Lembah Bunian Pt 7. TUANKU BASA

0
0
Deskripsi

Gunung Singgalang adalah gunung mati, gunung yang sudah lama tidak aktif. Beberapa pendaki menghindari gunung mati karena terkenal dengan kisah-kisah gaib dan tidak masuk akal.

07. Tuanku Basa

Pasar Koto Baru ini berada tepat di tengah-tengah pertemuan kaki gunung Marapi dan gunung Singgalang. Saking dekatnya, seolah kedua kaki gunung itu saling bertaut. Pasar ini selalu menjadi titik macet di ruas jalan yang menghubungkan kota Padang dan Bukittinggi karena aktivitas pedagang dan pembeli sampai tumpah ke pinggir jalan

Ada gunung yang lebih rendah bersisian di sebelah selatan dengan gunung Singgalang yaitu gunung Tandikek. Sementara gunung Marapi berdiri gagah di bagian timur.

Meskipun paling tinggi, Gunung Marapi adalah gunung paling favorit diantara ketiga gunung yang sering disebut sebagai gugusan Tri Arga tersebut, karena selain selalu ramai pendaki, trek di gunung itu relatif lebih lebar dan kering.

Sedangkan gunung Singgalang memiliki trek yang lebih curam dan ekstrim. Kondisi tanahnya sering basah dan berlumpur. Selain itu gunung Singgalang adalah gunung mati, gunung yang sudah lama tidak aktif. Beberapa pendaki menghindari gunung mati karena terkenal dengan kisah-kisah gaib dan tidak masuk akal.
 

Beberapa pendaki menghindari gunung mati karena terkenal dengan kisah-kisah gaib dan tidak masuk akal

Sutan Rajo Itam mempersilakan mereka naik mobil pick up yang sudah menunggu di parkiran pasar. Mulanya Erizal ingin duduk di depan, namun Herman memaksa mereka duduk di belakang bersama tas dan barang bawaan mereka.
 

Mobil bergerak menuju kaki gunung Singgalang. Berkelok-kelok melewati area perkebunan warga. Hamparan lahan pertanian subur seperti cabe, kol, wortel dan sayuran lain dengan memanjakan mata. Semakin jauh, jalan mulai mengecil dan semakin menanjak. Tidak ada lagi jalan aspal, hanya jalan beton yang sebagian besarnya sudah pecah dan berbatu sehingga mereka terguncang-guncang duduk di belakang.

Erizal memperhatikan Herman yang biasanya cerewet, kini diam seribu bahasa dengan wajah cemas. Sudah dua puluh menit lebih mereka di perjalanan, namun belum ada tanda-tanda akan sampai. Selama itu pula tidak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Herman.

"Kenapa kamu? Masuk angin?" goda Erizal setengah mengejek.

"Serius ini kampungnya di sini? Saya pikir di dekat pasar Koto Baru tadi," tanya Herman khawatir.

"Emangnya kenapa?" tanya Erizal heran.

"Ngeri, Bro. Gunung Singgalang ini terkenal banyak cerita angker," ucapnya hati-hati.

"Huu, lagakmu aja yang sok berani, padahal gadang sarawa,"[penakut] ejek Erizal.

"Mana pula celana saya besar," gerutu Herman mengibaskan celananya menolak dibilang penakut.

Nagari Lubuak Limo bukanlah kampung yang benar-benar terbelakang meskipun letaknya paling jauh dari jalan utama dan jalan menuju kampung yang kecil dan lumayan rusak.

Rumah penduduk hampir semuanya sudah berdinding semen dan beratap seng. Hanya satu dua rumah saja yang masih terbuat dari kayu. Sinyal operator seluler juga cukup lancar kecuali dalam keadaan cuaca buruk.

Mobil berhenti tepat di seberang sebuah surau kecil bercat hijau dengan atap seng berkarat. Mereka melanjutkan perjalanan sedikit lagi berjalan kaki karena jalan menuju rumah kakek Erizal hanya berupa jalan setapak.

Seorang lelaki berusia sekitar 50 tahun sedang mengibaskan sajadah-sajadah yang dijemurnya di pagar kayu sebuah surau. Badannya terlihat sehat dan sedikit berotot meskipun kulitnya legam dibakar sinar matahari dan helaian uban terlihat di bawah kopiah hitam beludru yang dikenakannya. Dia tersenyum ramah sambil mengucapkan salam kepada Erizal dan Herman. Anehnya Sutan Rajo Itam tidak tersenyum sedikitpun, malah membuang muka sambil meludah.

 

***

Sutan Rajo Itam mengantarkan mereka kepada seorang bapak tua berusia sekitar 65 tahun yang sudah berdiri menunggu di depan pintu rumahnya. Setengah berbisik dia menjelaskan bahwa bapak tua itu adalah Kakek Erizal.

Lelaki tua itu sumringah menyambut kedatangan Erizal.
 

"Alah gadang Wa'ang kini," [Kamu sudah besar sekarang] sapanya ramah.

Dipeluknya cucunya dengan hangat dan menyalami Herman yang berdiri di samping Erizal.

"Ba'a perjalanan, lai lancar?" [Bagaimana perjalananmu, lancar?] tanyanya.

"Lancar, Kek. Alhamdulillah," jawab Erizal canggung.

"Ha... Alah panggia kakek pulo inyo, mantang-mantang gadang di Jakarta. Panggia Angku!"  perintahnya terbahak. Lelaki tua itu menolak dipanggil kakek dan meminta dipanggil Angku, sebutan lazim di minang untuk kakek.

"Eh, iya Angku," jawab Erizal mengangguk hormat.

"Maaf, nama Angku siapa?" serobot Herman penasaran.

Lelaki itu menjawab dengan pantun

"Pancaringek tumbuah di paga,
diambiak urang ka Ambalau.
Ketek banamo, gadang bagala.
Baitu adat di minangkabau,"

"Urang disiko mamanggia [Orang disini memanggil] Tuanku Basa," jawabnya sambil menjelaskan bahwa dalam adat minangkabau, ketika seseorang sudah dewasa, nama aslinya akan digantikan dengan nama gelar yang melekat.

Tuanku Basa lalu mengenalkan wanita yang berdiri di sampingnya

"Iko Anduang wa'ang,"[Ini nenek kamu] katanya mengenalkan.

Wanita yang dimaksud terlalu tua untuk dipanggil Anduang. Usianya jauh lebih muda dari Amak, mungkin terpaut lima tahun lebih muda. Baju kuruang dengan bawahan batik menambah kecantikannya. Selendang bersulam yang dikenakannya tidak sepenuhnya menutupi rambutnya yang masih hitam.

Erizal minta izin Tuanku Basa agar Herman bisa diterima menginap selama beberapa hari menemaninya. Erizal juga mengatakan bahwa seharusnya dia mengajak Nara, tapi ragu apakah Tuanku Basa berkenan menerima tamu perempuan atau tidak.

Tidak disangka, Tuanku Basa malah menyuruh mereka mengundang Nara dan mengatakan bahwa dia memiliki beberapa rumah yang disewakan untuk para pelancong lokal yang datang berlibur. Jadi Nara dapat menginap di salah satu rumah sewa itu.

Tuanku Basa dan Anduang mengajak mereka masuk ke dalam rumah utama. Rumah ini memiliki arsitektur rumah gadang yang sudah dimodifikasi menjadi lebih modern. Tiang dan dindingnya terbuat dari kayu pohon juha yang berukir khas ukiran minangkabau. Atapnya yang seperti tanduk kerbau terbuat dari jalinan ijuk yang dijalin kokoh bersusun.

Sentuhan modern terlihat dari jendela-jendela yang sudah dilengkapi kaca dan bagian salangko atau kolong rumah yang dijadikan kamar, sehingga rumah itu terlihat seperti memiliki dua lantai.

Kemegahan rumah ini makin lengkap karena posisinya tepat menghadap ke arah gunung Marapi yang sore ini puncaknya jingga disiram mentari menjelang tenggelam.

Bagian dalam rumah dipenuhi berbagai pajangan dan benda antik. Pada dinding rumah terdapat hiasan kepala harimau dan kepala beruang yang telah diawetkan. Bersusun juga aneka senjata tajam tradisional seperti Ruduih, senjata semacam parang panjang dengan bentuk melengkung. Ada juga Piarik, tombak bermata tiga dengan ujung tajam serta beberapa bilah keris minangkabau.

Sementara dalam lemari jati berpintu kaca di sudut ruangan, tersusun benda-benda antik seperti keramik, guci, kitab-kitab kuno dan beberapa bilah karambit, yaitu pisau lengkung berbentuk seperi bulan sabit.

Tuanku Basa mengajak mereka ke ruangan tengah rumah. Tepat di bawah tiang utama rumah, bersusun alat-alat musik tradisional minangkabau. Ada alat musik pukul talempong, yang bentuknya seperti gamelan terbuat dari kuningan. Satu set gandang tambua, gendang yang terbuat dari kayu ringan berbentuk drum dengan permukaan kulit sapi.

Herman mengambil satu buah alat musik seperti seruling, terbuat dari tanduk kerbau. Dengan iseng, dia meniup Pupuik Tanduak itu lalu memukul-mukul talempong dan tambua hingga berbunyi cukup berisik. Tuanku Basa tampak tidak senang melihat tingkah laku Herman.

"Lasak juo kawan Wa'ang, yo,"[temanmu tidak bisa diam, ya] ucapnya agak kesal. Erizal memberi isyarat agar Herman segera menghentikan tingkahnya.

Setelah beres berkeliling menunjukkan rumahnya, Tuanku Basa menunjukkan rumah kecil di sebelah rumahnya tempat mereka nanti menginap. Dia juga menunjukkan kalau Nara jadi datang, akan menempati rumah satunya di samping.

"Kalian istirahatlah dulu. Bisuak [besok] banyak yang harus awak [kita] bahas," tutup Tuanku Basa.

"Maaf, Angku. Besok kami sahur bagaimana ya?" tanya Erizal

"Gampang, setiap berbuka dan sahur, ado yang maantakan makanan ka siko," jawab Tuanku Basa sambil menggandeng Anduang masuk ke dalam rumahnya.

 

***

 

Udara di lereng gunung Singgalang terasa sangat dingin. Google Weather di ponsel Erizal menunjukkan suhu mencapai 15 derajat. Meskipun sudah memakai selimut tebal, dinginnya udara serasa menusuk tulang.

Herman mengirimkan foto-foto pemandangan serta foto rumah Tuanku Basa kepada Nara dan menceritakan bahwa Tuanku Basa tidak keberatan apabila Nara berkunjung ke nagari ini. Erizal kesal karena keduluan Herman selangkah. Padahal tadi dia juga sudah mengambil banyak foto indah untuk dikirimkan kepada Nara.

Mungkin karena kelelahan setelah perjalanan jauh, mereka berdua akhirnya terlelap dalam pelukan udara malam yang semakin dingin.

Tengah malam, Erizal terbangun mendengar suara lolongan anjing bersahut-sahutan. Jam di dinding menunjukkan pukul 2 malam. Suara hewan malam meningkahi lolongan anjing yang semakin menyayat.

Suara lolongan anjing semakin melengking sahut-menyahut. Sepertinya semua anjing di kampung ini ikut melolong memekakkan telinga. Erizal bangkit dan duduk di pinggir ranjang dengan kesal. Kepalanya terasa pusing karena tidurnya belum puas.

Tiba-tiba terdengar suara seperti bunyi gong dipukul dari kejauhan bergema dan mendengung seperti memenuhi seluruh wilayah kampung. Erizal terkesiap. Suasana berubah mencekam.

Baru saja Erizal berpikir dia salah dengar, suara gong itu berbunyi sekali lagi. Setelah bunyi ketiga, suara itu berubah menjadi suara musik. Suara yang mirip dengan alat-alat yang dimainkan Herman tadi di rumah Tuanku Basa. Mirip orkestrasi musik tradisional.

 

 

Setelah yakin dia tidak salah dengar, Erizal membangunkan Herman.

"Man...Herman," panggil Erizal sambil mengguncang tubuh tambun temannya itu.

Herman menggeliat dan bangun dengan kesal karena Erizal tidak berhenti menguncang tubuhnya.

"Pant...!" hampir saja Herman mengeluarkan umpatan kasar kalau saja Erizal tidak menutup mulutnya dengan tangan.

"Sssttt..." Erizal memberi isyarat agar Herman diam dan mendengarkan suara yang tadi dia dengar.

Herman menepis tangan Erizal yang menyumbat mulutnya. "Apo?" tanyanya heran.

"Dengar itu, suara alat musik yang tadi kamu mainkan," bisik Erizal.

"Indak ado suaro apo-apo," [Tidak ada suara apapun] jawab Herman. Dia kesal sekali karena tidurnya terganggu.

Benar saja, suara yang didengar Erizal tadi telah hilang. Lolongan anjing juga tidak terdengar lagi. Kampung itu benar-benar sunyi senyap.

"Mimpi wa'ang, tu," omel Herman. Dia segera merebahkan badannya sambil menarik selimut lalu kembali tidur bergelung.

Erizal heran dengan apa yang terjadi. Tidak mungkin dia barusan bermimpi dan berhalusinasi. Dia ingin merebahkan badannya, namun sebentar lagi masuk waktu sahur, jadi dia memutuskan menunggu waktu sahur dengan membuka-buka ponselnya.

 

***

 

Hari ini mereka hanya beristirahat seharian untuk melepaskan penat. Suruhan Tuanku Basa mengantarkan makanan sahur tadi pagi dan takjil untuk berbuka puasa waktu maghrib. Mereka baru bergabung dengan Tuanku Basa di rumah utama selepas azan isya.

"Amak wa'ang tu bini jo minantu durhako," [Ibumu itu istri dan menantu durhaka] ucap Tuanku Basa geram membuka obrolan. "Alun cukuik umua wa'ang sabulan, masih sirah, baru putuih tali pusek, Amak wa'ang pai maninggakan kampuang, lari dari anak den," [Usiamu belum sebulan, masih merah, baru putus tali pusar, Ibumu pergi meninggalkan kampung, lari dari anak saya]

Erizal tidak tahu harus bereaksi apa, jadi dia diam menunggu apa yang akan dikatakan Tuanku Basa selanjutnya. Herman terlihat kurang nyaman dengan pembicaraan kakek dan cucu itu dan berniat menyalakan rokoknya di luar, namun Erizal memintanya tetap duduk menemani. Sementara Anduang hanya meletakkan kopi dan ketan dengan goreng pisang, lalu kembali sibuk mamasak di dapur.

Tuanku Basa mengambil sejumput tembakau dari wadah berbentuk dompet terbuat dari daun tembakau. Setelah sedikit meremasnya dengan ujung jari dan memasukkan ke dalam cangklong pipa kayu johar lalu menyulutnya.

Asap tembakau mengebul dari mulut Tuanku Basa. Diteguknya kopi pahit pelan-pelan. Setelah kembali mengisap dan menghembuskan asap tembakau itu, Tuanku Basa berkata, "Ado yang mancaliak amak waang naiak bus menuju Padang. Itu terakhir kali amak wa'ang di kampuang ko. Labiah dari duo puluah tahun nan lalu," [Ada yang melihat ibumu naik bus menuju Padang. Itu terakhir kalinya ibumu terlihat di kampung ini. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu,]

"Tapi apa yang membuat Amak pergi, Angku? Pasti ada alasannya," tanya Erizal.

Tuanku Basa menggeleng, "Amak w'ang pernah lari di malam pernikahannyo. Anak ndak tau di untuang. Diambiak jadi minantu bukannyo bersyukur. Padahal Ayah jo Mandenyo banyak utang di kampuangko. Ayah wa'ang sabana cinto ka Amak wa'ang, tapi cintonyo dibaleh jo tubo. "

[Ibumu pernah lari di malam pernikahannya. Anak tak tahu untung. Diambil jadi menantu bukannya bersyukur. Padahal orang tuanya banyak utang di kampung ini. Ayahmu mencintai ibumu, tapi cintanya dibalas dengan racun]

Erizal hanya diam mendengar semua ucapan Tuanku Basa. Dia masih mencoba mengumpulkan semua informasi yang dia dengar dan tidak ingin membantah apapun. Sebenarnya dia ingin bertanya mengenai suara-suara yang dia dengar tadi malam, namun niat itu diurungkannya.

 

***

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Lembah Bunian Pt 8. ALEK GADANG
0
0
Suara pintu kamar digedor-gedor membuat Erizal dan Herman yang terlelap sehabis shalat subuh terbangun. Diliriknya jam di dinding, sudah pukul 7 pagi. Dengan malas Erizal membuka pintu. Ternyata Tuanku Basa yang dari tadi membangunkan mereka.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan