Latte untuk Mocca: Bab 1-10

1
0
Deskripsi

Hidup Joaquin Airlangga hancur setelah menemukan Vanessa –istrinya- berselingkuh dengan lelaki lain. Joaquin menuntut cerai, sialnya Vanessa hamil sehingga proses cerai harus terjeda sampai Vanessa melahirkan. Hidup Jo yang awalnya sukses mendadak berantakan. Apalagi dia terjebak trauma karena perselingkuhan itu. Hatinya semakin sakit karena Vanessa memamerkan kemesraan dengan lelaki selingkuhannya, menjadikan Jo sasaran gossip. Jo merasa semakin terpuruk karena Vanessa meninggal sesaat setelah...

Bab 1 

Anniversary

 

Jo terbangun karena alarm digitalnya berbunyi. Dia berbalik dan mengulurkan tangan untuk mematikan alarm. Angka lima yang tertera di alarm mengundang kantuknya lagi. Lelaki berkulit cokelat itu berbalik lagi, memeluk perempuan yang masih terlelap di sampingnya. 

Mata Jo menelisik wajah istrinya. Perempuan berkulit cerah dengan bibir penuh dan rambut ikal panjang yang dicat caramel brown. Lelaki itu tidak tahan untuk tidak mengecup pipi mulus Vanessa. Menghujaninya dengan ciuman lembut. 

Perempuan itu membuka mata, menatap Jo dengan setengah mengantuk. “Apaan sih, Jo?” katanya merengut.

“Gemes,” ucap Jo terkekeh.

“Masak gemes lagi, semalem udah gemes berkali-kali juga,” protes Vanessa. Dia berbalik, memunggungi Jo dan bersiap memejamkan mata lagi. 

“Sayang, jangan tidur lagi dong. Bercinta lagi yuk,” goda Jo. Tangannya mulai membelai tubuh Vanessa, sambil sesekali mendaratkan kecupan menggoda. 

“Capek tau, Jo.”

“Satu kali aja, please,” ucap Jo lagi.

“Besok lagi ya, Jo. Lagian kamu, kan ntar kerja, katanya ada janjian pagi sama Yohan.” Vanessa mengelak, menjauhkan tubuhnya dari Jo dan menarik selimutnya lebih rapat. 

“Katanya pengen punya bayi, makanya ayo bercinta lagi.” Jo belum menyerah. Dia sengaja menggoda Vanessa, tahu pada akhirnya perempuan itu akan menyerah pada rayuannya. 

“Jangan sekarang ya, Jo. Badanku rasanya remuk gara-gara kamu.” Vanessa menyingkirkan tangan Jo dari pahanya. Mendorong Jo untuk menjauh. 

Lelaki itu akhirnya bangkit sambil masih tersenyum geli. Dengan hati-hati ditariknya laci di samping tempat tidurnya. Dia mengeluarkan kotak beludru berwarna biru. Mendekati Vanessa yang sudah terlelap lagi. 

“Nes, coba liat sini.” Jo menarik selimut Vanessa, lalu meraih bahunya. “Aku punya hadiah buat kamu,” bisiknya.

Mendengar kata hadiah Vanessa membuka mata, lalu berbalik perlahan. Hal pertama yang ditangkap matanya adalah kilauan berlian dari dalam kotak itu. Matanya yang tadi masih mengantuk, tiba-tiba membuka lebar. Cincin dengan mata berbentuk kelopak bunga itu tidak hanya dihiasi satu berlian, ada beberapa berlian kecil mengelilingi satu berlian yang lebih besar.

Perempuan cantik itu bangkit, membuka mulutnya dan langsung meraih kotak di tangan Jo. “Gosh, Jo. Ini … cantik banget. God, kok kamu bisa tau sih apa yang aku pengen?!” katanya, dengan mata masih menatap pada cincin yang terlihat mahal itu.

“Apa sih yang nggak buat kamu, Nes,” bisik Jo. Lelaki itu mengecup leher istrinya. Lalu mengambil cincin dan memasangnya di jari terawat Vanessa.

Mata Vanessa semakin berbinar. Memperhatikan cincin itu di jarinya, lalu merentangkan lengannya memeluk Jo dengan perasaan bahagia yang tidak ditutup-tutupi.

“Makasih ya, Jo. I love you so much. Btw ini hadiah dalam rangka apa sih?” 

“Ck, kamu lupa lagi. Sekarang anniversary kita, sayang. Dua tahun pernikahan kita,” ucap Jo.

“Ya ampun, aku kok bisa lupa sih. Maaf ya, Jo. Kemarin aku sibuk banget sama orderan, sampe nggak liat kalender.” Vanessa memasang wajah memohon maaf. 

Jo hanya tersenyum tipis. Seperti biasa, dia paham dengan kesibukan Vanessa. Dan tidak pernah protes karena Vanessa kadang begitu sibuk dengan bisnis barang branded-nya. Lelaki itu bangkit, setelah mengecup kening dan bibir istrinya. 

“Aku mandi dulu ya, oh iya nanti ada kiriman cake. Aku yang pesen, Nes,” katanya sambil berjalan ke kamar mandi. 

Vanessa hanya mengangguk, matanya masih tertuju pada cincin yang memukau itu. Dia tidak peduli apakah ada cake atau apa pun itu. Sudah tidak penting karena cincin berlian yang sejak lama dimintanya pada Jo, hari ini sudah menjadi miliknya.

@@@

Jo berdiri di depan kaca, merapikan kemeja yang baru saja dikenakannya. Bayangan percintaan dengan istrinya mengisi benaknya. Dia tidak bisa menahan senyum. Sangat bahagia karena di usianya yang baru 32 tahun, pencapaiannya melampaui pencapaian teman-teman seusianya. 

Dia memiliki tiga gerai Take Mie with You yang penjualannya naik terus. Gerai yang didesain dengan gaya remaja itu menjual mie dengan berbagai modifikasi. Harganya yang terjangkau membuat gerainya diserbu pembeli berusia remaja. 

Tiga bulan lagi dia akan membuka gerai baru, I Coffee You. Gerai yang ini akan fokus pada minuman berbahan kopi dengan segala variasinya. Kepala Jo dipenuhi berbagai rencana ambisius untuk bisnisnya. 

Dia, Joaquin Airlangga, penyandang gelar master of engineering dari salah satu universitas di Jepang. Pemilik bisnis yang sukses di usia muda, sekaligus suami yang sangat bahagia. 

Ingatan Jo melayang pada masa-masa awal ketika dia memutuskan berbisnis, tidak mengikuti jejak orangtuanya untuk menjadi dosen. Ayahnya mendukung penuh, dan Mamanya sedikit khawatir karena pendidikan Jo sama sekali tidak berkaitan dengan bisnis. Kekhawatiran Mamanya tidak terbukti karena Jo sukses dengan gerai mie pertamanya. 

Lalu, ingatannya berpindah pada momen pernikahannya dengan Vanessa. Perempuan itu adalah cinta dalam hidupnya. Mereka sudah berpacaran sejak SMA. Terkenal sebagai pasangan populer sekolah, bagaikan high school sweethearts. Jo menikahi Vanessa, 6 bulan setelah dia menyelesaikan pendidikan masternya. 

2 tahun menikahi Vanessa, dia merasa lengkap. Bukan hanya bahagia. Apalagi tiga bulan yang lalu Vanessa memberitahu kalau sudah melepas kontrasepsinya. Jo merasa kebahagiaanya akan semakin lengkap karena membayangkan dia dan Vanessa akan memiliki anak. 

“Jo, kamu mau sarapan?” Suara Vanessa terdengar dari dapur. Jo keluar dari kamarnya, berjalan menghampiri istrinya yang sedang membuat kopi.

“Mau sarapan bubur Manado nggak? Aku beliin di bawah,” tawar Vanessa. 

Jo menggeleng, duduk di salah satu kursi di kitchen island mengamati Vanessa. “Kalo telur mata sapi aja gimana?”

Vanessa berbalik, memegang coffee pot di tangan kanan dan cangkir di tangan kiri. “Aku nggak sempat bikinnya, Jo. Aku janjian sama Anita ntar jam 9. Dia mau ngenalin aku ke club arisan sosialita, biar daganganku makin banyak yang beli,” terang Vanessa.

Lelaki berkemeja biru itu mengangguk. Enggan memaksa istrinya memasak walaupun hanya telur mata sapi. “Ya udah, aku nanti sarapan sama Yohan. Btw cakenya belum sampe juga?” Jo mengecek arlojinya. 

“Belum tuh,” kata Vanessa mengangkat bahu. 

Tangan Jo mengutak atik ponsel, mengirimkan pesan pada penjual cake. 

[Mohon maaf, Pak. Cakenya akan dikirim jam 12 siang ke kantor Bapak.] Balasan dari akun bisnis berlabel Romantic Cake itu membuat Jo mengerutkan kening. Tapi screen shot yang berisi pesan Jo tentang jam berapa dan ke mana cake itu harus dikirim membuat lelaki menarik napas panjang. Lelaki itu baru ingat kalau awalnya berencana memberikan kejutan pada Vanessa di kantornya. 

“Aku berangkat duluan ya kalo gitu, nggak papa kan? Mungkin pulangnya malem, aku mau cek beberapa keperluan untuk gerai I Coffee You,” kata Jo.

Vanessa menggeleng. “Nggak papa, Jo. Aku paling sampe apartemen jam 4 sore. Ntar makan malem aku beliin sekalian ya.” Katanya sambil mengecup pipi suaminya.  Setelahnya dia mengantar Jo sampai ke pintu apartemen. Jo masih sempat berbalik sebelum memasuki lift. Melambai dan meniupkan ciuman untuk istrinya. 

Sepanjang perjalanan ke kantornya pagi ini, Jo tidak bisa berhenti berpikir betapa dia sangat beruntung. Tidak ada yang bisa menyamai pencapaiannya saat ini. Tidak ada, pikir Jo.

@@@

“Kak Jo, ada kiriman cake buat kamu, nih.” Vita, salah satu pegawainya muncul di ambang pintu. Lelaki itu memang meminta pegawainya memanggilnya Kakak, supaya tidak terkesan terlalu serius. Ini juga salah satu strateginya dalam memimpin, berusaha dekat dengan bawahan tanpa melupakan etika. 

“Makasih, Vit. Tolong taruh di meja itu ya,” katanya menunjuk meja bundar di samping sofa. 

“Wah ada acara apa, Jo?” Yohan mendekati cake, menatapnya dengan air liur siap menetes. 

“Eits, jangan disentuh. Itu buat Vanessa. Hari ini anniversary pernikahan kami,” kata Jo.

“Pantesan dari tadi bersinar-sinar itu muka, pasti lu habis dapet jatah semalem. Hadiah anniversary gitu. Dapet berapa ronde lu, bro?”

“Mulut ya mulut, jomblo aja sok tau urusan orang udah kawin.”

“Biar jomblo gue paham lah urusan ranjang. Lu jangan ngeremehin gue ya, Jo,” Yohan bersungut-sungut.

“Udah jangan ngomel mulu ya, ini urusan cari tempat bisa nggak lu kontak Bu Vero. Gue sudah kasi intro sama beliau.”

“Lu mau ke mana, Jo?” Yohan menatap Jo heran. 

“Gue mau ke apartemen dulu, naruh cake. Siapa tau Vanessa ntar pulang lebih dulu dari gue.”

Jo langsung beranjak, meraih paper bag berisi cake dan berlalu sebelum Yohan bertanya lagi. Anak Jakarta yang sudah lama menetap di Malang itu memang kadar kekepoannya kadang di luar batas. Khususnya kalau menyangkut urusan mesum.

Dengan senyum yang tidak lepas dari bibirnya, Jo mengendarai Expander putihnya menuju apartemen. Benaknya sudah sibuk membayangkan bagaimana raut wajah Vanessa ketika melihat Devil Cake ini menyambutnya nanti. Perempuan itu selalu lemah pada makanan manis, berbeda dengan Jo yang tidak terlalu suka manis.

Jo tahu betul bagaimana Vanessa tergila-gila pada berbagai macam cake berbahan cokelat. Devil cake, chocolate ganache, black forrest, sacher torte dan cake lain yang Jo tidak tahu namanya. Senyum Jo semakin lebar. 

Tak lama dia sudah memarkir mobilnya di basement. Lalu bergegas menuju lobi, memencet tombol lift dengan sekali tekan. Lelaki itu berhenti di lantai 10 dan melangkah cepat menuju unitnya. 

Ketika akan menekan tombol password, tangannya mendadak gemetar. Jo sempat heran sendiri. Apalagi ketika dia merasa seakan-akan dadanya berdebar gelisah. Lelaki itu menghembuskan napas, sekadar melepas resah lalu menekan password. 

Dia mendorong pintu, dan menemukan dua cangkir di atas meja ruang tamu. Debaran di dada Jo semakin cepat. Kakinya yang melangkah menyusuri apartemen mendadak gemetar. Dia mendengar suara dari kamarnya. 

Apakah Vanessa sudah pulang? Bukankah tadi istrinya bilang akan pulang jam 4 sore? Tapi kenapa sekarang Jo mendengar desahannya?! Atau ini hanya angan-angannya saja?!

Langkah Jo semakin mendekati pintu kamar yang tidak tertutup sepenuhnya. Dari celah itu dia melihat pemandangan yang membuat dunianya runtuh. Paper bag berisi cake di tangannya terjatuh begitu saja. membentur lantai apartemen yang dingin, dan pasti membuat bentuknya berantakan. 

Napas Jo mendadak sesak. Bukan hanya itu, seperti ada sesuatu yang memukul kepalanya. Matanya yang membulat terasa berair. Ini tidak mungkin! Dia adalah Joaquin, lelaki yang memiliki pencapaian sempurna. 

Tapi apa yang dilihatnya sekarang sama sekali tidak sempurna. Di sana, di atas ranjang yang semalam dipakainya bercinta dengan Vanessa, dia melihat kehancuran hidupnya. 

Vanessa sedang bergumul dengan lelaki lain!

 

Bab 2 

Hancur

 

Tangan Jo mengepal erat, bersamaan dengan keringat yang membasahi keningnya. Dia tahu matanya berkaca-kaca, bukan karena sedih tapi marah. Lelaki itu merasa kepalanya kosong selama beberapa saat. Dia menjadi bodoh, tidak tahu bagaimana menghadapi situasi yang tidak pernah ada dalam pikirannya ini. 

Lelaki dan perempuan itu mendesah nyaris bersamaan, mengungkapkan kepuasaan atas perzinahan yang begitu menjijikkan bagi Jo. Dan saat itulah tangan Jo mendorong pintu. Membukanya lebar, dan langsung menatap Vanessa dengan mata memerah. 

“Jo!” jerit Vanessa yang langsung meraih selimut. 

Sedangkan lelaki berkulit terang itu langsung menyingkir dari tubuh Vanessa. Dan Jo langsung mengenali siapa lelaki yang baru saja meniduri istrinya. 

“Ghi?! Kamu … brengsek! bajingan! ”Jo sudah menghambur ke arah Ghiandra, menarik lelaki itu dari ranjangnya yang sekarang berantakan. 

Kemarahan Jo tidak dapat lagi ditahan. Dia mengarahkan tinjunya ke muka Ghiandra yang hanya bisa menangkis. Ketika Ghi tersungkur Jo menggunakan kakinya yang bersepatu boot untuk menendang lelaki itu. 

“Jo, cukup! Berhenti, Jo! Ghi bisa mati. Please, Jo!” 

Mata Jo membelalak. Vanessa, istri yang dicintainya sekarang sedang bersimpuh di depannya. Melindungi Ghi dari serangannya. Perempuan itu bahkan memohon dengan wajah basah oleh air mata. 

Jo merasa dia melewatkan sesuatu. Ada apa dengan Vanessa?! Dia memohon untuk Ghi?! Apa sebenarnya yang terjadi?

Ghiandra Akbar, lelaki ini adalah temannya sejak SMA. Mereka cukup dekat, bahkan sering nongkrong bareng. Jo mengenal baik lelaki berkulit terang ini. Setahunya Ghi bukan tipe lelaki yang akan mengusik rumah tangga orang. Tapi, kenyataan yang sekarang terlihat di depannya sangat berbeda.

“Jo, jangan sakiti Ghi. Aku cinta sama dia, Jo. Aku cinta sama Ghi!” isak Vanessa.

Hati Jo serasa diremas, dihempaskan dan hancur berkeping mendengar itu. Bagaimana mungkin Vanessa mencintai orang lain dan dia sama sekali tidak tahu?! Betapa tololnya dia karena tidak bisa mengendus ketidaksetiaan yang terjadi tepat di depan hidungnya. 

“Apa?! Kamu bilang apa?!” tanya Jo. Seakan pernyataan Vanessa tidak cukup menyakiti hatinya. 

“Aku cinta Ghi, sudah lama, Jo. Maafkan aku,” Vanessa mencicit lagi. Menangis pilu entah karena apa.

Sedangkan Jo hanya berdiri kaku. Membeku mendengar pengakuan Vanessa. Senyum yang sejak pagi menghiasi bibirnya sudah lenyap. Perasaan beruntung karena dia memiliki semuanya di usia 32 tahun hilang tidak berbekas. 

Sekarang dia hanya seorang lelaki menyedihkan yang ditipu istri yang begitu dicintainya. Joaquin Airlangga yang sangat goblok karena dengan mudah dikhianati Vanessa. 

Lelaki itu menunduk, merenungi semua kekalahannya. Terbersit pikiran di kepalanya, seandainya saja dia tidak pulang siang ini. Seandainya dia tidak bersikeras membawa pulang cake ini, dan menunggu saja sampai malam. Seandainya saja dia tidak bodoh. Seandainya saja dia bukan Joaquin. 

Mata Jo menatap kosong pada Vanessa yang masih menangis sambil memeluk Ghi. Perempuan cantik itu terlihat berantakan. Bahkan tubuhnya hanya berbalut selimut. Mungkin selimut yang sama yang semalam dipakainya bersama Jo. 

Tiba-tiba Jo merasa muak. Perempuan yang begitu dicintainya ini ternyata hanya pezina. 

“Jo, please maafkan aku. Aku nggak bermaksud membohongi kamu. I was about to tell you that I love someone else. Please, Jo,” Vanessa menggumam di antara tangisnya. Tangannya yang dingin memeluk kaki Jo. 

Jo masih sempat melihat cincin berlian yang tadi diberikannya melingkar anggun. 

Dia mundur, melepaskan kakinya dari dekapan Vanessa. Tanpa mengatakan apa pun dia melangkah menuju kamarnya. Menahan rasa sakit hati melihat ranjang yang tadi dipakai Vanessa dan Ghi, Jo membuka lemari. Menarik asal pakaiannya, memasukkan ke dalam tas. Lalu berjalan keluar. 

“Jo, kamu mau ke mana?” Vanessa menyambutnya di ruang tamu. Sementara Ghi sudah terbaring di sofa.

“Keluarkan dia dari sini! Ini apartemenku! Milikku! Aku nggak mau tempat ini menjadi lebih penuh dengan dosa kamu dan dia!” geram Jo. 

Vanessa masih mematung. Terlihat bingung karena Ghi sepertinya tidak kuat berdiri. “Tapi, Jo-“

Tangan Jo meraih cangkir, melemparnya sehingga benda itu pecah berkeping-keping. “Kamu denger apa kataku kan?! Suruh laki-laki keparat ini pergi dari apartemenku!”

“I-i-iya, Jo, oke, oke. Lalu, gimana dengan aku?” gumam Vanessa.

Jo mengernyitkan wajahnya. Menatap Vanessa dengan jijik. “Go to goddamn hell! I don’t give you a fuck!” desisnya geram. 

Tanpa mempedulikan wajah sendu Vanessa, Jo melangkah lagi. Sebelum meraih handel pintu, dia berhenti. Berjalan menghampiri Vanessa yang terperangah. Dengan kasar Jo menarik cincin berlian yang tadi pagi dipasangnya di jari Vanessa.

“Kamu sama sekali nggak pantas dapat hadiah ini, Nes!” gumamnya sebelum benar-benar pergi.

@@@

Seminggu kemudian

“Bang, ini kopinya.” Irma menyodorkan secangkir kopi di depan Jo yang terlihat melamun. Perempuan 50 tahun itu sangat memahami apa yang sedang dirasakan putra sulungnya. Jo bukan hanya sedih, lelaki itu hancur. 

“Bang, minum dulu kopinya.” Irma menyentuh tangan Jo dengan lembut. Membuyarkan lamunan pedih Jo yang sekarang terus-terusan menghantuinya. 

“Makasih, Ma.”

“Kamu ada rencana apa hari ini?” tanya Irma lembut.

Jo menggeleng. Matanya masih menatap kosong pada kopi di dalam cangkir putih itu. Seminggu ini dia begitu tersiksa, karena setiap saat menutup mata memori tentang perselingkuhan Vanessa seakan diputar lagi. 

“Pagi, Jo,” sapa Hadyan. Lelaki itu menepuk bahu Jo, lalu duduk tepat di samping putranya. 

“Pagi, Yah.” Jo membalas tanpa semangat.

“Hari ini ke kantor?” tanya Hadyan.

“Belum tau.” Jo mengangkat cangkirnya, menyesap sedikit kopi buatan Mamanya. 

“Ke kantor dong, jangan sampe bisnis kamu berantakan. Kamu masih punya kami, Jo. Ayah, Mama dan Jordan selalu mendukung kamu.”

Jo menunduk. Ayah, Mama dan Jordan, adiknya sudah tahu apa yang terjadi pada hubungannya dengan Vanessa. Seminggu yang lalu Jo memutuskan pulang ke rumah orangtuanya. Satu-satunya tempat yang muncul di benaknya yang kusut. 

Dan saat itu, dia ingat Mama menyambutnya. Memeluk Jo yang datang dengan wajah tersaput mendung. Mamanya tidak bertanya apa pun. Hanya memeluk dan menepuk punggungnya dengan hangat. 

“Saya akan menceraikan Vanessa,” ucap Jo.

Tidak ada jawaban. Hanya tangan Mamanya yang terulur, lalu meremas lembut tangan Jo. Jordan yang baru saja memasuki ruang makan, ikut tertegun mendengar itu. 

“Kamu pasti sudah memikirkan keputusan ini dengan matang,” ucap Hadyan. Matanya menatap Jo dengan lembut. Walaupun jauh di dalam sana, hatinya ikut hancur melihat Jo. Putra yang sangat disayanginya, yang dibesarkannya dengan penuh cinta. Harus terpuruk karena pengkhiantan istrinya. 

“Ayah dan Mama percaya sama kamu. Apa pun langkah yang kamu ambil, kami percaya itu bukan karena emosi sesaat, iya kan?” tegas Hadyan lagi.

Jo mengangguk yakin. Hari ini dia akan menemui Vanessa. Dia sudah mengirim pesan, dan mereka setuju akan bertemu di apartemen. Semuanya harus berhenti hari ini. Impian Jo tentang rumah tangga yang bahagia bersama Vanessa, hanya cukup sampai di sini.

@@@

Dan sekarang di sinilah Jo, duduk di kitchen island yang sama seperti hari itu. Dia bahkan lupa itu hari apa. Semua hari sama pentingnya ketika dia bersama Vanessa, begitu pikiran Jo saat itu. Ketika semuanya masih baik-baik saja. Ketika hidupnya masih penuh dengan pencapaian yang membanggakan. 

Di depannya Vanessa mencengkram cangkir kopinya. Menunduk, menghindari tatapan Jo. Perempuan itu terlihat ayu. Dengan rambut ikal cokelat yang dijepit sederhana. Matanya bahkan tidak terlihat sembab. 

Jo merasa hatinya semakin ngilu. Menyadari Vanessa tidak kehilangan apa-apa. Sudah ada Ghi yang menunggunya. Mungkin setelah percakapan ini, lelaki itu akan datang dan memeluk Vanessa.

“Apa kabar, Jo?”

“Baik.”

“Kamu mau … kopi, atau soda?” tawar Vanessa.

“Kamu nggak perlu berbaik-baik sama saya,” sindir Jo. 

“Jo, aku peduli sama kamu. Masih peduli.” Vanessa mengulurkan tangannya, bermaksud meraih tangan Jo. 

Laki-laki itu menarik tangannya seketika, menghindari tangan cantik Vanessa. Wajah Vanessa berubah tegang.

“Bisa berhenti maen drama, Nes? Saya akui kamu aktris yang hebat. Saya nggak pernah sedikit pun nyangka kalo kamu selingkuh. Sama Ghi? Oh come on, Nes. Nggak bisa kamu milih laki-laki yang nggak saya kenal?”

Vanessa memijit pangkal hidungnya. Menarik napas seakan untuk mengumpulkan kekuatan. “Kamu … Joaquin Airlangga yang begitu sibuk dengan bisnis kamu. Begitu sibuk mengejar mimpi kamu. Dan aku hanya Vanessa yang kesepian. Kamu sadar nggak, Jo? Dalam sebulan berapa kali kamu pulang sore? Berapa lama waktu kita berduaan?”

“Jadi alasan kamu cuma itu? A piece of shit! Kamu tahu saya mati-matian di luar sana cari duit untuk bahagiain kamu. Kamu tahu gimana caranya saya bisa dapetin berlian yang selalu kamu sebut-sebut itu? Pernah kamu pake otak mesum kamu buat mikir?”

“Demi Tuhan, Jo. Aku nggak ada maksud selingkuh. Tapi kamu nggak pernah ngertiin aku, kamu nggak tau apa yang benar-benar aku butuhkan.”

“Oh ya? Dan Ghi tahu apa yang kamu butuh? Apa? Penghangat ranjang kamu? Gitu?”

Wajah Vanessa berubah pilu. “Aku nggak serendah itu, Jo!” desisnya.

“Kamu nggak usah jelasin, saya sudah tahu seberapa rendah kamu! Ternyata kamu cuma butuh selangkangan lain, iya kan?”

Vanessa berdiri, menggebrak meja. “Cukup, Jo!”

“Ya, memang sudah cukup. Kita akan bercerai. Saya nggak punya alasan untuk mempertahankan perempuan seperti kamu!”

“Itu, itu yang bikin aku berpaling sama Ghi. Kamu sama sekali nggak punya … perasaan. Nggak sensitif. Kamu nggak mau tau gimana perasaan aku. Ya aku memang selingkuh. Aku cinta Ghi, dan kami sudah mulai berhubungan sebelum kita menikah!”

Jo terperangah. Apa yang didengarnya bukan hanya mengiris hatinya. Hatinya yang sudah hancur, semakin hancur. Sudah tidak berbentuk. Jadi, sudah selama itu pengkhianatan Vanessa berlangsung? Dan dia tidak tahu. Sama sekali tidak melihat tanda apa pun.

Congratulation Joaquin. Kamu laki-laki paling menyedihkan yang pernah ada di dunia ini.

Jo merutuk dirinya sendiri dalam hati. Sejenak dia merasa linglung. Kenyataan pahit yang menghantamnya ini begitu mendadak. Dia sama sekali tidak punya persiapan untuk menghadapinya. 

“Maafkan aku, Jo. Aku tau kamu nggak pantes dikhianati. Tapi … aku … aku nggak bisa menghindar. Aku mencintai Ghi, maaf,” bisik Vanessa. Ada sedikit iba melihat ekspresi Jo yang seperti tertampar. 

Lelaki itu tidak menjawab. Dia berbalik. Terhuyung menuju pintu keluar. Tiba-tiba dia berhenti. Berbalik menatap Vanessa. 

“Secepatnya, keluar dari sini! Saya mau jual apartemen sial ini! Saya kasi kamu waktu seminggu. Jangan tinggalkan apa pun. Saya nggak mau liat kamu lagi! Dan jangan harap saya akan memaafkan kamu! Don’t you even dare to hope so!”

Joaquin melangkah lagi. Membanting pintu apartemen dan terseok menuju lift. 

Semua sakit ini, kenapa harus terjadi sekarang? Ketika hidupnya sudah begitu sempurna. Joaquin mengusap wajahnya. Mengacak rambutnya yang sekarang tidak tertata rapi. Ada apa dengan hidupnya? Kenapa semua mendadak berbalik menyakitinya. 

Bab 3 

Masa Iddah

 

Ruangan kantor berukuran 4x4 ini terasa sesak untuk Jo. Tidak seperti dua bulan yang lalu, ketika dia masih begitu bahagia dengan semuanya. Di tempat ini, Jo lebih sering menghabiskan waktunya. Bekerja lebih keras, merealisasikan mimpinya. Mimpi yang sekarang menjadi satu-satunya penghiburan. 

Ketika Vanessa masih menjadi istrinya, dia selalu merasa semua yang dilakukannya adalah untuk Vanessa. Untuk memenuhi keinginan perempuan itu. Mungkin bagi orang lain ini terdengar seperti dominasi perempuan pada suaminya. Tapi tidak untuk Jo. Dia senang melakukannya, karena dengan begitu dia merasa punya tujuan. 

Tujuan yang kemudian berkhianat. Menggunakan kesibukan Jo sebagai pembenaran untuk pengkhianatannya. Menuding Jo suami yang tidak punya waktu untuk istrinya. 

Jo menghembuskan asap rokoknya, menatap tanpa minat pada lingkaran-lingkaran asap yang dihembuskannya. Dia baru saja menerima telepon dari Andi, temannya yang menjadi pengacara. Berkas perceraiannya sudah diajukan. Dia tinggal menunggu panggilan dari pengadilan agama.

Bibir Jo tertarik, membentuk senyum sinis. Betapa lucunya hidup. Dua bulan yang lalu kata cerai tidak pernah terlintas di benaknya. Dan hari ini, nyatanya nasib itu menimpanya juga. 

Seseorang membuka pintu, menyalakan lampu dan membuat ruangan yang gelap itu menjadi terang.

“Jo, mau di sini sampai kapan? Ini sudah jam 12 malem, bro. Lebih malah.” Yohan muncul di ambang pintu. 

Lelaki berambut lurus itu menggeleng, karena tidak tahu harus berbuat apa. Melihat Jo yang sekarang terpuruk karena perselingkuhan Vanessa, tidak pernah terbayang. Mereka pasangan serasi. Raja dan Ratu semasa SMA. 

“Jo, lu harus pulang, bro. Istirahat, tidur. Liat muka lu, tuh. Ck, ngalah-ngalahin mukak koala kalo nggak tidur setahun,” ejeknya. 

“Kaya tau mukak koala kalo nggak tidur setahun aja, lu,” celetuk Jo. Tanpa ekspresi, hanya terus menghisap rokoknya. 

Yohan mengikik, lalu duduk di kursi, di depan Jo. “Nggak ada sedih selamanya, Jo. Lu harus move on pelan-pelan.”

“Nggak usah sok nasihatin gue, lu belum pernah ngerasain apa yang gue rasain sekarang,” kata Jo.

Yohan mengangkat kedua tangannya. “Iya deh, serah lu. Tapi gue nggak suka liat lu begini. Pulang, Jo. Tidur. Besok kita kerja lagi. Jangan lupa, lu masih punya mimpi besar. Punya franchise makanan yang gerainya ada di mana-mana, bisa dijangkau sama semua kelas. Inget itu, tiap kali otak lu mulai bego.”

Yohan bangkit, berjalan keluar ruangan. Meninggalkan Jo yang bengong. Sambil merutuk karena kata-kata Yohan benar, dia ikut bangkit. Berjalan terseok meninggalkan ruangan. Dia harus tidur, supaya punya cukup energi untuk mewujudkan impian besarnya. Dan cukup energi untuk menendang habis memori tentang Vanessa.

@@@

Jo baru saja memasuki ruangan kantornya. Kepalanya pening karena beberapa minggu ini dia kurang tidur. Dengan lelah dia membanting tubuhnya yang menjadi sedikit kurus ke kursi kerja berwarna abu.

Ada keributan di luar ruangan. Tapi Jo tidak ambil pusing. Mungkin pegawainya sedang bercanda, berebut benda remeh seperti biasanya. Itu sudah biasa terjadi karena 4 dari 5 pegawainya adalah fresh graduate berusia antara 22 sampai 25 tahun. Hanya Vita yang sudah berpengalaman. Alasan Jo memilih fresh graduate simpel, mereka lebih mudah diarahkan. 

“Bu, maaf, Ibu nggak bisa ketemu Kak Jo. Dia sedang sibuk, nggak bisa diganggu.” Itu suara Vita, pegawai paling senior di kantor ini.

“Minggir, atau kamu nyesel, Vit!”

Jo menajamkan telinganya. Apa dia salah dengar? Tapi suara itu mirip suara Vanessa. Sial, bahkan dia masih ingat seperti apa suara perempuan itu.

“Bu, saya nggak bisa mem-“

Brak!

Pintu ruangan Jo dibuka kasar. Vanessa muncul begitu saja. Dengan tampilan memukau seperti biasa. Dress hitam selutut, dan rambut ikal yang dijepit sederhana. Jo menyeringai. Apa lagi yang diinginkan perempuan ini?!

“Jo kita perlu bicara!” 

“Oh ya? Saya sudah selesai bicara sama kamu.” Jo mengabaikan Vanessa yang terlihat geram.

“Kamu nggak bisa menceraikan aku, Jo!”

“Kenapa? Kamu perlu apa? Harta yang mana yang mau kamu klaim? Apa duit Ghi kurang banyak buat ngidupin kamu?” Kalimat terakhir itu terasa mengiris hatinya. Fakta terbaru yang diketahuinya, uang Ghiandra ternyata jauh lebih banyak darinya. Dalam istilah yang lebih mudah: lelaki sialan itu kaya raya. Dan itulah alasan yang sebenarnya. Alasan kenapa Vanessa mau membuka kakinya lebar-lebar untuk Ghi.

“Jo, ini bukan tentang uang!” balas Vanessa putus asa.

Funny,” balas Jo sarkastis. “Ada hal lain yang lebih menarik buat kamu ternyata.”

“Joaquin! Aku hamil!” 

Mata Jo mengerjap, menatap tajam pada Vanessa. Lalu lelaki itu terbahak keras. “Selamat kalo gitu! Mungkin kamu ngerasa terhormat karena ada benih perzinahan di dalam perut kamu.”

“Itu anak kamu, Jo,” cicit Vanessa. “Kita nggak bisa bercerai sekarang.”

Jo merasa seakan ruangan ini terbalik dan menjatuhkan puing-puing ke atas tubuhnya. Dia tidak memahami maksud Vanessa. Anaknya? Sejak kapan? Bukankah perempuan ini terakhir kali dilihatnya sedang mendesah-desah ribut ditindih Ghi. Lalu sekarang Vanessa bilang hamil dan mengatakan sesuatu yang terdengar seperti ‘anak kamu’ di telinganya. 

“Kalo kamu mau ngelawak ini sama sekali nggak lucu, Nes. Silakan keluar, kamu tau di mana pintunya!”

Mata Vanessa mulai berkaca-kaca. Perempuan itu mulai sesenggukan. Sembari merapatkan cardigan putih tulang yang dikenakannya, dia masih berdiri. Berharap Jo percaya padanya. 

“Aku nggak bohong, Jo. Ini anak kamu. Dan kamu nggak boleh menceraikan perempuan yang sedang hamil.” Vanessa memohon. “Orangtuaku bakal syok, Jo. Please.”

“Mestinya kamu sudah pikirkan itu, sebelum kamu mau ditidurin Ghi,” balas Jo tanpa ekspresi.

“Tapi gimana aku harus jelasin sama orangtuaku, Jo?”

Jo bangkit dari kursinya, berjalan dan membuka pintu lebar-lebar. “Bukan urusanku. Keluar, Nes!”

Perempuan itu terlihat salah tingkah, lalu melangkah lebar. Jo masih sempat mendengar isakannya. Tapi simpatinya untuk Vanessa sudah mati, sehingga dia sama sekali tidak terusik dengan suara tangisan perempuan itu.

@@@

 “Proses perceraian kamu masih bisa berjalan, bro. Tapi masa iddahnya adalah sampai Vanessa melahirkan.”

Joaquin mengerang. Sial! Hidupnya sekarang mendadak penuh drama. Vanessa yang dulu dianggapnya dewi keberuntungan dalam hidupnya, sekarang berubah menjadi dewi kesialan.

“Itu bukan anakku, Ndi,” tolak Jo.

“Ya, untuk memastikan itu kita harus nunggu sampe bayi kamu lahir, Jo. Dalam hukum islam istri yang dicerai ketika hamil masa iddahnya sampai dia melahirkan,” terang Andi. 

“Berhenti bilang itu bayi aku. Itu bukan anakku!” geram Jo dengan wajah memerah.

Andi mengangkat dua tangannya. “Sorry, Jo, sorry. Aku keceplosan. Ya kan nggak mungkin aku nyebut itu anak Ghiandra.”

Jo melotot mendengar nama itu. Diteguknya cold cappuccino di depannya. Setelah Vanessa datang kemarin, Jo menghubungi Andi. Teman sekaligus pengacaranya itu menegaskan kalau memang yang dikatakan Vanessa tentang menunda perceraian bisa terjadi. Terlepas apakah anak yang dikandung Vanessa memang anaknya atau bukan, Jo harus mengubur mimpinya untuk cepat-cepat menyingkirkan Vanessa dari hidupnya sampai … paling tidak sembilan bulan lagi.

Bah! Ini menyebalkan. Sangat. 

Jo merasakan seseorang menepuk pundaknya. Dia mendongak dan menemukan masalah lain. 

“Jo, apa kabar kamu? Gila, nggak pernah muncul tau-tau bikin heboh aja.” Katrina, teman SMA-nya sudah berdiri di sampingnya. Menatap Jo dengan mata bersinar kasihan. 

“Hai,” balas Jo pendek. 

“Kamu tuh tetep aja irit bicara ya. Joaquin Airlangga yang selalu bikin orang melongo. Bahkan berita perceraian kamu aja bisa bikin kamu tambah ngetop, tau nggak?” Katrina sama sekali tidak peka menangkap ekspresi masam Jo. Malah dengan santainya menarik kursi dan duduk sambil menyilangkan kaki.

“Grup SMA lagi bahas kamu loh, Jo,” sambung Katrina lagi. 

“Bagus lah,” kata Jo tak peduli.

“Semuanya pada heran kok bisa Vanessa lebih milih Ghi daripada kamu,” Katrina terkekeh.

Brengsek!

Jo mengumpat dalam hati. Dia meraih rokoknya dan mulai menyulut. Berita kehamilan Vanessa dan perceraiannya yang harus menunggu sembilan bulan sudah cukup buruk. Tidak perlu ditambah ocehan Katrina sinting ini, rutuknya.

Andi sudah bolak balik memberi kode supaya Katrina diam. Tapi perempuan itu entah tidak mengerti, atau pura-pura tidak mengerti. Dia terus saja menyerocos tentang gosip Jo, Vanessa dan Ghi.

“Ghi ternyata tajir gila. Villanya di Bali ada sepuluh, pantesan aja Vanessa pindah ke lain hati,” Katrina meracau. Dan masih terus mengatakan ini itu tentang kekayaan Ghi. 

“Ndi, aku balik kantor ya. Masih banyak kerjaan,” pamitnya sambil berdiri dan menjejalkan puntung rokok ke asbak. 

“Loh, mau ke mana sih? Belum juga selesai ngobrol,” gerutu Katrina. 

“Sibuk, nggak kaya kamu yang kerjanya cuma ngegosip. Udah ya, cabut dulu.” Jo ngeloyor pergi. Tidak menghiraukan tatapan kesal Katrina yang mulutnya menganga. 

Berjalan menuju parkiran yang cukup padat, Jo merasa kepalanya sesak lagi. Jadi begini rasanya digosipkan dan dibandingkan dengan laki-laki lain. Rasanya semua kata makian tidak cukup untuk mengungkapkan kekesalan Jo. 

Dia sudah melangkah ke mobilnya ketika suara manja itu terdengar. Vanessa baru saja keluar dari mobil keren berwarna merah. Dan tangan Ghi sedang meraih tangannya. Membantu Vanessa turun dari mobilnya. Jo bahkan sempat melihat bagaimana tangan Ghi mengelus lembut perut Vanessa.

Rahang Jo mengetat. Sampai kapan dia harus dihadiahi berbagai pemandangan ini? Teringat masa iddah sembilan bulan yang diucapkan Andi tadi. Emosi Jo semakin memuncak. Apalagi ketika mata Vanessa menangkap kehadirannya, menatap Jo dengan mata yang bersinar entah mengejek atau kasihan.

 

Bab 4 

Remain Unanswered

Minggu berganti bulan, dan Jo masih hidup dalam kegalauan. Beberapa kali dia memergoki Vanessa dan Ghi bersama. Dengan sikap Ghi yang sangat perhatian pada calon mantan istrinya itu, membuat Jo serasa gila karena murka

Rutinitas Jo berubah drastis. Selain sering menghabiskan waktunya untuk bekerja, lelaki berkulit gelap itu juga mulai rajin ke klub malam. Gosip yang berhembus semakin kencang tentang perselingkuhan Vanessa, dan pandangan mata iba yang menatapnya membuat Jo merasa tidak sanggup menghadapi dunia. 

Klub dan minum-minum menjadi pelariannya. Dalam benaknya yang kacau, Jo menganggap minuman bisa sejenak mengenyahkan ingatannya tentang siang itu. Siang ketika dia menemukan Vanessa menghancurkan dunianya. 

“Halo ganteng, aku Prilly.” Seorang perempuan dengan rambut light ash brown muncul di samping Jo. 

Lelaki dengan kemeja krem itu hanya melirik tak peduli. Lalu menyesap isi gelasnya yang tak berwarna. Favorite Jo, vodka, Grey Goose The Peak Connoisseurs. Level alkoholnya 40 persen, sehingga beberapa teguk saja sudah membuat Jo bisa melupakan sejenak pahitnya dikhianati.

“Nama kamu siapa?” Prilly belum menyerah. Sekarang menggelayut manja di lengan Jo. 

Lelaki itu tidak menjawab, hanya mengibas tangan Prilly. Lalu sibuk menenggak minumannya lagi. 

“Turun yuk,” ajak Prilly. Mengarahkan matanya ke lantai dansa yang mulai ramai. 

“Nggak minat,” kata Jo ketus.

“Minatnya apa?” Prilly membusungkan dadanya yang terlihat menggiurkan. Bagian dada di gaunnya yang terlampau minim dibuat dari bahan transparan. Baju itu gagal menyembunyikan apa pun yang seharusnya ditutupi. 

Jo masih diam. Tangan Prilly mulai bergerilya di pahanya. Perempuan itu sudah beberapa kali melihat Jo di klub. Baru kali ini dia berani mendekat, setelah memastikan Jo tidak akan mengusirnya pergi. 

Karena Jo tidak memberi respon, Prilly mengira lelaki itu mengijinkannya berbuat lebih. Tangan Prilly semakin nakal. Tepat ketika dia akan menyentuh bagian paling sensitif Jo, lelaki itu menahan tangannya. Mencengkram pergelangan tangan Prilly dan menepisnya kasar.

Prilly terkejut, memelotot menatap Jo. Sedangkan lelaki itu menandaskan minumannya dengan tenang. Lalu berdiri, melirik dengan benci ke arah Prilly. 

“Saya bukan pezina. Jangan berani-berani nyentuh saya!” geramnya. 

Prilly terlalu kaget. Belum pernah ada lelaki di klub ini yang menolak dan mempermalukannya. Prilly tidak tahu, Jo berbeda. Lelaki itu sangat muak dengan perzinahan. Tentu saja, karena dia merasakan akibat pahit perzinahan Vanessa.

@@@

5 bulan kemudian …

Irma sesekali menoleh, menatap Jo yang berjalan gontai. Putranya itu terlihat jauh lebih kurus dan letih. Hidupnya dalam lima bulan terakhir ini menjadi sangat tertutup. Apalagi setelah memberitahu keluarganya kalau Vanessa hamil, dan dia terpaksa menunggu sampai perempuan itu melahirkan untuk melanjutkan perceraian. Dia merasa tidak lagi mengenal Jo.

“Jo, sini duduk sama Mama,” ajaknya. 

Jo hanya mengangguk, lalu menghempaskan tubuhnya di samping Irma. Malam ini Oma dari pihak ayahnya berulang tahun. Wanita sepuh itu sebenarnya tidak ingin ada acara apa-apa. Hanya saja anak-anaknya ingin berkumpul, dan membuat Ibunya senang.

Dan Jo yang sudah lama menjaga jarak dengan keluarganya akhirnya diseret Irma untuk ikut. Menurut Irma, Jo perlu bertemu dengan orang-orang. Supaya tidak terus-terusan tenggelam dalam kisah pernikahannya yang menyedihkan.

“Ma, jam sembilan saya ke kantor ya. Ada yang harus diselesaikan,” bisik Jo. Sesungguhnya dia tidak ada acara apa-apa. Hanya saja berusaha melarikan diri dari keramaian ini. 

Ada rasa cemas di hati Jo. Bagaimana jika keluarga besarnya tahu tentang perceraiannya. Pasti akan ada banyak pertanyaan, penghakiman dan penghiburan. Semua hal yang tidak diperlukan Jo.

“Iya, kita tunggu sampai Oma selesai potong kue ya,” bujuk Irma. Jo tidak menjawab, hanya mengeluarkan ponsel dan memusatkan perhatiannya pada benda berlambang apel itu.

“Jo, ayo ngucapin selamat dulu sama Oma,” ajak Irma, sambil menarik Jo untuk berdiri. Lelaki itu menurut saja. Menghampiri Oma tanpa semangat.

“Selamat ulang tahun, Oma. Semoga sehat selalu ya,” ucap Jo sambil mencium pipi Omanya.

“Terima kasih Joaquin, kamu sama Vanessa?” tanya Oma to the point

Jantung Jo langsung mencelos, dia menggeleng berat. 

“Vanessa kok tumben nggak ikut?” Tante Lisa yang duduk di sebelah Oma ikut bertanya. 

“Lagi nggak bisa, Tante.” Jo menjawab kaku, lalu berancang-ancang untuk pergi. Ketika itulah dia melihat Vanessa, bergandengan dengan Ghi. Keduanya terlihat saling bertukar senyum. Saling menatap dengan penuh cinta.

Rahang Jo mengetat. Bersamaan dengan tangannya yang mengepal kuat. Dalam hati dia mengutuk dua makluk keparat itu habis-habisan. Sambil berharap keluarganya tidak melihat Vanessa. Apalagi perut perempuan itu mulai terlihat besar. 

“Bang Jo, itu bukannya Mbak Vanessa?” 

Sial!

Umpat Jo dalam hati. Doanya tidak terkabul karena Indria, salah seorang sepupunya menunjuk ke arah Vanessa. Semua mata langsung menatap ke arah yang ditunjuk Indria. Dan detik itu mereka membeku. 

Vanessa yang hamil, dan sedang bermesraan dengan lelaki lain. 

“Jo, Vanessa hamil? Tapi … dia lagi sama siapa?” Pertanyaan pertama terlontar. Entah dari siapa. 

Lelaki berkemeja garis-garis itu membeku. Seharusnya dia bisa mengantisipasi ini dan menyiapkan jawaban yang bagus. Tapi sialnya dia sedang dalam mode bodoh kali ini. 

“Akhirnya Vanessa hamil. Jo bawa Vanessa ke sini dong. Oma mau ketemu,” kata Oma dengan naif. 

“Maaf, Oma. Saya nggak bisa.” Hanya itu kosakata yang muncul di benak Jo. Setelahnya lelaki itu berjalan menjauhi keluarga besarnya. 

Dengan amarah yang siap menyembur, Jo menghampiri Vanessa yang sedang duduk sendiri, menunggu Ghi yang sejenak menghilang. “Ikut aku,” bentaknya. Tanpa menunggu persetujuan, Jo menarik Vanessa menjauh dari keramaian.

“Jo, apa-apaan sih? Kamu nggak berhak nyeret aku kaya gini,” protes Vanessa.

“Kamu plin plan. Kemarin dulu nggak mau dicerai, sekarang bilang aku nggak berhak. Denger ya, kamu boleh berzina sesuka kamu. Aku enggak peduli, tapi jangan berani-berani muncul di tengah-tengah keluargaku, ngerti?”

Jo mengatakan ini karena tadi sempat melihat pandangan terluka Ayah dan Mamanya ketika beberapa keluarga bertanya tentang Vanessa. Sudah cukup dia yang terluka. Tidak perlu menyakiti orangtuanya juga.

“Terserah aku lah, ini juga tempat umum,” sahut Vanessa dengan bibir mengerucut. 

Fine, terserah kamu. Tapi sekali lagi kamu muncul kaya gini dan bikin Ayah Mamaku sedih, habis kamu! Aku nggak peduli walaupun kamu punya Ghi sebagai beking!” Jo mengucapkan ini tepat di depan wajah Vanessa.

“Jo, bisa nggak bersikap lebih lembut sama perempuan?” Ghi tiba-tiba muncul. Rupanya sejak tadi lelaki itu mencari-cari Vanessa.

“Nah baru disebut langsung muncul. Kamu udah mirip jin aja ya, Ghi. Jin pecinta selangkangan!” sembur Jo.

“Jaga mulut kamu, Jo!” Ghi berang. 

Right, nih jaga juga asset buat selangkangan kamu!” Jo mendorong Vanessa ke arah Ghi yang mukanya sudah merah padam.

Tanpa menoleh lagi, dia meninggalkan restoran. Dengan ego dan harga diri yang terasa diinjak-injak.

@@@

4 bulan berlalu …

Semakin hari Jo semakin menutup diri. Menghilang dari pergaulan. Dunianya hanyalah kantor dan pekerjaannya. Lalu ke klub untuk minum-minum dan pulang menjelang dini hari. Dia akan tertidur begitu menyentuh kasur, tanpa sempat melepas sepatu atau mengganti baju. Terbangun sebentar ketika Mamanya memaksanya salat subuh. Setelah itu dia akan meringkuk lagi di balik selimut. 

Tidak ada lagi berkumpul dengan teman-teman atau keluarga. Ajang semacam itu hanya akan menyebabkan sakit yang lebih parah untuk Jo. Pernikahannya yang kandas sudah terdengar oleh keluarga besar. Berbagai macam komentar dilontarkan, tapi kebanyakan rasa iba dan penghakiman yang menyudutkan Jo. 

Hari itu masih gelap, karena jam masih menujuk angka tiga. Ponsel Jo yang tergeletak di atas kabinet berdering. Jo mengabaikannya karena matanya masih dikuasai kantuk. Ponsel itu berdering lagi, ribut dan terdengar tidak sabar. Begitu terus sampai Irma akhirnya masuk ke kamar Jo. 

“Jo bangun,” katanya sambil mengguncang badan Jo. 

“Masih ngantuk, Ma.”

“Jo ini penting, ayo bangun,” desak Irma lagi. 

“Ada apa, Ma?” tanya Jo dengan suara berat. Matanya masih terpejam.

“Vanessa di rumah sakit, dia mau melahirkan,” tutur Irma.

Mata Jo terbuka sedikit, lalu senyum mengejeknya terbit. “Biar aja dia melahirkan, itu bukan urusanku.”

Jo masih sempat membatin lega saat itu. Akhirnya sudah waktunya Vanessa melahirkan. Artinya sebentar lagi dia akan bebas. 

“Jo, kita harus ke sana. Mamanya Vanessa nelepon Mama. Vanessa kritis, Jo.”

Jo bergeming. Dia memang sudah tidak peduli lagi pada perempuan itu. Apa bedanya kalau Vanessa mati atau hidup. Jo tidak ambil pusing.

“Jo, kamu harus ketemu Vanessa. Dia … mau minta maaf,” kata Irma. Dengan sekuat tenaga dia menarik Jo hingga lelaki itu terpaksa berdiri dan menyeret kakinya mengikuti Irma. 

Lelaki berkulit gelap itu masih setengah sadar ketika tahu-tahu dia sudah berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Dengan Irma dan Hadyan setengah menyeretnya. Dia menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir kantuk. Tapi gagal. 

Mereka berhenti di depan sebuah pintu, dan Jo terheran-heran karena wajah-wajah yang dilihatnya muram. Lelaki itu bertanya-tanya apa yang terjadi. Kenapa dia harus datang ketika Vanessa melahirkan? Toh dia bukan ayah bayinya. Seharusnya Ghi yang ada di sini.

“Jo, Vanessa nyariin kamu,” ucap Mama mertuanya yang sesenggukan. 

“Saya? Kenapa?” tanyanya linglung. 

Irma mendekat, mendorong Jo lembut untuk memasuki ruangan yang beraroma desinfektan itu. Lelaki itu merasa ada sesuatu yang menariknya untuk masuk. Lalu, di situlah Vanessa. Terbaring lemah dengan berbagai peralatan medis yang kelihatan menakutkan. 

Vanessa membuka mata, memaksakan senyum. “Maaf, Jo, please,” ucapnya lemah. 

Wajah Jo membesi. Dia tahu mestinya hatinya tersentuh, tapi bayangan Vanessa yang sedang ditindih Ghi tidak mau pergi dari kepalanya. Lalu, satu pertanyaan itu terlintas begitu saja. 

“Bayi itu … anak siapa?” tanyanya kaku. 

Air mata Vanessa mengalir deras. Bibirnya bergerak, ingin mengucap sesuatu. Tapi Jo tidak mendengar apapun selain bunyi elektrokardiograf yang berdenging menyeramkan. Garis datar muncul di monitor, dan Jo merasa dadanya sakit. 

“Vanessa, siapa ayah bayi itu?  Jawab aku!” kata Jo frustrasi. Dia bergerak serampangan, ingin mendekat tapi takut setengah mati melihat Vanessa yang sudah pucat. 

“Siapa ayahnya? Jangan mati dulu, jawab aku!” Jo berteriak seperti orang gila. Tapi, tidak ada jawaban. Bibir Vanessa yang pucat terkatup rapat. Tidak akan pernah lagi berbicara dan memberitahu Jo jawaban dari pertanyaannya.

 

Bab 5 

Bayi Itu

Jo tidak tahu sudah berapa lama dia bertingkah seperti orang gila. Berteriak pada jasad Vanessa yang sudah tidak bergerak. Dia begitu frustrasi, karena membutuhkan jawaban dari pertanyaan yang membuat dirinya kacau.

Selama beberapa bulan ini dia terus-terusan dihantui pertanyaan itu. Bagaimana kalau bayi itu anaknya. Atau bagaimana kalau sebaliknya. Dia bisa saja meminta tes DNA, dan pertanyaannya terjawab. Lalu fakta lain memenuhi otak dan hatinya yang sakit. Jika bayi itu anaknya, dan dikandung ketika Vanessa ditiduri laki-laki lain. Ya Tuhan, itu memuakkan! 

Jo bahkan merasa perutnya bergolak hanya dengan memikirkan itu. Dia tahu itu tidak logis. Tapi dia jijik. Dan, juga terluka. Bagaimana bisa Vanessa membiarkan benihnya ‘terkontaminasi’.

 Dia nyaris gila memikirkan semua kemungkinan sialan itu. Dan sekarang satu-satunya orang yang bisa memastikan jawaban dari pertanyaannya sudah mati. Mati dan membawa semua misteri yang memuakkan. 

That’s it! Semuanya akan tetap menjadi misteri untuk Jo. Lelaki itu tersadar ketika merasakan tangan Mamanya yang memeluk lengannya lembut. Lalu Ayahnya juga merangkulnya. Mereka membawa Jo menjauh dari Vanessa yang sudah meninggal. Jo bahkan tidak sadar kalau pipinya sudah basah. 

Dia menangis. Tapi, bukan untuk meratapi kepergian Vanessa. Mungkin terdengar kejam, tapi Jo sama sekali tidak berduka karena istrinya meninggal. Perasaan sayangnya pada perempuan berambut ikal itu sudah mati. 

“Jo, minum dulu ya,” bujuk Irma. 

Tangan Jo yang bergerak seperti robot menerima saja air mineral itu. Diteguknya beberapa kali. Rasanya tenggorokannya kering dan perih. Mungkin karena dia berteriak-teriak dan menangis cukup lama. Orang yang melihatnya akan berpikir Jo sedang berduka. 

“Ehm, Jo. Tadi perawat bilang bayinya perlu diiqomahi,” kata Hadyan ragu. 

Mata Jo memicing menatap ayahnya. “Itu bukan bayiku, Yah.”

Hadyan yang tadinya bersandar di tembok mendekat, duduk di samping Jo dan menepuk-nepuk bahunya. “Kamu … enggak tau, Jo. Kamu enggak bisa memastikan itu.”

“Saya tau, Yah. Saya bisa merasakan itu. Bayi sialan itu bukan anak saya!”

“Jo,” tegur Irma. Perempuan itu menatapnya dengan sedih, sembari menggeleng. “Bayi itu nggak berdosa. Dia tidak minta dilahirkan, kamu nggak boleh bilang begitu.”

“Yang kamu rasakan sekarang itu namanya emosi. Kamu marah sama keadaan. Sama Vanessa, sama semua yang berhubungan dengan Vanessa. Tapi … jangan jadikan bayi enggak berdosa itu sasaran kemarahan kamu. Selama tidak ada orang lain yang mengakui, bayi itu anak kamu. Dan, kamu harus melakukan semua kewajiban sebagai orangtua,” saran Hadyan dengan bijak. 

Jo termenung mendengar itu. Ayahnya benar, tapi setiap kali teringat bayi itu bayangan perselingkuhan Vanessa mengejarnya lagi. Lengkap dengan pemikirannya tentang ‘benih yang terkontaminasi’. Membuatnya tidak bisa tidur. Karena itu dia harus menenggak alkohol. Menurut Jo bayi itu ikut bertanggung jawab atas hidupnya yang mendadak berantakan ini.

Irma akhirnya berdiri. Meremas bahu putra sulungnya lembut. “Mama mau liat bayinya dulu kalo gitu. Kamu tenangin diri dulu, nanti kalo kamu sudah siap Mama harap kamu mau datang nengok bayi kamu.”

Bayi kamu. Dua kata itu mengganggu Jo.

Tanpa menunggu jawaban, Irma berjalan pergi. Dia tahu, Jo bukan laki-laki kejam yang akan tega meninggalkan seorang bayi tidak berdosa. Putranya pasti akan datang. Irma akan memastikan itu. 

Ketika sampai di ruang bayi, Irma dipersilakan masuk. Seorang perawat mengantarnya ke box bayi yang ditandai dengan angka tujuh. Dari papan identitas, Irma bisa membaca nama Jo dan Vanessa di situ. Rupanya Vanessa masih mencantumkan nama Jo sebagai ayah bayinya. Irma tersenyum samar. 

“Boleh saya gendong, Sus?” tanya Irma. 

“Silakan, Bu.” Perawat mengambil bayi dengan kulit kemerahan yang sedang menggeliat kaku di balik kain flannel berwarna pink. 

Irma menerima bayi mungil itu dengan hati-hati, lalu mendekapnya lembut. Dia tidak bisa menahan air matanya melihat wajah mungil tanpa dosa itu. Entah kenapa, bayi ini mengingatkannya pada Jo ketika bayi. Begitu tenang dan senyap, seperti air yang mengalir tanpa gaduh. Hanya berkemericik, tapi berambisi untuk mengalir terus mencapai tujuan. Tidak peduli jika sesekali harus membentur batu, atau terjatuh dari ketinggian.

“Bayinya belum diberi nama, Bu. Apa Ibu sudah menyiapkan nama?” tanya perawat yang masih berdiri di dekat Irma. 

“Namanya … Adelia … Adelia Nandita Dewi,” bisik Irma. Dipandanginya bayi mungil yang sekarang menggeliat lucu itu. Irma menciumnya perlahan. Dulu, Irma pernah begitu menginginkan bayi perempuan. Tapi, keinginannya harus dikubur dalam karena dokter menyatakan dia tidak boleh lagi mengandung setelah Jordan lahir. Kondisi jantungnya lemah, terlalu berisiko untuk mengandung dan melahirkan.

Lamunan Irma buyar karena suara rengekan pelan terdengar. Matanya menelisik wajah Adelia lagi. Rasanya tidak sampai hati kalau harus membiarkan bayi ini menanggung kesalahan Vanessa. Irma terisak lagi teringat itu. 

Suara ketukan di kaca menyadarkannya. Irma spontan berbalik, dan menemukan Jo bersama Hadyan berdiri di sana. Irma mendekat ke kaca, membuka sedikit kain flannel yang menutupi wajah Adelia. 

“Hey, Papa … please meet Adelia,” bisik Irma dengan air mata berderai lagi. 

Dan Jo bergeming. Menatap bayi itu dengan tatapan yang entah apa artinya. 

@@@

Lantunan doa dan isakan lirih berdengung di area pemakaman. Tidak seperti di adegan film, hari ini cerah. Matahari siang memancarkan sinarnya dengan garang. Untunglah semilir angin masih bertiup, menggerakkan dedaunan dan kelopak bunga kamboja. 

Jo berdiri kaku. Terlihat letih dan kosong. Dia kurang tidur dan kejadian hari ini terasa menghajarnya berkali-kali. Kemeja putih yang dikenakannya basah dengan keringat. Cuaca terik hari ini sepertinya tidak bersahabat pada Jo. 

Beberapa menit kemudian orang-orang yang berkumpul mengelilingi makam mulai bubar. Mereka menyalami ayah dan ibu Vanessa yang masih terlihat syok. Jo berniat menyampaikan duka cita setelah pelayat mulai sepi nanti. Dia hanya sedang memilih kata yang pantas untuk diucapkan. Kedua orangtua Vanessa masih layak mendapat respek, terlepas dari apa yang telah diperbuat Vanessa padanya. 

“Ikut berduka cita ya, Jo. Enggak nyangka Vanessa bakal pergi secepat ini.” Salah seorang teman Vanessa mendekat dan menyalami Jo. 

Lelaki itu hanya diam saja. Enggan merespons karena menurutnya ucapan itu salah alamat. Tanpa bermaksud bersikap kejam, tapi Jo memang tidak berduka. Dia hanya frustasi dan marah karena pada saat terakhir hidupnya Vanessa masih meninggalkan masalah untuknya. 

“Oh ya, selamat juga ya atas kelahiran bayi kalian.” Perempuan itu menyambung, sambil tersenyum tipis. 

“Jo, yo, ikut berduka ya, bro. semoga kamu kuat, sabar. Kalo perlu bantuan jangan sungkan-sungkan kasi tau aku.” Itu Dendy, teman SMA yang juga sering nongkrong dengannya dan Yohan, dan … Ghi. 

Jo tahu, lelaki ini sama sekali tidak berniat menyindir dengan ucapannya. Hanya saja, setiap kali bertemu teman-teman SMAnya wajah brengsek Ghi langsung terlintas di benak Jo. 

“Ya, makasih, Den. Aku cabut dulu ya,” pamit Jo. Dia melihat orangtua Vanessa sudah tidak dikelilingi pelayat. Ini kesempatan untuk mengucapkan sesuatu yang pantas lalu pergi. 

Tergesa Jo mendekat, lalu menyalami ayah dan ibu Vanessa. Dia mengucapkan dukacita dan minta maaf entah untuk apa. Dia sendiri bingung dan tidak menemukan kalimat yang lebih baik dari itu. Setelahnya Jo berbalik dan berjalan pergi. Semakin cepat semakin baik, pikirnya. 

Dia melihat Ayah, Mam dan Jordan di kejauhan. Jo semakin memacu langkahnya. Tapi, seseorang muncul menghadangnya. Dan sebelum Jo sempat berpikir akan bereaksi bagaimana, suara itu sudah menghampiri pendengarannya. 

I’m so sorry for Vanessa,” ucap Ghi. Ekspresinya campuran antara sedih dan marah.  

Kaki Jo mencengkram tanah dengan kuat. Rahangnya mengatup menahan letupan amarah yang bisa saja mempermalukan dirinya.

“Aku enggak pernah bermaksud merayu Vanessa, dia yang datang ke aku. Dia butuh laki-laki seperti aku, Jo. Joaquin yang begitu diidolakan di sekolah, ternyata tidak cukup untuk Vanessa. What a shame,” desis Ghi. 

Lelaki itu terlihat terluka entah untuk alasan apa. Mungkin saja merasa kehilangan Vanessa, dan karena itulah dia memancing emosi Jo. Bukankah tidak ada pembalasan yang lebih manis, selain membuat orang yang dibenci merasakan hal yang sama pedihnya. 

“Pernah kebayang, ketika kamu sibuk dengan studimu di Jepang sana Vanessa mendatangiku karena kesepian. Kamu sama sekali enggak peka, enggak tahu betapa dia kesepian. Dan sekarang, kamu biarkan dia mati merana. Tapi ya … paling enggak aku sudah membuat dia bahagia di saat-saat terakhirnya.” Mata Ghi mulai bersinar redup. Lelaki ini terlihat sedang berduka. Jauh lebih berduka daripadi Joaquin. 

“Satu hal, Jo. Satu hal, bayi itu … aku akan mengambilnya. Kamu sama sekali enggak pantes jadi ayahnya. Dan … kita enggak pernah tahu siapa ayah kandungnya,” ejek Ghi. 

Tangan Jo menarik kerah kemeja hitam Ghi. Mencengkramnya dengan keras. Dia tidak ingin membalas perkataan Ghi. Hanya sorot mata yang dipenuhi kebencian itu yang menjawab. 

“Kamu bajingan brengsek! Enggak akan aku biarkan kamu ngambil bayi itu. Enggak akan!”

Jo mendorong Ghi kasar. Membiarkan lelaki tampan dengan rahang persegi itu terjerembab ke tanah. Tanpa repot-repot menoleh, Jo berjalan pergi. Dia tahu baru saja membuat satu kesalahan. Untuk apa dia mengatakan kalau tidak akan membiarkan Ghi mengambil bayi itu?

Itu akan menjadi masalah baru bagi Jo.

@@@

Begitu memasuki mobil, Jo langsung bersandar dan menutup matanya. Lelah. Energinya terkuras selama sekitar sembilan bulan ini. Dan hari ini adalah puncaknya. Kematian Vanessa, dan kehadiran bayi itu seperti menghisap habis energinya. 

Dia tahu Ayah, Mama dan Jordan saling memandang. Mereka pasti bertanya-tanya siapa lelaki yang bicara dengan Jo. Apa yang mereka bicarakan sehingga Jo terlihat sangat marah. Tapi tidak ada yang berani bertanya padanya. Ketiga orang itu sepakat untuk membiarkan Jo meredakan dulu amarahnya. 

Ketika mobil berhenti, mata Jo perlahan terbuka. Dia tertidur di sepanjang jalan. Dengan pikiran belum sepenuhnya tersambung, dia melihat sekitar. 

“Kok ke sini, Ma?” tanyanya bingung. Tidak mengerti mengapa mereka malah kembali ke rumah sakit.

“Mama … ada perlu,” jawab Irma gugup.

Jo menatap Ayah, Mama lalu Jordan bergantian. Dia merasa ada yang tidak beres. Ada sesuatu yang tidak diketahuinya. Dan itu membuat jantungnya berdetak gelisah. Ada selintas dugaan di kepalanya. 

“Ma, apa ada sesuatu yang Mama enggak bilang sama saya?” tuntut Jo. 

Tiga orang itu diam. Irma menunduk, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. 

“Ma, bilang sama saya. Apa yang Mama rahasiakan?!”

Hadyan yang duduk di jok depan mengulurkan tangannya, menyentuh pundak istrinya perlahan. Dia mengangguk, seperti memberi isyarat pada Irma untuk bicara. 

“Kami … sepakat untuk membawa Adelia pulang, Jo,” bisik Irma lirih.

Selama beberapa detik suasana terasa hening. Hanya ekspresi penuh tanya dan ketidaksetujuan Jo yang menguar nyaring.

Bab 6 

Everythin’ Changes

Jo keluar dari mobil, membanting pintu sekuat tenaga. Dia pernah mendengar tentang ucapan adalah doa. Sekarang, Jo tahu apa artinya itu. Baru saja dia mengatakan pada Ghi brengsek itu, kalau dia tidak akan membiarkan Ghi mengambil bayi Vanessa.

Dan ucapannya menjadi nyata! 

Dalam hati rentetan kata makian diucapkan Jo. Dia tidak marah pada orangtuanya, tapi pada Vanessa, Ghi dan bayi yang membuatnya terperangkap masalah. 

“Kenapa Mama enggak minta pendapat saya? Kenapa bayi itu harus kita bawa? Saya nggak punya tanggung jawab apa pun sama dia. Biarkan orangtua Vanessa yang ngerawat, Mama jangan khawatir, saya akan bayarin berapa pun biaya untuk bayi itu!” 

Irma melihat urat-urat di leher Jo menegang. Dia tahu, Jo tidak bermaksud marah padanya. Lelaki itu sedang frustrasi. Hidupnya berubah 180 derajat hanya dalam beberapa bulan. Pengkhianatan, perceraian dan pertanyaan yang tidak terjawab, membuat Jo seperti lalat yang terperangkap dalam jaring laba-laba. 

Semakin bergerak semakin dia terjebak dalam jaring-jaring itu. 

Tangan Irma meremas pundak Jo lembut. Lelaki itu membelakanginya, menyembunyikan wajah letih dan terluka. 

“Orangtua Vanessa enggak sanggup ngerawat Adelia. Kamu tau, kan, Venny, juga baru saja bercerai,” kata Irma menyebut nama adik Vanessa. “Sekarang dia tinggal di rumah orangtuanya bersama dua anak yang harus diurus dan dibiayai.” Irma menjelaskan, sengaja melambatkan setiap kata yang diucapnya. Dia mengenal Jo. Lelaki ini seperti air. Mudah panas, tapi juga mudah dingin. 

“Itu bukan urusan kita. Vanessa yang bikin orangtuanya menderita. Bukan saya!” ucap Jo masih menyimpan amarah.

“Tapi … apa kamu tega kalo Adelia harus tinggal sama mereka?! Berdesakan di rumah itu, kamu tau kaya apa rumah Vanessa, kan?!” tanya Irma. 

Jo terdiam. Membayangkan bayi kecil yang masih merah itu tidur satu ranjang dengan dua anak Venny. Membayangkan Adelia tinggal berdesakan di dalam rumah orangtua Vanessa yang tidak besar. 

“Bayi itu enggak ada hubungan darah dengan kita, dengan saya,” ucap Jo.

“Mungkin iya, tapi kita enggak sedang ngomongin tentang hubungan darah, Jo. Gimana kalo kamu lupakan dulu tentang itu?! Ini tentang peduli atau enggak. Mama yakin kamu bukan laki-laki yang enggak punya hati. Kamu pasti peduli.”

Irma memaksa Jo berbalik, menghadapnya. Perempuan itu meletakkan satu tangannya di dada Jo. “Kamu peduli, pasti. Jauh ... di sini ... kamu peduli.”

Lelaki itu membuang muka, tidak sanggup menatap air mata Mamanya. Ya, dia memang peduli. Pada Mamanya, bukan pada Adelia. 

Setelahnya, kakinya yang terasa remuk diseret mengikuti langkah Irma. Mereka berempat berjalan ke ruang bayi. Ketika Mamanya masuk lalu menggendong Adelia, Jo melihat perempuan yang disayanginya itu begitu senang. Dia tidak mungkin menolak permintaan Mamanya. Satu-satunya perempuan yang sangat berharga untuknya. 

Dulu Vanessa dan Mamanya memiliki arti yang nyaris sama untuk Jo. Setelah Vanessa berkhianat, perempuan itu tidak lagi berarti apa-apa untuknya. Sekarang tinggal Mamanya, hanya Mamanya seorang, perempuan yang harus dibahagiakannya. 

Jo tersadar ketika Irma mengetuk kaca pemisah ruang bayi dengan lorong di luar. Wajah Adelia yang sedang tidur memenuhi ruang pandangnya. Dan saat itu pula dosa Vanessa terpampang begitu jelas. 

Jo merasa perutnya bergolak, dan dadanya perih. Dengan kasar dia berbalik, berjalan menjauhi ruang bayi. Sampai kapan pun, bayi itu akan selalu menyebabkan hatinya serasa diiris-iris.

@@@

Sinar matahari yang menembus tirai kamar, membuat Jo membuka matanya yang berat. Dia mengerang. Jam di kabinet menunjuk angka delapan, lewat 10 menit. Seperti biasa, dia tidur lagi setelah salat subuh yang asal-asalan. 

Salat itu pun dilakukan karena Ayahnya memaksanya, mendorongnya ke kamar mandi untuk berwudhu. Dia sudah terlambat untuk salat berjamaah di masjid perumahan. Ayahnya sudah menggedor pintu kamar, tapi Jo terlalu ngantuk untuk bangun. 

Bukan hanya ngantuk, akhir-akhir ini dia merasa marah pada takdir. Takdir pahit yang ditulis untuk hidupnya yang kacau ini. 

Sekarang ponselnya yang menjerit. Jo meraba-raba kabinet, menempelkan benda itu ke telinganya setelah menekan tombol hijau. 

[Baru bangun, lu?] Suara bentakan Yohan membuat telinganya berdenging.

[Brengsek! Nggak usah teriak!] balas Jo.

[Gue nggak bakal teriak kalo lu balas chat gue. Dari semalem cuma centang biru. Ini urusan kerjaan, bego! Lu lupa janjian sama Bu Vero, janjian sama Pak Joko masalah container. Punya otak tuh dipake, jangan sibuk merenungi nasib. Vanessa udah mati, nah elu?!]

Jo mengumpat lagi. Lima bulan terakhir ini Yohan selalu berbicara keras padanya. Dia tahu, sahabatnya itu bermaksud baik. Dia memang tidak bisa terus-terusan berkubang dalam duka. Bukan duka karena kehilangan Vanessa, tapi karena hidupnya yang berantakan ini. 

[Iya, iya, gue bangun.] 

Jo bangkit dari tempat tidur. Tidak susah-susah membantah Yohan. Sambungan itu dimatikan begitu saja. Ketika melewati cermin, Jo membeku. Bayangan wajahnya yang dipenuhi cambang, dengan mata cekung dan lingkaran hitam terlihat jelas. Kemeja yang tadi dipakainya salat bukan hanya kusut, tapi juga berbau alkohol. 

Jo tahu dia terlihat menyedihkan. Sorot matanya yang penuh semangat hilang entah ke mana. Belum lagi senyumnya yang tidak pernah terlihat dalam tiga bulan ini. Kemana perginya semua itu? Dia sendiri heran. Lalu, suara rengekan terdengar. Dan tak lama berubah menjadi tangisan. Kepala Jo rasanya mau pecah mendengar itu. 

Itu suara Adelia. Irma sengaja menempatkan kamar bayi itu tepat di sebelah kamarnya. Bahkan ada connecting door yang menghubungkan kamar bayi dengan kamar Jo. Jadi setiap malam, Jo bisa mendengar suara tangisan bayi itu. Dan, dia sama sekali tidak tergerak untuk melihat Adelia. Dia tidak perlu kemarahan lain dalam hidupnya. Sebab setiap kali melihat bayi itu, bayangan perselingkuhan Vanessa selalu merangsek ke dalam kepalanya. 

Sebelum Mamanya mengetuk pintu kamarnya, Jo cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Mungkin guyuran air dingin bisa mendinginkan kepalanya yang panas. Pikir Jo

@@@

“Pagi, Yah,” sapa Jo sambil menarik kursinya mendekati meja. Tangannya meraih kopi sembarangan.

“Bang, itu kopiku,” sergah Jordan. Adiknya memandang Jo dengan sebal.

“Minta lagi sama Mbak Sri,” jawabnya tak peduli. 

Hadyan hanya menatap kedua anaknya. Tidak menemukan kalimat apa pun untuk merespon.

Sedangkan Jordan mendengus kesal, tapi tetap berdiri dan menghampiri Mbak Sri yang sedang mengaduk nasi goreng. Dia dan Jo biasanya mengobrol tentang apa saja di ruang makan. Mereka bisa dibilang akur walaupun menekuni pekerjaan yang berbeda. Jo seringkali mengambil kopi atau sarapan miliknya. Jordan akan protes, dan Jo akan membujuknya dengan gaya alay. Membuat Jordan bergidik ngeri. Lalu mereka akan terbahak bersama. 

Sekarang semua berbeda. Tidak ada lagi keakraban adik-kakak yang dulu. Jo tidak lagi menanggapi obrolan Jordan. Dia hanya akan menggeram lirih untuk menjawab pertanyaan Jordan. Seakan Jordan sangat mengganggunya. Dan lelaki berumur 29 tahun itu mulai berhenti berusaha mengajak abangnya mengobrol.

Jordan kembali lagi ke kursinya. Sudah memegang cangkir kopi yang baru. Setelahnya piring-piring berisi nasi goreng dihidangkan. 

“Yah, saya makan duluan ya. Harus cepet-cepet ke kampus. Ada rapat masalah uji kompetensi,” kata Jordan.

Hadyan mengangguk, sambil menatap ke arah lantai dua. Dia menunggu istrinya turun dengan Adelia. Ada kebiasaan baru dalam empat bulan terakhir ini. Irma yang biasanya sudah menunggu suami dan dua anaknya di ruang makan, akan turun belakangan. Itu karena dia harus memandikan dan mendandani Adelia, sebelum Muti, ART yang mengasuhnya, mengambil alih tugas Irma.

Tak lama Irma muncul, dengan tunik batik berwarna biru dan jilbab berwarna lebih gelap. Tangannya mendekap Adelia yang sudah rapi. Bayi 4 bulan itu mengenakan dress lengan pendek berwarna salem, memperlihatkan pahanya yang gemuk dan menggemaskan.

“Pagi cucu Opa,” sapa Hadyan sambil mengulurkan tangannya pada Adelia. 

“Pagi, Opa,” balas Irma. Dia menyerahkan Adelia pada suaminya. Sambil tersenyum gemas menatap Adelia. 

Jordan ikut mendekat, menyapa Adelia dan menciumi tangan gemuknya. Untuk sejenak mereka bertiga sibuk memperhatikan Adelia. Mengabaikan ekspresi masam Jo yang otomatis terpasang setiap kali Adeli muncul.

“Ini bajunya yang dibeliin Om Jordan kemarin, loh, lucu ya,” ucap Irma.

“Lucu, cantik. Nanti Om beliin lagi ya. Ma, minggu kita ajak Adelia jalan-jalan gimana? Atau ke baby spa?” saran Jordan dengan semangat. 

“Kamu dari mana tahu baby spa segala?” Irma menatap anak bungsunya heran. 

Jordan nyengir. “Itu, si Made kan juga baru punya anak. Story WA-nya pernah nunjukin bayinya lagi baby spa,” katanya salah tingkah. 

Hadyan dan Irma tergelak mendengar itu. 

“Sama Papa Jo juga, dong, ke baby spa,” usul Irma sambil melirik Jo.

Lelaki itu diam. Meneguk kopinya, lalu berdiri. “Jo berangkat dulu, Yah, Ma.”

Ruang makan itu mendadak senyap. Hanya suara langkah kaki Jo yang menjauh, dan diakhiri dengan suara pintu yang ditutup. Itu saja. 

Jo sama sekali tidak tertarik untuk berdekatan dengan Adelia. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 7 

Ide Konyol vs Ide Bagus

“Ada satu tempat kosong, yang menurut saya strategis, Pak. Tepat di samping resto pizza itu. Dulunya itu counter punya Creamy Gelato. Saran saya, Pak Jo ambil tempat itu. Masalah sewanya masih bisa dinego.”

Bu Vero berhenti bicara, menunggu tanggapan Jo. Anehnya lelaki itu sedang menunduk, menatap lantai sambil menggenggam ponselnya kuat-kuat. 

Yohan meliriknya. Menyenggol bahu temannya sambil berbisik memanggil Jo. Barulah lelaki itu tersadar. 

“Ya, Bu? Gimana? Maaf, saya tadi … sedang ….”

“Kami tertarik dengan counter itu, Bu. Kalo masih ada gerobak bekas jualannya mungkin bisa kami modifikasi supaya sesuai dengan tema I Coffee You akan lebih baik, Bu.” Yohan yang menjawab. Dia tidak mau terlihat tidak professional di depan Bu Vero, sang manajer operasional mall. 

“Ada, Pak. Nanti saya hubungi bagian operasional untuk menunjukkan gerobaknya. Kapan Pak Yohan mau cek?”

“Gimana kalo saya tunggu kabar dari Ibu, kalo gerobak itu sudah siap dicek saya akan datang lagi,” kata Yohan. 

Sementara Jo hanya manggut-manggut. Mendengarkan percakapan yang bagaikan dengungan lebah di telinganya. Dia tahu sudah bersikap tidak professional. Tapi tinggal di rumah Mamanya, dengan Adelia berkeliaran di mana-mana sangat tidak baik untuk kesehatan mentalnya. 

Jo jadi merasa dikejar-kejar hantu Vanessa dan perselingkuhannya. Belum lagi urusan apartemen yang belum laku. Padahal Jo merasa sudah muak dan harus menyingkirkan semua benda yang ada hubungannya dengan Vanessa. Tapi apartemen itu malah kelihatan seperti horcrux Voldemort dalam novel Harry Potter, sulit dihancurkan. 

“Baik Pak Yohan, segera saya kontak lagi ya. Terima kasih,” ucap Bu Vero. Ternyata perempuan berbusana abu-abu itu sudah berdiri dan menjabat tangan Yohan. 

Jo gelagapan, lalu ikut berdiri dan menjabat tangan Bu Vero. Segera setelah perempuan itu menjauh, Yohan menyeretnya. Jo tahu, Yohan pasti murka padanya.

Mereka berjalan cepat menuju area parkir P3. Begitu sampai, Yohan mendorong Jo untuk masuk ke mobilnya. Lalu dia pun membanting tubuhnya di kursi pengemudi. Lelaki itu menghela napas, lalu berbalik menyamping. Menatap Jo yang sedang menutup mata sambil menyandarkan kepalanya.

“Lo maunya apa sih, Jo?”

“Maksud, lo?” tanya Jo.

“Kita kerja bareng ya, Jo. Kalo lu kacau, imbasnya ke kerjaan kita. Lu tau kan Bu Vero itu sudah baik banget sama kita. Dia bahkan mau nego harga untuk sewa tempat di mall sebesar itu, dan lu malah kaya orang bego!”

“Wow, wow, santai, man. Lo nggak usah marah-marah gitu juga,” elak Jo. 

“Trus lo maunya gue gimana?! Ikut bego kaya elo, gitu?!” Yohan memelotot lalu memukul setir dengan gemas. 

Setelahnya mereka berdua diam. Hanya suara helaan napas berat yang terdengar. Jo tahu dia mengacaukan semuanya hari ini. Dia bahkan sama sekali tidak menangkap pembicaraan Bu Vero dengan Yohan. Untunglah, Yohan sigap menangani situasi. 

“Gue nggak bisa fokus kerja, Yo, sorry.”

“Apa lagi sih masalahnya?!” bentak Yohan. 

“Gue mau jual apartemen gue, tapi belum laku juga. Gue mau beli rumah, yang agak jauh dari nyokap,” kata Jo letih.

“Emang kenapa kalo lo tinggal sama nyokap?”

“Lo nggak tau, Yo. Gue bisa gila kalo tinggal di sana terus. Tiap malem, tiap pagi gue disuguhi pemandangan bayi sialan itu! Setiap kali gue liat bayi itu, gue langsung inget Ghi dan Vanessa hari itu. Gue enggak bisa hidup kaya gini terus, enggak bisa!”

Yohan berdecak mendengar itu. Dia pun tidak mau Joaquin terus-terusan tenggelam dalam trauma. Dia menyadari banyak perubahan yang terjadi dalam diri sahabatnya ini. Fokusnya gampang terganggu, dan Jo terlihat muak melihat perempuan genit. Itu sama sekali tidak seperti Jo. 

Lelaki ini memang bukan playboy. Tetapi dia normal. Topik pembicaraan mereka sangat normal untuk ukuran laki-laki. Tertarik pada perempuan cantik dan seksi, dan membicarakan hal mesum bukan hal tabu bagi mereka. Khas laki-laki. 

Sekarang semua hal semacam itu mendadak hilang dari Jo. 

Yohan tahu kebiasaan minum Jo mulai mengkhawatirkan. Lelaki itu menghabiskan uangnya untuk minuman mahal. Hampir setiap malam Jo mengunjungi klub malam. Yohan sudah berusaha menghalanginya dengan cara memberikan lelaki itu banyak pekerjaan. Hasilnya, Jo selalu berhasil menyelinap ke klub malam. 

“Lo kenal kan sama Ghi?” tanya Jo tiba-tiba.

Dua alis Yohan bertemu. “Maksud lo?”

“Ya lo kenal nggak sama Ghi? Kita semua kan satu SMA dulu, pernah nongkrong bareng juga sama Andi, Ghi, elo, Dendy juga.”

“Terus apa hubungannya?” tanya Yohan tidak mengerti. 

“Gue mau cari Ghi,” ucap Jo datar. 

“Mau ngapain, lo?” Yohan merasa sekarang dia bergidik. 

“Gue mau nyerahin bayi itu sama Ghi. Gue mau dia tanggung jawab. Gue mau cari Ghi,” terang Jo. Wajahnya terlihat tegang ketika memberi tahu Yohan.

“Kacau lo ya,” kata Yohan. Dia bingung bagaimana menanggapi. Menurutnya itu bukan ide bagus. Yohan khawatir Jo akan menyesal kalau memang itu terjadi. 

“Dia yang terakhir nidurin Vanessa, sebelum perempuan itu hamil. Gue nggak mau hidup gue kacau gara-gara bayi haram hasil perselingkuhan. Gue akan cari Ghi. Lo harus bantu gue, Yo!”

Yohan melirik Jo, mengunci mulutnya rapat-rapat hanya supaya perdebatan mereka tidak berlanjut. Dia tidak setuju dengan rencana Jo. Tapi tidak tahu cara mencegah lelaki yang sedang frustasi ini supaya tidak menjalankan ide konyolnya itu. 

@@@

 Laptop Irma menyala, menampilkan beberapa file yang sedang dibukanya. Sementara perempuan itu sedang menopangkan satu tangan ke wajahnya. Foto Adelia yang digunakannya sebagai background malah yang sedang menjadi fokusnya. 

Tiga bulan ini perasaannya resah tidak berkesudahan. Bayangan malam-malam yang dilaluinya dengan Adelia dan sikap tertutup Jo yang semakin parah. 

Tadinya Irma berpikir Jo akan mulai jatuh cinta pada Adelia. Bayi itu lucu, tidak rewel dan sangat menggemaskan. Ternyata dia salah. Jo terlihat tersiksa setiap kali melihat bayi itu. Irma dan Hadyan beberapa kali mencoba meletakkan Adelia di pangkuan Jo. 

Lelaki itu menolak. 

Setiap Adelia terbangun di malam hari, Irma dan suaminya yang akan menenangkan. Padahal Irma sengaja menempatkan Adelia di kamar bayi, tepat di samping kamar Jo. Berharap lelaki itu akan tergerak ketika mendengar tangisan Adelia. Tapi itu tidak terjadi. 

Irma memang belum menyerah, tapi dia lelah. Sampai kapan Jo akan berubah keras kepala begini, pikirnya. 

“Selamat siang, Prof. Lagi sibuk?” 

Irma tersentak, lalu buru-buru tersenyum. “Eh, siang Bu Luluk. Nggak sibuk, silakan, Bu.”

Perempuan dengan rambut dipotong pendek itu tersenyum, lalu duduk di kursi di hadapan Irma. “Maaf, Prof, saya tadi udah ngetuk pintu. Tapi Prof Irma nggak denger,” ucapnya.

“Nggak papa, Bu. Saya lagi ngelamun tadi,” Irma terkekeh. 

“Ngelamunin apa to, Prof? Ada artikel yang belum publish ya?” canda Bu Luluk. 

Irma tersenyum kaku. Seandainya permasalahannya hanya semudah artikel yang belum publish, dia pasti tidak akan melamun sedalam itu. Masalah dalam kariernya tidak pernah menjadi beban untuk Irma. Dia baru mendapat gelar guru besar di usia 58 tahun, ketika koleganya sudah lebih dulu mendapat gelar yang sama. Itu bukan masalah besar. Sejak dulu fokus utamanya adalah keluarga, bukan karier. 

“Ah, bukan masalah kerjaan, kok. Ngomong-ngomong ujian tesisnya jadi hari apa?”

“Nanti akan ada rapat terkait itu, Prof, karena program studi mau ujiannya dalam minggu yang sama. Saya ke sini mau ngasiin undangan dari Pak Sutanto,” kata Bu Luluk sambil mengulurkan undangan berwarna pastel. 

“Pak Sutanto mantu? Bukannya anaknya udah pada nikah?” heran Irma. 

“Ini anak sulungnya yang mau nikah lagi, Prof. Istrinya dulu, kan, meninggal kecelakaan. Terus anaknya Pak Tanto rada stress gitu, kan. Akhirnya sama Pak Tanto dicariin istri, dijodohin gitu ceritanya. Alhamdulillah anaknya manut. Ini sekarang malah mau nikah,” cerocos Bu Luluk. 

Mata Irma yang tadinya bersinar redup berubah cerah. Ada ide yang melintas di kepalanya. Pandangannya tertuju pada undangan yang sudah dibukanya. Dia mengerjap, sambil berharap nama Joaquin yang tertulis di situ. 

“Jadi betul ya, Prof, obat patah hati itu ya cinta baru.” Bu Luluk tergelak senang. 

Tawa itu menular pada Irma. Perempuan itu ikut tertawa sambil sibuk memikirkan ide yang sekarang berkembang di kepalanya. Siapa kira-kira perempuan yang cocok untuk Jo? Perempuan yang akan menaklukan keangkuhan dan mencairkan kerasnya hati Joaquin. 

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Irma. Lamunannya langsung buyar. Dia dan Bu Luluk menatap ke ambang pintu bersamaan.

“Selamat siang, Prof. Saya mau menyerahkan file power point untuk webinar.”

Perempuan berhijab kuning pucat itu tersenyum hangat. Bahkan Irma sampai lupa berkedip, karena ide yang sejak tadi berputar di kepalanya menemukan jawaban. 

“Siang, Mocca. Masuk,” kata Irma. Senyum tipisnya berubah penuh. Dia tahu, betapa jantungnya yang lima bulan ini berdetak gelisah, sekarang menjadi merdu. 

Semua itu karena Mocca. Gadis yang sekarang menatapnya dengan mata berbinar riang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 8 

Ultimatum

Jo menatap balasan chat dari Dendy. Satu tangannya menopang dagu dengan satu jari menyentuh bibir. Lelaki itu baru saja mendapat informasi tentang Ghi. Berteman dengan Ghi sejak SMA tidak membuatnya ingin tahu di mana rumah lelaki itu. Jadi selama bertahun-tahun dia tidak tahu fakta lain tentang Ghi. Hanya apa yang terlihat di depan matanya. 

Jo baru menyadari, dia memang ceroboh dan terlalu sombong saat itu. 

Pintu ruangannya diketuk, dan Vita masuk tak lama kemudian. “Kak, kontainernya udah dapet, desainernya tanya masalah konsep. Gimana, Kak?” 

Tangan Jo meraih foto-foto di dalam folder. Membukanya dengan tergesa. Yohan sudah memperingatkan dia tentang kontainer untuk gerai I CoffeeYou yang baru. Desainernya menunggu persetujuan Jo untuk mulai bekerja merenovasi. Dan Jo malah tidak bisa fokus. 

“Ehm, kuning udah banyak yang pake, Vit,” kata Jo. Matanya masih menelusuri beberapa foto yang diajukan desainer. 

“Ehm, mungkin paduan pink sama … apa ya?” tanyanya tidak yakin.

“Tapi Kak Yohan bilang pink kurang cocok, Kak. Ini kan jualan kopi.” Vita akhirnya duduk di kursi di depan Jo. “Boleh aku liat, Kak, foto-fotonya?”

Jo menyerah, dia memberikan tumpukan file itu pada Vita. Kepalanya masih penuh dengan informasi tentang Ghi. Dia harus secepatnya menemui lelaki brengsek itu. Supaya bisa segera menyingkirkan sumber masalah di rumah Mamanya.

Adelia. Bayi itu harus segera disingkirkan. Jo tahu kata yang digunakannya terdengar kejam. Tapi sekarang pilihannya antara hidupnya atau bayi itu. Jo ingin hidupnya kembali normal. Mungkin bayangan pengkhianatan itu masih akan tertanam dalam memorinya, tapi paling tidak dia bisa mendapatkan fokusnya lagi. 

“Gini aja, deh, Vit. Kamu cek lagi foto-foto ini. Sekalian survey internet, cari pandangan untuk kontainer makanan. Kalo udah dapet kamu share ke saya.” Jo berdiri, meraih ponselnya. 

“Kak Jo mau ke mana?” tanya Vita yang melongo. Yohan sudah mewanti-wanti sebelum pergi tadi. Vita disuruh memastikan kalau Jo sudah mengambil keputusan. 

“Ada urusan, nanti habis duhur saya balik.” Tanpa mempedulikan ekspresi kebingungan Vita dia melangkah. Jo berjanji, setelah masalah Adelia selesai dia akan bekerja habis-habisan. Menyelesaikan semua targetnya bersama Yohan. 

Ada semangat yang berkobar ketika dia menginjak pedal gas Expander putihnya. Dia harus bertemu Ghi hari ini!

Jo menepikan mobilnya, turun dan celingukan di depan pagar tinggi yang kelihatan tidak ramah itu. Dia sedikit terpana, tidak menyangka ternyata rumah Ghi berada di kawasan elit. Tidak menyangka juga kalau rumahnya megah dan mewah. 

Seingatnya dulu Ghi jarang membicarakan tentang keluarganya. Lelaki itu tidak sombong, sebaliknya ramah dan tidak segan membantu temannya yang kesulitan. Jo ingat, Ghi pernah beberapa kali membayar ketika mereka nongkrong bareng. Apa ini yang membuat Vanessa takluk pada pesona lelaki itu?!

Sial! 

Jo merutuk dalam hati. Kenapa dia malah teringat Vanessa dan Ghi? Itu membuat lukanya berdarah lagi. 

Tangan Jo menekan bel. Menunggu dua menit sebelum seorang lelaki berkemeja biru keluar. 

“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” kata lelaki itu sopan.

“Ini benar rumahnya Ghi?”

“Maksudnya Mas Ghiandra? Benar, Pak,” jawab si baju biru. 

Jo menghembuskan napas lega. “Saya bisa ketemu sama Ghi?”

Si baju biru tertegun, lalu membukakan pintu pagar. “Silakan masuk dulu, Pak,” katanya. 

Jo sebenarnya tidak berminat untuk masuk. Dia tidak mau merasa lebih terintimidasi lagi. Melihat tampilan luar rumah ini saja sudah membuatnya merasa kecil. Apalagi jika harus duduk di ruang tamu dan disuguhi berbagai hal mewah. Dia akan semakin merasa tidak berharga. 

“Saya tunggu di sini saja,” tolak Jo.

“Maaf, kalo boleh tau Bapak temannya Mas Ghi?”

“Iya, teman SMA. Bisa saya ketemu dia di sini aja?” ucap Jo cepat.

“Mas Ghi sudah 4 bulan ini pergi, Pak. Tapi kalo memang penting Bapak bisa ketemu sama Ibu, beliau ada di dalam.”

Jo heran kenapa penjaga rumah Ghi ini terlihat begitu ramah. Dan jawabannya tentang Ghi yang sudah pergi selama tiga bulan membuatnya tidak senang. Solusi yang awalnya terlihat bagus sekarang menjadi buntu. 

“Enggak usah, saya enggak ada urusan sama Ibunya Ghi,” tolak Jo. 

“Baik kalo begitu. Kalo boleh tau, nama Bapak siapa? Nanti saya sampaikan ke Ibu dan Mas Ghi,” kata si penjaga. 

“Saya Jo. Kalo boleh tau, Ghi pergi ke mana? Kapan dia pulang?” 

“Mas Ghi dikirim Ayahnya ke Singapura, Pak. Ada tugas katanya. Saya juga nggak tahu kapan pulangnya,” jawab si penjaga masih dengan ekspresi ramah. 

Jo mengangguk. Dia putus asa mendengar itu. Bisa saja dia pergi ke Singapura untuk mencari Ghi, tapi lalu apa? Lagipula itu akan membutuhkan waktu, tenaga dan uang. Sementara dia harus mengurus bisnisnya dan tidak punya waktu untuk kepusingan lain. 

Sambil menghembuskan napas berat, Jo mengangguk dan berterima kasih. Meninggalkan penjaga berwajah ramah yang kelihatan bertanya-tanya itu. 

Langkahnya berat ketika berjalan kembali ke mobilnya. Seharusnya dia langsung memberikan Adelia pada Ghi sesaat setelah Vanessa dimakamkan. Pikir Jo. Dia tidak seharusnya membiarkan masalah ini berlarut-larut. 

Tiba-tiba energinya serasa terkuras. Membayangkan akan pulang ke rumahnya dan mendengar tangisan, suara tawa dan melihat wajah mungil Adelia. Jo merasa dunia memusuhinya sekarang ini.

@@@

Sudah lewat tengah malam ketika mobil Jo memasuki garasi rumahnya. Malam ini Yohan berhasil membuatnya tetap bekerja. Lelaki itu tidak punya waktu untuk menyelinap ke klub malam, seperti biasa. 

Setelah pulang dari rumah Ghi, Yohan sudah menunggunya. Menyeretnya ke ruangan untuk menyelesaikan pekerjaa. Jo menurut saja, karena dia tidak punya tenaga untuk berdebat. Tidak setelah mengetahui kalau Ghi tidak ada di Indonesia. Jo harus memikirkan cara lain supaya tidak hidup di bawah satu atap dengan Adelia. 

Dan, tadi dia begitu sumpek, sampai akhirnya memilih patuh pada Yohan. Menyelesaikan konsep kontainer dengan Safri –si desainer- di bawah pengawasan Yohan yang mendelik padanya tiap 5 menit.

Jo membuka pintu samping. Berusaha supaya deritnya tidak terdengar. Setelah membuka sepatunya, dia berjingkat menuju tangga. Rumah Mamanya sudah senyap. Lantai dua juga sudah gelap, hanya lampu berwarna oranye di ruang baca yang menyala. 

Jo bersyukur. Paling tidak dia tidak perlu melihat Adelia. Kakinya sudah mulai menapak anak tangga. Ketika lampu ruang tengah menyala. 

“Mama? Kok belum tidur?” tanya Jo. 

“Mama sengaja nunggu kamu pulang,” ucap Irma dengan ekspresi serius.

Jo membuang napas. Kalau Mamanya memasang ekspresi seperti itu, pasti ada hal penting yang akan dibicarakannya. Sepertinya angan-angan untuk berbaring di kasur empuknya harus ditunda. 

“Duduk,” perintah Irma. Tak lama Hadyan ikut bergabung. Jo mengerang dalam hati. Kenapa orangtuanya menunggunya pulang dan sekarang dua-duanya duduk di hadapannya dengan ekspresi menyeramkan. 

“Buat apa kamu ke rumah Ghi?” tanya Irma.

Jo melotot. Bagaimana Mamanya bisa tahu kalau dia ke rumah Ghi? “Mama ngikutin aku?”

“Jangan balik nanya. Jawab dulu pertanyaan Mama,” balas Irma. Nadanya tidak enak didengar. 

“Saya harus menyelesaikan masalah saya,” ucap Jo.

“Dengan cara menyerahkan Adelia sama Ghi? Kamu pernah mikir enggak kalo kamu bisa nyesel, Jo? Gimana kalo Adelia memang anak kamu?” sembur Irma. 

“Jangan menyalahkan Adelia kalo kamu kehilangan hidup kamu. Tanyakan sama diri kamu sendiri, Jo. Siapa yang sudah bikin hidup kamu kacau? Kamu sendiri!”

“Ma, ini semua gara-gara Vanessa. Dan bayi itu. Hidup saya baik-baik saja sebelum Vanessa selingkuh dan melahirkan bayi itu,” elak Jo. 

Grow up, Jo.” Sekarang suara Ayahnya yang terdengar. “Kamu enggak bisa memperbaiki kekacauan dengan kekacauan lain.” Hadyan menasihati dengan lembut. 

“Dan jangan pernah mikir kamu bisa ngasiin Adelia ke orang lain. Adelia bukan barang, dia itu bayi, anak kamu Jo!” tekan Irma dengan penuh emosi. Mata perempuan itu berkaca-kaca, dan Jo merasa bersalah. 

“Mama sadar enggak? Kita jadi sering bertengkar sejak ada bayi itu. Rumah ini nggak tenang lagi. Selalu ada suara tangisan, rengekan, dan enggak tau apa lagi. Telinga saya sakit, saya enggak bisa tidur dengan tenang gara-gara bayi brengsek itu!”

“Jo!” protes Irma. Dia sangat kecewa dengan tiga kata terakhir yang keluar dari mulut putranya. 

“Maaf, Ma. Saya enggak tahan lagi. Saya mau pindah dari sini,” kata Jo akhirnya.

Irma dan Hadyan terperangah mendengar itu. Tidak menyangka Jo begitu marah pada Adelia sampai dia ingin pindah. Ini rumah orangtuanya. Rumah yang pintunya selalu terbuka untuknya. Dan Jo tidak lagi betah di sini. 

“Mama … punya saran yang lebih bagus buat kamu Jo,” ucap Irma hati-hati. 

Jo yang tadinya menunduk dalam, menatap Irma dengan waspada. 

“Kamu harus menikah lagi, Mama punya calonnya.”

“Apa?” Jo terperangah mendengar ultimatum Mamanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 9 

Teh Bunga Telang

Yohan membuka pintu ruang kerjanya dan langsung melongo. Jo tidur di atas sofa yang biasanya dipakai untuk menerima tamu. Kemejanya masih sama dengan yang dipakainya kemarin. Dia berbalik, mengecek ruangan Vita dan pegawai lain. Masih kosong. Berarti Jo tidak pulang semalam? Pikir Yohan.

Lelaki itu menepuk-nepuk lengan Jo, berusaha membangunkan sahabatnya itu. Jo hanya menggeram, lalu berbalik dan tidur lagi. 

“Jo, bangun. Udah hampir jam delapan,” kata Yohan sambil menggoyangkan badan Jo. 

Jo menggumam, mulai membuka matanya dengan susah payah. Dengan malas dia mulai bangun. Duduk dan mengacak rambutnya yang berantakan. Dia menghembuskan napas berat, bersiap menghadapi interogasi Yohan. Sahabatnya itu sedang menatapnya tanpa kedip.

“Jadi … lo tidur di sini semalem?” Yohan membuka percakapan. 

Jo mendongak, lalu menunduk dan mengangguk samar. 

“Lo mau jelasin apa yang bikin lo nggak pulang?”

“Ya ampun, Yo, lo nggak punya perasaan ya! Nggak bisa lo suruh gue mandi dulu kek, cuci muka, atau yang lebih manusiawi, bikinin kopi dulu,” omel Jo. Dia mulai bangkit dan sadar betapa berantakan penampilannya. 

“Ya kali lo anak gadis, gue mau ngerayu. Nah, elo, umur udah 30 lebih, udah jadi bapak pula. Masih aja belagak pake ngambek-ngambek segala,” cerocos Yohan dengan wajah sebal. 

Lelaki berkulit gelap itu keluar ruangan, kembali dengan sebotol pengharum ruangan yang langsung disemprotkannya ke seluruh sudut. Ruangan itu berbau asap rokok dan alkohol. 

“Brengsek lo, Yo,” kata Jo tersinggung.

“Elo yang brengsek. Denger ya, kita dulu udah sepakat nggak bakal berbuat mesum dan minum-minum di kantor. Bisa bawa sial! Lo punya otak dipake dikit lah.” Yohan berkacak pinggang. 

“Gue nggak berzina di sini. Asal lo tau ya, gue nggak akan pernah berzina!” Jo mengacungkan satu jari ke arah Yohan.

“Lo nggak berzina, tapi hampir tiap malem minum. Apa bedanya hah?! Tinggal tunggu waktu aja sampe lo khilaf,” balas Yohan kesal. “Inget ya, Jo, semua itu ada awalnya. Awalnya lu minum, terus-“

“Ah udah, udah, ceramah aja lo!” Jo meninggalkan Yohan yang masih menganga. Otaknya kusut, dan menjadi lebih kusut karena Yohan sudah menceramahinya pagi-pagi. Padahal kejadian semalam saja masih membuat Jo uring-uringan. 

Sepuluh menit kemudian, Jo kembali ke ruang kerjanya. Sudah rapi dan terlihat lebih segar. Kemejanya memang kusut karena dilipat asal-asalan dan dijejalkan ke dalam traveling bag

Semalam setelah Mamanya mengusulkan dia untuk menikah, Jo menolak mentah-mentah. Baginya itu usul yang menggelikan. Hidupnya yang sekarang jungkir balik ini karena Vanessa dan Adelia. Plus, perselingkuhan Vanessa sebagai pembuka.

Dan Mamanya tiba-tiba melontarkan usul menikah lagi. Seakan menikah segampang mencari kontainer untuk gerai makanannya. Jo jelas-jelas tidak setuju. 

Dia juga ingat bagaimana tangisan Adelia yang tiba-tiba terdengar semakin membuat suasana semalam mencekam. Jo tidak pernah mendebat Mamanya, tidak pernah kecuali tadi malam. 

Ketika otaknya sudah sesak, tangisan bayi itu sama sekali bukan hiburan. 

Sebaliknya, tangisan Adelia seperti bom yang meluluhlantakkan mood-nya. Dia memutuskan meninggalkan rumah setelah dengan susah payah pamit pada Mamanya yang menangis. Jo benci itu. Benci melihat Mama yang sangat disayanginya menangis. 

“Jadi sampe kapan lo mau tidur di sini?” tanya Yohan memecahkan kesunyian. 

Jo menyulut rokok, lalu menghisapnya. “Belum tau,” jawabnya tak peduli. 

“Lo serius minggat dari rumah nyokap lo?”

Jo mengangguk lemah. Kata-kata Yohan mengingatkannya pada ekspresi sedih Irma dan air mata yang membasahi wajah perempuan itu. 

“Udah lo pikirin bener-bener?”

Jo tidak menjawab. Dia tidak yakin apa yang dimaksud Yohan dengan pertanyaanya. Tentang menyerahkan Adelia pada Ghi, atau keputusannya pergi dari rumah Mamanya?

Kemarin Jo memang menegaskan lagi kalau dia akan mencari Ghi. Dia sudah menghubungi Andy, temannya yang pengacara. Jo yakin Andy punya orang yang bisa diminta menyelidiki kasus atau apalah namanya. Dia akan terus mencari Ghi, tak peduli meskipun dia harus mengeluarkan uang untuk itu. 

“Gue udah beresin urusan kontainer. Konsep udah fix, hari ini mulai dikerjakan sama Safri. Bulan depan I Coffee You udah mulai bisa dibuka,” kata Jo. Sengaja mengalihkan topik pembicaraan.

Yohan yang tadinya sedang mengutak atik laptopnya, menoleh, menatap Jo dengan aneh. 

“Gue bener-bener khawatir sama lo, Jo. Otak lu kayanya perlu direparasi. Kenapa lo nggak kawin lagi aja, sih? Siapa tau hidup lo bisa lurus lagi,” kata Yohan. 

Dia memang khawatir pada Jo. Lelaki itu terlihat sekali menghindari pembahasan tentang kehidupan pribadinya. Yohan juga sudah bisa menduga kalau Jo akan terus memburu Ghi. 

“Lo sama aja kaya nyokap gue. Sarannya nggak jauh-jauh dari kawin. Sarap lo.” Jo menatap Yohan dengan kesal. Tanpa repot-repot menunggu Yohan membalas, dia keluar dari ruangan. 

Sepertinya menjaga jarak dari orang-orang yang dulu dekat dengannya, adalah ide bagus. Apalagi orang-orang yang memberinya nasihat untuk kawin lagi. Itu nasihat bodoh sekaligus berbahaya. Pikir Jo.

@@@

Irma baru saja masuk ke ruangannya. Dia baru saja selesai rapat dengan jurusan, dan sekarang merasa sangat lelah. Ketika baru saja duduk, matanya tertuju pada setumpuk draft tesis yang harus diperiksanya. Ada dua map yang entah berisi apa, itu pun harus dicek dan ditandatangani mungkin. 

Dia memutuskan menunda pekerjaannya dulu. Pandangan matanya terarah pada foto dirinya dan Adelia dalam pigura berbingkai putih. Foto itu diambil sebulan yang lalu, ketika dia masih berharap Joaquin akan luluh setelah terbiasa dengan Adelia. 

Nyatanya itu tidak terjadi.

Pertengkaran itu sudah membuktikan kalau Jo muak dengan Adelia. Bayi mungil itu malah sering membangkitkan memorinya tentang perselingkuhan Vanessa. 

Irma memijit pelipisnya. Rasanya dia butuh udara segar atau apa pun yang bisa mengenyahkan kesedihannya. Sudah tiga hari Joaquin tidak pulang ke rumah. Putra sulungnya itu pergi entah ke mana. Tidak ada telepon atau pesan seperti yang biasanya dilakukan Jo kalau dia sedang bepergian. 

Ketukan di pintu membuat Irma tersadarBuru-buru dia mengusap wajah. “Masuk,” katanya. 

“Siang, Prof.” kepala Mocca menyembul dari celah pintu. Gadis itu mengenakan hijab berwarna pink fanta. Terlihat begitu muda dan penuh semangat. Sesuai dengan usianya yang masih 27 tahun.

Irma spontan tersenyum. Dia memang membutuhkan seseorang seperti Mocca untuk menyingkirkan kegalauan. 

“Siang, Mo.”

“Prof, saya masukin ini ke vas bunga boleh?” Mocca menunjuk beberapa tangkai bunga matahari yang dipegangnya. 

Irma mengangguk dan tersenyum. Gadis itu segera mengambil vas besar di atas meja tamu. Mengisinya dengan air dari keran wastafel dan dengan cekatan menata bunga. 

Tatapan Irma tidak lepas dari semua itu. Dia senang karena sudah memilih Mocca menjadi asistennya. Gadis itu tidak hanya cerdas, seperti kebanyakan mahasiswa yang lalu dijadikan asisten dosen. Ada hal lain yang dulu membuat Irma memilihnya. Kepribadiannya yang hangat dan ceria. Persis seperti bunga matahari yang sering dibawanya ke kantor.

Gadis itu dulu adalah mahasiswi bimbingannya ketika kuliah S2. Irma terpikat pada Mocca bukan hanya karena dia selesai kuliah tepat waktu, tapi karena gaya presentasinya dan caranya menangani perdebatan. Gadis itu hampir selalu berhasil mengubah suasana tegang menjadi penuh senyum. 

“Prof, jendelanya saya buka ya. Cuacanya lagi bagus, angin dikit, sih. Tapi lebih bagus daripada AC.”

Irma tersentak dari lamunannya. “Iya, boleh. Saya memang lagi butuh udara segar.”

“Oh iya, Prof, tesis yang sudah ditandai itu, sudah saya cek. Saya kasi sticky note, nanti Prof Irma tinggal cek sedikit saja, dan kalo sudah ok tinggal diparaf, Prof.” Mocca yang sudah membuka jendela kembali ke meja tamu, membetulkan tangkai-tangkai bunga matahari yang tadinya berdempetan. 

“Ya, makasih, nanti aja saya baca tesisnya. Saya … sedang enggak fokus. Nanti jam dua ada rapat di fakultas, masalah percepatan disertasi,” keluh Irma.

Mocca sontak menatap Irma yang sekarang bersandar di kursinya. Dosennya itu memejamkan mata, terlihat letih. Mocca menatapnya heran. Seingatnya beberapa bulan belakangan ini Irma tidak terlihat seperti biasa. 

Sorot mata lembutnya tertutup kabut. Wajahnya muram, dan Mocca sering memergokinya melamun. Pasti ada masalah besar yang sedang dihadapi Irma. Pikirnya.

Sayangnya Mocca tidak bisa menebak masalah apa yang membuat Irma terlihat begitu kalut. Tidak mungkin hanya urusan kampus dan segala tetek bengeknya. Tuntutan guru besar memang banyak, tapi Irma selalu bisa memenuhi itu. 

“Prof, maaf … saya liat Prof Irma sekarang … sering melamun,” katanya memberanikan diri. “Prof perlu sesuatu? Mau saya buatkan teh bunga telang? Itu bagus buat nurunin stress, Prof.” Mocca langsung menutup mulutnya. Dia khawatir terlalu banyak bicara dan Irma jadi terganggu. 

Di luar dugaan, Irma malah tertawa. “Kamu tahu aja saya lagi stress.”

“Maaf, Prof saya nggak bermaksud ikut campur,” ucap Mocca sambil mengusap tengkuknya salah tingkah. 

“Duduk sini, Mo. Saya mau … curhat,” kata Irma sambil terkekeh salah tingkah. 

Mocca menurut. Dia duduk dengan rapi, siap mendengar curhatan Profesor favoritnya. Sementara Irma terlihat ragu. Tangannya menyingkirkan map dan draft tesis lalu berdehem. Tenggorokannya terasa kering. 

“Kayanya teh bunga telang itu cocok untuk saya,” katanya perlahan. Irma tersenyum kaku. 

“Jadi … Joaquin anak sulung saya, istrinya meninggal lima bulan yang lalu.” Irma menjeda. Tangannya memilin kalung etnik yang dikenakannya. 

“Istrinya meninggal setelah melahirkan. Bayinya perempuan, ini … Adelia.” Irma memutar pigura, menunjukkannya pada Mocca. 

Sedangkan gadis itu membatin, akhirnya dia tahu siapa bayi lucu yang digendong Irma di foto ini. 

“Dia lucu dan cantik ya, Prof,” puji Mocca. 

Irma mengangguk setuju. “Ya, dia cantik, lucu, enggak rewel. Saya sayang banget sama Adelia.” Irma diam lagi, menghela napas. “Tapi, anak saya … Joaquin jadi berubah. Dia … jadi tertutup setelah istrinya meninggal. Kami jadi jarang ngobrol dan bercanda seperti dulu. Mungkin dia stress,” ucap Irma.

“Apa … Prof Irma mau minta saya bawain teh bunga telang buat Pak Joaquin?” tanya Mocca tulus. 

Irma malah terbahak mendengar itu. “Kalo kamu mau … kamu bisa bikinkan teh bunga telang buat Jo … tiap hari.” Irma menatap Mocca yang kebingungan. 

“Maksudnya gimana, Prof?” Alis Mocca bertaut. 

“Apa … kamu mau menikah sama anak saya?” 

Mata Irma menatap Mocca. Bersinar penuh harap.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Bab 10 

Banteng Yang Terluka

Sepanjang perjalanan pulang sore itu, Mocca galau. Sambil mengendarai motor matiknya, meliuk-liuk di jalanan padat khas jumat sore, pikiran Mocca tidak bisa lepas dari pembicaraan dengan Prof Irma. 

Banyak pertanyaan muncul di kepalanya. Apakah Joaquin akan menerima kalau Ibunya menjodohkannya dengan Mocca? Seperti apa tampang si Joaquin ini? Jangan-jangan tidak terurus setelah kematian istrinya.

Mocca mengenal Jordan. Anak bungsu Prof. Irma itu juga dosen, beda jurusan dengan Ibunya. Jordan ramah, gampang akrab dan sama sekali tidak jaim. Apa Joaquin seperti Jordan?

Argh! Kenapa jadi kepikiran Joaquin mulu sih?! Belum-belum udah galau aja nih aku.

Mocca merengut sambil berbisik di dalam hatinya. Teringat ekspresi Prof. Irma ketika siang tadi curhat. Mocca lagi-lagi melamun. 

“Saya tahu kamu kaget, dan mungkin akan mikir saya ini hopeless. Iya, saya memang hopeless, Mo. Tapi saya jadi punya harapan setelah liat kamu beberapa hari yang lalu.” Prof Irma menggenggam tangan Mocca. 

“Prof, tapi … saya-“

“Jangan ditolak dulu, tolong dipikirkan dulu, Mo. Please.” Prof Irma memotong ucapan Mocca. 

Perempuan berhijab cokelat muda itu menatap Mocca dengan mata berkaca-kaca. Mocca ikut sedih melihatnya. Tapi juga ada pertanyaan lain yang terbetik di dalam benaknya. Separah apa kondisi si Joaquin ini, sehingga Ibunya terlihat begitu putus asa. 

Seingat Mocca, Prof Irma tidak pernah begitu sedih seperti hari ini. 

“Tapi, Prof kenapa saya? Saya nggak selevel sama keluarga Prof Irma, saya cuma asisten, Prof,” ucap Mocca.

Irma menggeleng. “Saya nggak pernah memandang orang dari level-levelan begitu, Mo. Saya yakin kamu yang bisa menaklukkan Jo, dan … merawat Adelia cucu saya,” cicitnya.

“Menaklukkan? Saya bukan matador, Prof.” Mocca membeo dan malah mengucapkan kata yang sama sekali tidak berhubungan. Bayangan Joaquin yang bertanduk dan mendengus marah muncul di kepalanya. Dan dia menarik-nari dengan sepotong kain merah, berputar-putar di arena adu banteng. Dia merasa harus menjadi matador untuk Joaquin.

Irma tertawa lirih melihat ekspresi Mocca ketika mengulang kata ‘menaklukkan’. Dia pasti sudah memberi kesan yang buruk tentang Joaquin. 

“Joaquin nggak kaya banteng ngamuk, kok. Tenang aja.” Irma mengikik di tengah deraian air matanya. “Dia … banteng yang terluka,” bisik Irma. 

Mocca ingat dia semakin bergidik mendengar itu. Kalau Joaquin banteng yang terluka, bukankah artinya dia harus punya kotak P3K. Di mana lagi dia harus mencari kotak P3K semacam itu. Atau dia mesti membekali dirinya dengan ilmu medis spesialis mengobati luka. Luka hati yang berdarah dan masih basah.

Argh!

Mocca mengerang dalam hati.

Ini sepertinya cukup sulit. Membuat Mocca terjebak. Di satu sisi dia penasaran dengan si Joaquin Banteng Terluka ini. Ditambah lagi dia iba pada Prof. Irma. Perempuan baik hati yang sudah banyak mengajarinya tentang banyak hal dalam bidang ilmu yang ditekuninya, sekaligus dalam urusan kampus.

Di sisi lain, dia tidak mungkin menikah dengan orang yang sama sekali belum dikenalnya. Dan yang lebih penting lagi, si Joaquin juga pastinya tidak akan langsung setuju dengan pilihan ibunya. Siapalah Mocca yang cuma asisten dosen dengan gaji UMR. 

Lalu ada hal lainnya. Kalau dia menikah artinya dia tidak akan bisa meraih cita-citanya. Meneruskan kuliah S3, menjadi dosen atau peneliti, dan meraih gelar professor seperti Prof Irma yang dikaguminya. 

“Kalo kamu bersedia … saya … akan … kasi kamu beasiswa S3. Kamu bisa pilih mau studi di negara mana. Jepang punya trace yang bagus untuk education engineering, Amerika juga, saya bisa kasi kamu rekomendasi untuk ke Columbia University, atau Pennsylvania. Tolong pikirkan ini, Mo.”

Mocca sempat heran karena Prof Irma seakan bisa membaca pikirannya. Dia memang sedang galau tentang studi S3 belakangan ini. Tidak mungkin selamanya dia menjadi asisten dosen. Gelar doktor menurutnya akan membuat masa depannya lebih cerah. Untuk itu dia sudah berencana akan apply beasiswa Fullbright dan Chevening. 

Yang lebih penting lagi, dengan beasiswa itu dia bisa pergi. Mencari seseorang yang sudah lama menghilang. Dan … dia jadi punya alasan untuk mempersilakan adiknya menikah duluan.

“Tapi, Prof, saya nggak bisa nikah karena itu. Menurut saya … nikah nggak sebercanda itu, Prof, maaf,” ucap Mocca sambil menunduk. Dia takut Prof Irma tersinggung. 

Ruangan itu sunyi. Dan, Mocca bingung bagaimana harus mengakhiri percakapan ini. 

“Kamu … memang calon yang tepat. Saya tahu kamu akan menjawab begitu, Mo. Karena itu, saya minta pikirkan dulu permohonan saya. Ini permohonan seorang Ibu untuk menyelamatkan anaknya, Mo.”

Mocca yang tadinya menunduk, langsung mendongak. Dan dia menyesal melakukan itu, karena wajah kuyu Prof. Irma langsung tertangkap matanya. 

“Saya … saya … akan saya pikirkan, Prof.”

Ketika siang tadi dia keluar dari ruangan Prof. Irma, Mocca menyesal sudah mengucapkan itu. Seharusnya dia tidak memberikan harapan. Seharusnya dia langsung menolak saja. 

Tapi yang diingatnya adalah anggukan kepalanya yang yakin. Lalu, Prof. Irma menghampirinya, memeluknya dan membisikkan ‘terima kasih’.

@@@

“Gimana jalanan, Mo?” Rizky –ayahnya- menyambut Mocca. Seperti biasa lelaki itu duduk di teras, menghirup kopi dan membaca buku. 

“Rame, padat, menyebalkan, mengesalkan, macet, bau asap knalpot di mana-mana. Ya gitu lah, Yah,” jawab Mocca. Dia menghempaskan tubuhnya ke kursi rotan di sebelah Ayahnya. 

“Alhamdulillah rame, artinya di Malang masih ada kehidupan, Mo. Kalo sepi kan ngeri juga,” balas Rizky sambil terkekeh. 

Mocca ikut tertawa, lalu memeluk lengan ayahnya. Menempelkan wajahnya di lengan lelaki cinta pertamanya ini. Ayah selalu mengajarinya untuk melihat sisi baik dari segala sesuatu. Membuat Mocca yang kadang mengeluh jadi malu. 

“Mandi sana, Bunda sudah masak ayam mentega,” kata Rizky.

“Hah?! Ayam mentega, hmmm enakkk. Aku mandi dulu ya, Yah.” Mocca langsung beranjak, bergegas memasuki rumah sambil mengendus-endus. Rizky hanya tertawa melihat kelakuan konyol putri sulungnya. 

Rumahnya selalu ramai dengan suara celotehan Mocca. Putri sulungnya itu periang, suka bicara dan selalu menemukan alasan untuk tertawa. Berbeda dengan Vanilla, putri bungsunya yang lebih pendiam dan tertutup. 

“Mocca, taruh dulu itu ayamnya. Buat makan nanti malem, bukan buat digaduh.”

Teriakan gemas itu terdengar, disusul tawa riang Mocca yang sepertinya berlari menghindari kejaran Bundanya. Rizky hanya menggeleng. Mocca memang seperti matahari pagi, selalu penuh energi.

Dan menurut Rizky, matahari pagi itu sudah waktunya menyinari hati seseorang.

@@@

Rumah besar dengan bangunan bergaya kuno itu terkesan hangat. Ada banyak bunga matahari yang ditanam di halamannya. Sebatang pohon mangga yang dahannya rendah tumbuh subur. Berdiri kokoh menaungi halaman dengan bermacam-macam tanaman itu.

Rumah tempat Mocca dibesarkan letaknya tidak jauh dari pusat kota. Perumahan lama dengan model bangunan ala tahun 1990-an. Tanahnya luas, sebagian besar digunakan untuk halaman depan dan belakang. Dindingnya dicat kuning gading, dan ada bagian dinding yang ditempeli batu alam.

Suasana senyap karena petang baru saja turun. Mocca baru saja keluar dari kamarnya, berpapasan dengan Vanilla yang sedang berjalan sambil menatap ponselnya. Mereka saling menatap sekilas, lalu membuang muka. Seperti biasa. 

“Ehem.” Mocca berdehem, mencoba mencairkan suasana.

Ketika Vanilla mengangkat wajahnya, Mocca mencoba tersenyum. Adiknya juga tersenyum. Kaku. 

“Gimana kerjaan hari ini, Nil?” tanya Mocca.

“Hm, ya gitu deh. Bakal ada expo akhir bulan ini.” Vanilla menjawab, sepertinya bingung mau mengatakan apa lagi.

Expo di mana? Kalo sudah ada brosurnya bagi ke aku. Nanti aku share ke mahasiswa di kampus,” Mocca menyahut sambil menata piring dan mengambil sayur dari dapur.

“Boleh, Mbak. Brosurnya mungkin 1 atau 2 hari lagi siap.” 

Mocca tersenyum, dan Vanilla juga begitu. Ada banyak hal yang ingin mereka obrolkan sepertinya. Tapi seperti ada tembok yang tidak terlihat di antara mereka. Tembok yang mulai dibangun sejak Mocca mengambil keputusan yang menyakiti hatinya sendiri. Sejak itu hubungannya yang datar dengan Vanilla semakin datar.

Mocca yang penuh energi, dan Vanilla yang rapuh, pendiam, tertutup dan sakit-sakitan. Ayah dan Bunda menjad over protective. Dan Mocca harus banyak-banyak mengalah pada adiknya.

“Bima apa kabar?” Mocca mencomot sepotong bakwan jagung.

“Baik, dia … ehem, mau pulang dalam waktu dekat,” jawab Vanilla yang mendadak salah tingkah. 

Mocca mengangguk saja, tidak ada lagi bahan obrolan. Macet. Dan, ruang makan menjadi sepi. Sementara Bunda memperhatikan keduanya diam-diam. Biasanya ada bahan pembicaraan yang seperti dipaksakan oleh Bunda, tapi tidak kali ini.

Ruang makan yang menyambung dengan dapur itu senyap. Vanilla menatap ponselnya lagi sambil sesekali tersenyum. Mocca menatap sekeliling ruang makan, berusah mengenyahkan suasana tidak nyaman yang biasa melingkupi ketika ada Vanilla di dekatnya.

 Dua gadis berbeda kepribadian itu hubungannya tidak hangat. Ada kejadian masa lalu yang membuat mereka berjarak. Dan ada saat-saat di mana dua gadis itu berubah canggung menghadapi satu sama lain. Khususnya ketika topik tentang jodoh dan cinta dibahas. 

Tak lama kakak beradik itu sudah duduk rapi. Terlalu terlena dengan ayam goreng mentega dan tumis kangkung ala Bunda. Ditambah sambal terasi, krupuk dan bakwan jagung, tidak ada yang sanggup menolak pesona masakan Bunda. Apalagi Mocca sudah menangkap puding roti kukus yang disimpan di dekat microwave. Acara makan bersama di rumahnya selalu dilengkapi aneka masakan Bunda yang memang membuat air liur menetes.

Rizky datang dari masjid, dan langsung bergabung di ruang makan. Lelaki itu mencoba mencairkan suasana. Memulai obrolan dengan drama pengiriman catering Bunda karena kurir yang biasa mengantar motornya mogok. Cerita tentang kejadian remeh temeh di sekolah tempat Rizky mengajar juga ikut meramaikan ruang makan. Lalu sampailah pada topik ‘panas’ yang biasanya dihindari Mocca.

Bu Rahman, tetangga sebelah baru saja punya cucu. 

“Jadi … kapan Ayah sama Bunda bisa gendong cucu?” Itu pertanyaan Rizky.

Mocca pura-pura sibuk dengan ayam menteganya. Sedangkan Vanilla melihat Ayah dan Bunda bergantian, lalu tersipu. 

“Kira-kira siapa dulu nih yang mau ngasi cucu? Mocca apa Vanilla?” Bunda melanjutkan. 

Mocca buru-buru meraih gelas dan meneguk airnya. Ingatannya langsung melompat ke pembicaraan dengan Prof. Irma tadi siang. Dan nama Joaquin berdengung lagi di telinganya. 

“Mbak Mo aja, Yah. Kan sulung, Nilla nggak berani ngelangkahin Kakak pertama,” kata Vanilla. Tangannya mengaduk makanan di piringnya. Ini topik sensitif untuk mereka berdua. Kejadian tidak enak di masa lalu itu, membuat mereka seringkali menjauhi topik ini.

“Yang udah punya calon aja duluan, silakan adek, kakak pertama mengijinkan,” balas Mocca sambil menggigit dada ayam. 

Ayah dan Bunda saling melirik. Keduanya sadar, Mocca selalu salah tingkah kalau masalah nikah dibahas. Khusus hari ini entah kenapa, ekspresi Mocca langsung berubah drastis.

Topik di meja makan segera diganti. Demi mencegah perasaan tidak nyaman Mocca yang memang sudah lama jomblo. Dulu ada cowok yang sering datang ke rumah dan pergi ke mana-mana bersama Mocca. Itu ketika Mocca masih SMA. Rizky tidak perlu diberitahu kalau Mocca menyukai cowok berkulit tembaga itu. 

Anehnya, ketika Mocca lulus SMA cowok itu tidak pernah lagi kelihatan. Setiap kali Rizky bertanya tentang cowok itu, Mocca hanya angkat bahu lalu masuk kamar. Rasa ingin tahunya yang begitu besar, kalah setiap kali melihat ekspresi mendung Mocca. 

Sejak itu Rizky tidak pernah lagi bertanya. Demi menjaga perasaan Mocca. Dia yakin Mocca akan bercerita suatu hari nanti. Dan hari itu belum juga tiba. Mocca masih belum membuka rahasia ke mana perginya cowok itu.

Setelah makan malam dan membantu Bunda mencuci piring, Mocca buru-buru masuk kamar. Jantungnya sudah berdetak gelisah sejak topik menikah dibahas tadi. Dia mengunci pintu lalu menghempaskan tubuhnya ke kasur. 

Tangan Mocca meraih ponsel, lalu menekan aplikasi mesin pencari. Dia mengetikkan nama Joaquin dan Malang. Beberapa nama muncul, tapi rasanya bukan Joaquin yang sedang dicarinya. Akhirnya ada satu nama. Mocca memperbesar foto yang menyertai nama itu.

Joaquin Airlangga, dengan salah satu gerai mie di mall. Mata Mocca membulat penuh. 

Kayanya ini nih orangnya. Si banteng terluka. Mirip banget sama Prof. Hadyan.

Mocca menggumam dalam hati. Dia menelusuri lagi, menemukan instragram Joaquin. Sepertinya digunakan untuk bisnis karena hanya penuh dengan foto-foto gerainya. Ada dua foto Joaquin dengan seorang lelaki yang sama-sama berkulit gelap. Di situ, Joaquin sedang tersenyum, dan Mocca tiba-tiba merasa jantungnya berdegup kencang. 

Tok tok tok

Mocca terlonjak. Ponselnya nyaris tergelincir dari tangannya. Sambil merutuk dia membuka pintu, menemukan Vanilla sedang berdiri dengan wajah muram. 

“Mbak, boleh bicara serius?” tanyanya. 

Mocca tidak menjawab, hanya membukakan pintu lebih lebar.  Vanilla menghempaskan tubuhnya ke ranjang, meraih bantal karakter Cony dan memeluknya gemas. 

“Mau bicara apa? Cepetan aku ngantuk,” kata Mocca. 

“Mbak lagi ngapain?” Mata Vanilla tiba-tiba tertuju pada ponsel Mocca yang masih menyala. Menampilkan wajah Joaquin yang sedang tersenyum.

“Eh, enggak ngapa-ngapain.” Mocca cepat-cepat meraih ponsel dan mematikannya. “Katanya mau ngomong, ditungguin juga,” omel Mocca.

“Mas Bima ngajak aku nikah, Mbak,” kata Vanilla cepat.

“Ha?! Terus?” Mocca bingung kenapa Vanilla terlihat sedih padahal itu kabar gembira.

“Ya, kan, aku enggak bisa nikah kalo Mbak Mo belum nikah.” 

Vanilla menekuk wajahnya, mengabaikan wajah Mocca yang mendadak meredup mendengar itu.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Latte untuk Mocca: Bab 11-20
5
5
 Mocca mendorong pintu ruangan Prof Irma perlahan. Perempuan itu sedang duduk dengan wajah muram seperti yang biasa dilihat Mocca dalam lima bulan ini. Ketika Mocca muncul dan berjalan menghampirinya, kening Prof. Irma berkerut. Dia mengamati Mocca yang hari itu mengenakan jilbab berwarna biru laut. Gadis itu terlihat tidak seperti biasa. “Prof,” kata Mocca sebelum menghela napas. “Saya mau bicara,” lanjutnya. “Iya, Mo, silakan.” Irma masih terlihat bertanya-tanya. Bibir Mocca bergerak, tapi tidak ada suara. Gadis itu membasahi bibirnya, kedua tangannya saling meremas. Lalu matanya menatap Prof. Irma dengan takut-takut. “Saya … bersedia, Prof.”Irma menatap Mocca dengan lembut. “Untuk?”“Saya … bersedia menikah dengan Pak Jo.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan