Latte untuk Mocca: Part 7 dan 8

2
0
Deskripsi

“Gue mau cari Ghi,” ucap Jo datar. 

“Mau ngapain, lu?” Yohan merasa sekarang dia bergidik. 

“Gue mau nyerahin bayi itu sama Ghi. Gue mau dia tanggung jawab. Gue mau cari Ghi,” terang Jo. Wajahnya terlihat tegang ketika memberi tahu Yohan.

“Kacau lu ya,” kata Yohan. Dia bingung bagaimana menanggapi. Menurutnya itu bukan ide bagus. Yohan khawatir Jo akan menyesal kalau memang itu terjadi. 

“Dia yang terakhir nidurin Vanessa, sebelum perempuan itu hamil. Gue nggak mau hidup gue kacau gara-gara...

Part 7: Ide Konyol vs Ide Bagus

“Ada satu tempat kosong, yang menurut saya strategis, Pak. Tepat di samping resto pizza itu. Dulunya itu counter punya Creamy Gelato. Saran saya, Pak Jo ambil tempat itu. Masalah sewanya masih bisa dinego.”

Bu Vero berhenti bicara, menunggu tanggapan Jo. Anehnya lelaki itu sedang menunduk, menatap lantai sambil menggenggam ponselnya kuat-kuat. 

Yohan meliriknya. Menyenggol bahu temannya sambil berbisik memanggil Jo. Barulah lelaki itu tersadar. 

“Ya Bu? Gimana? Maaf, saya tadi … sedang ….”

“Kami tertarik dengan counter itu, Bu. Kalo masih ada gerobak bekas jualannya mungkin bisa kami modifikasi supaya sesuai dengan tema I Coffee You akan lebih baik, Bu.” Yohan yang menjawab. Dia tidak mau terlihat tidak professional di depan Bu Vero, sang manager operasional mall. 

“Ada, Pak. Nanti saya hubungi bagian operasional untuk menunjukkan gerobaknya. Kapan Pak Yohan mau cek?”

“Gimana kalo saya tunggu kabar dari Ibu, kalo gerobak itu sudah siap dicek saya akan datang lagi,” kata Yohan. 

Sementara Jo hanya manggut-manggut. Mendengarkan percakapan yang bagaikan dengungan lebah di telinganya. Dia tahu, dia sudah bersikap tidak professional. Tapi tinggal di rumah Mamanya, dengan Adelia berkeliaran di mana-mana sangat tidak baik untuk kesehatan mentalnya. 

Jo jadi merasa dikejar-kejar hantu Vanessa dan perselingkuhannya. Belum lagi urusan apartemen yang belum laku. Padahal Jo merasa sudah muak dan harus menyingkirkan semua benda yang ada hubungannya dengan Vanessa. Tapi apartemen itu malah kelihatan seperti horcrux Voldemort dalam novel Harry Potter, sulit dihancurkan. 

“Baik Pak Yohan, segera saya kontak lagi ya. Terima kasih,” ucap Bu Vero. Ternyata perempuan berbusana abu-abu itu sudah berdiri dan menjabat tangan Yohan. 

Jo gelagapan, lalu ikut berdiri dan menjabat tangan Bu Vero. Segera setelah perempuan itu menjauh, Yohan menyeretnya. Jo tahu, Yohan pasti murka padanya.

Mereka berjalan cepat menuju area parkir P3. Begitu sampai, Yohan mendorong Jo untuk masuk ke mobilnya. Lalu dia pun membanting tubuhnya di kursi pengemudi. Lelaki itu menghela napas, lalu berbalik menyamping. Menatap Jo yang sedang menutup mata sambil menyandarkan kepalanya.

“Lu maunya apa sih, Jo?”

“Maksud, lu?” tanya Jo.

“Kita kerja bareng ya, Jo. Kalo lu kacau, imbasnya ke kerjaan kita. Lu tau kan Bu Vero itu sudah baik banget sama kita. Dia bahkan mau nego harga untuk sewa tempat di mall sebesar itu, dan lu malah kaya orang bego!”

“Wow, wow, santai, man. Lu nggak usah marah-marah gitu juga,” elak Jo. 

“Trus lu maunya gue gimana?! Ikut bego kaya elu, gitu?!” Yohan memelotot lalu memukul setir dengan gemas. 

Setelahnya mereka berdua diam. Hanya suara helaan napas berat yang terdengar. Jo tahu dia mengacaukan semuanya hari ini. Dia bahkan sama sekali tidak menangkap pembicaraan Bu Vero dengan Yohan. Untunglah, Yohan sigap menangani situasi. 

“Gue nggak bisa fokus kerja, Yo, sorry.”

“Apa lagi sih masalahnya?!” bentak Yohan. 

“Gue mau jual apartemen gue, tapi belum laku juga. Gue mau beli rumah, yang agak jauh dari nyokap,” kata Jo letih.

“Emang kenapa kalo lu tinggal sama nyokap?”

“Lu nggak tau, Yo. Gue bisa gila kalo tinggal di sana terus. Tiap malem, tiap pagi gue disuguhi pemandangan bayi sialan itu! Setiap kali gue liat bayi itu, gue langsung inget Ghi dan Vanessa hari itu. Gue nggak bisa hidup kaya gini terus, nggak bisa!”

Yohan berdecak mendengar itu. Dia pun tidak mau Joaquin terus-terusan tenggelam dalam trauma. Dia menyadari banyak perubahan yang terjadi dalam diri sahabatnya ini. Fokusnya gampang terganggu, dan Jo terlihat muak melihat perempuan genit. Itu sama sekali tidak seperti Jo. 

Lelaki ini memang bukan playboy. Tapi dia normal. Topik pembicaraan mereka sangat normal untuk ukuran laki-laki. Tertarik pada perempuan cantik dan seksi, dan membicarakan hal mesum bukan hal tabu bagi mereka. Khas laki-laki. 

Sekarang semua hal semacam itu mendadak hilang dari Jo. 

Yohan tahu kebiasaan minum Jo mulai mengkhawatirkan. Lelaki itu menghabiskan uangnya untuk minuman mahal. Hampir setiap malam Jo mengunjungi klub malam. Yohan sudah berusaha menghalanginya dengan cara memberikan lelaki itu banyak pekerjaan. Hasilnya, Jo selalu berhasil menyelinap ke klub malam. 

“Lu kenal kan sama Ghi?” tanya Jo tiba-tiba.

Dua alis Yohan bertemu. “Maksud lu?”

“Ya lu kenal nggak sama Ghi? Kita semua kan satu SMA dulu, pernah nongkrong bareng juga sama Andi, Ghi, elu, Dendy juga.”

“Terus apa hubungannya?” tanya Yohan tidak mengerti. 

“Gue mau cari Ghi,” ucap Jo datar. 

“Mau ngapain, lu?” Yohan merasa sekarang dia bergidik. 

“Gue mau nyerahin bayi itu sama Ghi. Gue mau dia tanggung jawab. Gue mau cari Ghi,” terang Jo. Wajahnya terlihat tegang ketika memberi tahu Yohan.

“Kacau lu ya,” kata Yohan. Dia bingung bagaimana menanggapi. Menurutnya itu bukan ide bagus. Yohan khawatir Jo akan menyesal kalau memang itu terjadi. 

“Dia yang terakhir nidurin Vanessa, sebelum perempuan itu hamil. Gue nggak mau hidup gue kacau gara-gara bayi haram hasil perselingkuhan. Gue akan cari Ghi. Lu harus bantu gue, Yo!”

Yohan melirik Jo, mengunci mulutnya rapat-rapat hanya supaya perdebatan mereka tidak berlanjut. Dia tidak setuju dengan rencana Jo. Tapi tidak tahu cara mencegah lelaki yang sedang frustasi ini supaya tidak menjalankan ide konyolnya itu. 

@@@

 Laptop Irma menyala, menampilkan beberapa file yang sedang dibukanya. Sementara perempuan itu sedang menopangkan satu tangan ke wajahnya. Foto Adelia yang digunakannya sebagai background malah yang sedang menjadi fokusnya. 

Tiga bulan ini perasaannya resah tidak berkesudahan. Bayangan malam-malam yang dilaluinya dengan Adelia dan sikap tertutup Jo yang semakin parah. 

Tadinya Irma berpikir Jo akan mulai jatuh cinta pada Adelia. Bayi itu lucu, tidak rewel dan sangat menggemaskan. Ternyata dia salah. Jo terlihat tersiksa setiap kali melihat bayi itu. Irma dan Hadyan beberapa kali mencoba meletakkan Adelia di pangkuan Jo. 

Lelaki itu menolak. 

Setiap Adelia terbangun di malam hari, Irma dan suaminya yang akan menenangkan. Padahal Irma sengaja menempatkan Adelia di kamar bayi, tepat di samping kamar Jo. Berharap lelaki itu akan tergerak ketika mendengar tangisan Adelia. Tapi itu tidak terjadi. 

Irma memang belum menyerah, tapi dia lelah. Sampai kapan Jo akan berubah keras kepala begini, pikirnya. 

“Selamat siang, Prof. Lagi sibuk?” 

Irma tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Eh, siang Bu Luluk. Nggak sibuk, silakan, Bu.”

Perempuan dengan rambut dipotong pendek itu tersenyum, lalu duduk di kursi di hadapan Irma. “Maaf, Prof, saya tadi udah ngetuk pintu. Tapi Prof Irma nggak denger,” ucapnya.

“Nggak papa, Bu. Saya lagi ngelamun tadi,” Irma terkekeh. 

“Ngelamunin apa to, Prof? Ada artikel yang belum publish ya?” canda Bu Luluk. 

Irma tersenyum kaku. Seandainya permasalahannya hanya semudah artikel yang belum publish, dia pasti tidak akan melamun sedalam itu. Masalah dalam kariernya tidak pernah menjadi beban untuk Irma. Dia baru mendapat gelar guru besar di usia 58 tahun, ketika koleganya sudah lebih dulu mendapat gelar yang sama. Itu bukan masalah besar. Sejak dulu fokus utamanya adalah keluarga, bukan karier. 

“Ah bukan masalah kerjaan kok. Ngomong-ngomong ujian tesisnya jadi hari apa?”

“Nanti akan ada rapat terkait itu, Prof, karena program studi mau ujiannya dalam minggu yang sama. Saya ke sini mau ngasiin undangan dari Pak Sutanto,” kata Bu Luluk sambil mengulurkan undangan berwarna pastel. 

“Pak Sutanto mantu? Bukannya anaknya udah pada nikah?” heran Irma. 

“Ini anak sulungnya yang mau nikah lagi, Prof. Istrinya dulu kan meninggal kecelakaan. Trus anaknya Pak Tanto rada stress gitu, kan. Akhirnya sama Pak Tanto dicariin istri, dijodohin gitu ceritanya. Alhamdulillah anaknya manut. Ini sekarang malah mau nikah,” cerocos Bu Luluk. 

Mata Irma yang tadinya bersinar redup berubah cerah. Ada ide yang melintas di kepalanya. Pandangannya tertuju pada undangan yang sudah dibukanya. Dia mengerjap, sambil berharap nama Joaquin yang tertulis di situ. 

“Jadi betul ya, Prof, obat patah hati itu ya cinta baru.” Bu Luluk tergelak senang. 

Tawa itu menular pada Irma. Perempuan itu ikut tertawa sambil sibuk memikirkan ide yang sekarang berkembang di kepalanya. Siapa kira-kira perempuan yang cocok untuk Jo?! Perempuan yang akan menaklukan keangkuhan dan mencairkan kerasnya hati Joaquin. 

Tok tok tok

Lagi-lagi lamunan Irma buyar. Dia dan Bu Luluk menatap ke ambang pintu bersamaan. 

“Selamat siang, Prof. saya mau menyerahkan file power point untuk webinar.”

Perempuan berhijab kuning pucat itu tersenyum hangat. Bahkan Irma sampai lupa berkedip, karena ide yang sejak tadi berputar di kepalanya menemukan jawaban. 

“Siang, Mocca. Masuk,” kata Irma. Senyum tipisnya berubah penuh. Dia tahu, betapa jantungnya yang empat bulan ini berdetak gelisah, sekarang menjadi merdu. 

Semua itu karena Mocca. Gadis yang sekarang menatapnya dengan mata berbinar riang.

 

Part 8: Ultimatum

Jo menatap balasan chat dari Dendy. Satu tangannya menopang dagu dengan satu jari menyentuh bibir. Lelaki itu baru saja mendapat informasi tentang Ghi. Berteman dengan Ghi sejak SMA tidak membuatnya ingin tahu di mana rumah lelaki itu. Jadi selama bertahun-tahun dia tidak tahu fakta lain tentang Ghi. Hanya apa yang terlihat di depan matanya. 

Jo baru menyadari, dia memang ceroboh dan terlalu sombong saat itu. 

Pintu ruangannya diketuk, dan Vita masuk tak lama kemudian. “Kak, kontainernya udah dapet, desainernya tanya masalah konsep. Gimana, Kak?” 

Tangan Jo meraih foto-foto di dalam folder. Membukanya dengan tergesa. Yohan sudah memperingatkan dia tentang container untuk gerai I CoffeeYou yang baru. Desainernya menunggu persetujuan Jo untuk mulai bekerja merenovasi. Dan Jo malah tidak bisa fokus. 

“Ehm, kuning udah banyak yang pake, Vit,” kata Jo. Matanya masih menelusuri beberapa foto yang diajukan desainer. 

“Ehm, mungkin paduan pink sama … apa ya?” tanyanya tidak yakin.

“Tapi Kak Yohan bilang pink kurang cocok, Kak. Ini kan jualan kopi.” Vita akhirnya duduk di kursi di depan Jo. “Boleh aku liat, Kak, foto-fotonya?”

Jo menyerah, dia memberikan tumpukan file itu pada Vita. Kepalanya masih penuh dengan informasi tentang Ghi. Dia harus secepatnya menemui lelaki brengsek itu. Supaya bisa segera menyingkirkan sumber masalah di rumah Mamanya. 

Adelia. Bayi itu harus segera disingkirkan. Jo tahu kata yang digunakannya terdengar kejam. Tapi sekarang pilihannya antara hidupnya atau bayi itu. Jo ingin hidupnya kembali normal. Mungkin bayangan pengkhianatan itu masih akan tertanam dalam memorinya, tapi paling tidak dia bisa mendapatkan fokusnya lagi. 

“Gini aja deh, Vit. Kamu cek lagi foto-foto ini. Sekalian survey internet, cari pandangan untuk kontainer makanan. Kalo udah dapet kamu share ke saya.” Jo berdiri, meraih ponselnya. 

“Kak Jo mau ke mana?” tanya Vita yang melongo. Yohan sudah mewanti-wanti sebelum pergi tadi. Vita disuruh memastikan kalau Jo sudah mengambil keputusan. 

“Ada urusan, nanti habis duhur saya balik.” Tanpa mempedulikan ekspresi kebingungan Vita dia melangkah. Jo berjanji, setelah masalah Adelia selesai dia akan bekerja habis-habisan. Menyelesaikan semua targetnya bersama Yohan. 

Ada semangat yang berkobar ketika dia menginjak pedal gas Expander putihnya. Dia harus bertemu Ghi hari ini!

Jo menepikan mobilnya, turun dan celingukan di depan pagar tinggi yang kelihatan tidak ramah itu. Dia sedikit terpana, tidak menyangka ternyata rumah Ghi berada di kawasan elit. Tidak menyangka juga kalau rumahnya megah dan mewah. 

Seingatnya dulu Ghi jarang membicarakan tentang keluarganya. Lelaki itu tidak sombong, sebaliknya ramah dan tidak segan membantu temannya yang kesulitan. Jo ingat, Ghi pernah beberapa kali membayar ketika mereka nongkrong bareng. Apa ini yang membuat Vanessa takluk pada pesona lelaki itu?!

Sial! 

Jo merutuk dalam hati. Kenapa dia malah teringat Vanessa dan Ghi?! Itu membuat lukanya berdarah lagi. 

Tangan Jo menekan bel. Menunggu dua menit sebelum seorang lelaki berkemeja biru keluar. 

“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” kata lelaki itu sopan.

“Ini benar rumahnya Ghi?”

“Maksudnya Mas Ghiandra? Benar, Pak,” jawab si baju biru. 

Jo menghembuskan napas lega. “Saya bisa ketemu sama Ghi?”

Si baju biru tertegun, lalu membukakan pintu pagar. “Silakan masuk dulu, Pak,” katanya. 

Jo sebenarnya tidak berminat untuk masuk. Dia tidak mau merasa lebih terintimidasi lagi. Melihat tampilan luar rumah ini saja sudah membuatnya merasa kecil. Apalagi jika harus duduk di ruang tamu dan disuguhi berbagai hal mewah. Dia akan semakin merasa tidak berharga. 

“Saya tunggu di sini saja,” tolak Jo.

“Maaf, kalo boleh tau Bapak temannya Mas Ghi?”

“Iya, teman SMA. Bisa saya ketemu dia di sini aja?” ucap Jo cepat.

“Mas Ghi sudah 3 bulan ini pergi, Pak. Tapi kalo memang penting Bapak bisa ketemu sama Ibu, beliau ada di dalam.”

Jo heran kenapa penjaga rumah Ghi ini terlihat begitu ramah. Dan jawabannya tentang Ghi yang sudah pergi selama 3 bulan membuatnya tidak senang. Solusi yang awalnya terlihat bagus sekarang menjadi buntu. 

“Nggak usah, saya nggak ada urusan sama Ibunya Ghi,” tolak Jo. 

“Baik kalo begitu. Kalo boleh tau, nama Bapak siapa? Nanti saya sampaikan ke Ibu dan Mas Ghi,” kata si penjaga. 

“Saya Jo. Kalo boleh tau, Ghi pergi ke mana? Kapan dia pulang?” 

“Mas Ghi dikirim Ayahnya ke Singapura, Pak. Ada tugas katanya. Saya juga nggak tau kapan pulangnya,” jawab si penjaga masih dengan ekspresi ramah. 

Jo mengangguk. Dia putus asa mendengar itu. Bisa saja dia pergi ke Singapura untuk mencari Ghi, tapi lalu apa? Lagipula itu akan membutuhkan waktu, tenaga dan uang. Sementara dia harus mengurus bisnisnya dan tidak punya waktu untuk kepusingan lain. 

Sambil menghembuskan napas berat, Jo mengangguk dan berterima kasih. Meninggalkan penjaga berwajah ramah yang kelihatan bertanya-tanya itu. 

Langkahnya berat ketika berjalan kembali ke mobilnya. Seharusnya dia langsung memberikan Adelia pada Ghi sesaat setelah Vanessa dimakamkan. Pikir Jo. Dia tidak seharusnya membiarkan masalah ini berlarut-larut. 

Tiba-tiba energinya serasa terkuras. Membayangkan akan pulang ke rumahnya dan mendengar tangisan, suara tawa dan melihat wajah mungil Adelia. Jo merasa dunia memusuhinya sekarang ini.

@@@

Sudah lewat tengah malam ketika mobil Jo memasuki garasi rumahnya. Malam ini Yohan berhasil membuatnya tetap bekerja. Lelaki itu tidak punya waktu untuk menyelinap ke klub malam, seperti biasa. 

Setelah pulang dari rumah Ghi, Yohan sudah menunggunya. Menyeretnya ke ruangan untuk menyelesaikan pekerjaa. Jo menurut saja, karena dia tidak punya tenaga untuk berdebat. Tidak setelah mengetahui kalau Ghi tidak ada di Indonesia. Jo harus memikirkan cara lain supaya tidak hidup di bawah satu atap dengan Adelia. 

Dan tadi dia begitu sumpek, sampai akhirnya memilih patuh pada Yohan. Menyelesaikan konsep kontainer dengan Safri –si desainer- di bawah pengawasan Yohan yang mendelik padanya tiap 5 menit.

Jo membuka pintu samping. Berusaha supaya deritnya tidak terdengar. Setelah membuka sepatunya, dia berjingkat menuju tangga. Rumah Mamanya sudah senyap. Lantai 2 juga sudah gelap, hanya lampu berwarna oranye di ruang baca yang menyala. 

Jo bersyukur. Paling tidak dia tidak perlu melihat Adelia. Kakinya sudah mulai menapak anak tangga. Ketika lampu ruang tengah menyala. 

“Mama?! Kok belum tidur?!” tanya Jo. 

“Mama sengaja nunggu kamu pulang,” ucap Irma dengan ekspresi serius.

Jo membuang napas. Kalau Mamanya memasang ekspresi seperti itu, pasti ada hal penting yang akan dibicarakannya. Sepertinya angan-angannya untuk berbaring di kasur empuknya harus ditunda. 

“Duduk,” perintah Irma. Tak lama Hadyan ikut bergabung. Jo mengerang dalam hati. Kenapa orangtuanya menunggunya pulang dan sekarang dua-duanya duduk di hadapannya dengan ekspresi menyeramkan. 

“Buat apa kamu ke rumah Ghi?” tanya Irma.

Jo melotot. Bagaimana Mamanya bisa tahu kalau dia ke rumah Ghi?! “Mama ngikutin aku?!”

“Jangan balik nanya. Jawab dulu pertanyaan Mama,” balas Irma. Nadanya tidak enak didengar. 

“Saya harus menyelesaikan masalah saya,” ucap Jo.

“Dengan cara menyerahkan Adelia sama Ghi?! Kamu pernah mikir nggak kalo kamu bisa nyesel, Jo?! Gimana kalo Adelia memang anak kamu?!” sembur Irma. 

“Jangan menyalahkan Adelia kalo kamu kehilangan hidup kamu. tanyakan sama diri kamu sendiri, Jo. Siapa yang sudah bikin hidup kamu kacau?! Kamu sendiri!”

“Ma, ini semua gara-gara Vanessa. Dan bayi itu. Hidup saya baik-baik saja sebelum Vanessa selingkuh dan melahirkan bayi itu,” elak Jo. 

Grow up, Jo.” Sekarang suara Ayahnya yang terdengar. “Kamu nggak bisa memperbaiki kekacauan dengan kekacauan lain.” Hadyan menasihati dengan lembut. 

“Dan jangan pernah mikir kamu bisa ngasiin Adelia ke orang lain. Adelia bukan barang, dia itu bayi, anak kamu Jo!” tekan Irma dengan penuh emosi. Mata perempuan itu berkaca-kaca, dan Jo merasa bersalah. 

“Mama sadar nggak?! Kita jadi sering bertengkar sejak ada bayi itu. Rumah ini nggak tenang lagi. Selalu ada suara tangisan, rengekan, dan nggak tau apa lagi. Telinga saya sakit, saya nggak bisa tidur dengan tenang gara-gara bayi brengsek itu!”

“Jo!” protes Irma. Dia sangat kecewa dengan tiga kata terakhir yang keluar dari mulut putranya. 

“Maaf, Ma. Saya nggak tahan lagi. Saya mau pindah dari sini,” kata Jo akhirnya.

Irma dan Hadyan terperangah mendengar itu. Tidak menyangka Jo begitu marah pada Adelia sampai dia ingin pindah. Ini rumah orangtuanya. Rumah yang pintunya selalu terbuka untuknya. Dan Jo tidak lagi betah di sini. 

“Mama … punya saran yang lebih bagus buat kamu Jo,” ucap Irma hati-hati. 

Jo yang tadinya menunduk dalam, menatap Irma dengan waspada. 

“Kamu harus menikah lagi, Mama punya calonnya.”

“Apa?!” Jo terperangah mendengar ultimatum Mamanya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Latte untuk Mocca: Part 9 dan 10
1
0
Semalam setelah Mamanya mengusulkan dia untuk menikah, Jo menolak mentah-mentah. Baginya itu usul yang menggelikan. Hidupnya yang sekarang jungkir balik ini karena Vanessa dan Adelia. Plus, perselingkuhan Vanessa sebagai pembuka. Dan Mamanya tiba-tiba melontarkan usul menikah lagi. Seakan menikah segampang mencari kontainer untuk gerai makanannya. Jo jelas-jelas tidak setuju. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan