

"Bukan salahmu kok," jawabnya nggak kalah singkat meski dia sendiri jelas sangat terluka.
"Iya, tapi..." aku nggak tahu lagi gimana lanjutin kata-kataku.
"Udah lupain aja," kata-katanya terdengar lebih datar, tapi penuh penolakan yang membuat aku makin merasa bersalah.
"Tapi..." aku ingin terus menjelaskan, tapi dia langsung memotong omonganku.
"Sudahlah, pergi saja! Aku mau pulang sendiri, sekalian aku inget-inget jala. Biar lain kali aku nggak perlu kena tampar lagi karena nolak perintah kamu...

Aku tahu dia selalu berusaha terlihat kuat di depan siapa pun, terutama di hadapanku. Pasti dia sedang berusaha keras menyembunyikan sakit hatinya setelah kejadian tadi. Rasa sakit hati yang mendalam tampak jelas di raut mukanya meskipun dia coba tutupi dengan tatapan yang tegar. Aku bisa rasakan gelombang emosi di dalam dirinya.
Dia berusaha keras buat tetap berdiri tegak, meskipun di bawah permukaan, aku tahu dia hancur berkeping-keping. Aku harus bisa menjaga perasaannya. Tatapan matanya yang kosong dan gerak-gerik tubuhnya yang kaku menunjukkan betapa beratnya beban yang dia tanggung. Ditampar Della pasti sangat menyakitkan! Intan aja nangis seharian setelah kejadian serupa. Tapi, Keysha berbeda. Dia simpan semua kesedihan dan kemarahan di dalam dirinya, berusaha keras buat nggak nunjukin di depan orang lain. Meski begitu, aku yakin hatinya pasti hancur berkeping-keping. Dia diam aja, sesekali mainin rambutnya dengan tangan yang gemetar, seperti lagi cari kenyamanan dari tindakan itu. entakh kenapa aku jadi merasa seperti udah kenal dia sejak lama, tapi itu nggak mungkin kan?
Dari awal keluar kelasnya aku udah coba ajak dia ngobrol, berharap dia mau buka hatinya sedikit saja. Aku coba bicara lembut, berharap menjangkau emosinya yang tersembunyi. Tapi, dia tetap diam, cuma fokus dengan jalan yang akan dia injak di langkah berikutnya. Dia cuma terus jalan dengan langkah yang berat. Aku lihat ada bulir-bulir air mata yang siap menetes dari matanya kapan aja, tapi dia berusaha keras untuk menahannya, menelan perasaannya yang begitu menyakitkan. Matanya yang awalnya cerah kini tampak suram, dan entah kenapa keteguhan yang dia tunjukkin cuma nambahin rasa sakit hatiku.
"Key..." panggilku pelan coba buat mendapatkan perhatiannya saat kita sudah memasuki jalan yang cukup sepi. Dia tetap diam dan terus berjalan dengan langkah yang semakin lambat, seolah setiap langkahnya seperti menambah beban yang begitu berat.
"Soal tadi, aku..." Kata-kataku secara tiba-tiba terpotong dengan sendirinya, ingin rasanya ungkapin rasa bersalahku. Tapi aku sendiri nggak tahu mesti mulai dari mana? dan kali ini dia berhenti dengan tiba-tiba.
"Tinggal satu belokan lagi, kan?" tanyanya sambil menunjuk ke depan dengan tangan yang tampak lemas. Suaranya datar, namun samar-samar aku bisa dengar getaran di dalamnya, seperti ada kekuatan yang tertahan di tengah kesedihan yang dalam.
"Iya," jawabku pelan, Apa yang bisa aku lakukan Key, buat perbaikin ini semua?
"Kamu duluan saja, aku mau sendiri," suaranya begitu datar dan tidak menunjukkan emosi, meskipun sebenarnya aku bisa mendengar suara itu agak bergetar.
"Kita pulang bareng," kataku dengan nada yang nggak kalah datar. Dia hanya mengangkat alisnya dan kembali berjalan.
"Maaf yah," kataku lagi, aku mesti buka pembicaraan lagi.
"Untuk apa?" tanyanya, tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
"Kejadian tadi," jawabku singkat.
"Bukan salahmu kok," jawabnya nggak kalah singkat meski dia sendiri jelas sangat terluka.
"Iya, tapi..." aku nggak tahu lagi gimana lanjutin kata-kataku.
"Udah lupain aja," kata-katanya terdengar lebih datar, tapi penuh penolakan yang membuat aku makin merasa bersalah.
"Tapi..." aku ingin terus menjelaskan, tapi dia langsung memotong omonganku.
"Sudahlah, pergi saja! Aku mau pulang sendiri, sekalian aku inget-inget jala. Biar lain kali aku nggak perlu kena tampar lagi karena nolak perintah kamu buat pulang sendiri"
"Key..."
"Udah duluan sana! Aku bisa kok pulang sendiri!" mutiara dibalik kelopak matanya itu akan segera tumpah. sebentar lagi.
"Kamu nggak bisa kasih tahu ya? Pergi sana !!" lanjutnya membentakku sambil menyembunyikan wajahnya dari pandanganku. Beruntung di sini nggak ada siapa - siapa, kalau ada aku bisa dikira ngapa -ngapain Keysha nih sampai dia teriak kayak tadi.
"Kita pulang barenga aja. Ntar kamu kesasar lagi," kataku, dan kali ini dia nggak teriak lagi. Aku tahu kenapa, mutiara itu akan benar-benar tumpah. Dia sekarang cuma menundukkan kepalanya dan melanjutkan langkahnya dengan pelan.
"Bilang aja sama pacarmu itu, aku nggak suka sikapnya tadi. Jangan sampai dia ulangi lagi! Kalau dia berani menamparku lagi, aku pasti akan balas lebih sakit!" Kata-katanya keluar lagi. Mungkin dia pikir yang kemarin ku bilang kalau aku punya pacar itu Della.
"Della bukan pacarku, Key!" sahutku datar,
"Ah terserah!" suaranya lumayan ketus kali ini.
Setelah itu kami terus lanjutin perjalanan kami. Tinggal satu belokan aja rasanya lama banget. Biasanya aku bisa pulang dari sekolah cuma jalan kaki lima belas menit, terus lima belas menit itu pun aku lewati dengan santai. Tapi kali ini... lima belas menit itu seperti...
"Della, awas aja ya... kalau sekali lagi aja kamu ngelakuin itu ke aku, aku bakalan bener-bener balas kamu. Kalau kamu suka sama Mirza, ambil aja sana aku nggak perduli... Lagian aku juga nggak pernah berharap dia jadi milikku, tapi jangan pernah sekalipun ganggu aku dan privasiku. Dasar cewek sialan!!!" kudengar Keysha bergumam.
Apa dia pikir aku nggak dengar gumamannya, yah, dia salah. Aku jelas sekali dengerin itu. Kalau kamu nggak peduli aku di ambil Della, aku yang peduli Key. Aku nggak mau kalau masa depanku suram sama cewek kayak dia. Sesaat setelah dia ngomong itu, aku melirik sekilas, mutiara itu sekarang mulai meleleh, seperti butiran - butiran salju yang turun dari langit.
Aku bisa aja mengibaratkan permata itu seperti lahar panas yang baru aja meledak dari gunung merapi, tapi bukan. Mutiara itu meleleh bukan meledak dari gunung merapi... Mutiara itu ibarat salju yang baru saja turun ke bumi tanpa suara. Tanpa sadar tangan ini menyentuh pipi Keysha, menyapu sebagian butir butir salju yang meleleh itu dan dia cuma diam menatapku. Andai aku posisikan diriku layaknya seorang suami, harusnya aku mampu melakukan lebih dari sekedar menghapus butiran mutiara salju yang meleleh itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
