(Boneka Sosial - Bab 9) Serigala Berbulu Domba, Ceracau Manis Penuh Bisa

0
0
Deskripsi

Di titik ini, Arkadewi sampai berpikir bahwa jika memang memungkinkan, Kalani pasti sudah merantai Binar atau mencuci otak gadis itu agar Binar tidak lari darinya dan selalu menuruti keinginannya.

 

 

-
(Hai, aku Mika.

Pertama-tama, makasih ya udah ngelirik seri Boneka Sosial ini. Ehehe.

Kalau kalian mutusin buat mulai baca, ada beberapa hal yang bakal kalian temuin di seri ini, seperti child abuse, self-harm, perselingkuhan, suicidal, dan lain sebagainya yang mungkin bakal bikin beberapa pembaca gak...

Kalani merupakan sosok pekerja keras.

Ambisius.

Dan culas.

Di beberapa kesempatan, jika ditanya sosok seperti apa Kalani dalam pandangannya, hanya tiga hal itulah yang terpikir oleh Arkadewi. Meski pada akhirnya, demi untuk bisa meloloskan jawaban atas pertanyaan tadi dari mulutnya, ia harus mengubah dua dari tiga hal itu menjadi: Kalani merupakan sosok pekerja keras, tidak mudah menyerah, dan cerdas.

Menggelikan.

Bahkan untuk bicara mengenai perempuan itu saja, Arkadewi harus berhati-hati memilih kata-katanya. Ia harus mengobrak-abrik perbendaharaan kata di kepalanya hanya untuk menemukan kata yang aman untuk digunakan pada Kalani maupun keluarga mereka.

Kalau kenyataannya berpotensi berdampak negatif pada Kalani atau Dewandaru, maka berbohonglah. Kalau tidak siap maupun tidak bisa berbohong, maka diam saja.

Aturannya sesederhana itu. Namun, dalam praktiknya, tidaklah sesederhana itu.

Salah sedikit saja, perkataannya bisa dibelokkan ke arah lain, bahkan dipatahkan. Salah sedikit saja, bisa menimbulkan kecurigaan. Salah sedikit saja, bisa menggiring fitnah yang tak diinginkan.

Oleh sebab itulah, Arkadewi harus terus update dan secara rutin membaca komentar orang-orang di media sosial Kalani dan Dewandaru, mengikuti pemberitaan mengenai keluarganya, dan memprediksi reaksi orang-orang terhadap setiap kiriman Kalani dan Dewandaru di media sosial mereka, agar ia bisa mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang bisa saja dilemparkan padanya terkait sepasang suami-istri tersebut.

Hari ini pun sama saja. Ia harus mempersiapkan diri untuk menyambut reaksi masyarakat mengenai kisah Binar. Berulang kali, ia membaca daftar jawaban untuk tanggapan dan pertanyaan yang telah Mina sortir dari kolom komentar media sosialnya, Kalani, dan Dewandaru, kalau-kalau ada pernyataan yang tidak sesuai dengan tujuan dan keinginan Kalani.

“Kau yakin hanya ini yang perlu kuantisipasi?” tanya Arkadewi selagi meletakkan lembaran-lembaran kertas yang telah digabungkan menjadi satu itu di pangkuan. Cahaya mentari pukul sembilan menari-nari di matanya, untuk kesekian kalinya membujuk kebahagiaan untuk mulai menampakkan diri di sana.

Meski tetap saja sia-sia.

“Untuk sekarang, itu saja,” Mina mengangguk sekali. Tangannya sibuk menyapu layar di ponsel pribadinya, memastikan bahwa tidak ada yang luput dari perhatiannya.

Arkadewi menyuarakan hmm pelan, mengayun sedikit nadanya, selagi menyilangkan lengan di depan dada. Sedetik kemudian, terdengar puff yang tak kalah pelan ketika ia mengempaskan diri di sandaran empuk sofa. Tidak sedikitpun ia melarikan pandangan dari lembaran-lembaran kertas itu.

Cukup mengejutkan, sebenarnya, ketika pertanyaan dan pernyataan yang pantas untuk dipikirkan dan ditanggapi terbilang lebih banyak ketimbang segala makian dan tuduhan yang ditujukan pada Kalani. Lalu, dari jumlah keseluruhan komentarnya juga, untuk cerita mengenai Binar ini, dapat dikatakan meningkat berkali-kali lipat jika dibandingkan dengan apa yang biasanya Kalani terima di hari-hari sebelum Binar datang ke dalam kehidupan mereka.

Tanpa diberitahu pun Arkadewi tahu, ini akan menjadi pemberitaan terbesar ketiga keluarga mereka.

Memangnya, dua yang lain tentang apa saja, kau bertanya?

Satu, tentu saja, pemberitaan mengenai wafatnya ibu kandung Arkadewi –yang membuat seluruh negeri berduka lantaran aktris dan penyanyi berprestasi yang telah menghibur mereka sejak masa kecilnya terlalu cepat meninggalkan mereka. Dan yang kedua, pemberitaan mengenai pernikahan Dewandaru dan Kalani yang menyusul kurang dari setahun setelahnya.

“Oh,” Mina tiba-tiba saja mengangkat pandangan dari jerat candu benda bernama ponsel tadi. Gelagatnya seolah ia telah melupakan sesuatu yang penting. “Kemarin Kalani bertengkar dengan ibunya,” beber Mina sembari meletakkan ponsel di sakunya.

Arkadewi mengeluarkan suara tawa tertahan yang dengan anggun ia tutupi menggunakan punggung tangan. “Bertengkar lewat video call lagi?” tanyanya, mengingat sang nenek tidak tinggal di rumah yang sama dengan mereka. “Tentang apa kali ini?”

“Keluarga yang menampung Binar sebelum gadis itu dipulangkan pada Kalani menghubungi. Mereka masih khawatir dan berharap bisa bicara pada Binar atau sekadar mengetahui kabarnya.”

“Biar kutebak, Kalani tidak ingin Binar berhubungan lagi dengan keluarga itu?”

Bukan tanpa alasan Kalani menolak permintaan mereka, Arkadewi hampir saja memutar matanya. Mana mungkin Kalani mau mengambil risiko Binar akan tergoda untuk kembali pada keluarga itu dan menghancurkan rencana yang sudah jauh ia tuliskan dalam kepalanya. Kalani juga tidak ingin Binar mengadu pada keluarga itu tentang perlakuan seperti apa yang ia terima di rumah ini.

Di titik ini, Arkadewi sampai berpikir bahwa jika memang memungkinkan, Kalani pasti sudah merantai Binar atau mencuci otak gadis itu agar Binar tidak lari darinya dan selalu menuruti keinginannya.

Lagi-lagi, Mina mengangguk, membenarkan tebakan Arkadewi. “Sebaliknya, ibunya berpendapat kalau bicara dengan keluarga itu bisa sedikit membuat Binar merasa nyaman, meski tinggal berjauhan dengan mereka.”

Arkadewi mengerjap beberapa kali, mengunyah informasi baru ini sebelum mencernanya lebih lanjut. Kesan yang ia dapatkan mengenai keluarga itu adalah, mereka tampak begitu penting bagi Binar sampai-sampai bisa membuatnya merasa nyaman meski berada dalam kondisi yang buruk –baik dari segi diri maupun lingkungan. Dan ia juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa mereka memang benar-benar peduli pada gadis itu. Asumsinya, kalau Binar bisa merasa lebih baik bersama mereka walaupun mereka merupakan orang asing yang tidak memiliki ikatan keluarga dengan Binar, maka mereka pastilah bukan orang yang perlu diwaspadai.

Perlahan, rencananya sendiri mulai berkembang di kepalanya, tiba-tiba mengarah pada arah yang positif, terima kasih pada kemunculan keluarga asing yang baik itu. Arkadewi menilai, barangkali, akan aman jika ia meminta bantuan mereka ketika situasi terkait Binar memburuk dan tidak bisa lagi ia tangani sendiri. Oh, ia juga bisa melarikan Binar pada mereka sebelum ia memutuskan untuk meledakkan bom kebenaran tepat di depan wajah Kalani.

“Bisa kau cari tahu tentang keluarga itu?”

“Akan kau libatkan mereka dalam rencanamu?”

Arkadewi tidak langsung menjawab. Alih-alih, ia menggunakan beberapa detik untuk merenung, menimbang-nimbang lagi baik-buruk rencananya. Kemudian, dalam hening yang sempat tercipta, ia mengembuskan napas panjang di antara senyum tipis di bibirnya. Tampak terhibur dengan apa yang ada di kepalanya saat ini, namun tidak cukup untuk membuatnya betul-betul bahagia.

“Tidak sekarang, mungkin nanti ketika kita sudah mendekati akhir. Itu pun hanya untuk menitipkan Binar pada mereka. Tidak baik melibatkan keluarga itu dalam carut-marut keluarga ini.”

*

Arkadewi tidak tahu kapan dimulainya tren fan fiction, juga tidak pernah merasa perlu mencari tahu mengenai hal tersebut. Ia hanya tahu, di suatu titik di masa lalunya, ia pernah melarikan diri dari kenyataan hidupnya dengan menenggelamkan diri dalam kisah-kisah fan fiction, yang ditulis oleh orang-orang berbakat yang memiliki kemampuan meramu cerita fantastis namun kurang diapresiasi, sebab kalah tenar dengan orang-orang yang bermodalkan ide dangkal dan pembaca yang berekspektasi tak kalah dangkal yang terlalumudah dipuaskan seleranya.

Ingatan mengenai hal yang sempat menjadi salah satu hobinya itu membawa Arkadewi pada pemikiran bahwa, jika apa yang Kalani ceritakan mengenai Binar dituangkan dalam sebuah tulisan, maka Kalani sudah pasti merupakan salah satu dari sekian banyak penulis fan fiction yang bermodalkan ide dangkal dan pembaca yang berekspektasi tak kalah dangkal yang terlalumudah dipuaskan seleranya.

Serius.

Karena bagi Arkadewi, yang mengetahui kisah nyata di balik alternate universe yang sedang dibangun Kalani untuk Binar, separah itulah cerita yang perempuan itu bawakan di hadapan kamera.

Seolah tidak ada cerita lain yang bisa digunakan saja, keluh Arkadewi sambil mengurut pelan pelipisnya. Sejak satu jam yang lalu, ia meracuni diri dengan pemberitaan-pemberitaan-pemberitaan yang meledak pagi tadi, buah dari klarifikasi Kalani malam kemarin.

Yang mana videonya sedang ia saksikan saat ini.

“Jadi, ketika kau merasa tidak aman lagi tinggal seatap dengan mantan suamimu, kau memintanya untuk menceraikanmu?” tanya Lingga, seorang perempuan yang dipilih oleh Kalani untuk menjadi salah satu media tebar kisahnya. Perempuan bukan sembarang perempuan, ia memiliki banyak subscriber di kanal youtubenya, yang setia menanti dan menyaksikan setiap klarifikasi maupun cerita-cerita hidup tamu-tamunya.

“Ya,” Kalani mengerjap beberapa kali, membujuk air mata agar urung meninggalkan kelopak matanya. Ia bahkan menengadah sedikit, seolah berusaha memasukkan kembali air mata itu ke dalam matanya. “Dan di tengah-tengah amukannya karena tidak terima dengan permintaanku, ia langsung mengusirku dari rumah. Di tengah hujan deras. Tanpa membawa apa pun, termasuk Binar. Hanya pakaian yang melekat di tubuhku, ponselku, dan sedikit uang yang tersisa di sakuku.”

“Bagaimana…,” Lingga tersekat sepersekian detik, membangun suasana memprihatinkan penuh simpati, seolah-olah ia sedang ragu untuk melanjutkan pertanyaannya. Dengan begitu, Lingga dapat menunjukkan pada orang-orang bahwa, di satu sisi, ia enggan melakukannya karena ia tahu, pertanyaan tersebut pasti akan membuka luka lama Kalani, sementara di sisi lain, demi pemirsa setia, ia tetap harus melakukannya. Lantas, dengan wajah pahit, ia pun melakukannya. “Bagaimana perasaanmu saat itu… ketika kau tahu, kau tidak bisa membawa Binar?”

“Marah, tentu saja. Sedih. Rasanya seperti sebagian hatimu direnggut darimu. Anak itu bersamaku setiap waktu, kau tahu? Tapi, tiba-tiba saja harus hilang dari pandanganku…,” Kalani menyerah mengadang air matanya, perlahan mengusut bulir-bulir air itu dengan ujung lengan blusnya. “Aku sempat memaksa lelaki itu untuk membiarkanku masuk ke rumahnya. Memukul-mukuli pintu sambil meneriakkan nama Binar. Berharap gadis mungilku bisa mendengarku dan keluar dengan sendirinya dari sana. Berlari ke arahku dan melompat ke pelukanku seperti biasa…”

Lingga menatap lurus-lurus pada Kalani, dahinya berkerut, hanyut dalam kesedihan yang ditularkan oleh perempuan itu. Ia tidak mengatakan apa-apa, begitu terbiasa dengan situasi seperti ini hingga tahu kapan harus bicara dan kapan harus membiarkan lawan bicaranya untuk bicara.

Yah, kau tahulah, perihal content creator yang bergerak di bidang klarifikasi dan cerita-cerita hidup menyayat hati. Setelah menghadapi puluhan –bahkan mungkin ratusan- tamu yang membawakan cerita sarat akan emosi, tentu saja ia telah terbiasa.

Dan Kalani menangkap kesempatan yang diberikan padanya itu untuk melanjutkan sandiwara. “Tapi, Binarku belum mengerti apa-apa,” ada senyum tipis yang begitu pilu menghiasi wajahnya, “waktu itu, ia mungkin masih berada di kamarnya, bermain dengan boneka kesayangannya. Persis seperti ketika aku meninggalkannya di sana untuk menghadapi ayahnya di ruang tamu.”

Lingga mengangguk paham, lalu berusaha mencairkan suasana dengan berkelakar, “selalu ingat untuk tidak bertengkar di hadapan anak-anak,” tapi gagal menyembunyikan pahit dalam kata-katanya.

Kalani tertawa kecil dengan muram. “Sayangnya, aku menyesal karena telah meninggalkannya di kamar itu. Andai saja ia kugendong dan kubawa serta, mungkin kami tidak akan terpisah seperti ini dan ia tidak harus mengalami hal buruk itu.”

Seketika, suasana berubah semakin berat ketika Kalani menyinggung hal buruk yang dialami oleh Binar selama gadis itu tinggal bersama sang ayah.

“Mengenai hal itu,” Lingga menekankan nadanya pada kata ‘hal itu’, lalu lagi-lagi, ada jeda tercipta sebelum Lingga melanjutkan kata-katanya, “maukah kau menceritakan bagaimana Dewandaru menemukan Binar ketika ia terjebak dalam situasi yang… buruk?”

Kalani menggigit bibir bawahnya cukup keras, hingga ketika ia melepaskan gigitan itu, ada jejak darah di sana. Ia tampak begitu berat untuk memulai ceritanya, namun segera bisa mengesampingkan perasaan tersebut, sehingga terkesan seperti ‘demi mengungkap kebenaran, mau tak mau aku harus melakukannya, meski harus terluka.’

Well, bukankah itu sedikit… menyentuh hati?

Oh, dan bukankah itu persis seperti yang disenangi oleh orang-orang di luar sana. Drama. Di mulut, mereka memandang rendah pada drama-drama yang dirajut oleh para selebritas, namun tetap saja, mata dan telinga mereka haus akan hal itu. Mati-matian mengabaikannya pun akhirnya tetap saja mereka toleh dan ikuti.

Arkadewi mengerucutkan bibirnya. Tiba-tiba tergoda untuk melempar laptop yang sejak tadi ia gunakan untuk menonton Kalani itu keluar jendela ketika melihat air mata lagi-lagi menggenangi mata perempuan itu.

“Kau tahu? Sejak dulu, Dewandaru selalu memintaku untuk mengambil Binar kembali. Bertahun-tahun, ia memintaku, membujukku. Tidak pernah bosan sedikitpun. Ia ingin agar anak kandungku bisa bersamaku, bisa berkumpul bersama kami sebagai keluarga besar yang utuh dan bahagia. Tapi, aku tidak bisa. Mantan suamiku tahu, Binar begitu berharga bagiku. Jadi, melarangku membawa Binar adalah caranya menyakitiku. Tidak sampai di situ, lelaki itu lalu mengancamku, berkata bahwa ia akan menyakiti Binar bahkan sebelum aku sempat menyelamatkan gadis mungilku jika aku nekat untuk mengambil Binar darinya,” suara Kalani berangsur memelan, lalu menghilang ditelan sedu-sedan yang terlepas dari dua bibir gemetarnya.

Kini, ia tidak kuasa lagi mengadang air mata, ia biarkan tumpah-ruah tak terseka.

“Tapi, tidak peduli apakah aku menurutinya atau tidak, lelaki itu tetap saja menyakiti anakku!” raung Kalani tanpa rasa malu sedikitpun, seolah ia lupa bahwa ia sedang disorot oleh kamera. Ia menangis sejadi-jadinya, pundaknya berguncang, tubuhnya terbungkuk-bungkuk menahan serbuan kesedihan dan penyesalan –atau seperti itulah kesan yang ingin ia timbulkan.

Sampai-sampai berhasil membuat Lingga tergamang sejenak, terenyuh, tertipu mentah-mentah oleh sandiwaranya. Sampai-sampai membuat perempuan itu harus bangkit dari duduknya, segera menghampiri Kalani dan memeluknya di tengah badai tangis itu.

“Jadi, hari itu, tanpa sepengetahuanku, Dewandaru nekat untuk menjemput Binar dan datang ke rumah mantan suamiku, dan… dan… menyaksikan—”

“Jangan kau lanjutkan kalau kau tidak sanggup.”

“–lelaki itu m-memukuli anakku, b-berulang kali, hingga Binar tak sadarkan diri.”

Lingga terdiam. Ia sudah tahu apa yang terjadi pada Binar, namun ketika hal buruk itu diungkapkan secara detil di hadapannya, tetap saja ia terpaku. Ia memiliki anak, lebih dari satu. Dan tidak satupun dari mereka yang pernah merasakan pukulan dari tangannya maupun tangan orang lain. Jadi, ketika mengetahui ada orangtua kandung yang tega melakukan hal itu pada anaknya, selama bertahun-tahun pula, hingga menyisakan begitu banyak bekas luka, Lingga tidak bisa berkata apa-apa.

“K-kau tahu apa lagi yang m-membuatku marah padanya?” terbata-bata, Kalani melanjutkan, menemukan momentum dan segera memanfaatkannya untuk menyeret simpati keluar dari orang-orang yang menyaksikan hatinya remuk-redam melalui mata kamera.

Kala kata-kata tampak tersekat oleh tangis yang tersisa, Lingga meraih pundaknya dan meremas pelan. Memberi kekuatan, menghadirkan ketabahan.

Menyambut gestur tersebut, Kalani menghela satu napas panjang, membujuk sedu-sedan untuk mereda. Kemudian, ketika ia merasa dirinya telah siap melanjutkan tanpa harus terbata-bata, ia berkata, “lelaki itu telah melakukannya sejak bertahun-tahun lalu, tapi tidak ada satu orang pun yang tahu. Tetangga, pihak sekolah Binar, orang terdekat mereka, keluarganya. Termasuk aku. Terutama aku. Seringkali, aku menyalahkan diriku sendiri. Seandainya aku tidak memercayai kata-katanya, seandainya aku tidak memercayai janjinya untuk tidak menyakiti Binar, seandainya waktu itu aku nekat menerobos rumahnya dan menculik Binar, mungkin sudah sejak dulu Binar hidup bahagia dan aman bersamaku.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Sebelumnya (Boneka Sosial - Bab 8) Sekelumit Cinta Dan Dusta Orang Dewasa
0
0
Kemudian, seperti hari yang sudah-sudah, ayahnya jatuh berlutut dan mulai menangis sembari merengkuh dadanya sendiri. Seolah-olah ialah yang baru saja dipukuli, seolah-olah ialah yang disakiti. Napasnya berat, tidak beraturan, hampir seperti udara menolak untuk dihela olehnya. Ia mencakari dadanya sendiri, seolah sedang berusaha mengeluarkan sesuatu yang melukainya dari dalam sana. Terbungkuk-bungkuk, sang ayah meratap, tentang kehilangan satu-satunya cinta dalam hidupnya yang tidak pernah ingin membalas perasaannya.  - (Hai, aku Mika.Pertama-tama, makasih ya udah ngelirik seri Boneka Sosial ini. Ehehe.Kalau kalian mutusin buat mulai baca, ada beberapa hal yang bakal kalian temuin di seri ini, seperti child abuse, self-harm, perselingkuhan, suicidal, dan lain sebagainya yang mungkin bakal bikin beberapa pembaca gak nyaman. Jadi, aku mohon maaf sebelumnya.Terus, kalau kalian udah baca dan ternyata suka sama cerita yang kubawain, jangan lupa like, comment, dan share ya!Mungkin itu aja dulu dari aku. Sekali lagi, makasih xD)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan