I'll kiss you multiple times, at least you'll remember one of them.

13
0
Deskripsi

Versi lengkap narasi chapter 408 Crimson Legacy.

I’ll kiss you multiple times, at least you’ll remember one of them.

Kamar hotel di tengah hiruk-pikuk kota yang tak pernah tidur terasa seperti dunia yang terlepas dari kenyataan, dinding memantulkan gemerlap lampu yang menyelinap melalui celah-celah tirai beludru setengah terbuka. 

Cahaya kota yang tak pernah padam menari di lantai yang mengilap, menciptakan bayang-bayang yang bergerak seperti jendela kereta yang melaju di tengah malam. Udara di kamar ini berat, penuh aroma manis martini yang masih melekat pada napas Sharon, bercampur dengan sentuhan musky dari parfum Hakairav yang meresap di kemejanya. 

“Asha?” panggil pria itu lembut. “Saya anterin ke kamar, ya.”

Sharon mengangguk. Ia masih sangat sadar.

Ranjang besar di tengah kamar menanti. Seprai putihnya menyambut kehadiran Hakairav seperti kanvas kosong yang menggoda untuk diisi dengan cerita. 

Sharon dengan baju hitamnya yang merosot di satu bahu, tersandung masuk, rambut cokelat gelapnya berantakan menghalangi wajah. Matanya berkaca, pipinya memerah oleh alkohol — atau mungkin oleh pria yang kini lengannya melingkar di tubuhnya. 

I got you, I got you,” ucap Hakairav pelan. Kancing atas kemeja pria itu terlepas, karena kesigapannya menangkap tubuh Sharon yang hampir jatuh tersandung. Jantungnya berdetak tak karuan, lagi dan lagi. 

Sharon nyaris jatuh ke sofa di sudut kamar, tawanya pecah seperti gelembung sampanye, manis dan sedikit tak terkendali. Roknya tersingkap sedikit, memperlihatkan kulit pahanya yang pucat, dan ia tak peduli, atau mungkin terlalu mabuk untuk memperhatikan. 

Hakairav menundukkan pandangannya lalu berlutut di depan Sharon, tangannya melepas sepatu hak tinggi Sharon dengan gerakan hati-hati, jemarinya menyapu kulit telapak kakinya yang hangat. 

Siapa sangka ternyata sentuhan itu membuat Sharon menggigit bibir bawahnya, matanya menyipit, seolah mencoba memahami apakah ini nyata atau hanya khayalan yang dibawa alkohol. “Ngapain kamu?”

“Kamu katanya kalau sedih harus ke tidur di pet hotel, ya?” tanya Hakairav, diiringi tawa kecil. 

Sharon memicingkan mata, bibirnya melengkung dalam senyum setengah sadar yang penuh tantangan. “Siapa bilang?”

“Kamu sedih nggak? Atau stres?” Hakairav bertanya lagi, suaranya penuh kepekaan. Hakairav berdiri, menawarkan tangan untuk membantu Sharon bangun, tapi matanya tak pernah lepas dari wajah perempuan itu, seolah ia adalah teka-teki yang ingin dipecahkan.

Sharon mencondongkan tubuh ke depan, napasnya hangat, bercampur aroma manis minuman yang membuat kepala Hakairav sedikit pusing. 

“Kamu bisa diem nggak, Dekmas?” tanyanya, suaranya serak, sedikit menunjukkan kekesalan. 

“Dekmas?” gumam Hakairav. Kenapa dia tiba-tiba panggil gitu?

Sharon mencoba berdiri, tapi langkahnya oleng, dan Hakairav sigap menangkap pinggangnya, menahannya dengan kedua tangan. Sentuhan itu terasa seperti arus listrik, membakar kulit mereka berdua.

“Diem, shuhssh!”

Hakairav tersenyum, sudut bibirnya terangkat, penuh janji yang tak terucap. “Yaudah, saya diem. Tapi saya temenin ya?” katanya, suaranya dalam, hampir seperti bisikan. 

Tidak ada jawaban.

Hakairav menuntun Sharon menuju ranjang, tangannya di pinggang perempuan itu terasa seperti menghantarkan rasa hangat yang menjalar di seluruh tubuh Sharon. Perempuan itu mengikuti, langkahnya ragu tapi matanya penuh keberanian mabuk.

Helaan napas panjang keluar dari mulut Sharon, matanya tak bisa lepas dari wajah Hakairav, dari garis rahangnya yang tegas, terutama bibir pria itu — bibir yang sudah pernah terlampau akrab dengan bibirnya, yang seolah memanggil untuk diperhatikan.

“Kamu harus diem,” ucap Sharon. Ini kali ketiga ia menyuruh Hakairav untuk diam.

“Kalau kamu ngomong terus, aku makin nggak bisa berhenti lihatin bibir kamu,” Sharon menambahkan.

Hakairav seketika jauh lebih diam dari sebelumya, napasnya tersendat, matanya menelusuri wajah Sharon seperti mencari petunjuk.

Perempuan itu melangkah mendekat, jarak di antara mereka menyusut hingga udara terasa panas, terbakar oleh hasrat yang selama beberapa hari ini mereka pendam di antara baris-baris hati mereka. Jari lentiknya menyentuh dada Hakairav, merayap ke lehernya, mengabsen setiap permukaan kulitnya dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap inci.

“Asha,” pria itu berusaha menyela.

Sharon malah semakin maju, tubuh mereka nyaris menempel, napasnya menyapu wajah Hakairav. 

“Oh, how I like to be kissed by you,” bisiknya, suaranya seperti dapat menghipnotis Hakairav.

“Sharon. Kali ini kamu beneran mabuk,” kata Hakairav, suaranya rendah, tapi ada keraguan yang menyelinap. Keraguan di dalam batinnya bahwa pria itu juga menginginkan ini.

Momen ciuman pertama mereka beberapa malam lalu muncul di pikiran Hakairav. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya seolah-olah tak berdaya di bawah sentuhan Sharon, tapi ia tak mundur. Ada bagian dari dirinya yang ingin menyerah pada momen ini, pada Sharon, pada percikan yang menyala di antara mereka.

“Tapi aku harus mabuk banget untuk jujur kalau aku juga suka sama kamu, Hakairav,” katanya, suaranya lembut namun penuh api, seperti bara yang menyala di bawah abu. “I’ve watched you for longer than I care to admit — every glance, every smile. The way you look at me, has always made the world quieter. The way you say my name… it sounds like… hope? I don’t know.”

Semua perkataan itu terlepas seperti puisi yang tak bisa lagi ditahan, setiap baris penuh keberanian yang hanya alkohol bisa bangkitkan.

Kedua mata Hakairav membeliak lebar, menatap Sharon dengan penuh rasa tidak percaya, dunia di sekitarnya seolah larut, hanya ada Sharon, hanya ada kata-katanya yang terdengar bagaikan doa yang dijawab. Senyumnya yang hendak melebar seketika datar lagi. Tapi dia lagi mabuk berat?

Do you think I’ll forget everything tomorrow?” tanya Sharon. Menyuarakan ketakutan Hakairav.

Pria itu tidak ingin membebani Sharon. 

“Waktu kamu cium saya kemarin, lupa nggak?”

Sharon menggeleng. “I think I will never forget our kiss. It’s impossible. Can we not talk about that right now? It’s messing with my head… I kinda just really wanna kiss you. Tapi aku nggak mau lupa satu pun.”

I can’t hold it anymore. Jempol Hakairav mengusap bibir bawah Sharon lembut. “Memangnya boleh?” tanyanya. 

“Apa?”

“Kalau saya cium kamu duluan?”

I let you the first time, why would I stop you now?

Hakairav menarik napas dalam, lalu tersenyum. “Okay. I’ll kiss you multiple times, seenggaknya kamu inget salah satunya,” katanya, suaranya dalam, penuh janji yang membuat jantung Sharon — yang masih cukup sadar — berdetak lebih kencang.

“Aku nggak mau lupa satu pun,” gumam Sharon.

And me? I’d be grateful if you remembered just one. That’s all I need.

Tak perlu waktu lama, ciuman pertama mendarat. Yang pertama adalah sebuah sentuhan lembut, seperti kuas yang menyapu kanvas kosong, bibir mereka bertemu dengan ragu, mencicipi sedikit rasa garam dan manis dari sisa minuman Sharon. 

Tapi ciuman kedua lebih dalam, lebih lapar, seperti sebuah tumpukan pekerjaan yang dicintai. Sharon mencengkeram lengan atas Hakairav, menariknya lebih dekat, jari-jarinya menggali bahunya seolah takut dia akan lenyap seperti mimpi. 

Tidak tinggal diam, Hakairav membalas, tangannya merayap ke pinggang Sharon, menariknya hingga tak ada ruang di antara mereka. Atasan Sharon melorot lebih jauh, memperlihatkan kulit bahunya yang pucat, dan Hakairav tak bisa menahan diri — bibirnya menelusuri garis lehernya, meninggalkan jejak panas yang membuat Sharon mengerang pelan, suaranya seperti nada yang terlepas dari sebuah instrumen musik, lembut namun penuh hasrat.

Mereka tersandung ke ranjang, tawa kecil Sharon merdu muncul di sela napasnya yang tersengal. Hakairav menindihnya, matanya penuh gejolak, hasrat dan kelembutan bercampur dalam tatapannya. Bibir mereka bertemu lagi, kali ini lebih liar, lebih lapar, lebih… putus asa.

Jari-jari Sharon mencengkeram kemeja Hakairav, kancing-kancingnya terlepas, memperlihatkan dada yang naik-turun oleh napas yang tak beraturan. Hakairav menangkap pergelangan tangan Sharon, memandangnya dengan mata yang penuh api, lalu menciumnya lagi, lidah mereka saling menari dalam ritme yang hanya mereka pahami. Ciuman mereka berpindah, dari bibir pelan-pelan turun ke leher, dari leher ke tulang selangka, setiap sentuhan adalah level baru dalam sebuah permainan yang semakin menantang. 

Sharon memutar tubuhnya, kini ia yang berada di atas, rambutnya jatuh seperti tirai di wajah Hakairav, matanya berkilat penuh keberanian karena mabuk. Ia menciumnya lagi, tangannya merayap ke sabuk Hakairav, jari-jarinya cekatan namun penuh godaan. Hakairav mengerang pelan, tangannya meluncur ke paha Sharon, menyingkap roknya sedikit lebih tinggi, merasakan kulitnya yang hangat di bawah sentuhannya. Sharon menggigit bibir bawah Hakairav, menariknya hingga pria itu mendesah, suaranya rendah dan penuh keinginan. 

Mereka terhanyut, tubuh mereka bergerak seperti dua bait yang saling menyahut, setiap ciuman lebih dalam, setiap sentuhan lebih berani. Sharon menekan tubuhnya lebih erat, napasnya tersengal, tangannya merayap ke rambut Hakairav, menariknya hingga pria itu mengerang lagi. 

Tapi tiba-tiba, Hakairav menangkap pergelangan tangan Sharon, napasnya tersengal, wajahnya penuh konflik. 

“Sharon,” katanya, suaranya serak, hampir memohon, “Kita nggak bisa… nggak begini. Kamu mabuk, dan saya nggak mau kamu nyesel.” 

Mata Hakairav yang tadi sempat terjun ke dalam hasrat, menatap penuh kelembutan, tapi juga tekad, seperti seorang penyair yang tahu kapan harus menghentikan puisinya agar tak menghancurkan.

Sharon membeku, matanya melebar, lalu perlahan ia tersenyum, senyum yang rapuh namun penuh pengertian. “You’re too kind, Hakairav,” bisiknya, suaranya lembut.

Come here,” ujar Hakairav dengan lengan yang terbuka. 

Sharon menjatuhkan diri ke sisinya, napasnya masih berat, tubuhnya masih hangat oleh sisa-sisa hasrat. Mereka terdiam sejenak, udara di antara mereka masih panas, namun kini ada kelembutan yang menyelinap, seperti akhir dari sebuah drama laga yang penuh gejolak.

Mereka akhirnya meringkuk di ranjang, tubuh mereka saling bertaut, keringat dan napas bercampur dalam kehangatan. Hakairav membelai rambut Sharon, jari-jarinya melacak garis-garis wajahnya seperti menghafal setiap detail, setiap lekuk yang kini terasa seperti miliknya.

Sharon yang terbiasa menjalani hubungan dengan cepat selayaknya gaya berhubungannya selama ini, akhirnya merasakan tenang. Ia bisa melihat visi Hakairav tidak seperti masa lalunya. Perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada Hakairav, mendengarkan detak jantungnya yang perlahan tenang, seperti akhirnya menemukan kedamaian. 

 

——

 

Tiba-tiba, pukul tiga pagi, tubuh Sharon bergetar hebat. Air mata mengalir di pipinya, seperti tinta yang merembes dari baju hingga ke dada pria yang ia jadikan bantal, tak terduga, tak terkendali. Hakairav langsung terbangun. 

Sharon memeluk Hakairav lebih erat, wajahnya tersembunyi di lekuk leher pria itu, tubuhnya bergetar oleh isak yang penuh rahasia. “I like you more and it scares me.

“Asha? Hey, it’s okay. Asha?” panggil Hakairav sadar.

“Asha, hey, kamu kenapa?” tanyanya lagi.

“… Calvin,” gumamnya, suaranya pecah. Nama itu terlepas seperti belati yang tak sengaja terhunus, tajam dan penuh makna yang tak terucap.

Hakairav mengerutkan kening, jantungnya seperti terhenti, dunia di sekitarnya seolah membeku. 

What did she say?

 

 

OMGGG Hakasha udah jauh ya… [cough, cough]. Ayo hebohin narasi ini kayak first kiss-nya mereka di QRT >__<

HEHEHEHE. Maaf pindah ke sini soalnya takut Medium kenapa-napaa T___T sama ini tuh menurutku ceritanya Hakasha memang lebih ‘dewasa’ daripada Janubeez karena pergaulannya mereka juga beda jauh waktu muda. Sharon juga terpapar dengan dating behavior yang fast-paced gitu kan yaa. So, yeah…



 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya #MeruKaia: Persuade Your Husband
10
0
Lanjutan konten.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan