengan dandanan menor dan pakaian yang mengekspos tubuhnya. Karena Amara sama sekali tidak seperti itu. Dia berpakaian dengan sopan dengan dandanan simpel dan bahasa tubuh positif. Wajahnya juga manis dan lugu, seperti wajah anak SMA yang masih belum banyak dosa.
"Saya pamit kalo gitu. Silakan Mbak Salsa bicarakan dengan Mas Aditya. Tapi saya minta Mas Aditya bertanggung jawab, seperti janjinya."
Perempuan itu melenggang anggun, keluar dari ruangan Salsa yang sejuk tetapi bagai neraka baginya. Dengan perasaan tak karuan Salsa membereskan mejanya, menarik tasnya dengan kasar, dan berjalan terengah menuju tempat parkir.
"Mbak Salsa pulang? Kan, masih ngajar lagi?"
Suara Rini menghentikan langkahnya. Dengan susah payah Salsabila mengatur napasnya dan menenangkan diri. Memerintah jantungnya untuk tidak berdebar dengan keras.
"Aku ijin Rin, harus ketemu suamiku. Ntar aku telepon mahasiswa, ya." Salsa melangkah lagi dengan gusar. Tak menunggu Rini menjawab, membuat Rini mengernyitkan kening heran.
Ketika sudah berada di dalam mobil, Salsa segera menyalakan mesinnya sembari meraih botol berisi infus water yang selalu dibawanya. Diteguknya isi botol dengan napas masih memburu. Dia ketakutan sekaligus resah. Apakah benar dia mengalami ini? Ini mirip dengan drama korea yang akhir-akhir ini ditontonnya.
Tidak! Ini pasti salah! Mungkin Aditya hanya sedang mengerjainya. Apa istilah kerennya? Prank. Ya ini pasti prank. Mungkin Aditya sedang menyiapkan kejutan di suatu tempat dengan kue tart dan bunga. Tapi Salsa sedang tidak berulang tahun.
Salsa semakin merasa frustasi. Dengan tangan gemetar ditekannya nomor telepon suaminya. Nada dering terdengar bagai simfoni kesedihan di telinga Salsa. Teleponnya tidak dijawab. Salsa mencoba lagi, tetap tidak dijawab. Dia memutuskan menunggu beberapa menit lagi sambil melajukan mobil kesayangannya. Mobil dengan desain bodi maskulin yang lumayan besar untuk perempuan dengan tubuh mungil seperti Salsa. Mobil ini kado perkawinan ketiga mereka. Ketika Aditya mulai cerah karirnya dan sanggup membelikan Salsabila sebuah mobil baru. Memang uang untuk membeli mobil ini tidak sepenuhnya berasal dari Aditya. Ada tabungan Salsa juga yang berperan walaupun tidak banyak.
Padahal tahun-tahun sebelumnya, untuk memberi Salsa uang belanja saja Aditya kesulitan. Tetapi dengan sabarnya Salsa memaklumi bahwa suaminya masih merangkak. Dialah yang dengan tegar bekerja keras, mengambil jam mengajar sampai sore demi menyokong perekonomian rumah tangganya. Tidak dipedulikannya provokasi dari keluarganya yang mempertanyakan kemampuan Aditya sebagai seorang suami. Salsa menutup telinganya rapat-rapat dan hanya fokus memberi semangat pada suaminya untuk terus berusaha.
Tapi apa yang sekarang didapatnya? Apakah benar Aditya selingkuh? Apakah semudah itu mengkhianati janji setia pernikahan mereka?
Tiinn tiin
Salsa terhentak kaget karena suara klakson dan sumpah serapah sopir di belakangnya. Dia tak sadar lampu berubah hijau dan mobilnya belum bergerak. Dengan kaki yang terasa lemas Salsa menginjak pedal gas dan melaju tak tentu arah.
Ah, dia begitu tersiksa dengan kejadian tadi. Dia tak bisa memerintah pikirannya untuk tenang sebelum bertemu Aditya dan meminta penjelasan. Sambil berharap bahwa Aditya akan menyangkal semua perkataan Amara dan menuduh Amara seorang perempuan tidak baik yang sengaja ingin mencemarkan nama baiknya.
Salsabila hanya berputar-putar saja dengan mobilnya. Melewati jalanan Ijen Boulevard, kemudian berbelok ke kiri melewati jalan Kawi yang penuh toko-toko. Entahlah, dia tidak tahu mau kemana. Ketika melewati sebuah kafe tak jauh dari tempatnya biasa mencuci mobil, Salsa memutuskan berhenti. Dia tak mungkin terus menyetir dengan pikiran kalut begini.
Dengan hati dan pikiran kacau, Salsa memilih area non smoking. Memesan secangkir macchiato panas dan seporsi sandwich. Dia bersandar dengan lelah ke punggung kursi. Memejamkan mata dan merasakan air mata mengalir begitu saja. Dia merasa kalah. Dipijitnya perlahan keningnya yang panas. Jilbabnya sudah berantakan dan Salsabila tak menghiraukan itu. Apakah nasib rumah tangganya akan seburuk ini?
Suara dering gawai menyadarkannya. Dengan tergesa diraihnya benda itu dan menggeser tanda hijau untuk menerima panggilan.
"Halo, Mas? Kamu di mana?"
"Sals, aku di kantor habis rapat. Ada apa?" Suara suaminya terdengar biasa saja. Membuat debar jantung Salsabila sedikit menurun.
"Mas .... "
"Iya Sals, kenapa? Suaramu kok, gitu? Kamu nangis, ya?"
Ah, Salsa merasa air matanya semakin deras. Aditya selalu tahu bagaimana perasaannya bahkan ketika mereka tak berhadapan seperti saat ini.
"Mas, kamu kenal dengan Amara?"
Aditya diam beberapa detik dan terdengar suara helaan napas berat.
"Nanti saja kita bicarakan di rumah ya, Sals."
"Tapi, Mas? Kamu belum jawab pertanyaanku!"
"Sudahlah, Sals. Aku masih banyak kerjaan."
"Mas. Aku cuma tanya kamu kenal, enggak?"
"Nanti saja, Sals. Aku lagi pusing. Jangan keras kepala kenapa, sih?"
Lalu sambungan diputus begitu saja.
Salsabila diam dan menggigit bibirnya. Gawainya digenggamnya dengan erat seolah ingin menyalurkan sakit hatinya. Apakah firasatnya ini akan terbukti? Salsabila belum tahu.
Dia menyusut air mata dengan ujung jilbabnya, kemudian merapikan tunik berwarna kuning mostar yang dikenakannya. Dengan tiga tegukan, dia menghabiskan macchiato di dalam cangkir kecil itu. Dia berdiri dan memaksa kakinya yang lemas untuk melangkah.
Apa pun itu, dia akan menghadapinya! Dia harus menyelamatkan rumah tangganya.
Bab 2. Pengakuan Aditya
Salsabila menegakkan kepalanya, mencoba berdamai dengan kesesakan di hatinya. Melangkah meninggalkan kafe itu diiringi desauan sendu angin sore. Setitik harap masih setia di hatinya, bahwa dia akan pulang ke rumah dan menemukan Aditya menyiapkan kejutan manis untuknya. Entah kejutan untuk apa? Mungkin karena Aditya baru saja naik jabatan lagi. Itu sedikit tidak mungkin mengingat Aditya baru saja naik jabatan.
Atau apa? Mungkin aplikasi beasiswa Salsa lolos? Itu pun tidak mungkin, karena Salsa memilih mundur dari beasiswanya di saat-saat terakhir setelah berkasnya lengkap dan pendaftaran sudah dibuka. Semua dilakukannya demi Aditya. Karena Aditya tidak mengijinkannya pergi ke luar negri untuk melanjutkan studi. Selain itu, Aditya tak rela meninggalkan kariernya yang sedang bersinar di sebuah perusahaan makanan besar di Jawa Timur.
Entahlah ....
Dengan lelah Salsabila menginjak pedal gas dan melaju pulang. Jalanan yang cukup lengang seakan tak sedikit pun menahan niatnya untuk segera sampai di rumah. Masih dengan harapan bahwa Aditya akan menunggunya dengan kejutan.
Ternyata rumah itu sepi. Rumah dua lantai yang baru dua tahun ini ditempatinya bersama Aditya. Tempat mereka merajut mimpi semakin rapat. Tentang memiliki seorang anak yang manis dan rumah tangga sempurna. Mimpi yang teramat indah. Namun sekarang semuanya mengapa terasa pahit.
Salsabila turun dari mobil dan menutup pagar dengan gontai. Sejenak menatap pot-pot tanaman yang biasanya selalu bisa meluruhkan stresnya setelah 5 hari berjibaku dengan pekerjaan yang tak ada habisnya. Tanaman anturiumnya menampakkan kuncup mungil calon bunga yang kelak akan mekar. Salsa menghela napas dengan berat dan melangkah memasuki rumahnya yang sunyi.
Dia ingin mandi, mandi yang lama untuk menghilangkan risaunya. Digantinya semua bajunya yang tampak kusut dan sedikit berbau asap. Kelebatan sosok Amara muncul lagi di benaknya, ketika dia berdiri di bawah shower yang mengucurkan air hangat.
Gadis manis yang wajahnya terlihat polos. Benarkah dia hamil anak Aditya? Lalu apa yang akan terjadi pada dirinya? Seorang istri yang belum bisa memberikan keturunan untuk Aditya. Keturunan yang sangat dirindukan Salsa sebagai seorang wanita.
Kenapa tak ada satu pun yang bertanya kepada Aditya? Seakan semua ini adalah salahnya. Seakan dialah yang mandul dan tak mau memeriksakan diri ke dokter.
Lalu sekarang seorang gadis manis dan polos datang dengan bayi di perutnya. Benih Aditya.
Salsabila tak tahu berapa lama dia menghabiskan waktu untuk menangis. Menyesali kehidupannya yang dalam sekejap berantakan.
Ketika dia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri tangisnya, tubuhnya menggigil. Dengan gemetaran dia berpakaian dan memutuskan untuk salat asar. Mungkin dengan bersujud kegalauannya akan berkurang.
***
Jam 5 sore ....
Salsa memandangi pot-pot tanaman di halaman mungilnya. Mengucurkan air pada tiap pot itu, berusaha memusatkan pikirannya pada betapa hijau dan cantiknya tanaman-tanaman yang dipeliharanya. Dia sadar itu hanyalah sekadar pelarian yang tak mampu sedikit pun mengalihkan pikirannya dari Amara.
Salsa mengangkat wajahnya ketika mobil Aditya berhenti di depan pagar. Suaminya turun dengan wajah lelah dan memaksakan sebuah senyum, sembari mendorong pagar dan memasukkan mobilnya ke dalam garasi.
"Sals, udah pulang dari tadi?"
Salsa tersenyum dengan bibirnya yang pucat dan mencium tangan suaminya.
"Udah, Mas. Mas Adit sudah makan?"
"Belum, sih. Kita pesen bebek hitam aja, yuk."
Salsa menatap suaminya dengan penuh tanya. Sikap Aditya sangat biasa. Dia berharap semoga memang Amara berbohong. Dia sudah menyusun rencana apa yang akan dilakukannya pada gadis itu jika memang dia bohong.
"Kok ngelamun, Sals? Aku yang pesen atau kamu?" Aditya menyentuh pipi Salsa yang masih berdiri mematung di teras.
"Eh, enggak, Mas. Lagi ... ehm, bingung. Mas tadi bilang apa?"
"Ya ampun. Kamu kenapa sih, Sals? Aku bilang kita beli bebek hitam aja. Pake gofood."
"Oh, iya. Biar aku yang pesen, Mas. Aku bikinkan teh jahe ya, Mas."
"Iya, boleh. Makasih istriku."
Adit mencium pipi istrinya sekilas sebelum masuk ke kamar mandi di dalam kamar tidur mereka. Salsa hanya membatin, apakah Aditya berpura-pura tidak menyadari betapa sembab matanya? Atau memang Adit tidak peka? Biasanya laki-laki itu selalu awas dengan setiap perubahan kecil istrinya. Apalagi Salsa tipe perempuan yang tak dapat menyembunyikan perasaan. Sedang susah, senang, khawatir. Semua itu pasti akan terlukis jelas di wajahnya.
Salsa hanya memperhatikan saja segala gerak-gerik suaminya. Membiarkan prasangka perlahan menguap dari kepalanya.
***
"Mas, bisa kita bicara sekarang?"
"Bicara apa, Sals? Penting banget?"
Mereka berdua duduk di ruang keluarga. Baru saja menyelesaikan makan malam dalam diam yang terasa menyesakkan bagi Salsa.
"Ini penting, Mas. Tentang rumah tangga kita?"
"Ya, bicara aja."
"Aku tadi sudah tanya kan, di telepon? Apa Mas Adit kenal dengan Amara?"
Adit hanya meliriknya sedikit. Kemudian menarik tangannya yang tadinya terjulur di belakang bahu Salsa.
"Kenal. Kenapa?"
"Dia hamil ... anakmu."
Aditya menghela napasnya.
"Iya, itu betul."
"Apa?!" Salsa menatap Adit dengan horor. Terkejut setengah mati! Sedangkan suaminya terlihat biasa saja. Masih menatap televisi yang menayangkan entah apa.
"Mas, kamu bercanda? Apa sih maksudmu, Mas?"
"Sals, aku serius. Dan aku rasa sudah waktunya kamu tahu. Aku memang ada hubungan dengan Amara. Dan sekarang dia hamil ... anakku, Sals."
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Adit. Tapi laki-laki itu bergeming. Dia menatap Salsa yang sekarang berurai air mata.
"Sals, aku tau kamu perempuan kuat. Aku yakin kamu bisa menerima ini. Tolong jangan berdrama, Sals."
Apa?! Salsa rasanya ingin menghajar suami yang sekarang tak dikenalnya ini. Bagaimana mungkin lelaki yang dinikahinya, dan telah dikenalnya sejak SMA ini bisa begitu tega padanya?! Tidak adakah rasa bersalah atau simpati sedikit saja pada perasaannya yang terluka?
"Berdrama katamu, Mas?! Kau ini tolol atau dungu?! Kita ini suami istri, dan kamu dengan tenangnya membawa orang lain masuk di hubungan kita. Kamu berselingkuh, Mas!!! Kamu bilang aku berdrama?! Kalo begitu aku nggak mau terlibat dalam drama murahanmu ini, Mas!"
Salsa berdiri dan berteriak dengan frustasi. Matanya menatap Adit dengan nanar. Ingin rasanya mencakar, mendorong, dan menendang lelaki ini.
"Sals, coba pikirkan lagi dengan tenang. Apa salahnya menerima Amara sebagai madumu? Kita masih bisa bersama. Tapi aku harus menikahi Amara. Dia hamil dan aku akan bertanggung jawab."
Salsa gemetar menahan kemarahan yang semakin besar. Beginikah cara suaminya meminta ijin untuk menikah lagi? Dia tahu memang lelaki tak perlu ijin untuk berpoligami. Tapi cara Adit memperlakukannya sangat membuatnya terluka! Ini namanya penghianatan.
"Aku nggak akan membiarkan rumah tanggaku hancur berantakan, Mas! Kamu boleh bertanggung jawab, sebatas menanggung kebutuhan perempuan itu sampai dia melahirkan. Kemudian kamu bisa bawa anaknya, dan kita bisa merawatnya bersama."
"Aku mencintai Amara, Sals. Gimana bisa aku tega begitu sama dia?!" Adit berteriak frustasi.
Salsa pun menjadi paham. Ternyata ini sama sekali bukan tentang memiliki keturunan. Ini murni penghianatan. Perselingkuhan kotor atas nama cinta. Cinta katanya! Bah! Jangan bawa-bawa cinta jika hanya untuk menutupi perzinahan!
"Baik, Mas. Kalo begitu, silakan menikahi perempuan itu. Aku nggak peduli!"
Aditya meraih bahu istrinya berusaha memeluknya.
"Jangan sentuh aku dengan tanganmu yang kotor itu, Mas!! Kamu berzina! Itu menjijikkan!"
Salsa berlalu pergi dengan pilu. Dia tak ingin masuk ke kamar tidurnya. Terlalu sakit mengingat kamar tempat mereka memadu kasih itu. Tempat mereka berbagi mimpi dan merajutnya menjadi satu hiasan yang indah. Tapi, ternyata memang impian itu hanya hiasan yang sekarang terkoyak, bahkan mungkin akan tercabik-cabik tanpa ampun.
Salsa tidak tahu, bahwa malam ini hanya permulaan saja dari penderitaannya.
Bab 3. Seperti Mimpi?
Hari ini lagi-lagi Salsa terbangun dengan kepala berat. Azan subuh belum berkumandang, dan masih terlihat beberapa titik bintang di langit yang masih kelabu. Badannya yang terasa remuk memaksa Salsa tetap berbaring. Sekilas teringat kejadian beberapa malam yang lalu dan dia masih berharap dirinya hanya sedang bermimpi buruk.
Selintas cahaya di langit yang kelam membuat Salsa mendongak. Kelihatannya pagi ini akan turun hujan membuat suasana hati Salsa semakin muram. Kelebatan wajah Aditya dan Amara melewati benaknya yang penat.
Salsa sungguh merasa perih di seluruh bagian tubuhnya. Perih yang kasat mata. Tiba-tiba matanya menatap pintu yang masih tertutup rapat. Sudah beberapa malam dia tidak tidur di kamarnya. Sejak kejadian malam itu. Ah, malam yang berat untuk dikenang.Sering terbersit tanya, apakah ketika dia sudah tertidur Adit mengetuk pintu kamarnya? Sekadar memastikan dirinya baik-baik saja. Walaupun baik-baik saja dalam kondisi hati yang patah seperti ini sangat tidak mungkin.
Tetapi Salsa berharap Aditya melakukan itu, sekadar meredakan sedikit sakitnya yang sekarang menjalar ke seluruh tubuhnya. Bahkan tenggorokannya terasa perih. Salsa menghabiskan beberapa malam dalam kubangan air mata. Merasa dirinya bodoh dan lemah.
Suara gelegar petir mengagetkannya, memaksa Salsa bangun dari posisi berbaringnya. Dengan enggan dia memaksa dirinya beranjak dari kasur dan berjalan menuju kamar mandi untuk berwudu.
"Sals, Salsa ...? Kamu sudah bangun?"
Salsa menoleh ke arah pintu. Suara Adit terdengar jelas. Kenop pintu bergerak-gerak karena Adit mencoba membuka pintu yang terkunci itu.
Tok tok tok
"Salsa?! Kamu denger, kan?"
Salsa masih diam. Harapannya bahwa Aditya akan mengetuk pintu dan mengkhawatirkannya tercapai. Salsa ingin tersenyum tetapi pipinya kaku seperti dipaku.
"Sals … Buka pintunya, dong."
Salsa kalah. Dia menyeret langkah menuju pintu. Membukanya lebar dan menemukan Aditya dengan baju salat dan sarung. Kelihatannya lelaki itu baru selesai salat subuh. Suara hujan mulai terdengar di luar, dengan petir yang sesekali menggelegar. Ini hujan pertama di awal Oktober, hujan yang terdengar seperti kemarahan alam.
Hujan yang mewakili perasaan murka Salsa. Murka pada suaminya yang dengan mudah mengkhianatinya. Dengan wajah biasa mengakui perselingkuhan atas nama cinta.
"Ada apa?" Salsa membuka suaranya yang serak.
"Sudah salat subuh?"
"Belum."
"Salat dulu. Trus bikinin aku kopi?"
Salsa menaikkan satu alisnya. Suaminya ini setahunya tidak bodoh, malah sangat pandai. Aditya juga seorang lelaki yang penuh empati. Tapi hari ini Salsa merasa tidak lagi mengenal Aditya yang dulu. Aditya sang wakil ketua OSIS ketika SMA. Dia juga juara lomba catur hingga tingkat propinsi. Lelaki itu sangat lembut dan sopan. Siap membantu siapa pun yang membutuhkannya.
Lelaki yang membuat Salsa akhirnya jatuh hati.
"Apa?"
"Bikinin aku kopi. Kamu nggak denger?"
"Kenapa aku? Kamu nggak bisa bikin sendiri?" Salsa mulai meradang.
"Kamu kan istriku, Sals. Biasanya juga kamu yang nyiapin kopi dan sarapan."
Salsa merasa sangat muak kali ini. Lelaki ini seolah amnesia dan melupakan dengan tenangnya bahwa dia telah melukai Salsa dengan sangat dalam.
"Kamu lupa, Mas? Apa yang sudah kamu lakukan?? Kamu minta aku melakukan kewajibanku sedangkan kamu dengan santainya mengkhianati aku sebagai istri!!"
"Sals, tapi kamu masih istriku. Aku kan tidak menceraikan kamu. Aku nggak akan melepas kamu sampai kapan pun. Aku cuma minta kamu nerima Amara, itu saja."
Hah?! Salsa terperangah. Bingung dengan semua ini. Bingung dengan apa yang dimau suaminya yang mendadak menjadi orang asing ini.
"Kamu bikin aja sendiri, Mas!"
Salsa hendak melangkah meninggalkan Aditya. Dia tidak akan menuruti kemauan Aditya bahkan jika itu hanya secangkir kopi! Namun Aditya menarik lengannya dengan keras membuat Salsa tertarik dan tak bisa melangkah. Dengan sigap laki-laki itu memeluk Salsa.
Salsa pun memberontak kuat. "Lepasin aku!! Kamu udah nggak punya hak sama aku mas!!"
"Kata siapa?" Aditya menatap Salsa dengan tenang. Tidak membiarkan Salsa lepas dari pelukannya begitu saja. Salsa bergidik melihat sinar mata Aditya yang sepertinya penuh dengan birahi.
"Kataku!" Salsa berteriak tegas.
"Kamu tetap istriku! Kan, aku sudah bilang!"
"Aku nggak mau jadi istri dari seorang penghianat kaya kamu!"
"Tapi nyatanya kamu istriku, Sals. Aku cinta sama kamu."
Sekejap kemudian Aditya mencium Salsa dengan liar. Memeluknya lebih erat, mengunci kedua tangan Salsa dengan tangannya.
Salsa meronta berusaha melepaskan pelukan suaminya yang sepertinya kesetanan. Dia hampir kehabisan napas, dengan sekuat tenaga diinjaknya kaki Aditya. Lelaki itu mengaduh kesakitan dan melepaskan Salsa.
"Kamu gila, Mas!! Aku benci sama kamu!"
Salsa berlalu pergi dari hadapan Aditya. Meninggalkan lelaki itu dengan kegalauannya. Dengan lelah ditariknya kursi di meja makan. Adit menerawang. Teringat masa-masa ketika dia pertama kali melihat Salsa. Salsa yang enerjik dan riang.
Aditya PoV
Salsabila Rasyidah. Perempuan itu adalah perempuan istimewa. Dia bukan perempuan cengeng yang mudah digertak. Membuat aku jatuh cinta dan tak bisa berpaling sejak SMA.
Aku ingat hari itu, ketika aku berjalan pulang dari sekolah melewati gang-gang kecil supaya lebih cepat sampai di rumah. Matahari bersinar cukup terik hari itu, siapa yang tahan berlama-lama di luar.
Tiba-tiba aku tersentak melihat sesosok perempuan berjilbab yang dihadang dua lelaki bertato. Lelaki itu cukup kekar. Salah satunya sudah mencengkeram tangan si perempuan.
"Heh, mana sini dompetmu!! Kasihin nggak?!"
"Enggak!" Perempuan mungil itu balas membentak, padahal dia dalam keadaan terdesak.
"Kamu kecil-kecil berani nantang, ya!!"
"Kasih sini dompetmu! Mau aku patahin tanganmu, hah?!"
Aku melihat perempuan mungil itu meringis kesakitan. Tetapi anehnya dia tidak menyerah. Perempuan ajaib pikirku saat itu.
"Beraninya sama perempuan! Dasar bancii!!" Dia berteriak keras seolah tidak merasa sakit karena tangannya dicengkeram.
"Heh, dasar perempuan keras kepala! Tinggal kasihin dompetmu apa susahnya, sih?!" Si lelaki bertato dengan anting besar di telinganya berusaha meraih dompet yang dipertahankan perempuan mungil itu. Tapi si perempuan mungil itu dengan gigihnya bertahan.
"Woi … Jodi! Lepasin, tolol!!"
Si lelaki yang dipanggil Jodi langsung melepas cengkeramannya ketika seorang lelaki berkaus hitam terlihat berjalan ke arahnya. Lelaki itu datang bersama seorang pria kekar yang juga berkaus hitam.
"Eh, Bang Hanan sama Bang Anton. Kok, di sini?"
Si Jodi dan temannya terlihat ketakutan.
"Kalo mau malak liat-liat, tolol!! Itu adikku kenapa kamu palak juga?!"
Si lelaki yang dipanggil Hanan menjitak Jodi, dan Anton malah menempelengnya dengan keras.
"Maaf, Bang. Saya nggak tahu kalo cewek ini adiknya Bang Hanan."
Jodi merengek minta maaf.
Aku yang saat itu mengintip dari tembok rumah penduduk tersenyum lega. Aku tahu aku terlihat seperti pengecut karena tidak menolong perempuan itu, dan bukannya aku tidak mau. Tapi aku terperangah melihat keberanian perempuan mungil itu melawan dua preman sangar penguasa gang ini.
"Lain kali jangan malak perempuan! Bodoh kamu, ya!! Awas kalo ketauan malak lagi! Bukan cuma aku yang ngabisin kamu sama Dodo. Bang Anton juga bakal turun tangan!!"
Lelaki bernama Hanan itu kelihatan tidak main-main. Memang dia juga kekar sih badannya, tapi sinar matanya lembut. Apalagi ketika dia menatap adiknya.
Aku masih betah mengintip kejadian itu. Penasaran ingin melihat wajah adiknya si Hanan. Belum melihat wajahnya saja aku sudah merasa sesuatu yang tak biasa di dalam hatiku. Campuran antara deg-degan dan desiran halus aneh seperti mendominasi tubuhku.
Aneh! Aku bukan tipe cowok yang gampang kagum sama perempuan.
"Ayo, Bil. Kak Hanan anterin kamu pulang."
"Bila bisa kok, pulang sendiri."
Suara perempuan itu khas, agak berat dan nadanya tegas. Tidak menye-menye khas anak SMA.
"Eh, nurut aja apa susahnya sih, Bil? Lagian kamu nyaris dipalak preman juga."
"Bila nggak takut sama preman itu, Kak. Bila cuma takut dompet ini diambil sama mereka. Lagian Bila bisa kok ngelawan preman-preman itu. Jodi itu cuma badannya aja besar. Kalo kena tendang torpedonya, paling dia juga nangis!"
Aku melihat si Bila nyengir lucu.
"Halah, kamu ini. Lagian itu dompet kenapa nggak dikasiin aja, sih? Nanti Kak Hanan kasih kalo cuma duit."
"Kak, ini bukan duit Bila. Ini duit kas kelas. Kalo duit Bila sih, udah Bila kasihin aja dari tadi."
"Oh, gitu. Ya udahlah. Ayo, cepetan pulang. Nanti dicariin Mamamu lagi!"
"Iya, ini juga Bila mau pulang."
"Besok-besok nggak usah lewat sini, ngerti?!"
"Nggak janji ya, Kak!"
Bila menjulurkan lidahnya dengan usil dan si Hanan ini cuma tersenyum.
Aku semakin penasaran. Kalau Bila ini adiknya Hanan, terus kenapa Hanan memandangnya dengan tatapan penuh cinta begitu? Seperti tatapan lelaki pada perempuan, bukan tatapan kakak pada adiknya.
Aku tak terlalu memedulikan hal itu. Yang penting aku sudah tahu wajah Bila. Ternyata dia manis. Hidungnya yang kecil itu mancung dan bibirnya sedikit tebal di bagian bawah. Matanya bulat dan bersinar tegas.
Perempuan yang menarik!!
Sejak saat itu aku jatuh cinta dan berusaha mati-matian mendekatinya. Sampai hari ini dia menjadi istriku. Perempuan yang menyanggaku di saat aku lemah. Dia selalu lebih kuat dari aku, mendukungku sepenuhnya ketika aku terpuruk dan tak punya muka sebagai suami.
Tapi, setahun belakangan ini aku terpaksa harus membohonginya. Aku berselingkuh!! Ya, aku mengakui itu. Aku tak bisa mengingkari rasa cintaku pada Amara. Seorang perempuan muda dan semungil Salsabila, istriku. Bedanya, Amara kelihatan sangat rapuh dan manja. Dia terlihat sangat membutuhkan aku dan membuat aku merasa 'berguna' sebagai laki-laki. Sedangkan Salsa, dia begitu kuat dan mandiri. Penuh dengan energi dan keriangan seperti musim semi.
Aku tidak pernah ingin berselingkuh. Sungguh! Aku hanya ingin merasa menjadi laki-laki pada umumnya yang lebih kuat dari istrinya. Apa aku salah? Ataukah ini hanya pembenaranku saja untuk menghalalkan perselingkuhanku?!
Entahlah.
Yang jelas aku tidak ingin kehilangan Salsa. Demikan juga Amara.
Bab 4. Terbelenggu Rindu!
Entah sudah berapa lama waktu berjalan sejak pengakuan Adit. Salsa bahkan tidak punya energi untuk menghitung hari-harinya yang berubah menjadi kelabu. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bekerja. Mengajar, melakukan penelitian, dan menulis artikel. Semua itu untuk mendistraksi pikiran dan hatinya yang terluka.
Salsa tahu dia harus melakukan sesuatu, bertahan, melawan, berjuang untuk menyelamatkan rumah tangganya. Tapi otaknya seperti membeku. Dia belum tahu apa yang akan dilakukannya. Salsa yang biasanya sangat mahir mengatur strategi supaya tim yang dipimpinnya sukses menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan di kampus. Dia pun lihai bernegosiasi dalam rapat pimpinan yang dihadirinya. Tapi kali ini, dia kehilangan semua keterampilannya.
Apakah dia harus bercerai? Tidak!! Dia bertekad tak akan memilih jalan itu.
Sementara Adit semakin sering tidak pulang. Rumahnya sekarang terasa sepi, sekarat seperti dirinya. Rumah itu mereka namakan 'Rumah Hujan' karena dia dan Adit berharap bangunan mungil dua lantai itu dihujani dengan cinta dan kasih sayang.
Tapi semua itu tinggal kenangan. Hanya karena kehadiran Amara. Seorang gadis yang kelihatannya polos, tetapi berhasil meruntuhkan banyak hal dalam hidup Salsa.
Salsa terbangun ketika hari masih setengah terpejam. Jam weker digital menunjukkan angka 3. Dia tahu ini akhir pekan, dan mendengar suara berisik di luar kamar, Salsa yakin Adit sudah pulang.
Salsa heran kenapa sepagi ini Adit sudah sibuk, apalagi ini bukan hari kerja. Dia menunggu satu jam sebelum akhirnya memutuskan keluar dari kamarnya.
"Sals? Kamu sudah bangun?"
Salsa melihat Adit duduk di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Secangkir kopi yang terlihat mengepulkan asap terhidang di depannya.
Salsa tidak menjawab pertanyaan suaminya. Dia mengambil gelas dan mengisinya dengan air hangat dari dispenser. Duduk di atas kursi kayu di meja bar, dia membiarkan kesunyian menyelimuti mereka.
"Sals, kopiku kok rasanya aneh gini, ya?"
Salsa masih diam.
"Nggak seenak kopi buatanmu." Adit menyodorkan cangkir kopinya, berdiri dengan wajah mengantuk di depan Salsa.
"Gulanya kebanyakan," ujar Salsa dingin.
"Oh, aku ... kangen kopi buatanmu," bisik Adit dengan ragu.
Salsa melengos. Dia bukannya marah mendengar kata-kata Adit. Tapi mendadak air mata merebak, teringat bayangan manis ketika dia menyeduh secangkir kopi untuk Adit. Kemudian mereka akan duduk berdekatan, meminum kopi yang sedikit pahit itu bergantian. Adit akan meminum tepat di bekas bibirnya dan berkata bahwa dia suka lip balm Salsa yang beraroma raspberry. Segar dan riang.
Lalu Salsa akan menyenggol bahu suaminya perlahan dengan pipi merona. Apakah keriangan itu akan terulang lagi?! Salsa tersenyum kecut.
Dia tak tahu apa yang menggerakkan dirinya yang mengambil cangkir kopi Adit, membuang isinya, dan tak lama kemudian secangkir kopi yang baru diletakkannya di tangan Adit. Sedangkan suaminya itu terpaku. Seakan menikmati setiap pergerakan istrinya, dengan tatapan penuh kerinduan.
***
Semburat jingga terlihat selintas. Dengan ragu Aditya membuka pintu mobilnya. Setelan jas lengkap dengan dasi dan sebuah peci hitam baru sudah dimasukkan ke dalam bagasi mobilnya. Lengkap dengan sebuah kotak perhiasan berbentuk heart.
Adit berhenti sesaat sebelum memasuki mobilnya. Perlahan dia kembali ke dalam rumah. Kemudian berhenti di depan pintu kamar Salsa. Menatapnya lama. Pagi tadi mereka tak banyak bicara, hanya saling menatap di bawah temaram lampu ruang makan. Adit tak tahan dengan kesunyian itu. Dia memulai percakapan. Ternyata semuanya berakhir buruk.
Flashback on
"Sals, nggak bisakah kita ngomongin ini baik-baik?"
"Baik-baik yang seperti apa?"
Salsa berdiri membelakangi Adit, dia sedang menyeduh secangkir kopi untuk dirinya.
"Aku ingin kita berdamai, Sals. Aku nggak nyaman dengan situasi kita sekarang."
"Situasi kita sekarang? Bukannya kamu yang membuat situasi ini, Mas?"
Adit meremas rambutnya, terlihat gusar.
"Sals, kamu tahu aku cinta banget sama kamu. Sampai kapan pun nggak akan berubah. Aku cuma berharap kamu bisa berdamai dengan Amar. Kita jalani kehidupan ini bertiga."
"Harapanmu itu nggak bisa terkabul, Mas!"
Salsa mengangkat cangkirnya. Dia melewati Adit tanpa menoleh. Dengan cepat melangkah menuju kamar tidurnya. Tapi Adit pun tak mau mengalah. Dia menghentikan langkah Salsa dengan menarik pergelangan tangannya. Hingga menumpahkan kopi itu ke lantai.
"Mas!! Apa lagi sih maumu?! Belum puas kamu berzina? Berkhianat? Sekarang kamu juga mau merampas ketenanganku?!"
"Sals, nggak bisakah kamu sedikit mengalah dan memahami aku?! Aku dalam posisi sulit. Amara hamil dan aku harus menikahinya. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu!"
"Itu masalahmu, Mas! Bukan masalahku!!"
"Tapi aku butuh kamu, Sals! Aku butuh Salsaku yang selalu mendukung aku apa pun masalah yang aku hadapi!"
"Aku punya solusi, Mas!"
"Oke, katakan apa itu?"
"Kita akan menanggung biaya hidup perempuan itu dan biaya persalinannya. Kemudian kita akan mengasuh bayinya ketika dia sudah lahir. Setelah itu, Amara boleh pergi kemanapun dia suka!! Toh, dia masih muda. Dia akan menemukan seseorang yang kelak akan menikahinya. Seseorang yang bukan suami perempuan lain seperti kamu!"
Salsa sudah tahu apa jawaban Adit. Sebenarnya dia sama sekali tidak berharap Adit menerima solusi itu. Dia hanya ingin menyindir Adit. Dia ingin Adit tahu betapa sakit hatinya dan betapa dalam lukanya. Itu saja!
"Sudah aku bilang aku nggak bisa! Amara nggak sekuat dan setangguh kamu. Dia bisa bunuh diri kalo aku ninggalin dia!"
Adit menatapnya dengan tatapan kalut.
"I knew it! Aku sudah tahu kalo ini semua hanya drama recehanmu saja. Kalo dia begitu berharga buat kamu ngapain kamu ngajak aku bicara?! Tanya sama dia, apa solusinya setelah dengan manjanya dia membuat kehidupan rumah tangga kita berantakan!! Apa, hah?!"
Salsa menatap Adit dengan tajam. Sesaat kemudian tanpa persetujuan Adit, dia melangkah ke kamarnya dan membanting pintunya sekuat tenaga!
Adit tak melakukan apa-apa. Hanya terdiam menatap Salsa yang meninggalkannya begitu saja. Sejenak dia dilingkupi sesal, bagaimana bisa dia membuat Salsa begitu terluka?
Flashback off
Adit tersadar dari lamunannya karena getaran gawai di kantong celananya. Sebaris pesan dari Amara, dan Adit berbalik ragu. Segera dia menghidupkan mobilnya dan meluncur di jalanan yang gelap.
Lagi-lagi pagi itu hujan turun dengan sendunya. Jalanan lengang membuat Aditya tak perlu repot dengan kemacetan di akhir pekan yang biasanya mengular.
Mobilnya melaju ke arah selatan. Melewati perkebunan tebu dan sebuah pabrik gula yang cukup besar. Kemudian dia berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil dengan area pemukiman yang padat. Sebuah gerbang perumahan yang catnya sudah pudar menyambut Aditya. Perlahan mobilnya memasuki gang itu. Lalu, Aditya menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah yang kelihatan seperti bangunan lama.
Terlihat kesibukan di rumah itu. Beberapa rangkaian bunga sederhana terlihat diletakkan di beberapa sudut, untuk menghilangkan kesan suram rumah itu. Ruang tamu sudah ditata sedemikian rupa dengan sebuah meja rendah di tengah ruangan yang sederhana dan usang.
Adit berdiri di ambang pintu. Hatinya dipenuhi ragu, sedangkan benaknya dipenuhi Salsa. Wajah istrinya yang tidak terlihat sedih, namun juga tidak tersenyum. Membuat Adit seakan ingin pergi dari rumah itu.
"Eh, Pak Aditya sudah datang. Mari, Pak. Silakan masuk."
Seorang lelaki yang kelihatannya berusia 60 tahun menyambut Aditya dengan hormat. Keinginan Adit untuk pergi pun menguap begitu saja.
"Mari, Pak Aditya. Silakan masuk ke kamar belakang. Kalo mau ganti baju."
Dari belakang lelaki itu, seorang perempuan dengan baju terusan sederhana muncul, ikut menyambut Aditya.
"Iya, terima kasih." Adit hanya tersenyum tipis dan mengikuti perempuan itu ke kamar yang ditunjukkannya. Kamar yang dimasukinya sempit dan pengap. Mebelnya juga sudah tua dan lapuk. Menebar bau apek kayu yang lembab dan berjamur.
Adit duduk di pinggir ranjang dengan sprei berwarna biru yang sudah pudar. Memejamkan mata dengan lelah dan bayangan wajah Salsa muncul lagi dengan anggunnya.
Salsa sang istri tercinta yang selalu tabah dan mendukungnya dalam keadaan apa pun. Salsa yang selalu menyambutnya dengan senyum merekah setiap kali dia datang dengan lelah dan stres. Salsa yang pandai menata rumah dan mengurus keperluannya. Salsa yang sangat tahu apa keinginannya dan keinginan Adit.
Sayangnya, Salsa tidak bisa melakukan satu hal untuknya. Memberinya seorang anak!
Tok tok tok
Pintu kamar itu diketuk perlahan.
Adit mengembuskan napasnya dengan kesal. Kesal pada dirinya yang terjebak dalam situasi rumit ini.
Sembari berjalan ke arah pintu, Adit berbisik lirih.
Maafkan aku, Sals. Aku mencintaimu. Tapi, aku juga merindukan seorang anak. Saat ini hanya Amara yang bisa memberiku anak, Sals. Seandainya saja kau yang mengandungnya, aku nggak akan berpaling pada Amara.
Pintu terbuka dan bayangan tentang Salsa menghilang begitu saja.
Pagi itu di bawah rintik gerimis, Adit menikahi Amara. Tidak ada petugas KUA karena pernikahan mereka hanya berlangsung secara agama.
Beberapa kerabat Amara dan juga tetangga terdekat ikut hadir menyaksikan. Tak ada pesta meriah, hanya akad nikah yang digelar sederhana sesuai permintaan Adit.
Adit tersadar dari angannya yang sedikit berkelana ketika tangan Amara menyentuh tangannya untuk dicium. Kemudian Amara menatap Adit, menunggu Adit mencium keningnya, seperti umumnya pasangan yang baru menikah. Tetapi Adit bergeming, matanya menatap kosong membuat Amara kesal dan siap merajuk.
Kerabat dan tetangga yang hadir saling berbisik atau menyikut melihat pemandangan itu. Amara sudah siap menangis manja seperti biasa. Dengan tak sabar ditepuknya lengan Adit sedikit keras.
"Mas, Mas Adit? Kok bengong, sih!"
Adit tersentak.
"Kok, Mas Adit nggak cium keningku?" Amara mencebik kesal.
Adit menatapnya dengan tatapan bersalah. Dia tahu, dia baru saja kehilangan fokusnya selama beberapa menit karena teringat seseorang.
"Eh, sekarang ya?" Adit bertanya dengan linglung.
"Enggak, tahun depan!" Amara menjawab dengan nada kesal. Tetapi lelaki itu malah tergelak lirih.
"Kamu lucu kalo lagi marah, Sals." Adit menyentuh pipi Amara dan mencubitnya perlahan seperti yang biasa dilakukannya pada Salsa. Mengabaikan ekspresi Amara yang langsung berubah dan wajahnya yang menjadi pucat.
Amara langsung terdiam mendengar Adit salah menyebut namanya. Wajahnya yang tadinya manis berubah kesal. Semua orang di ruangan itu menatap Adit dengan tatapan heran dan penuh ingin tahu. Siapa 'Sals' yang baru saja disebut Adit?
Tentu saja hanya Adit dan Amara yang tahu jawabannya!
Bab 5. Selamat!
Salsa berdiri di depan jendela persegi yang menghadap ke taman kecil di halaman rumahnya. Jendela itu dilapisi stiker buram yang membuat orang dari luar tak bisa melihat ke bagian dalam rumah dengan jelas. Gerimis masih turun perlahan, meninggalkan kabut tipis yang membuat kesan suram semakin mencekik. Kilasan kejadian pagi itu melewati benaknya.
Dia tahu betul Aditya bersiap pergi di pagi buta. Setelan jas berwarna hitam dengan dasi bergaris abu-abu dimasukkan ke dalam tempat jas beritsleting. Sebuah peci berwarna hitam juga ikut dibawa. Kemudian Adit memasukkan sebuah kotak perhiasan berwarna merah berbentuk hati ke dalam mobilnya. Salsa tidak bodoh untuk memahami apa yang akan dilakukan Adit dengan benda-benda itu.
Sudah pasti Adit akan menikahi perempuan itu hari ini.
Salsa meletakkan tangannya di dadanya, meremas bajunya. Mencoba menahan perih perasaannya melihat semua itu. Dia tahu dini hari tadi Adit berdiri di depan kamar tamu yang sekarang di tempatinya. Entah apa yang berkecamuk di dalam pikiran lelaki yang sudah menjadi suaminya selama 5 tahun itu. Apakah Adit mengkhawatirkan dirinya? Atau Adit ingin mengatakan selamat tinggal? Salsa menggigit bibirnya. Tak ada tangis karena dia pun sudah terlalu lelah untuk menangisi kegagalannya.
Kenapa rasanya sakit untuk mengakui bahwa dia gagal? Satu sisi hatinya menolak untuk menyatakan bahwa dia gagal. Tidak! Salsa belum gagal. Dia masih bisa mempertahankan pernikahannya. Ini hanya masalah menentukan pilihan saja. Dengan langkah terseok, Salsa melangkah. Jika dia harus kalah, paling tidak dia kalah dengan terhormat.
Salsa membuka lemarinya. Dia mengeluarkan beberapa dokumen dan memindahkannya ke dalam sebuah tas berwarna hitam. Tas itu disimpannya di dalam kamar tamu yang sekarang di tempatinya. Dia juga sudah menimbang ruangan mana yang akan diklaimnya. Dia tidak akan membiarkan ini menjadi mudah untuk Adit atau Amara. Salsa terus bergerak ditemani hatinya yang patah. Sesekali dia berhenti, mengatur napasnya yang memburu. Sampai akhirnya dia selesai dan jatuh terduduk, dengan setetes air mata mengalir lamban di pipinya.
Perempuan itu harus tahu bahwa Salsa tak semudah itu dikalahkan!
***
Syukuran akad nikah Adit dan Amara baru saja usai. Rumah itu kembali lengang seperti awal. Di luar hujan masih setia menyelimuti Malang. Adit bersandar di kepala ranjang sembari melipat kedua tangannya di belakang kepala. Rambut ikalnya terlihat berantakan dan wajahnya terlihat mengantuk. Pria berkulit sawo matang itu memejamkan mata mencoba memanggil kembali bayangan Salsa. Namun suara Amara membuyarkan lamunannya.
"Mas, kok bisa sih, tadi salah sebut nama? Aku kan, jadi malu sama orang-orang."
Amara duduk membelakangi Adit yang sekarang sudah menjadi suaminya. Mereka sedang beristirahat di kamar Amara setelah acara akad nikah itu usai. Bibir Amara cemberut, menggambarkan suasana hatinya yang buruk gara-gara insiden salah sebut nama tadi.
"Sorry, Sayang. Aku tadi lagi nggak fokus. Aku dan Salsa habis bertengkar semalam. Nggak tau kenapa aku ngerasa nggak bisa melepaskan bayangan wajahnya sejak semalam."
"Bilang aja kamu kangen sama Salsa! Kalo gitu ngapain kamu ke sini, Mas?"
"Ngambek, ya?" Adit tersenyum mencolek pipi Amara yang menggembung lucu.
"Jangan pegang-pegang aku, ah! Sana pergi!"
"Ara, Sayang. Nggak usah ngambek gitu, dong. Aku ke sini kan, untuk menepati janjiku. Aku nikah sama kamu. Kamu nggak bisa cemburu sama Salsa. Aku kan, udah bilang berkali-kali kalo ...."
"Salsa cinta pertama dan sejatimu, iya kan?! Aku sudah tahu itu. Nggak usah kamu ulang-ulang terus. Bosen tau nggak?!"
Adit diam. Dia membiarkan Amara dengan kemarahannya. Entahlah dia sedang lelah harus merayu dan membujuk seperti biasanya. Jadi dia meninggalkan Amara, melangkah keluar dari kamar yang pengap itu. Sekarang Adit berdiri dan menatap keluar dari jendela samping rumah Amara yang sebagian sudah dimakan rayap itu. Menghembuskan napas dengan lelah. Dia membatin bertanya, sedang apa Salsa sekarang? Apakah Salsa tahu bahwa suaminya sudah menikah lagi?
Adit menundukkan kepalanya menatap ubin berwarna kelabu itu. Penyesalan yang semakin membesar memenuhi hatinya yang kini sesak. Dia sungguh merindukan Salsa. Tapi dia tidak bisa mundur lagi dan meralat semua kesalahannya, walaupun dia begitu ingin melakukannya.
***
Malam itu sunyi, hanya derik hujan yang menimpa atap rumah memainkan harmoni pilu. Samar-samar suara burung hantu dari rimbun pepohonan jati tak jauh dari rumah Salsa ikut menyanyikan lagu sendu. Salsa tak dapat memejamkan matanya seharian ini, memikirkan Adit sedang mengucap ijab kabul untuk perempuan itu. Satu janji lagi diucapkan disaksikan malaikat, dan janji itu pernah diucapkan Adit untuk Salsa di hadapan seluruh keluarganya.
Salsa menegakkan tubuhnya ketika didengarnya deru mobil Adit memasuki garasi. Dia ingin keluar, menemui Adit. Entah untuk apa. Salsa hanya ingin menatap kedua mata suaminya dan meyakinkan dirinya bahwa memang Adit telah menikah hari ini. Sejenak dia ragu, apakah dia sanggup menghadapi lelaki yang dicintainya itu?
Akhirnya ... Salsa melangkah ragu, keluar dari kamarnya. Memberanikan diri menghadapi Adit. Dia tidak memikirkan akan mengatakan apa, itu tidak penting. Dia hanya perlu menatap Adit tepat di kedua matanya dan Salsa akan tahu kebenarannya. Sehingga benaknya tak perlu lagi dipenuhi tanya dan mungkin dia akan bisa tertidur malam ini.
"Sals? Kok belum tidur?" Adit baru saja memasuki ruang televisi dan menemukan Salsa duduk dengan tenang. Bahkan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap terlihat di meja di depannya.
Acara televisi menayangkan serial detektif Magnum P.I kesukaan istrinya itu. Seorang perempuan rekan Magnum, Higgins mantan agen rahasia inggris yang cerdas adalah tokoh favorit Salsa. Sekarang istrinya itu sedang menatap Juliet Higgins dengan mata tak berkedip.
"Belum. Nggak bisa tidur." Salsa menjawab tanpa menatap Adit.
Adit mendekati tempat Salsa duduk. Laki-laki itu kemudian duduk di meja dan meraih kopi, menyesapnya tepat di bekas bibir Salsa.
"Ini liptint yang sama, kan?"
Salsa hanya melirik Adit dan kembali menonton filmya.
"Masih wangi, seperti wangi bibirmu biasanya, Sals."
"Apa maumu, Mas?"
Salsa menarik cangkir kopinya dengan kasar. Membiarkan beberapa titik kopi tumpah di tangannya. Adit diam membiarkan pertanyaan Salsa tidak terjawab. Dia hanya memandangi istrinya itu dengan tatapan penuh kerinduan.
"Aku hanya ingin memandangmu, nggak boleh?"
"Ini bukan waktunya gombal. Ngegombal sana sama Amara." Salsa bergeming, malah menyesap kopinya setelah menghapus bekas bibir Adit dengan tangannya.
"Minggir, aku mau nonton film." Salsa memberi isyarat dengan tangannya karena sekarang Adit menghalangi pandangannya.
"Sals, seharian ini ... aku ... merindukanmu."
Salsa mengerutkan kening, menatap Adit dengan heran. Dia tidak mau tertipu dengan kalimat rayuan Adit. Tapi melihat ekspresi Adit yang serius, sepertinya itu bukan rayuan.
"Sekarang kenapa sulit sekali bikin kamu percaya sama aku, Sals?" sambung Adit dengan lirih.
"Itu pertanyaan yang bisa kamu jawab sendiri kan, Mas?"
Adit menatapnya dengan pandangan mata yang entah apa maknanya. Salsa pun membalas tatapan itu. Hanya dalam sepersekian detik, Salsa sudah tahu bahwa dugaannya tentang apa yang terjadi hari ini memang benar. Adit sudah menikahi Amara.
Salsa meraih remote dan mematikan televisi. Dia sudah kehilangan mood untuk menonton. Kalimat Adit tentang kerinduan entah kenapa membuatnya pilu. Karena dia pun merindukan Adit, Aditnya yang dulu. Namun kerinduannya kalah dengan sesak yang perlahan merambati hatinya dan melingkupi seluruh tubuhnya. Sesak karena suaminya hari ini bukan hanya suaminya, tetapi juga suami Amara. Salsa berdiri dan hendak melangkah meninggalkan Adit yang masih menatapnya.
"Selamat, Mas."
Adit terperangah menatap Salsa.
"Selamat atas pernikahanmu!"
Dengan hati hancur Salsa meninggalkan Adit yang menatapnya sampai dia menghilang di balik pintu kamarnya.
Bab 6. Perkenalan
Ketika pintu kamar sudah tertutup sempurna. Salsa bersandar dengan lelah. Mendadak dua kakinya kehilangan tenaga, dia jatuh terduduk dan tersedu. Air mata yang sejak tadi ditahannya sekarang berlarian di wajahnya yang putih. Dia hancur!!
Dengan tangannya yang dingin Salsa menutup mulutnya, menahan agar suara tangisnya tak didengar Adit. Dia tidak mau Adit tahu kelemahannya. Dia akan membiarkan Adit berpikir bahwa dia kuat dan tak menangis menghadapi semua ini. Cukup dia sendiri yang tahu betapa sekarang hatinya sudah tak berbentuk lagi.
Salsa tergugu sendiri, tak ada pelukan hangat yang menenangkannya. Tak ada yang membelanya. Dia akan berdiri sendiri melawan semuanya.
Entah berapa lama sudah Salsa tenggelam dalam tangisnya. Yang jelas malam semakin menua dengan sepotong bulan yang bersinar pucat dari balik jendelanya. Tak ada bintang yang menceriakan langit malam itu. Semuanya seakan ikut berkonspirasi memberi warna suram pada Salsa.
Salsa tak tahu bahwa sejak dia masuk dan menutup pintu kamarnya Adit berada di balik pintu itu. Bersandar dengan lelah, bersimpuh dengan posisi sama persis dengan Salsa. Dengan air mata yang juga tiba-tiba jatuh dari matanya.
Dengan jelas dia mendengar tangisan Salsa dari balik pintu ini. Tangisan yang disebabkan oleh kesalahan fatalnya. Betapa dia menyesal telah berkhianat kepada Salsa. Tapi sekarang tak ada lagi yang bisa dilakukan Adit untuk membuat hati Salsa kembali utuh. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk membuat pernikahannya kembali seperti semula.
Dia terlalu menginginkan anak yang sekarang dikandung Amara. Walaupun Salsa yang pada akhirnya menjadi korban dari semuanya!
***
Waktu berjalan lagi, memberikan Salsa waktu untuk menata hati dan pikirannya. Dia tidak memberikan dirinya kesempatan untuk melamun atau bersedih. Tidak! Dia harus tetap berdiri tegak dan waras. Memerintahkan logikanya untuk melawan dan berpikir. Sejenak dia harus menyingkirkan perasaannya jauh-jauh. Tak ada waktu untuk menjadi melankolis.
“Jadi gimana keputusanmu, Sals?” tanya Ifa sembari menatap Salsa yang sedang sibuk menambahkan gula ke dalam Americano panasnya.
Salsa tak menjawab, malah menghirup kopi hitam itu perlahan. Membiarkan kopi membasuh tenggorokannya yang perih.
“Salsa? Jangan diem aja, dong! Aku dianggurin, nih?” Ifa mencebik pura-pura kesal.
“Keputusan apa, Fa?”
“Kamu ... mau ... menceraikan Ad-”
“Enggak!” potong Salsa dengan cepat.
Ifa hanya terperangah. “Terus? Kamu mau dipoligami gitu?” tanyanya kemudian.
“Mas Adit yang akan menceraikan perempuan itu.” Suara Salsa terdengar tak yakin.
“Aku ... akan bertahan, Fa. Aku nggak mau bercerai!”
Kedua perempuan sebaya itu hanya diam, merasakan senja yang mulai turun. Kopi yang tadinya panas sudah menjadi dingin. Seperti dinginnya hati Salsa.
***
“Mbak Salsa, besok malem ke rumah, kan?”
Hari ini Adiba, adik Aditya, tiba-tiba muncul di kantor Salsa. Gadis berkulit putih itu begitu mirip dengan Aditya. Hanya saja kulit Adit sedikit lebih gelap, dan ekspresi laki-laki itu lebih serius.
Salsa tersadar dan sedikit mengeluh dalam hati karena dia masih sering teringat Adit. Apalagi sudah 2 hari Aditya tidak pulang ke ‘Rumah Hujan’. Sejak malam dia mengetahui Adit menikah lagi, frekuensi kepulangan lelaki itu bisa dihitung dengan jari. Tentu saja Amara yang sedang hamil lebih membutuhkan Adit, daripada dirinya yang ... tidak hamil. Salsa memijit pelipisnya yang berdenyut.
“Mbak Salsa? Kok, nggak dijawab pertanyaanku?”
Salsa tersentak karena Adiba menyentuh lengannya.
“Eh ... apa Diba? Sorry, aku lagi nggak fokus. Biasalah banyak kerjaan,” ucap Salsa dengan lesu.
“Bentar ... bentar ... wajah Mbak kok sedih gitu, sih? Mbak lagi ada masalah?” Adiba meneliti wajah Salsa dengan penuh tanya, membuat Salsa semakin gugup.
“Nggak ada, Diba. Biasalah lagi banyak kerjaan. Kampus mau akreditasi. Tau kan, ribetnya gimana?” jawab Salsa.
“Mbak, beneran ya, bukan masalah dengan Mas Adit?”
Deg
Jantung Salsa berdegup. Dia takut Adiba mengetahui tingkah Adit. Apa yang akan dikatakan keluarga mertuanya jika mereka tahu Adit menikah lagi? Apakah mereka akan mendukung? Apalagi jika mereka tahu Amara hamil.
“Enggak lah, Dib. Kami ... baik-baik saja, kok.” Kalimat itu mengapa terasa begitu hambar untuk diucapkan. Karena faktanya pernikahannya dengan Adit tidak baik-baik saja.
“Ya sudah kalo gitu. Besok malam Mbak Salsa ke rumah, ya? Mama nanyain Mbak Salsa terus beberapa hari ini. Soalnya, Mbak lama loh nggak maen. Mama kangen kayanya, Mbak.” Adiba tersenyum kepada Salsa.
Salsa membalas senyuman itu dengan kecut. Dia tahu Mama Ainun, mamanya Aditya, sangat menyayangi Salsa. Mama mertuanya juga seorang dosen, dan seringkali mereka berdua terlibat percakapan akrab tentang kegiatan mereka. Keduanya pun menekuni bidang ilmu yang sama.
“Mama apa kabar, Dib?”
“Baik, Mbak. Beliau sehat dan lagi ngerjain penelitian hibahnya. Makanya itu pengen diskusi sama Mbak katanya.”
“Oh, syukurlah kalo beliau sehat.”
“Mama ... sebenernya lagi kepikiran Mas Adit, Mbak.”
Salsa yang tadinya menunduk menatap cangkir kopinya, spontan mendongak.
“Kenapa, Dib?”
“Nggak tau juga sih, Mbak. Kata Mama, beliau beberapa kali mimpi buruk soal Mas Adit. Makanya itu jadi kepikiran.”
Mendengar itu Salsa rasanya ingin menangis dan mencurhatkan semua bebannya pada Adiba. Tetapi melihat wajah Adiba lagi-lagi Salsa tak tega. Dia tidak ingin aib suaminya dibuka di depan adik kandungnya. Biarlah Salsa menyelesaikan semua masalah ini sendiri dan orang lain tak perlu tahu risau hatinya.
Salsa mengangkat cangkir kopinya, menghirupnya sedikit. Pikirannya menerawang sebentar, merancang apa yang akan dikatakannya pada sang mama mertua jika besok mereka bertemu. Dia harus menutupi semua masalahnya sebisa mungkin. Biarlah dia sendiri yang menikmati penghianatan Adit. Orang lain tak perlu tahu.
Percakapan dengan Adiba mengalir lagi, memberi Salsa jeda untuk melupakan kesemrawutan pernikahannya dengan Aditya.
Senja pun perlahan menjemput hari, menyisakan satu hari esok lagi untuk dijalani Salsa.
***
Malam itu Salsa sudah duduk menemani ibu mertuanya. Secangkir jahe gula merah menemani mereka berbincang. Sesekali terdengar tawa di tengah percakapan itu. Memang Mama Ainun terlihat bahagia sekali dengan kedatangan Salsa. Adiba pun ikut bergabung dalam obrolan mereka. Tiga perempuan beda generasi itu terlihat akrab.
Di bagian lain ruang itu, Hadi, ayah Aditya, terlihat duduk sendiri agak terpisah dari istri, anak, dan menantunya. Lelaki berusia 60 tahun itu sesekali menikmati kopi tubruknya sembari melihat jam besar yang diletakkan di sudut ruangan keluarga.
“Assalamualaikum ….”
Suara yang sangat dikenal Salsa tiba-tiba menyapa dan Salsa langsung menoleh. Hatinya lagi-lagi serasa diremas, melihat Adit menggandeng Amara. Mereka muncul di ruang keluarga dengan wajah tak berdosa. Salsa semakin heran karena ayah Adit menyambut mereka dengan senyum lebar.
“Waalaikumsalam …. Dit, gimana kabarmu? Ayo, sini duduk. Amara juga. Silakan duduk, Nak,” kata Ayah sembari menunjuk ke kursi empuk di sampingnya.
Ainun berdiri perlahan, keningnya berkerut.
“Dit, kamu ... sama siapa?” tanya Ainun.
Salsa hanya diam dan menundukkan kepalanya. Adiba yang juga bertanya-tanya melihat semua ini dengan bingung. Dia menatap Salsa yang tak bereaksi.
Adit berdehem, sementara Amara sudah duduk dengan nyaman dan dengan ekspresif mengelus perutnya.
“Begini Ma, em ... ini Amara. Aku sudah mengenalkan dia sama Ayah.” Adit melihat ke arah ayahnya.
“Maksud kamu?” Ainun terperangah, mengangkat satu jarinya ke arah Amara yang tersenyum malu.
“Iya, Ma. Amara istriku,” kata Adit dengan sedikit ragu.
Ruangan itu mendadak senyap. Adit baru saja memberi kejutan yang sempurna untuk Ibu dan adiknya.
“Salsa? Apa maksud semua ini? Jelaskan sama Mama!” Ainun menatap Salsa yang tak bersuara dan bergerak gelisah.
“Salsa?! Kenapa kamu nggak jawab Mama, Nak? Apa kamu menyetujui semua ini? Ayo bicara Salsa!”
Ainun syok dan dengan frustasi mengguncang Salsa yang masih diam.
Adit menghampiri Ainun yang sudah berderai air mata. Dia ingin ibunya menerima Amara, sama seperti menerima Salsa walaupun itu kelihatan mustahil.
“Ma, ini semua keputusanku. Aku dan Amara sudah sah dan Amara juga hamil. Anakku, Ma. Cucu Mama dan Ayah.”
PLAK ...!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Adit. Tamparan dari seorang ibu yang tak pernah sedikit pun menyakitinya. Hari ini Ainun tak dapat menahan diri. Dia begitu malu dan kecewa dengan kelakuan putra satu-satunya.
Semua di ruangan itu tertegun. Sedangkan Adit terkesiap sambil menyentuh pipinya yang memerah. Bukan pipinya yang sakit, tapi hatinya. Adit sangat menyadari kekecewaan Ainun.
“Nun, Adit sudah bicara sama aku. Aku pikir ini wajar! Adit menikah karena ingin punya anak. Sedangkan Salsa sampai hari ini tidak bisa memberikan anak. Jadi, jangan terlalu dipermasalahkan, Nun.”
Salsa menatap Hadi dengan tajam. Dia tak menduga Hadi akan mendukung Adit dan menyudutkan dirinya.
“Mas, kamu bicara apa, sih?! Adit melakukan kesalahan dan kamu bela dia?! Kamu pikir Salsa ini boneka?! Dia seorang istri yang punya perasaan!”
Ainun berteriak, membantah suaminya dengan tegas. Perempuan itu memang dari awal terlalu menyayangi Salsa, dan dia pun tahu perjuangan Salsa untuk memiliki anak tanpa Adit mendampinginya.
“Sudah cukup!! Ini hidup aku, Ma! Aku ke sini juga nggak minta persetujuan Mama. Aku cuma ingin Mama tau kalo Amara juga istriku. Lalu mulai malam ini, aku akan bawa Amara pulang ke rumahku dengan Salsa. Itu keputusan bukan permohonan!”
Adit menarik tangan Amara dan mengajaknya pergi dari rumah itu. Meninggalkan kekacauan yang sudah dibuatnya.
***
“Sa, maafkan Mama,” bisik Ainun. Mereka bertiga berbicara di ruang baca. Meninggalkan Hadi begitu saja.
“Mama nggak salah. Ini semua karena Salsa nggak bisa ngasih Mas Adit anak, Ma.”
“Enggak!! Ini bukan salah kamu. Adit juga ikut bersalah, Sa.” Ainun mulai berkaca-kaca. Entah mengapa dia tak rela Adit menyakiti menantu yang disayanginya ini.
“Mbak Salsa, kenapa Mbak Salsa mengijinkan Mas Adit menikah lagi?!” Akhirnya Adiba berani bersuara.
Salsa menghenyakkan tubuhnya yang lemas ke sofa berwarna biru. Dia mengatur napasnya dan mulai bercerita bagaimana Amara datang menemuinya dengan selembar hasil USG. Bagaimana selembar foto tak berwarna itu sanggup menghancurkan semua impian pernikahan yang dirajut Adit dan Salsa.
Ketika kisah itu selesai, tak ada kata yang diucapkan Ainun. Perempuan 50 tahun itu mendekap Salsa dengan erat dan mereka berdua pun menangis menumpahkan rasa perih yang menghuni sejak tadi. Adiba pun hanya memperhatikan, ikut menangis tak bersuara.
Malam itu udara terasa menyesakkan, tak seperti udara Malang yang biasanya penuh kesejukan.
Bab 7. Satu Atap
Jam 22.20
Salsa melirik jam di radio mobilnya, malam semakin larut dan dia baru saja keluar dari kompleks perumahan tempat tinggal Adit. Mama mertuanya meminta Salsa menginap karena tak ingin dia bersedih. Apalagi malam ini untuk pertama kalinya Salsa akan seatap dengan Amara. Tapi Salsa menolak permintaan Ainun, dia akan menghadapi kenyataan pahit bahwa mulai malam ini ada pihak ketiga di dalam rumahnya.
Jalanan masih ramai, penjual makanan di depan Taman Krida Budaya masih dipadati pembeli. Sebuah gerobak penjual angsle dan ronde menggoda Salsa untuk berhenti. Malam yang dingin rasanya akan menghangat dengan semangkuk kuah santan, dihiasi sagu mutiara, ketan putih, petulo, dan roti tawar. Salsa memutuskan berhenti sejenak, mempersiapkan dirinya untuk ‘pertarungan’ yang sebentar lagi akan bermula.
Dengan lincah dia memarkir mobilnya dan melangkah keluar. Langkahnya cepat ketika mendekati si penjual angsle, mengucapkan pesanannya, dan duduk bersila di atas trotoar yang di alasi tikar tipis. Salsa tidak menghiraukan tatapan beberapa pasang mata padanya. Memang seharusnya seorang perempuan tidak berkeliaran selarut ini. Tapi itu bukan hal yang harus dipikirkannya sekarang.
Sembari menikmati angslenya, pikiran Salsa mengembara. Dia sudah melakukan beberapa hal karena tahu cepat atau lambat Adit akan membawa Amara ke rumah mereka. Dia sudah memprediksi apa saja tingkah Amara. Salsa tidak bodoh, dia sudah menyelidiki siapa selingkuhan suaminya. Gadis yang terlihat manis dan lugu itu tidaklah senaif penampilannya.
“Berapa, Mas?” tanya Salsa setelah menghabiskan angsle.
“Sepuluh ribu, Mbak.” Si Mas menjawab sopan.
Dengan tergesa Salsa memberikan uang berwarna ungu dan segera berlalu lagi. Mengendarai mobil berlambang bola dunia itu lebih kencang. Memang dia sudah menyiapkan diri untuk malam ini, tapi tetap saja rasanya perih.
***
Rumah Hujan sudah sepi dan gelap. Kamar yang dulunya adalah kamar Adit dan Salsa sudah tertutup rapat. Samar-samar suara gemerisik gerimis mulai terdengar. Salsa menapakkan kakinya dengan berisik, mengedarkan pandangannya ke ruang keluarga. Bekas cangkir dan piring kotor tergeletak sembarangan di atas meja. Sambil berdecak kesal Salsa mengacuhkan itu. Dia tak pernah membiarkan cangkir atau piring kotor berserakan. Salsa dan Adit sangat suka kebersihan dan kerapian. Keduanya tak bisa bekerja dalam kesemrawutan.
“Dari mana aja kamu?”
Salsa hampir saja menabrak Adit yang tiba-tiba menghadangnya. Membuat perempuan langsing itu berjengit kaget.
“Bukan urusanmu, Mas,” balas Salsa. Matanya bergerak malas dengan tangan di depan dada. Bahasa tubuh penolakan khas Salsa.
“Masih urusanku karena kamu istriku.” Adit menjawab datar. Tatapan menghujam pada istrinya yang kini tersenyum miring.
“Aneh, kamu masih inget kalo aku istrimu. Kemaren-kemaren kemana aja kok kamu bisa lupa, trus nidurin perempuan lain sampe hamil.”
“Jangan mulai, Sals. Aku sudah cukup menderita dengan semua ini,” suara Adit terdengar memelas.
Salsa memutar lehernya dan menatap Adit tajam.
“Apa?! Menderita?! Siapa? Kamu? My God!! Di bagian mana deritamu itu, Mas?! Coba tunjukkan?!”
Salsa meletakkan kedua tangannya di dada. Melipatnya dengan ketat. Menatap Adit tajam dengan ekspresi muak. Dia tak percaya Adit mengatakan dirinya sendiri menderita. Lalu apa yang dia lakukan pada Salsa tidak membuat luka?
“Sals, aku tau aku melakukan kesalahan dan aku nggak bisa mundur. Aku harus tanggung jawab karena aku laki-laki. Aku terpaksa, Sals. Aku sangat ngerti aku udah melukai kamu dan itu membuat aku menderita.” Adit terlihat frustasi.
Salsa tahu suaminya memang orang yang sangat pandai menyembunyikan perasaan. Tidak seperti Salsa yang tak bisa berpura-pura. Dia mengerti Adit tersiksa dengan keadaan ini, ketidakteraturan yang sekarang sedang terjadi sangat tidak cocok dengan karakter Adit.
Tapi bukankah ini pilihannya?!
“Ah sudahlah, Mas. Penderitaanmu itu terlalu berat untuk diceritakan. Minggir, aku mau tidur!”
Salsa menabrak bahu Adit dengan keras sehingga lelaki itu menggeser tubuhnya.
“Oh iya, bilang sama Amara kita ini bukan orang jorok. Suruh dia bereskan cangkir dan piring bekasnya. Selain itu, mulai besok dia tidak boleh menyentuh barang-barangku!”Salsa mengucapkan itu tanpa menatap Adit, hanya menoleh sedikit kemudian melangkah lagi dan membanting pintu kamarnya.
Lagi-lagi malam yang sesak. Tapi pasti akan berlalu, batin Salsa.
***
Salsa sudah bangun sejak jam 4 pagi. Dia duduk di kursi kayu tinggi meletakkan laptopnya di atas meja bar. Ada pekerjaan yang harus diselesaikannya sebelum berangkat ke kampus. Sesekali dihirupnya kopi pahit di tangan kanannya. Tangan kirinya menekan keyboard laptop dan sesekali menggerakkan tetikus nirkabel berwarna putih.
“Bisa bikinkan aku kopi?”
Adit muncul di hadapannya, dengan satu tangan di saku celana pendeknya. Salsa mendongak sedikit, menatap Adit dari balik kacamata anti radiasinya.
“Suruh Amara. Bilang sama dia, jangan manja jadi perempuan. Kalo dia datang ke sini dan berharap jadi permaisuri, itu mimpi yang sangat menggelikan. Karena faktanya dia hanya gundik.”
Salsa mengucapkan itu dengan tenang dan sambil terus menatap layar laptopnya. Ajaibnya Adit tidak membantah, lelaki itu terlihat kalah dan dengan lesu berbalik pergi.
Tak lama kemudian Amara memasuki dapur yang cukup luas itu dengan wajah cemberut. Dia berdiri di depan Salsa berharap perempuan berwajah tegas itu memperhatikannya.
“Aku bukan gundik. Aku dan Mas Adit menikah secara sah,” katanya sambil mengerucutkan bibirnya yang mungil.
“Terus? Apa kamu berharap aku jadi hormat sama kamu karena kalian sudah sah?!” jawab Salsa tanpa menatap Amara, membuat perempuan mungil itu semakin gusar.
“Kamu nggak berhak menghina aku, Sal!” teriak Amara.
“Nggak usah dihina kali. Kamu kan, emang udah terhina. Mana ada pihak ketiga dari golongan perempuan baik-baik. Di mana-mana pihak ketiga itu namanya setan!” Salsa berdiri dan membereskan laptopnya. Melangkah perlahan seolah tak terjadi apa pun.
“Banyak gangguan, padahal rumah sendiri,” ucap Salsa sambil berlalu.
Amara berdiri dengan tubuh bergetar menahan marah. Salsa memang bukan lawannya, perempuan itu terlalu tangguh. Sayangnya Amara belum menyadari bahwa perempuan berwajah kalem itu bukan perempuan yang akan menangis meraung-raung ketika memergoki suaminya selingkuh. Sebaliknya, dengan pandai Salsa sudah membuat rencana untuk membuat hidup Amara tidak tenang.
Rumah Hujan adalah rumah Salsa, tak akan ada orang lain yang bisa merebutnya dengan mudah.
***
“Mas, Mas Adit ... Mas Adiiittt!” Terdengar suara Amara berteriak. Tak lama Adit datang setengah berlari menghampiri istrinya yang terlihat emosi.
Matahari sudah terlihat sedikit, pagi tak lagi gelap walaupun ada gerimis yang masih setia menghampiri. Suasana kompleks perumahan itu lengang, karena memang jarak antar rumah agak berjauhan. Kebanyakan penghuninya adalah orang kantoran yang jarang keluar rumah. Walaupun Salsa mengenal cukup dekat beberapa tetangga yang seusia dengannya.
“Ada apa, Ara? Jangan teriak-teriak gitu, bikin orang panik tau nggak?!” Adit terlihat kesal.
“Ini aku mau bikin minum, tapi rak dapurnya di kunci semua. Trus gimana, dong? Nggak ada gelas, cangkir, piring, sendok. Mas Adit cari solusinya, dong!” rajuk Amara.
Adit mengusap rambutnya dengan kasar. Dia yakin ini ulah Salsa. Lelaki bermata sipit itu baru memperhatikan bahwa memang rak gantung dan laci-laci di dapur memiliki lubang kunci. Sebelumnya lubang kunci itu tak ada.
“Iya ... iya. Nanti aku minta kuncinya sama Salsa, ya. Kamu tenang aja, pesen minum lewat aplikasi aja. Oke?!”
Adit berusaha menenangkan Amara yang terlihat semakin kesal. Dia sangat paham seperti apa Amara jika keinginannya tidak dituruti. Perempuan berkulit putih itu akan terus menuntut sampai permintaannya terkabul. Bahkan tak segan dia akan merajuk dan ngambek berhari-hari.
Tentu saja Adit tidak membutuhkan kepusingan itu sekarang.
“Sals, kunci rak-rak ini tolong kasihkan sama Amara, ya.”
Adit menghampiri Salsa yang sedang menikmati sandwich di depan televisi. Secangkir kopi dengan krim juga terhidang, sangat menggoda bagi Adit. Salsa tetap mengunyah sandwich-nya dengan santai, meneguk kopinya, dan melirik Adit yang terlihat frustasi.
Lihatlah cambang tipis yang tak terurus itu. Bahkan satu kancing di lengan bajunya hilang. Ah, lelaki ini terlihat sangat menyedihkan.
“Kunci-kunci itu nggak akan aku serahkan. Biar aku jelaskan, Mas. Dapur, kamarku, kamar mandi di dekat musala, ruang televisi, taman, dan teras samping adalah areaku. Ruangan lain bebas kamu pake sama Amara,” kata Salsa sebelum kemudian meneguk kopinya lagi. Dengan ekspresif dia menjilat sisa kopi di bibirnya yang berlapis lipstick warna peach.
Membuat Adit merasa hasratnya menggelegak.
“Apa?! Sejak kapan kamu ngatur itu?” tanya Adit.
“Yaa sudah lama. Rumah ini rumahku, Mas. Sertifikatnya atas namaku, yang dipotong untuk nyicil juga gajiku. Ya kamu ikut andil, sih. Bayar DP 30 persen. Jadi ... yaa aku bebas dong ngatur mana bagianku dan mana bagianmu.”
Salsa memasukkan sepotong kecil buah pepaya dengan gaya dibuat-buat. Dia tahu di ujung sana Amara menggeram marah mendengar kata-katanya.
“Sals, sejak kapan pernikahan kita jadi kaya itung-itungan bisnis gini, sih?!” Adit siap meledak walaupun dia seperti tak punya energi.
“Sejak kamu membuat pernikahan ini menjadi nggak berharga karena kebohongan kamu. Ya ini sudah jadi kaya bisnis memang, kamu jual aku beli,” balas Salsa.
Adit kalah. Dia tahu tak akan menang dalam urusan begini dengan Salsa sebagai lawan. Sejak SMA pun Salsa selalu lebih tegas, lebih berani, lebih tangguh dan lebih cerdas dibanding Adit. Dia bisa mencapai level manajer pun karena Salsa ikut memikirkan langkah apa yang harus diambil dalam kariernya. Adit memang pandai bermain catur, tetapi istrinya itulah ahli strategi sesungguhnya.
Inilah yang membuat Adit jatuh cinta pada perempuan bernama Salsabila 12 tahun yang lalu.
Salsa berdiri, menumpuk piring bekas buah dan sandwich. Kemudian meletakkan cangkir kopi kosong di atas piring-piring itu. Dia siap melenggang ke arah dapur, sejenak tersenyum penuh kasihan melihat Amara yang terlihat marah luar biasa.
“Emmm ... satu lagi, Mas. Kalo kamu berpikir bisa pindah ke apartemen kita, itu juga nggak mungkin. Kuncinya sudah aku ganti dan ada orang yang setuju mau ngontrak juga. Oh iya, Amara. Apartemen, mobilku, dan rumah ini secara legal adalah milikku. Sah! Dan ... aku belinya dengan kerja keras. Nggak banting tulang buka selangkangan macam kamu. Ups, maaf. Aku nggak sopan, ya? Maaf, ya. Jangan sakit hati. Kalo sakit jantung boleh, lah. Hampir lupa, karena aku masih berbaik hati, kamu bisa pake dapur yang di luar buat masak-masak. Udah ya, aku harus kerja, dan kerjaanku penting. Nggak kaya kerjaan kamu, Ra. Cuma modal daging se-ons. Astaga aku kasar lagi, ya?!”
Salsa mengikik dan berlalu. Membawa serta dua remote televisi yang biasanya tergeletak begitu saja di atas meja kayu persegi itu. Wajah perempuan itu terlihat puas. Dengan mantap dia melangkah, menghidupkan mesin mobilnya, dan berlalu pergi membelah pagi yang sudah ranum.
Bab 8. Malam Hujan
Tak terasa sudah sebulan berlalu. Salsa sendiri tak menyangka dia akan bertahan selama itu hidup satu atap dengan Adit dan Amara. Selangkah demi selangkah dia tertatih bertahan, membalas perlakuan Adit dan Amara dengan cara-cara yang tak pernah terpikir oleh sepasang merpati yang selingkuh itu.
Perlahan dan pasti Salsa mengetahu siapa Amara sebenarnya. Perempuan berwajah lugu itu sejak awal memang mengincar Adit karena uang. Kelihatannya Amara sangat berambisi ingin menikahi pejabat di lingkungan kerjanya. Perempuan mungil itu sangat ingin hidup bergelimang harta tanpa susah-susah bekerja. Sayangnya dia salah memilih Adit sebagai sasaran.
Salsa semakin rajin menguatkan dirinya bahwa dia akan memenangkan perang melawan pelacur kecil itu. Dia bertekad akan mempertahankan pernikahannya, kecuali Adit sendiri yang menjatuhkan talak.
Pagi itu Adit kelihatan berdebat dengan Amara. Entah mengenai apa. Salsa sendiri tidak berminat untuk mencari tahu. Akhir-akhir ini beban pekerjannya semakin banyak. Dia bahkan mengajukan penelitian lintas kampus dan menggandeng Ainun untuk melakukan riset tentang pengelolaan bisnis berbasis syariah. Sesungguhnya semua itu dilakukannya untuk mengalihkan pikirannya dari kemelut rumah tangga yang menghajarnya tanpa ampun.
“Sals, aku bisa minta tolong?” wajah Adit yang biasanya tegas terlihat kuyu. Memang dua bulan terakhir ini Adit kehilangan sinar wajahnya yang biasanya berseri. Bahkan kemejanya pun sering kusut dan dibiarkan tanpa dasi. Aura manajernya perlahan memudar. Tanpa Salsa yang biasa diajaknya berdiskusi tentang pekerjaan, kelihatannya Adit kewalahan menghadapi beban kerjanya.
“Minta tolong apa?” jawab Salsa sedikit simpati. Tapi dia pura-pura cuek, sibuk membuka buka lembaran dokumen di hadapannya. Dia duduk di kursi tinggi favoritnya, bekerja di meja bar. Dia sengaja sering melakukan ini untuk mengintimidasi Amara.
“Aku ... butuh uang. Ehm, Amara perlu uang dan aku belum ambil uang tunai di ATM,” kata Adit dengan malu.
Salsa tahu betul Adit tak mungkin belum mengambil uang tunai. Yang benar adalah dia tidak punya uang dan sekarang belum waktunya gajian.
“Kamu belum ngambil uang, apa nggak punya uang, Mas?” Salsa mendekatkan wajahnya pada Adit, dia tak ingin Amara mendengar pertanyaannya pada Adit.
Adit terdiam. Lelaki itu terlihat bingung. Uang di rekeningnya menipis, sebagian besar habis untuk menyokong gaya hidup Amara yang boros dan membiayai hidup kedua orang tua Amara. Sekarang ini dia merasa menjadi lelaki paling bodoh karena sejak awal tidak tahu motif Amara mendekatinya.
“Em, aku ... aku ... uangku menipis, Sals. Amara perlu uang untuk periksa ke dokter kandungan. Dan ... orang tuanya ... em ... mereka ...”
Adit tak berani menatap Salsa.
“Kamu ... ah. Kamu ini menyedihkan, Mas. Seharusnya kamu tau semua yang kamu perbuat ada konsekuensinya, Mas. Kamu kawin lagi, silakan tanggung hidupnya yang bagai selebritis itu.”
“Sals, aku tau. Aku tau aku ini menyedihkan. Tapi aku butuh bantuan kamu sekarang Sals.”
Wajah Adit terlihat kalah. Salsa pun menyerah. Dia tidak tega melihat suaminya itu kehilangan muka di depan perempuan kecil kotor itu!
“Aku punya uang, hanya 500 ribu. Kasihkan sama dia untuk ke dokter. Ingat, ini bukan untuk dia. Aku lakukan ini untuk kamu, Mas.”
Salsa berlalu ke kamarnya. Kemudian dia kembali dengan 5 lembar uang kertas berwarna merah. Meraih tangan Adit yang dingin, Salsa melakukan itu sembunyi-sembunyi supaya Amara tak melihat. Dia tak ingin harga diri suaminya jatuh karena terlihat menerima uang darinya.
“Ara, ini uang buat ke dokter,” kata Adit.
Keduanya berbicara di depan pintu kamar mereka. Kamar yang dulu ditempati Salsa dan Adit.
“Kok cuma 500 ribu, Mas? Mas kan tau, Ayah hari ini harus bayar cicilan motor juga. Besok udah terakhir loh, mas. Ini udah dua bulan nunggak. Kalo besok nggak bayar motornya bisa diambil sama leasing.”
Salsa mendengar jelas semua keluhan Amara. Dia merasa dadanya penuh sesak. 5 tahun menjadi istri Adit, tak pernah sekali pun dia meminta Adit menanggung kebutuhan ayah dan ibunya. Salsa sangat beruntung karena orang tuanya hidup berkecukupan bahkan berlebih. Dua saudaranya juga sudah mandiri dan tak pernah membebani ayah dan ibunya.
Shafiyah, kakak sulungnya adalah seorang pegawai BUMN di luar pulau. Sedangkan Fahd, kakak lelaki satu-satunya sudah 3 tahun melanjutkan pendidikannya di Inggris. Dia seorang peneliti di lembaga penelitian milik pemerintah.
“Ara, aku belum ada uang. Kamu tau sendiri kan ini tanggal berapa? Gajian masih 3 hari lagi, Sayang.”
Suara Adit yang sedang merayu Amara membuyarkan lamunan Salsa tentang keluarganya. Dia bahkan teringat, orang tuanya sendiri pun belum tahu tentang pernikahan Adit ini. Salsa memang tidak ingin memberi tahu mereka. Salsa tidak akan membiarkan kedua orang tuanya itu ikut menanggung kesedihannya.
“Mas, aku tuh kurang sabar apa, sih?! Aku selalu patuh dan ngertiin Mas Adit. Uang bulananku berkurang, aku nggak ngeluh. Aku minta dibeliin tas baru, Mas Adit bilang belum punya uang, aku juga nggak ngeyel. Aku ini emang cuma istri kedua Mas. Aku ngerti kalo urusanku cuma urutan kesekian dalam hidup Mas Adit. Beda dengan Salsa, barang-barangnya branded, mobil bagus, hape baru, semua keinginan dia dipenuhi sama Mas Adit!!”
Salsa menggertakkan kedua gerahamnya mendengar itu! Kelihatannya Amara sengaja berteriak karena ingin Salsa mendengar.
“Amara, yang baik dan lugu. Barang-barangku bagus dan mahal karena aku beli sendiri. Pake uangku sendiri, dari hasil kerjaku sendiri. Aku ... kerja pake otak jadi hasilnya banyak. Kalo kamu kerjanya cuma modal lendir sama selangkangan ya emang hasilnya segitu. Ngerti?!”
Awalnya kalimat itu diucapkan Salsa dengan manis tetapi di bagian akhir Salsa mengucapkan satu persatu kata-katanya dengan tegas dan jelas. Membuat Amara menghentakkan kakinya kesal.
Sedang Adit, lagi-lagi bagai pelanduk. Ingat kalimat pepatah, dua gajah bertarung pelanduk mati di tengah. Sayangnya Amara bukan gajah, hanya tikus kecil yang kotor dan lemah. Sedangkan Salsa adalah singa, yang aumannya saja membuat si tikus gemetar ketakutan.
Salsa meninggalkan suami istri itu dalam perdebatan yang masih berlanjut. Dia masih menangkap suara Amara yang marah dan mengatakan akan tidur di rumah orang tuanya malam itu. Lalu Adit dengan senang hati mempersilakan Amara melakukan itu.
***
Malam itu hujan turun dengan deras. Bahkan petir menyambar dengan seram disertai angin kencang yang membuat ranting-ranting kurus berderak gugup.
Salsa menutup jendela-jendela dan mengunci pintu. Memang masih jam 20.00 tapi rasanya sudah seperti tengah malam. Adit belum pulang dan Salsa sudah terbiasa dengan hal itu. Amara juga tak pulang, sesuai dengan ancamannya tadi pagi.
Salsa menghela napas. Entah kenapa dia merasa lega walau ada perasaan tak enak menyelinap. Setelah hampir dua bulan, dia merasa rumah ini miliknya seutuhnya. Seperti ... ketika dia masih berdua saja dengan Adit. Salsa tersenyum sedikit teringat masa-masa indah mereka.
Pet!
Tiba-tiba listrik mati, membuat Salsa meraba-raba mencari gawainya. Menyalakan aplikasi senter dan melangkah menuju rak buku di dekat televisi. Salsa meraih lilin di dalam wadah beling. Diletakknya lilin di atas meja kayu persegi. Salsa menyelimuti dirinya dengan kain tebal bermotif bunga tulip. Dia meringkuk di atas sofa empuk di depan televisi. Dulu dia sering melakukan ini sembari menunggu Adit pulang kerja. Tetapi dua bulan belakangan ini dia tak pernah lagi begini sejak Amara ikut tinggal di Rumah Hujan.
Salsa membuka aplikasi google book, membaca buku untuk menghiburnya. Lalu perlahan dia pun tertidur. Sampai suara deritan pintu mengagetkannya.
Salsa spontan berdiri dan menjatuhkan selimutnya. Dia belum sepenuhnya sadar ketika matanya menangkap sosok Adit sudah berdiri di ambang pintu. Listrik masih belum menyala, dan cahaya lilin itu berkelip lemah menyisakan bayang-bayang hitam di sekitarnya.
“Mas? Sudah pulang?” tanya Salsa ragu. Sebenarnya dia tidak begitu jelas melihat siapa yang berdiri di depannya. Dia tahu Adit memiliki kunci rumah, tetapi tetap saja Salsa perlu memastikan bahwa itu Adit. Namun entah kenapa jantungnya berdegup sedikit lebih cepat saat itu.
“Iya, Sals. Ini aku. Mati lampu?”
Salsa menghembuskan napas lega mendengar suara Adit.
“Iya, mungkin gara-gara hujan ini,” jawab Salsa sambil melipat selimutnya dan hendak berlalu. Salsa melirik lelaki berkemeja abu itu. Lelaki itu terlihat begitu lelah dan sinar matanya redup. Bahkan itu semua dapat terlihat jelas di dalam kegelapan ini. Diam-diam Salsa merasa kasihan pada suaminya.
“Kamu mau kemana, Sals?” Adit menoleh pada Salsa yang berjalan melewatinya. Lelaki itu menatap istrinya dengan penuh kerinduan. Menelisik home dress selutut berwarna ungu yang dikenakan Salsa, dan rambut lurusnya yang dibiarkan tergerai di bahunya.
“Mau tidur di kamar, kenapa?” balas Salsa.
“Kamu ... kita ... nggak bisa ngobrol gitu malam ini?”
Pertanyaan Adit lebih terdengar seperti permohonan. Membuat Salsa tertegun dan tak jadi melanjutkan langkahnya. Sejenak Salsa terdiam mencerna pertanyaan suaminya. Dia pun merindukan masa-masa mereka berbagi cerita berdua untuk menghalau lelah setelah jam-jam kerja yang panjang. Namun, bayangan Adit dan Amara yang bermesraan dan bercumbu membuat Salsa tak tergoda dengan pertanyaan Adit.
“Nggak bisa, Mas.” Salsa pun melangkah tegas tak menoleh lagi.
Langkahnya berhenti karena Adit menarik lengannya, membuat tubuh mereka bertabrakan walau tak keras. Selimut yang dipeluk Salsa jatuh ke lantai yang dingin.
“Apa sih, Mas?” kata Salsa sambil mendorong dada Adit.
“Aku ... kangen kamu,” lirih suara Adit dengan napas hangat yang berhembus begitu dekat di wajah Salsa. Membuat perempuan yang sekarang bergidik itu mencoba mundur.
“Aku enggak! Kamu kan sudah punya Amara. Dia bisa ngasi kamu semuanya, kan?” balas Salsa dengan sengit.
“Amara nggak sama dengan kamu, Sals. Aku ... mulai jenuh sama dia.”
Salsa terbelalak. Sesingkat itukah? Bukankah Adit mengatakan dia jatuh cinta pada gadis berwajah lugu itu?
“Aku mau bercinta denganmu, Sals. Sudah lama kita tidak melakukannya,” bisik Adit lagi.
“Aku nggak mau, Mas! Sebelum kamu melepas Amara, aku nggak mau kamu menyentuhku!” Salsa memberontak dan mendorong Adit sekuat tenaga. Tetapi entah mengapa rasa takut tiba-tiba menjalar di sekujur tubuhnya sehingga dia gemetar dan merasa kehilangan tenaga.
“Kamu nggak bisa menolak, Sals. Aku masih berhak.” Adit mengucap tegas.
“Aku nggak mau! Mas, lepasin! Lepas!!” Teriakan itu tenggelam dalam bayang-bayang gelap yang menyelimuti rumah itu. Ditemani hujan dan gelegar petir yang semakin menggila, Adit seakan kehilangan perasaan dan akalnya.
Adit menyeret Salsa ke kamar lama mereka dengan penuh nafsu. Lalu mendorongnya ke atas tempat tidur. Salsa masih bangkit sebelum Adit dengan kasar mendorongnya lagi dan Salsa terjatuh cukup keras. Sebelum perempuan itu berhasil bangkit lagi, Adit sudah berada di atas tubuh Salsa dan menciumnya dengan rakus. Mencengkeram pergelangan tangan Salsa dan meninggalkan bekas merah di sana.
“Mas, tolong berhenti! Aku nggak mau!” teriak Salsa. Pikirannya penuh dengan bayangan Adit yang mencumbu Amara, membuat tubuhnya menolak perlakuan Adit. Salsa sempat berteriak lagi sebelum mulutnya dibekap dengan ciuman liar Adit. Kemudian bajunya sudah tak utuh lagi. Salsa masih melawan dengan sisa tenaganya ketika merasakan Adit memaksakan hasratnya dengan kasar. Air mata yang terasa perih mengalir dari sudut matanya yang panas.
Malam itu Salsa merasa kalah dan tak dicintai. Tak ada lagi sosok suami yang dicintainya dan memperlakukannya dengan lembut, hanya ada sesosok lelaki yang tak lagi dikenalnya. Yang memaksanya menerima nafsunya dengan menyakitkan.
Salsa tersedu di sisa malam yang mengerikan itu.
Bab 9. Bendera Putih
Malam terasa begitu gelap ketika Salsa bangkit dan meraih sisa-sisa pakaiannya yang terserak mengenaskan di lantai. Tertatih melangkah, Salsa menyeret kakinya yang seakan mati rasa. Sekujur tubuhnya sakit dan terdapat beberapa lebam di tangannya. Salsa memaksa kakinya bergerak ke arah pintu yang tak tertutup sempurna.
Dia harus pergi, keluar dari kamar yang menyisakan trauma ini. Dulu kamar ini penuh dengan suara tawa dan rajutan mimpinya dalam cinta. Tapi ... sekarang kamar ini sangat mengerikan untuk Salsa. Dia sempat melirik foto akad nikah Adit dan Amara yang tergantung di sudut. Salsa meringis pedih, entah karena apa tepatnya.
Di atas ranjang yang berantakan itu, Adit tertidur dengan wajah lelah. Salsa berhasil melepaskan cengkeraman tangan Adit di lengannya ketika pria itu masih tertidur pulas. Kemudian beringsut perlahan dari tempat tidur, meninggalkan pria yang katanya masih berstatus sebagai suami pulas setelah penyiksaan yang memporak-porandakan hati Salsa.
Berjalan melewati ruang makan yang gelap Salsa merasakan pipinya basah. Ini bukan tangisan kesedihan, tapi kecewa. Seorang lelaki yang pernah mengucapkan perjanjian di hadapan Ayahnya, disaksikan ribuan malaikat. Perjanjian yang disebut sebagai mitsaqan ghaliza, ikatan yang kuat. Baru saja meruntuhkan ikatan itu dengan perlakuan kasarnya.
Salsa mengguyur tubuhnya yang terasa kotor dengan air dingin. Perlahan dia meluruh, terduduk ditemani kegelapan dan deraian air mata. Malam ini dia hancur.
Namun, dia berjanji besok dia akan kembali berdiri tegak. Entah demi apa!
***
Seminggu kemudian Salsa pulang kembali ke Rumah Hujan. Setelah kejadian malam itu, dia memutuskan menginap di apartemennya. Untunglah calon penghuninya belum datang, sehingga Salsa bisa meninggalkan kekacauan karena malam itu tanpa gangguan dari Adit.
Dia butuh waktu untuk menata dirinya lagi. Menghadapi kekacauan lain dengan Adit dan Amara sebagai pemeran utamanya.
Salsa membuka pintu dan melihat Adit dan Amara sedang duduk di ruang makan. Kelihatannya pasangan peselingkuh itu sudah berbaikan. Tentu saja, ini tanggal muda dan pasti rekening Adit baru terisi penuh. Perempuan kotor itu pasti bahagia karena Adit melimpahinya dengan uang, memenuhi semua keinginannya. Salsa memahami itu karena dilihatnya sebuah kotak berisi tas bermerek yang kelihatan baru dibuka.
“Hai, Sals! Pagi …! Aku udah dapet tas baru nih dari Mas Adit,” kata Amara dengan nada mengolok yang sangat dikenal oleh Salsa.
Salsa berjalan, tegak, dan tanpa eksperesi.
“Hmm ... baguslah. Berapa lama kamu harus buka selangkangan buat tas itu?!” balas Salsa sambil tersenyum dingin.
Wajah Amara berubah merah. Perempuan mungil itu berdiri dan melempar garpu yang dipegangnya. Suara denting yang tajam terdengar begitu nyaring.
“Jaga mulutmu! Jangan terus-terusan menghina aku! Aku ini istri sahnya Mas Adit!” teriak Amara.
Adit terlihat tersinggung mendengar ucapan istrinya, tetapi masih berusaha menahan emosi.
“Ya, baguslah kalo udah jadi istri sah. Tunjukin dong, kartu nikahmu kalo emang sah? Nggak usah teriak-teriak lah, dan jangan banting-banting barang! Kamu nggak ikut beli juga kan? Emang kuat beli barang-barang bermerek kaya barangku? Pake duit sendiri ya, bukan hasil ....”
Salsa sengaja menggantung kalimatnya dan melenggang pergi dengan senyum miring. Mengabaikan Amara yang semakin gusar. Salsa masih mendengar suara Adit yang merayu Amara. Terselip pilu di hatinya. Kemanakah Adit ketika kemarin Salsa begitu terluka karena perlakuan kasarnya?
Tak ada usapan, pelukan, atau sekadar kata ‘maaf’ karena telah memperlakukan dirinya dengan kasar. Bahkan Adit sama sekali tidak mencarinya ketika Salsa tak pulang ke Rumah Hujan.
Salsa menutup pintu kamarnya dan merebahkan tubuhnya yang lelah. Berusaha mengenyahkan bayangan semua sakit yang ditimbulkan Adit. Dia harus bertahan dan melawan, sampai dia tak bisa bangkit lagi dan memilih menyerah.
***
Sebulan yang sesak berlalu pergi. Kehamilan Amara sudah semakin besar, entah sudah berapa bulan karena Salsa tidak berminat untuk bertanya. Berjalan tergesa menuju meja bar di dapur, Salsa tak sengaja menyenggol bahu Amara yang berjalan berlawanan arah dengannya.
“Aduh! Kalo jalan pake mata dong, Sal!” teriak Amara. Perempuan itu sengaja mengeraskan suaranya supaya Adit mendengarnya. Akhir-akhir ini Amara sepertinya berusaha memprovokasi Adit tentang kelakuan Salsa yang menurutnya membahayakan kehamilannya. Beberapa kali Amara pura-pura terjatuh ketika berpapasan dengan Salsa demi menuduh perempuan itu mendorong atau menabraknya.
Adit pun dengan bodohnya terpancing! Terkadang logika lelaki dibutakan oleh cinta yang menjerumuskan.
“Mana ada jalan pake mata? Di mana-mana jalan itu pakek kaki. Kamu dulu sekolah dimana, sih?! Bodo itu dibagi-bagi lah!”
Salsa mengikik. Seperti biasa menanggapi kegusaran Amara dengan santai walaupun kadang darahnya menggelegak dengan tingkah laku murahan perempuan itu. Salsa memahami dengan baik bahwa Amara sedang mencoba menjebaknya, membuat Adit memarahinya.
“Sals, tolong hati-hati. Amara tuh lagi hamil besar. Masa kamu nggak bisa ikut bersimpati sama dia?” Adit sudah datang dan merangkul Amara, mencoba menenangkannya.
“Kenapa aku harus bersimpati sama dia? Suruh dia cari simpati dari tempat lain! Gerai telkomsel masih buka. Siapa tahu dia mau ke sana?” Salsa tersenyum tanpa rasa bersalah, malah meneguk kopi yang baru diseduhnya.
“Mas, dia tuh sengaja nabrak aku! Aku nggak tahan lagi tinggal di sini, Mas! Kenapa sih kita nggak bisa punya rumah sendiri?!” Amara menghentakkan kakinya. Seperti biasa, Adit terlihat panik menghadapi perempuan yang sedang merajuk itu.
“Sabar, Sayang. Aku lagi usaha untuk rumah baru. Kan aku sudah bilang, kita bisa beli rumah yang lebih kecil supaya kamu nyaman tinggal di rumah sendiri,” ucap Adit sambil membelai rambut Amara.
Salsa bukannya tidak melihat dan mendengar. Dia memang sengaja tetap di tempatnya duduk. Dia tak ingin terintimidasi, karena ruangan ini adalah ruang miliknya.
“Aku nggak mau rumah yang kecil, Mas! Kan, aku mau ngajak Ayah sama Ibuku juga. Mana cukup kalo rumahnya kecil? Rumah Salsa dibeliin yang besar, giliran aku dapet yang kecil!”
Ternyata acara merajuk itu masih panjang. Salsa meninggalkan sepasang manusia yang saling berdebat itu. Dia tidak memerlukan kepusingan lain. Terbetik heran dalam pikirannya, mengapa Adit seakan berubah bodoh dan tak menyadari permainan Amara?
Salsa menggeleng, membawa cangkir kopinya ke ruang televisi. Dia bertekad akan mencari tahu lebih banyak tentang Amara.
***
Malam itu Salsa baru saja pulang dari kampus dengan setumpuk pekerjaan. Dia memasuki kamarnya dan meletakkan tas kerjanya. Kemudian melangkah cepat menaiki lantai 2. Ruang baca, tempat dia menyimpan arsip-arsip untuk bekerja diletakkannya di tempat itu. Dia harus menemukan beberapa arsip dan mengirim email pada koleganya di universitas lain. Besok tenggat waktu pengumpulan laporan yang sedang mereka kerjakan.
Sementara itu, Amara mengintip apa yang sedang dilakukan Salsa. Dia ikut naik ke lantai 2 dengan langkah perlahan karena perutnya sudah buncit. Otaknya mengatur berbagai rencana kotor untuk mencelakai Salsa. Dia harus menyingkirkan Salsa supaya bisa memiliki rumah ini. Amara tak rela harus menempati rumah yang lebih kecil, dia menginginkan Rumah Hujan. Jika Salsa ‘tak ada’ dia bisa dengan bebas mengambil alih Rumah Hujan.
Salsa benar, Amara memang tak selugu kelihatannya. Ada sepasang iblis yang menghuni hati dan otaknya.
Amara bersembunyi dekat tembok yang membatasi ruang baca dan ruang keluarga di lantai 2. Ketika Salsa terburu-buru keluar dari ruang baca, Amara membiarkan perempuan yang memegang sebuah map itu melangkah lebih dulu. Ketika Salsa sudah di pertengahan tangga, Amara mendekatinya perlahan dan ... dua tangan yang terlihat lemah itu mendorong Salsa dengan sekuat tenaga.
Salsa tidak siap dengan kejadian itu, dengan sigap tangannya yang bebas meraih sesuatu untuk berpegangan. Tanpa sadar bahwa yang diraihnya tangan Amara yang masih terjulur, dan ... Amara terguling di sepanjang tangga.
Salsa terbelalak dan menutup mulutnya dengan terkejut. Dia tidak menyangka Amara ada di belakangnya. Otaknya masih belum mencerna semua yang terjadi ketika Adit keluar dari kamar karena teriakan Amara. Perempuan mungil itu memeluk perutnya dengan wajah kesakitan dan keringat memenuhi keningnya.
“Ara! Sayang, kamu gapapa kan?!” Adit menatap Amara dengan panik. Pertanyaannya tak mendapat jawaban, karena Amara hanya meringis kesakitan.
Salsa berlari mendekat, bermaksud menolong Amara. Saat ini perasaannya yang berperan. Bagaimana pun Salsa bukan perempuan kejam yang akan membiarkan perempuan lain kesakitan tanpa pertolongan.
“Mas, bawa ke rumah sakit aja,” ucap Salsa dengan khawatir.
Amara menepis tangan Salsa dengan kasar.
“Mas Adit, Salsa yang dorong aku, dia ... sengaja!” kata Amara dengan napas tersengal.
Adit menatap Salsa dengan tajam dan menarik tangan istrinya kasar.
“Kamu?! Aku nggak nyangka kamu bisa sekejam ini, Sals!” Adit mengarahkan telunjuknya ke wajah Salsa yang pasi, sementara tangan lainnya mencengkeram Salsa.
“Mas, aku nggak dorong dia. Aku nggak sengaja narik tangannya!”
“Udah nggak usah alasan! Aku tahu kamu benci sama Amara! Tapi aku bener-bener nggak nyangka kamu punya niat membunuh dia!” Adit murka, mengabaikan semua fakta yang seharusnya terlihat dengan mudah.
“Mas! Aku nggak mungkin sekejam itu!” balas Salsa.
“Aku nggak mau denger apapun lagi dari kamu! Mulai hari ini aku nggak mau punya istri jahat kaya kamu, Sals! Aku talak kamu!”
Salsa terperangah!
Suara Adit yang mengucapkan talak seperti gelegar petir bagi Salsa. Dia menatap Adit dengan nanar. Masih belum percaya suami yang selama ini diperjuangkannya menjatuhkan talak dengan mudah. Rumah itu mendadak sunyi, tak ada yang bicara. Hanya Amara yang diam-diam tersenyum puas.
“Kamu ... menceraikan aku, Mas? Ini nggak serius, kan? Kamu lagi emosi, Mas. Pikirkan dulu kata-katamu,” suara Salsa bergetar.
“Aku sadar sepenuhnya. Aku nggak menginginkan kamu lagi sebagai istriku! Aku bilang talak! Pernikahan kita selesai!” Adit melepas cengkeraman tangannya, mengabaikan Salsa yang termangu. Lelaki itu menghampiri Amara, menggendong istrinya dan membawanya pergi.
Samar-samar Salsa masih mendengar rintihan palsu Amara. Malam ini dia kalah, semua perlawanannya sudah patah.
Salsa membereskan barang-barangnya dengan lelah. Satu koper kecil berisi dokumen dan barang berharganya diseretnya lunglai. Dia masih ingat untuk mengunci ruangan yang di klaimnya. Dia tahu dia kalah, tapi bertekad tak akan membiarkan seorang perempuan kotor mengambil alih semua miliknya. Biarlah Amara mengambil Adit, Aditnya. Tapi hanya itu yang akan diberikannya, yang lain tidak.
Amara menghidupkan mesin mobilnya, menyandarkan kepalanya yang pening ke atas setir. Tak ada tangisan. Dia sudah kehabisan air mata. Tak lama kaki kirinya menginjak pedal gas. Kemudian mobil besar itu berlalu pergi meninggalkan Rumah Hujan.
Rumah yang dulu diharapkan akan dihujani cinta, ternyata hari ini rumah bercat putih itu terlihat suram dan rapuh.
Selamat tinggal, Mas. Satu kata talakmu berhasil membuat aku pergi. Namun jangan harap aku kembali. Bisik Salsa.
Malam turun dengan perkasa, memeluk Salsa dan perihnya dalam selimut gulita.
Bab 10. Bercerai
Sudah seminggu berlalu. Sejak kata talak diucapkan Adit, Salsa memilih pulang ke apartemennya. Sebenarnya dia butuh seseorang untuk berbagi cerita. Semuanya terlalu sesak untuk dinikmatinya sendiri, tapi Salsa menahan untuk tidak pulang ke rumah orang tuanya. Dia belum siap untuk memberi mereka kabar buruk ini.
“Sals, apa sudah ada kabar dari Adit?”
Di siang yang tak terlalu terik itu Salsa memutuskan menemui Ifa, sahabatnya.
“Belum, emang harus ada kabar? Dia kan sudah bilang talak.”
“Maksudku bukan kabar itu, Sals. Panggilan untuk mediasi, sidang cerai?”
Tangan Ifa yang hangat menempel lembut di lengan Salsa. Perempuan dengan tunik berwarna cokelat itu menatap kosong.
“Belum, belum ada,” jawabnya sambil menggeleng.
“Terus, sampai kapan kamu mau nunggu?”
Salsa hanya menghela napas, tak berniat menjawab pertanyaan Ifa.
“Sals, kalo Adit nggak ngajukan cerai secara resmi statusmu digantung, dong. Emang kamu mau hidup dalam ketidakjelasan begini?”
“Mestinya harus gimana sih, Fa?” Salsa akhirnya bersuara.
“Ya, kamu tanyakan sama Adit. Gimana kelanjutannya? Kan, dia yang ngucap talak?”
“Aku capek, Fa. Capek kalo harus ketemu dia lagi. Ngomong lagi, sekarang ini ...aku cuma pengen pergi jauh dari semuanya.”
Salsa menunduk menatap macchiato kental di cangkir mungil.
“Jangan gitu kali, Sals. Selesaikan dulu urusanmu sama Adit. Baru kamu bisa pergi jauh. Mulai lagi hidup kamu. Move on, Sals. Masa kamu mau nunggu Adit cerai dari perempuan itu?”
Ifa menarik tangannya. Dia tahu sahabatnya itu butuh waktu. Karena itu banyak pertanyaanya yang dibiarkan tanpa jawab oleh Salsa. Melihat wajah Salsa yang datar tanpa ekspresi riang seperti biasa, Ifa ikut merasakan sedih. Dia pun geram pada Adit yang tega melakukan ini pada Salsa. Rasanya tak percaya, Adit yang begitu bergantung pada Salsa melakukan semua ini.
“Sals, gimana kalo kamu minta Arin mendampingi? Dia juga dulu yang bantu aku ngurus perceraianku sama Rendra.”
“Arin ... siapa?”
“Arin temen kita SMA dulu. Dia kan pengacara. Aku bisa hubungi dia kalo kamu mau, Sals. Aku cuma mau kamu selesaikan urusanmu sama Adit. Lalu mulailah bangkit, Sals.”
Salsa terpekur menatap cangkirnya. Tangan satunya mencengkeram garpu di atas piring baked potato hinggu buku-buku tangannya memutih.
“Apa ... aku harus cerai, Fa?”
Perempuan itu bertanya dengan gemetar. Ifa pun melengos sembari menghembuskan napas kesal. Dia tahu Salsa sejak awal memimpikan pernikahan yang utuh. Sekarang impiannya itu diterjang badai dan tak mungkin meneruskan perjalanan dengan perahu yang tidak hanya koyak tapi runtuh. Kelihatannya Salsa masih tak rela dengan berakhirnya pernikahannya.
“Sals, kamu tuh biasanya paling pinter. Saat kaya gini tolong jangan kehilangan kewarasan dan kepintaranmu. Sadar, Sals! Adit tuh sudah nyakitin kamu habis-habisan! Apalagi yang kamu harap dari dia?!”
Ifa mengucapkan kalimatnya dengan berapi-api dan perempuan berwajah manis sampai harus bangkit dari tempat duduknya. Mengeluarkan semua kalimat bernada marah hanya 5 senti dari wajah Salsa.
“Ya ... sudah. Kalo gitu tolong ... hubungi Arin. Terus … aku harus apa, Fa?”
“Oke, aku akan hubungin Arin. Langkah selanjutnya nanti kita bicarakan dengan Arin. Sekarang ... apa kamu sudah ngasi tahu orang tuamu?”
Salsa tersentak, menatap Ifa dalam. Inilah yang dia takutkan, memberi kabar buruk untuk kedua orang tuanya.
***
“Mas, apa kamu sudah ngajukan cerai ke pengadilan agama?”
Adit berdiri membelakangi Amara yang duduk sembari meluruskan kakinya di atas tempat tidur. Sementara matanya memandang taman samping yang dipenuhi dengan tanaman milik Salsa. Segerumbul bunga tapak dara berwarna merah jambu, dan pot-pot berisi bunga euphorbia merah menghiasi satu bagian taman. Sebuah rak bercat putih diletakkan di satu sisi, dengan pot berisi suplir, sri rejeki, sirih gading, dan lidah mertua, dan entah apalagi. Adit tak begitu tahu nama semua tanaman itu.
Salsa sering menghabiskan akhir pekan merawat tanaman-tanaman itu. Dia sama sekali tidak takut kulitnya terbakar sinar matahari. Perempuan tangguh itu selalu mengatakan sinar matahari itu sehat. Adit ingat, dia biasanya datang dengan dua cangkir kopi untuknya dan Salsa. Setelah Salsa selesai, mereka akan duduk bersisian memperhatikan tanaman-tanaman itu dan mengobrol tentang rencana indah untuk rumah tangga mereka.
“Mas, kok nggak jawab sih?!” Amara mencebik kesal.
“Belum, kenapa?”
“Terus kapan mau diurus? Ini sudah dua minggu, loh.”
“Jangan ngatur aku, Ra! Aku nggak suka kamu ikut campur dalam urusanku dengan Salsa.”
“Tapi, kan Mas Adit sendiri yang udah ngucap talak? Emang mau ditarik lagi, gitu? Mas Adit rela aku kembali serumah sama Salsa dan dia ngancam keselamatanku?”
Adit tak menjawab omelan Amara.
“Mas, kok diem aja sih?! Aku udah bilang kalo Salsa itu cemburu sama kehamilanku. Makanya, dia berkali-kali berusaha nyelakain aku. Mas Adit nggak percaya sih sama omonganku. Gimana kalo terjadi sesuatu sama aku dan bayiku? Pokoknya ini semua salah Mas Adit kalo sampai Salsa balik ke rumah ini dan aku celaka lagi!”
Amara berbaring dan berbalik membelakangi Adit yang masih termangu.
Lelaki itu masih betah menatap semua tanaman yang mengingatkannya pada Salsa. Jauh di dalam hatinya, dia tak percaya Salsa bisa melakukan sesuatu yang jahat pada Amara. Dia sangat mengenal Salsa. Istrinya itu tegas dan tak mudah mengalah. Tapi mencelakakan seseorang? Itu terlihat sama sekali bukan Salsa.
“Ya sudah kalo masih cinta sama Salsa. Biar aku yang pulang ke rumah ayah ibuku. Kamu nggak usah ngurusin aku lagi. Tapi ingat ... jangan harap bisa ketemu sama anak kamu, Mas!”
Suara Amara membuyarkan lamunan Adit, dan sekarang perempuan itu beranjak dari ranjang. Hendak melangkah meninggalkan kamar.
“Ra, oke ... beri aku waktu. Aku mau ngurus perceraianku. Kamu nggak perlu pergi dari sini. Oke?”
Adit menarik tangan Amara. Perempuan itu pura-pura memasang wajah cemberut. Dalam hatinya dia bersorak senang. Akhirnya keinginannya untuk menjadi satu-satunya istri Adit akan segera tercapai.
Salsa sudah kalah dan tertendang tanpa ampun. Amara menyembunyikan senyum liciknya. Membayangkan akan memiliki rumah besar ini, mobil, dan semua yang dulunya menjadi milik Salsa. Termasuk suami Salsa, Aditya Giri Nugraha.
***
Salsa masih tertegun di teras rumahnya. Rumah yang dipenuhi berbagai tanaman milik mamanya ini, biasanya selalu bisa menghibur Salsa. Tapi tidak malam ini, dia belum berani melangkah karena tidak tahu apa yang akan dikatakannya pada ayah dan mamanya yang tak tahu menahu tentang kisah hancurnya rumah tangganya.
Salsa maju dan baru saja akan memencet bel ketika pintu terbuka dan wajah mamanya yang teduh muncul.
“Salsa? Kok nggak bilang mau datang?”
Utami, mamanya Salsa, meraih bahu putri bungsunya dan memeluknya hangat.
“Iya Ma, tadi ... mendadak aja pengen ke sini,” jawab Salsa sembari membalas pelukan mamanya.
“Ayo, masuk. Kamu sudah makan? Kebetulan Mama masak soto daging kesukaan kamu. Kok ya bisa pas? Sudah lama loh, Mama nggak masak soto daging. Soalnya Ayahmu kan nggak bisa banyak makan daging sekarang ini.”
Utami menuntun Salsa masuk.
“Belum Ma, belum makan. Tadi dari kampus langsung kesini.” Salsa menjawab lirih.
“Adit mana? Kamu datang sendirian?”
Mereka berbicara sambil melangkah menuju ruang tengah.
“Yah, ini Salsa datang.” Utami memanggil suaminya yang kelihatan baru saja menutup mushafnya.
“Salsa … Alhamdulillah lama kamu nggak datang? Sehat, kan? Sama suamimu?”Hamid, ayah Salsa, mengedarkan pandangannya ke belakang putrinya, mencari Adit.
Salsa diam, membuat kedua orang tuanya itu saling menatap heran. Mereka merasa ada sesuatu yang salah dengan putrinya. Salsa mendekat pada ayahnya, menarik tangan lelaki tua itu dan menciumnya sambil menangis.
“Ayah ... Mama, maafkan Salsa. Salsa gagal. Salsa nggak bisa menyelamatkan pernikahan Salsa, Yah!” Salsa menghambur ke pelukan ayahnya. Meluapkan tangis yang sejak lama ditahannya.
“Mas Adit menceraikan Salsa, Yah. Kami sudah bercerai.” Salsa tergugu pilu dalam pelukan ayahnya. Tak ada lagi tegar yang dibangunnya untuk menghalau sendunya. Melihat pundak ayahnya, Salsa merasa menemukan kembali jalan pulang dan tempatnya bersandar.
Utami dan Hamid terdiam, mendengarkan tangis putri bungsu mereka. Tak ada percakapan, hanya suara tangis Salsa yang perlahan mereda. Kembali pulang dalam pelukan ayah dan mamanya, Salsa merasa ada sedikit beban yang terangkat. Dia bersyukur memiliki orang tua yang tidak menyalahkan dan menghujaninya dengan tanya yang tak perlu. Keduanya hanya mendengar tanpa menghakimi dan menuding siapa yang salah.
***
“Jadi, langkahmu selanjutnya apa, Nduk?” tanya Ayah.
Mereka duduk bertiga, berdekatan di ruang keluarga.
“Salsa ... akan bersiap menghadapi gugatan cerai Adit, Yah,” jawab Salsa lirih.
Mamanya dengan lembut menghapus sisa air mata yang telah mengering di sudut mata Salsa. Meninggalkan halus sentuhan tangan seorang ibu, dan memberi Salsa alasan untuk tersenyum.
“Kamu ... harus tegar ya, Nduk. Memang perceraian itu sangat dibenci Allah. Arsy ini bergetar setiap terjadi perceraian. Ndak ada orang tua yang ingin melihat anaknya bercerai, Nduk. Tapi kamu, ndak usah kuatir. Kami akan selalu mendukung kamu. Jangan ragu untuk mencari Ayah dan Mama jika kamu memerlukan tempat untuk pulang, Nduk.”
Salsa mengangguk lemah.
“Sa, sampai kapan pun kamu akan selalu menjadi putri kami, Nduk. Mama dan Ayah ndak akan pernah berhenti menjadi orang tuamu, sahabatmu, tempatmu berkeluh kesah. Kami akan selalu ada untuk kamu, Nduk.”
Utami memeluk putrinya, menepuk punggungnya dengan lembut. Seolah meninabobokan sang putri bungsu, seperti ketika Salsa masih kecil dulu. Salsa pun memejamkan matanya, menikmati luruhnya kesedihan dalam pelukan mamanya.
Assalamualaikum, dearest readers. Mulai hari ini Setelah Bercerai akan terbit di Karyakarsa ya. Semoga suka dan baca terus sampe tamat. Btw ini tulisan pertama saya hihi jadi mon maap kalo masih agak kaku gitu yaa :-)
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
