
Mengapa harus bertemu mantan di saat aku menjauh?
Hai, semua!
Pertama-tama, perkenalkan saya Maria En 🥰. Kedua, terima kasih sudah memutuskan membaca cerita TETANGGAKU MANTANKU.
Ketiga: kalian punya mantan nggak? Kira-kira gimana kalau mantan kalian tetanggaan sama kalian 😆. Seru dong, ya, sinis-sinisan tiap hari. Wkwkwk.
Dah, gitu aja. Kepanjangan ntar 😁.
Selamat membaca. 🥰
Bertemu Mantan
"Selamat siang. Permisi!"
Terdengar suara seorang pria disertai ketukan berulang di pintu. Aku yang baru selesai memoles riasan di wajah buru-buru ke depan. Sepertinya suara itu sangat familiar. Tapi kupastikan itu bukan suara milik Pak Zaenal--pemilik kosan-- yang telah dua kali datang menagih sewa bulan ini. Bukan pula suara Pak Doni tetangga depan yang suka modus, dengan berkali-kali bertanya cara membuat akun facebook dan instagram. Yang jelas, itu bukan suara Teh Fani, penghuni kosan ujung yang kerap meminta link drakor. Tidak mungkin pula si Intan, penjaga kosan yang suka menuduhku les*ian. Entah siapa, tapi yang jelas suara itu tidak asing.
"Halo! Permisi."
"Iya, tunggu sebentar!"
Sementara aku berjalan cepat, ponsel di saku celana panjang hitamku bergetar. Aku mengabaikannya.
"Permisi!"
Ugh!
Menjengkelkan sekali orang ini. Ini semua terjadi karena pagar depan sengaja kubuka.
Tak sempat lagi aku mengintip dari jendela. Dengan kesal kutarik daun pintu sekuat tenaga. Aku bersiap-siap menyemprotkan kata-kata kasar padanya. Yang benar saja! Siang-siang begini entah apa urusannya mengetuk pintu tak sabar begitu.
"Woy! Kalau bertamu itu yang …."
Kalimatku tak selesai. Pria yang berdiri di hadapanku sekarang membuat tenggorokanku terasa tersekat. Aku tak percaya. Rasanya ingin menampar pipi berulang kali. Berharap semoga apa yang kulihat saat ini hanyalah mimpi di siang bolong. Dia … Farhat, mantan suamiku.
"Danti … kok bisa kamu di sini? Ngapain kamu di sini?"
Ngapain? Ya ampun! Manusia satu ini memang tak pernah berubah. Kepalanya masih dipenuhi prasangka buruk. Pasti itu.
Aku menatapnya tajam sambil melipat kedua tangan di dada. "Menurutmu ngapain? Dan memangnya ini tempat apaan? Kenapa juga kamu nanya-nanya kayak gitu. Aku bukan siapa-siapa kamu lagi."
Satu sudut bibirnya tertarik ke atas membentuk senyuman sinis.
"Pemilik kosan ini Pak Zaenal yang sudah punya empat istri. Kamu pasti istri kelima."
Apa?!
Jujur saja, aku tidak tahu kalau Pak Zaenal punya istri sebanyak itu. Aku baru lima bulan tinggal di sini. Itu semua terjadi karena aku mendapat panggilan dari sebuah toko buku, tempatku memasukkan lamaran. Dan aku sengaja mencari kosan yang tak jauh dari toko buku itu. Supaya tidak terlambat masuk kerja. Aku pun tak pernah peduli tentang kehidupan pribadi orang lain, apalagi sampai mencari tahu jumlah istri pemilik kosan.
Aku mencondongkan wajah, menatapnya penuh selidik.
"Kamu sendiri ngapain ke sini? Kamu mata-matain aku, ya? Bener kan? Ngaku deh!"
"Apa?! Ke GR-an kamu. Aku ke sini untuk…."
Seketika ponsel di sakuku bergetar untuk kesekian kali. Ini sangat mengganggu. Pada akhirnya, aku menarik ponselku. Itu panggilan dari Pak Zaenal.
["Halo, iya, Pak! Ada yang bisa Danti bantu?"]
["Halo, Dinda!"]
Aku mengumpat dalam hati. Kesal karena Pak Zaenal selalu salah menyebut namaku. Sementara itu kulihat Farhat memalingkan wajahnya. Baru kuperhatikan, ternyata ada sebuah koper hitam di belakangnya.
["Ehm. Begini, kalau kamu sudah selesai beres-beres barangmu, tolong taruh kuncimu di bawah keset teras saja. Biar nanti, kalau penghuni baru ada yang datang, dia tidak repot-repot kesusahan cari kunci di tempat yang lain. Soalnya, Intan lagi keluar."]
Aku tercengang mendengar pernyataan Pak Zaenal. Yang benar saja! Aku baru telat bayar seminggu, sudah diusir seperti ini.
["Lho, pak … kan Bapak sudah setuju waktu Danti bilang mau bayar sewa kosan besok,"] protesku.
["Kapan kamu ngomong? Bukannya kamu sudah telat bayar dua bulan?"]
["Dua hari lalu, Pak. Aku juga udah izin ke Bapak, tentang temanku Hani yang mau ikutan di kamarku. Dan aku baru telat bayar bulan ini, kok."]
["Oh, Nak Dinda yang … lho, lho, bukannya Dinda pamit mau balik ke kampung ibunya?"]
Aku merasakan mataku mulai membulat. Ini pasti efek usia Pak Zaenal yang sudah lanjut dan jumlah kosannya terlampau banyak.
["Ibu? Ibu Danti udah lama meninggal, Bapak."]
["Hah? Iyakah? Wah, Bapak salah orang. Bukan Dinda kamu ternyata."]
Aku menarik napas panjang. Hish!
["Oh, ya, kalau sebentar kamu ketemu dengan laki-laki bernama Farhat, tolong suruh tungguin Bapak di sana saja. Katanya, dia mau datang jam dua belas lewat tiga puluh."]
Ada urusan apa Farhat dengan Pak Zaenal? Apa jangan-jangan dia ….
Kuembuskan napas berat, dan kembali melayangkan pandangan kepada Farhat yang menatapku tajam.
["Kebetulan sekali Farhat sudah di sini."]
["Wah, tolong suruh tunggu Bapak, ya. Bapak kesitu sekarang. Sampaikan Bapak salah ngasih info nomor kosan yang kosong. Sepertinya kosan di sebelahmu yang kosong, Nak Dinda. Mungkin Farhat di situ saja."]
Apa?!
Bersambung.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
