(Boneka Sosial - Bab 6) Bahkan Gadis Lain Saja Tidak Sudi Menjadi Anak Perempuan Itu

0
0
Deskripsi

Tapi, gadis yang bisa ia andalkan ini sudah lama kehilangan jati dirinya. Atau… bisakah Arkadewi membesarkan hatinya sendiri dengan mengatakan bahwa, alih-alih kehilangan jati diri, ia justru mendewasakan diri?

Tapi lagi, kalau boleh jujur, dirinya yang lama sudah mati. Apanya yang bisa didewasakan dari diri yang telah mati?

Atau barangkali, pertanyaan yang lebih tepat adalah, dari sekian banyak versi dari dirinya saat ini, diri yang mana yang sedang mendewasakan diri?

 

 

-
(Hai, aku Mika.

Pertama-tama,...

Kalau kau perhatikan lagi, orang-orang mulai cenderung memiliki dua kehidupan. Offline dan online. Kemudian, kecenderungan itu memiliki kecenderungan yang lain, yaitu menjalani dua kehidupan tersebut sebagai satu orang yang sama atau justru sebagai dua orang yang berbeda. Jadi, bukan lagi hal yang mengherankan apabila kau menemukan seseorang yang kehidupan offline dan onlinenya bertolak-belakang.

Lalu, dari sana, terbangunlah sebuah panggung sandiwara yang begitu besar, bahkan lebih besar dari panggung sandiwara-panggung sandiwara yang pernah ada sebelumnya. Bagaimana tidak, panggung yang ini difasilitasi media yang mengerikan dan diperkaya oleh kreativitas tanpa batas. Oh, jangan menyangkal kalau berbohong dan berpura-pura tidak membutuhkan kreativitas. Hal itu, kan, merupakan salah satu yang harus dimiliki untuk menarik perhatian agar bisa menaiki tangga popularitas.

Dengan apa biasanya kalian menyebutnya? Agar viral? Nah, itu. Kalau tidak viral mana bisa memancing uang. Sementara semua juga tahu, kalau tidak ada uang, tidak bisa apa-apa.

Dan jangan pula menyangkal tentang istilah ‘media yang mengerikan’ karena media di era ini benar-benar mengerikan. Hampir tidak ada yang bisa dipercaya dari media-media itu.

Media sosial, contohnya. Di internet, di dunia maya, atau apalah itu, senyaman kau saja mengistilahkannya. Katakan, berapa persen kau mempercayai pemberitaan di media tersebut –tolong, jangan lupakan kemungkinan terjadinya sandiwara itu tadi. Kalau apa yang kau saksikan langsung di depan mata kepalamu saja kadang-kadang bisa menipumu, bagaimana kabarnya dengan apa yang tidak kau saksikan secara langsung?

Mengerikan.

Omong-omong mengerikan, jejak digital juga jangan kau lupakan.

Itu, lebih mengerikan.

Tapi, kan, lewat media-media tersebut, kita bisa melakukan banyak hal positif. Begitu katamu, ya kan?

Begini, ketika kau dihadapkan dengan orang yang telah baik padamu selama bertahun-tahun, kemudian kau dijahati olehnya sekali, mana yang akan kau ingat terlebih dulu ketika kau mempertimbangkan apakah hubungan kalian masih akan tetap sama seperti sebelumnya atau tidak? Jangan terlalu munafik, pasti kejahatannyalah yang akan kau ingat terlebih dulu.

Kalau hubungan ini dilanjutkan, apakah kejahatan itu akan terulang atau tidak. Kalau hubungan ini dilanjutkan, apakah sakit hatiku akan menjadi penghalang atau tidak.

Hal itu, sama saja dengan apa yang terjadi pada media-media.

Kau boleh berkata media-media itu memiliki peran positif, tapi, setelah disalahgunakan untuk sesuatu yang buruk, apakah kau masih akan percaya? Ujung-ujungnya, tindakan minimum yang akan kau ambil adalah menurunkan sedikit kadar percayamu dan waspada. Karena apa? Karena kau teringat pada hal buruk itu tadi.

Dengan apa lagi kau menyebut hal ini? Trust issue? Ya, kalau tidak salah, yang itu.

Semakin mudahnya mengakses area digital, maka semakin banyak panggung sandiwara yang terbuka. Citra nomor satu, kejujuran nomor sekian. Itu, untuk sebagian besar orang-orang terkenal –jangan tersinggung dulu, ini bukan situasi ‘pukul rata’, siapa tahu, kau termasuk sebagian kecilnya. Untuk yang biasa-biasa saja? Tinggal ganti saja citra menjadi viral, karena sebelum repot-repot mengurusi citra, harus viral dulu di jagad maya.

Soalnya, kalau belum viral, buat apa repot-repot pencitraan?

Dan alat yang paling digemari untuk berpartisipasi dalam kolam popularitas adalah kamera. Oh, mungkin memang sudah sejak dulu orang-orang terobsesi dengan kamera. Ingat kan betapa gigihnya mereka yang ingin masuk televisi? Tapi, sekarang, obsesinya sudah luar biasa. Mau makan, siap kamera. Jalan-jalan, siap kamera. Mau marah, siap kamera. Sedang sedih, siap kamera. Bertingkah bodoh, siap kamera. Buka aib, siap kamera. Kemudian, posting. Ke mana? Media sosial, tentu saja. Toh, penikmatnya mungkin lebih banyak ketimbang penikmat televisi.

Dan dengan semakin banyaknya pengguna kamera serta semakin mudahnya mengubah-ubah hasil bidikan kamera tersebut, maka semakin banyak pula varian sandiwara yang tersedia.

Adegan ketidaksengajaan adalah salah satu yang paling banyak diminati, meski kalau dipikir-pikir lagi, ketidaksengajaan tersebut bisa jadi sudah merupakan hasil dari tiga atau lima kali kesengajaan yang harus luput dari mata kamera.

Kau tidak sengaja bertemu orang yang membutuhkan bantuan dan membantunya. Kau tidak sengaja menjalin suatu hubungan sensasional hingga mendongkrak namamu dan pasanganmu. Kau tidak sengaja terlibat dalam situasi sarat akan emosi hingga mendulang banyak simpati. Kau tidak sengaja menemukan hal yang tidak terduga-duga hingga membuat orang-orang berdecak kagum atau terheran-heran tak percaya.

Lucunya, sebelum ‘ketidaksengajaan’ itu terjadi, mata kamera telah lebih dulu terbuka lebar, seolah dengan otomatis, dunia mengarahkan lampu sorotnya.

Nanti, sembunyikan itu di sana agar aku bisa menemukannya.

Nanti, berpura-puralah kesulitan atau meminta bantuan.

Nanti, lakukan ini, jadi aku bisa lakukan itu.

Nanti, katakan ini, jadi aku bisa katakan itu.

Nanti.

Atau lebih tepatnya, nanti, setelah kamera menyala.

Kemudian, semua akan sesuai rencana.

Orang-orang semakin pandai bersandiwara. Rekam sini, rekam sana. Hasilnya disunting sesuai selera. Kalau tidak disunting pun, harus sesuai dengan naskah yang sudah melekat di kepala.

Penikmat konten yang cermat mungkin berpeluang besar membedakan mana yang asli, mana yang sekadar sandiwara. Yang tidak cermat, akan hanyut dalam sentimen dan dengan mudah digiring pemikirannya. Sementara yang menderita trust issue… nyata atau tidak, mereka akan selalu meragukannya.

Tidak mengherankan pula kalau semakin ke sini, semakin mudah memutarbalikkan fakta. Kalau tersandung masalah, bersilat lidah saja, kalau tidak cukup, menjilat ludah sendiri pun sudah menjadi sesuatu yang biasa. Apalagi kalau ada uang… ah, makin mulus jalan keluarnya.

Pemaparan tersebutlah yang mengarahkan kita pada kebencian dan kecintaan Kalani terhadap era digital ini. 

Perempuan itu mendaki anak-anak tangga rumah suaminya dengan langkah ringan, menikmati kelotakan pelan dari sepatu sekian puluh jutanya yang menimbulkan harmoni anggun dan memanjakan telinga. Jemari lentik berkuku indahnya menyusuri birai-birai tangga itu, bak sentuhan pelan embun yang menuruni kelopak bunga di pagi hari.

Kelotakan sepatu itu kemudian sampai pada salah satu pintu di lantai ketiga, yang ia buka tanpa mengatakan apa-apa sebelumnya atau sekadar mengetuk untuk mengisyaratkan bahwa ia akan masuk dengan ataupun tanpa seizin orang di dalam sana.

“Hei!” sapanya setelah pintu terbuka.

Pandangannya tertumpu pada gadis yang sedang mendiskusikan sesuatu dengan seorang perempuan yang lebih tua. Suara-suara pelan mereka memudar selagi dua pasang mata tertuju padanya.

“Ada apa, Ma?” tanya sang gadis, Arkadewi namanya, sembari tersenyum kecil pada perempuan lancang yang lupa kalau hal penting bernama privasi itu bukanlah mitos belaka. Meski begitu, Arkadewi tampak tidak keberatan dengan kehadiran Kalani yang tiba-tiba.

Namun, dari satu lirikan mata ke arah Mina, perempuan temannya berdiskusi tadi, Arkadewi diam-diam menyampaikan pesan rahasia.

“Mama ingin mulai memperlihatkan anak itu ke publik. Kau mau ikut?” nada bicara Kalani yang mengundang sejujurnya sangat ramah di telinga. Tapi, bagi Arkadewi, yang sudah mengetahui apa yang tersembunyi di baliknya, hal itu justru mengirim sengatan tidak nyaman di sekujur tubuhnya.

“Daripada mengajakku, bukankah lebih baik mengajak Papa?” Arkadewi memiringkan sedikit kepalanya, menyuarakan solusi yang lebih baik dengan wajah lugu. “Akan lebih masuk akal kalau Papa yang ikut, Mama tahu? Membawaku hanya akan membuat perhatian masyarakat terbelah. Rencananya, kan, agar mereka terfokus pada anak itu.”

Sejenak, Kalani terdiam, mencerna kata-kata Arkadewi. Tanpa sadar, bibirnya mengerucut, sementara ia memindahkan bobot tubuhnya dari kaki kiri ke kanan, masih bersandar dengan malas di dinding di samping pintu yang sedikit menganga.

“Jangan lupa, kalian berdualah yang perlu memperbaiki reputasi, bukan aku,” tambah Arkadewi. Ada setitik ketidaksabaran dalam suaranya. Setitik. Yang tentu saja tidak disadari oleh Kalani.

Satu kalimat tambahan itu tampaknya berhasil memperjelas maksud Arkadewi, sebab Kalani langsung mengangkat sebelah alisnya, mengisyaratkan bahwa apa yang disampaikan oleh anak sambungnya itu menghantam titik yang tepat di kepalanya.

“Kau benar!” seru Kalani.

Arkadewi, yang sejak tadi memperhatikan pasang-surut di raut wajahnya hanya menghadiahinya senyum tipis. Kalau saja mereka merupakan ibu dan anak kandung, mungkin ia akan mengagumi pesona perempuan itu.

Untungnya, mereka bukan sepasang ibu dan anak kandung.

Lebih seperti penawan dan tawanan.

Diam-diam, Arkadewi mengembuskan napas lega. Orang waras mana yang mau punya ibu sepertinya?

Lagi, ia melirik Mina, yang tidak membalas dengan gestur tertentu, selain keluar dari kamar itu sambil menggumamkan, “akan saya ambilkan teh sebentar.”

Kemudian, Arkadewi mengajak Kalani duduk bersamanya di set sofa yang sengaja ia letakkan di salah satu sudut kamarnya, tepat menghadap jendela raksasa yang dimandikan oleh cahaya lembut dari luar sana.

Saat ini, mentari sudah bersiap untuk pulang, diantar oleh jingga yang digelayuti lembayung sendu. Latar itu tentu saja bukan apa yang Arkadewi inginkan untuk pembicaraan ini. Latar itu terlalu indah untuk disandingkan dengan pembicaraan ini maupun sosok Kalani.

“Tampaknya kita akan membicarakan hal yang menyenangkan,” ujar Kalani sambil duduk di hadapan gadis itu. Matanya berkilat-kilat di bawah cahaya langit petang yang terbentang di hadapan mereka. Berada di lantai tiga benar-benar membuat perbedaan besar tentang pemandangan yang dapat diperoleh. Berdiri di lahan luas dengan jarak antar rumah yang cukup jauh satu sama lain membuat atap-atap rumah tetangga sulit mengganggu pemandangan ini.

Arkadewi menahan diri untuk meringis. Alih-alih, ia tersenyum lagi. Kali ini, lebih manis dan memotivasi, selagi membangun sebuah kontak mata dengan Kalani, memainkan perannya dengan lihai sebagai komplotan Kalani demi keberhasilan rencananya sendiri. Bagaimanapun, ia harus mampu keluar dari rumah ini dengan tangan yang bersih. Dan dengan menyentalkan kedua tangannya pada orang-orang yang menjadi alasannya untuk melarikan diri, Arkadewi yakin, di waktu yang tepat nanti, di saat ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri tanpa harus bergantung atau disangkut-pautkan dengan mereka, ia akan menuntaskan rencana yang sudah sejak beberapa tahun lalu ia mulai ini.

Di akhir cerita, Arkadewi berniat untuk berperan sebagai korban.

Ah, sialan, siapa yang sedang ia bercandai? Ia memang korban.

Tapi, entah bagaimana, muncul hal tak terduga di tengah-tengah rencananya.

Benar.

Binar.

Ialah hal tak terduga itu. Membuat Arkadewi harus bersusah payah memutar otak untuk menyesuaikan situasi.

“Yah, akan lebih mudah kalau punya rencana yang matang dan pasti,” sahut Arkadewi, lebih kepada dirinya sendiri. Namun, jika Kalani menganggap kalimat itu tertuju padanya, Arkadewi tidak keberatan. Selama Kalani tidak curiga padanya, ia tidak keberatan.

“Kau…,” Kalani mencondongkan tubuhnya, sementara tangannya mencengkeram lengan sofa erat-erat untuk menahan kegembiraan yang menggebu-gebu, “…tak kusangka kau tumbuh menjadi gadis yang bisa kuandalkan!”

Tampaknya Kalani lupa, kalau gadis yang bisa ia andalkan ini sudah tidak lagi berpihak padanya. Gadis yang bisa ia andalkan ini sudah mampu berpikir dan memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Gadis ini sudah mulai memungut dan merangkai benang demi benang yang kusut, yang sengaja Kalani biarkan berserakan di bawah kakinya.

Tapi, gadis yang bisa ia andalkan ini sudah lama kehilangan jati dirinya. Atau… bisakah Arkadewi membesarkan hatinya sendiri dengan mengatakan bahwa, alih-alih kehilangan jati diri, ia justru mendewasakan diri?

Tapi lagi, kalau boleh jujur, dirinya yang lama sudah mati. Apanya yang bisa didewasakan dari diri yang telah mati?

Atau barangkali, pertanyaan yang lebih tepat adalah, dari sekian banyak versi dari dirinya saat ini, diri yang mana yang sedang mendewasakan diri?

Mina kembali dengan dua cangkir dan satu teko teh mewah berukuran sedang di atas nampan berornamen mewah pula. Jujur saja, keluarga ini tidaklah kekurangan harta. Bahkan dengan reputasi sepasang suami-istri yang buruk ini pun, mereka masih bisa hidup dengan mewah. Bayangkan jika mereka berhasil memperbaiki reputasi mereka dan menarik lebih banyak pihak pada mereka. Sudah pasti akan ada banyak keuntungan dan hal-hal lainnya yang dapat mereka manfaatkan dari sana.

Mina meletakkan cangkir-cangkir itu di hadapan masing-masing tuannya, kemudian menuangkan teh beraroma harum yang menggugah selera. Dari pergerakannya yang terkesan alami, perempuan itu mati-matian untuk tidak memunggungi Kalani.

Sebab, Kalani tidak senang dipunggungi.

Namun, sedikit yang Kalani tahu, Mina tidak memunggunginya bukan karena tuntutan kesopanan dan rasa hormat seperti yang ia tuntut dari orang-orang yang bekerja padanya. Sebab, alih-alih memikirkan perasaan Kalani, kali ini Mina lebih mengutamakan rencana yang ia bentuk bersama Arkadewi, yakni dengan mengarahkan mata kamera yang mengintip melalui saku depan blusnya pada Kalani.

*

Entah sejak kapan dimulainya, tapi bagi para pekerja di rumah ini, selalu siap siaga dengan kamera ponsel mereka sudah menjadi hal yang lumrah. Mereka, di setiap ada kesempatan, harus memotret situasi di rumah utama. Mulai dari keseharian, kebersamaan, hingga interaksi penghuni rumah itu. Tidak jarang, ada yang menambahkan pendapat mereka mengenai majikan-majikan mereka.

Ini, tentu saja, dilakukan untuk menggiring opini publik.

Kasarnya, melakukan endorsement untuk keluarga sang majikan.

Dan sejauh ini, satu-satunya yang mendapatkan tanggapan positif dari publik adalah Arkadewi.

Sekarang, mengerti kan mengapa Kalani begitu menyayangi gadis itu?

Singkat kata, tidak mengherankan apabila Kalani menganggap kehadiran ponsel yang menyembul dari saku blus Mina sebagai sesuatu yang normal.

Situasi lumrah ini, dijadikan Arkadewi sebagai alat untuk keuntungannya sendiri. Kamera sama saja seperti pedang bermata dua baginya. Di satu sisi, ada banyak kamera di setiap sudut rumah yang mengawasinya, dapat dengan mudah diakses oleh Kalani melalui ponsel maupun perangkat lainnya. Di sisi lain, melalui kamera yang sama, ditambah dengan kamera-kamera miliknya, Arkadewi bertekad untuk memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini pada seluruh negeri.

Tidak mencurigai mata kamera yang mengintip di saku Mina, Kalani memaparkan rencana yang saat ini masih mentah dalam kepalanya. Sebuah skenario untuk sandiwara yang hendak keluarga mereka mainkan bersama Binar dalam waktu dekat. Salah satu dari sekian jenis skenario yang akan mengguncang emosi masyarakat.

“Jadi, begitulah. Baru itu saja yang terpikir oleh Mama. Kau punya saran?” tanya Kalani, sebelum menyesap teh dari cangkirnya.

Arkadewi berpikir sejenak. Sejujurnya, dengan rencana itu, nama keluarga mereka bisa langsung melambung di tengah-tengah masyarakat, mengingat banyaknya sensitivitas yang akan terpicu. Lembaga-lembaga penting terkait kasus yang dikandung oleh skenario ini juga mungkin tidak akan tinggal diam dan menyambut pemberitaan mengenai Binar dengan penuh simpati. Tapi, masalahnya, bisakah Kalani membawakan sandiwara ini dengan alami? Bisakah Kalani menarik hati orang-orang yang selama bertahun-tahun meludahkan berbagai cap negatif pada dirinya?

Lalu, pertanyaan terakhir yang tidak kalah pentingnya, bisakah Binar memainkan perannya di dalam sandiwara ini?

Arkadewi memejamkan matanya pelan, menyambut kemungkinan demi kemungkinan yang berkelebat di balik kelopak matanya. Kalau boleh ia katakan, keyakinannya terhadap rencana ini baru mendekati enam puluh persen, minus pertimbangan bahwa nanti, dewi keberuntungan mungkin akan berbaik hati pada Kalani.

Di samping itu, ada hal terburuk dari rencana ini yang ingin sekali dihindari oleh Arkadewi: jika ternyata Binar tidak mampu ikut memainkannya, maka dirinya tidak akan berarti lagi di mata Kalani. Dan tidak ada artinya, berarti akan langsung ditendang dari rumah ini. Pemikiran tersebut membuat Arkadewi bergidik. Kalau hal tersebut memang terjadi, akan ke mana anak itu pergi? Dengan ayah kejam yang masih berkeliaran dan kemungkinan besar sedang mencarinya, tidak ada tempat yang aman bagi Binar di luar sana.

Oh, Binar… mengapa pula anak ini harus muncul sekarang, di tengah-tengah rencananya pula? Ia, kan, tidak punya waktu untuk melindunginya. Lagipula, bagaimana ia bisa melindungi Binar ketika ia harus menuruti segala keinginan Kalani demi menjalankan rencananya sendiri?

Frustrasi, Arkadewi menyandarkan diri di sandaran empuk sofa. Matanya yang perlahan terbuka tidak serta-merta memandang pada istri baru ayahnya. “Kurasa itu sudah cukup bagus, Ma. Tapi, bagaimana kalau tidak ada yang menyadari kehadiran anak itu?” tanyanya, segera kembali berperan sebagai komplotan loyal Kalani.

Kalani terdiam. Itu… sempat tidak terpikir olehnya.

“Maaf menyela, tapi boleh saya yang urus publikasinya?” Mina menawarkan diri.

Kalani menatapnya skeptis selama beberapa detik, namun terhenti, mengingat Mina telah bekerja di rumah ini selama bertahun-tahun, mengetahui seluk-beluk rahasia rumah ini sampai hampir mendekati akarnya, dan belum pernah menghasilkan sesuatu yang mengecewakan.

Ditambah lagi, ia loyal pada Arkadewi yang loyal pada dirinya.

Mungkin perempuan ini juga bisa diandalkan, pikir Kalani.

“Ya sudah, kuserahkan padamu.”

Dengan begitu, berhasillah peran yang dimainkan oleh Mina untuk membantu rencana Arkadewi menuju tepat pada arah yang seharusnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya (Boneka Sosial - Bab 7) Lakon Pembuka Dari Seorang Pelakon Tanpa Audisi
0
0
Binar, yang tidak tahu-menahu tentang rencana mereka, sedikit terkejut dengan gestur dan kontak fisik yang dilakukan oleh Kalani dan suaminya. Mereka ini… apa mereka baik-baik saja? Sedetik yang lalu bersikap dingin padaku, detik ini menyelimutiku dengan tatapan, senyum, dan sentuhan hangat. Dalam hati, Binar bertanya-tanya, apakah perilaku mereka ini normal adanya? Ataukah memang semua orang dewasa perilakunya selalu membingungkan seperti ini?  - (Hai, aku Mika.Pertama-tama, makasih ya udah ngelirik seri Boneka Sosial ini. Ehehe.Kalau kalian mutusin buat mulai baca, ada beberapa hal yang bakal kalian temuin di seri ini, seperti child abuse, self-harm, perselingkuhan, suicidal, dan lain sebagainya yang mungkin bakal bikin beberapa pembaca gak nyaman. Jadi, aku mohon maaf sebelumnya.Terus, kalau kalian udah baca dan ternyata suka sama cerita yang kubawain, jangan lupa like, comment, dan share ya!Mungkin itu aja dulu dari aku. Sekali lagi, makasih xD)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan