OUR SHENA - 2 (KESEMPATAN)

64
6
Deskripsi

“Dari kalian bertiga siapa yang paling baik?” tanya Shena. 

Glen, Rian dan Iqbal saling bertatapan sebentar. 

“Tentu saja kita semua orang baik.”

Shena mengangguk lalu tersenyum.  

“Kalau gitu, dari kalian beriga siapa yang paling kaya?”

****

OUR SHENA PART DUA 

 

Shena memasukan laptop dan dompetnya ke dalam tas, bersiap untuk beranjak dari café. Beberapa bulan ini Shena sedang sibuk untuk menyiapkan proposal skripsinya dan pendaftaran beasiswa study exchange di Jerman bulan depan. 

“Lo masih obses banget Shen buat kuliah di Jerman?” heran Cinda melihat Shena dengan ambisinya yang tak pernah reda sedetik pun. Bahkan, Cinda yang hanya melihat saja sampai lelah sendiri. 

Shena mengangguk tanpa ragu. 

“Iya, seengaknya gue harus dapat kesempatan beasiswa study exchange dulu baru setelah gue lulus, gue akan cari beasiswa lagi untuk S2 gue di Jerman,” jawab Shena dengan yakin. 

Cinda menyipitkan matanya. 

“Lo kuliah di Jerman karena murni keinginan lo atau karena lo pengin nyusul pangeran lo?” desis Cinda. 

Shena tersenyum malu-malu. 

“Tentu aja dua-duanya. Gue ingin kuliah di negara impian gue sekaligus nyamperin pacar gue, Kevan.” 

Cinda menghela napas panjang. 

“Gila ya lo sama Kevan bisa langgeng banget meskipun LDR dua tahun Jakarta-Jerman.”

“Tentu aja, kita sama-sama udah komitmen dan selalu jaga komuninkasi dengan baik.”

Cinda berdeham pelan. 

“Lo nggak pernah takut Kevan selingkuh dari lo, Shen?”

Bukannya menjawab, Shena malah tertawa mendengar ucapan Cinda yang menurutunya lucu. 

“Kevan nggak akan berani selingkuh Cin. Dia bohong sama Mamanya aja takut apalagi selingkuh dan bohongi gue. Kevan anaknya selain pinter, dia juga baik banget. Makanya, gue mau nerima dia jadi pacar gue,” jelas Shena penuh rasa bangga. 

“Nggak ada yang tau Shen. Lo nggak ingat tiga bulan yang lalu waktu Kevan tiba-tiba ada di Mall sebrang kampus. Lo sama sekali nggak tau dia udah liburan di Indonesia.”

“Kevan kasih kejutan buat gue, Cin.”

“Bilangnya gitu karena udah ketahuan sama lo. Coba nggak ketahuan, kayaknya si Kevan nggak akan pernah bilang kalau dia udah di Indonesia.”

Shena mendesah berat, tatapanya berubah memohon. 

“Cin, Kevan anaknya baik. Dia nggak akan selingkuhi gue.”

“Gue harap juga gitu. Gue doakan juga gitu. Masalahnya beberapa bulan ini aja Kevan mulai jarang hubungi lo dan banyak alasan nggak jelasnya.”

“Kevan sibuk Cin, dia lagi persiapan untuk ujian akhirnya.”

Cinda mengangguk-angguk cepat, berusaha percaya saja. 

“Semoga pikiran positif lo itu bener ya Shen. Tapi, kalau sampai Kevan berani selingkuhin lo, jangan pernah cegah gue untuk tendang kepala tuh bocah!” 

Shena bergidik ngerti, apalagi saat melihat sorot mata Cinda yang penuh ketidak sukaan dengan Kevan. Entah kenapa, sejak awal Shena pacaran dengan Kevan, Cinda merasa tidak setuju. 

“Gue akan buktiin kalau Kevan nggak selingkuh. Bulan depan ulang tahun gue, dia bela-belain untuk datang ke Indonesia buat gue,” pamer Shena. 

Cinda mengangkat kedua jempolnya. 

“Gue tunggu kedatangan pangeran tercinta lo itu!” 

*****

Shena berjalan menuju kasir, ingin membayar makanan dan minuman yang dipesannya. Hari ini gilirannya untuk membayar. 

Shena dan Cinda lebih suka gantian membayar jika sedang membeli makan di luar dibandingkan dengan split bill. 

“Gue tunggu di mobil, ya,” ucap Cinda lantas beranjak keluar dulu tanpa menunggu balasan dari Shena. 

            Sedangkan Shena berdiri di barisan antrian untuk membayar. Shena melihat ponselnya, mengecek pesan terakhirnya yang dikirimnya ke sang pacar, Kevan. Padahal, Shena sudah mengirimnya dua hari yang lalu tapi Kevan belum juga membalasnya. 

            Sejenak, Shena tiba-tiba teringat ucapan Cinda beberapa menit yang lalu. 

“Lo nggak pernah takut Kevan selingkuh dari lo, Shen?”

Shena menggelengkan kepalanya cepat, membuang jauh-jauh pikiran buruk itu. Shena berusaha meyakinkan dirinya. 

“Kevan nggak mungkin selingkuh, Shena.” 

Shena kembali fokus menatap ke depan, kemudian maju dua langkah. Antiran di depannya tinggal satu orang lagi. Shena segera mengeluarkan dompetnya dan membukanya, berniat mengambil kartu debitnya untuk membayar. 

“Kartu gue di mana?” bingung Shena. Ia tidak menemukan kartu debitnya yang biasanya ditaruhnya di dompet. 

Shena berusaha tidak panik, ia mencari di dalam tasnya bahkan di case ponselnya, namun tetap saja Shena tidak menemukan kartu debitnya. 

“Mampus gue, mana nggak bawa uang tunai lagi,” decak Shena langsung panik. 

Shena menatap ke arah luar pintu, lebih tepatnya ke mobilnya yang ada di parkiran. Ia masih berusaha tetap tenang walau sulit, Shena mencoba menghubungi Cinda. Namun, tidak ada jawaban dari gadis itu. 

Shena sangat tau, Cinda jarang sekali lihat ponselnya. Dan, Shena yakin gadis itu sedang asik ngadem di dalam mobil sembari memejamkan mata. 

“Nggak diangkat!” kesal Shena mematikan sambungannya. 

Antrian di depannya hampir selesai membayar dan Shena semakin terpojokkan, bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin jika dia tiba-tiba langsung keluar memanggil Cinda. Bisa dikira dia pembeli yang kabur dan tidak mau bayar. 

Shena mengedarkan pandangannya, hingga akhirnya kedua matanya terhenti tepat pada tiga cowok yang sempat menjadi pembahasan Cinda beberapa menit yang lalu. 

“Antrian selanjutnya,” ucap kasir menyadarkan Shena. 

Shena menatap kasir di depannya, kemudian tersenyum. 

“Maaf Mas, saya bayarnya masih nanti. Saya mau temuin teman lama.”

Setelah itu, Shena keluar dari antrian dan dengan keberanian tingkat dewa, Shena mendekati meja Glen, Iqbal dan Rian. 

*****

Bohong jika Shena tidak gugup, tentu saja dia gugup. Lebih tepatnya gugup karena harus berusaha menahan rasa malunya.Namun, ini adalah jalan satu-satunya penyelamat Shena saat ini. 

Tidak ada lagi yang Shena kenal di café ini selain ketiga cowok tersebut yang pastinya juga sudah kenal dengan Shena. 

“Ehem, maaf ganggu,” ucap Shena basa-basi. 

Glen, Rian dan Iqbal langsung menghentikan percakapan mereka, ketiganya menatap ke arah Shena dengan bingung sekaligus terkejut. Tak menyangka mereka akan bertemu dengan Shena. Kecuali Glen tentunya, yang sudah duluan mengetahui keberadaan Shena di café ini sejak beberapa menit yang lalu. 

“Dari kalian bertiga siapa yang paling baik?” tanya Shena memaksakan senyumnya. 

Glen, Rian dan Iqbal saling bertatapan sebentar, tak paham dengan pertanyaan Shena. 

“Tentu saja kita semua orang baik,” jawab Rian mewakili. 

Shena mengangguk-angguk, tak bisa menyangkalnya. 

“Kalau gitu, dari kalian beriga siapa yang paling kaya?” tanya Shena lagi dengan berani. 

Lagi-lagi Glen, Rian dan Iqbal saling berpandangan. 

“Gue yang paling kaya,” jawab Glen tanpa ragu. Iqbal dan Rian tak bisa mengelak dan hanya bisa mengangguk mengakui. 

Shena tersenyum ke arah Glen, sebenarnya dia sudah tau saat Cinda bercerita tadi. Shena menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Glen. 

“Kalau begitu selamat, lo dapat kesempatan untuk menjadi orang yang lebih baik hari ini.” 

Glen menatap tangan Shena dengan bingung, semakin tidak paham. 

“Kesempatan apa maksud lo?” 

Shena terdiam sebentar, senyumnya mendadak kaku. Shena mengumpukan segala keberaniannya dan rasa malunya untuk menjawab pertanyaan Glen. 

“Kesempatan untuk bayarin makanan dan minuman gue.”  

Glen tertegun mendengar jawaban Shena. Bahkan Iqbal dan Rian pun masih bingung dengan sikap Shena tersebut. 

“Kenapa gue harus bayarin makanan dan minuman lo?” tanya Glen ingin penjelasan. 

“Karena lo orang kaya yang bisa jadi orang paling baik.” 

Glen berdeham pelan sembari mengangguk-angguk kecil. 

“Kalau gue nggak mau bayarin makanan dan minuman lo gimana?” tantang Glen. 

Senyum di wajah Shena langsung menghilang, tak menduga hal ini akan terjadi. Padahal, Shena sudah percaya diri, adik-adik kelasnya ini akan membantunya. 

“Jadi, lo nggak mau bayarin makanan dan minuman gue?” Bukannya menjawab, Shena malah bertanya balik lagi. 

Glen menggeleng tanpa ragu. 

“Gue nggak mau.” 

Shena terdiam, rasanya kesal dan sakit mendapatkan penolakan dari Glen. Untuk pertama kalinya Shena ditolak mentah-mentah seperti sekarang. Snagat memalukan. 

Shena tiba-tiba teringat cerita Cinda. Ia pun berusaha untuk tetap tenang dan terlihat tangguh. Shena melebarkan senyumnya dan menatap Glen. 

“Waktu gue menjabat ketua osis di SMA Arwana, gue pernah dengar rumor yang cukup mengejutkan,” ucap Shena tiba-tiba. 

Glen, Rian dan Iqbal lagi dan lagi saling berpandangan, mereka langsung waspada dan was-was dengan ucapan Shena.  

“Rumor apa ya?” tanya Rian hati-hati. 

Shena tersenyum licik. 

“Rumor dari kalian bertiga ada yang suka sama gue. Apa perlu gue sebutin nama orangnya?” 

Kepala Rian dan Iqbal otomatis langsung menoleh ke Glen tanpa mereka sadari. Sedangkan, Glen hanya diam sambil mengumpat dalam hati. 

“Perlu gue sebutin namanya, nggak?” ulang Shena. 

Glen langsung berdiri dan menatap Shena sedikit kesal. 

“Gue akan bayar makanan dan minuman lo. Puas?” 

Shena tersenyum penuh kemenangan, kemudian mengangguk. 

“Sangat puas. Terima kasih sudah menjadi orang baik.” 

Setelah itu, Shena dengan santainya langsung beranjak pergi begitu saja meninggalkan Glen, Rian dan Iqbal seolah kejadian tadi bukanlah hal besar. 

Sepeninggal Shena, suasana di meja Glen, Rian dan Iqbal mendadak terasa aneh. Glen geleng-geleng takjub dengan tingkah Shena. 

“Dia beneran nggak pernah berubah. Si mawar berduri!” decak Glen. 

Rian dan Iqbal terkekeh melihat Glen yang masih kesal. 

“Berduri gitu juga lo pernah suka.” 

Glen melotot ke Rian dengan tak terima. 

“Gue khilaf pernah suka sama dia! Waktu itu kesadaran gue masih belum utuh. Gue masih sangat bodoh!” elak Glen cepat. 

“Bukannya lo sekarang juga masih bodoh?” sahut Iqbal dengan tak berdosanya. 

Glen mendesis kesal, bukannya membantu kedua temannya malah makin mengolok-oloknya. Detik berikutnya, Iqbal dan Rian tersenyum puas. 

“Sana buruan bayar makanan dan minuman putri mawar berduri,” goda Rian. 

“Diem lo, Yan!” 

“Kesel-kesel juga lo seneng kan bisa ketemu Kak Shena lagi.” Rian tak ada hentinya menggoda Glen. 

“Dia nggak pernah berubah dan tetep nyebelin!” 

“Nyebelin apa nyebelin.”

“Yan, lo mending diem deh! Gue bayar juga nih mulut lo.”

Rian langsung memilih untuk diam, daripada Glen benar-benar serius membayar mulutnya. Karena, Rian yakin seorang Glen sangat sanggup untuk membayar mulutnya. 

Iqbal memperhatikan Glen yang masih gusar. Iqbal menepuk bahu Glen pelan. 

“Glen,” panggil Iqbal. 

“Apa?”

Iqbal tersenyum tipis. 

“Meskipun berduri, buat lo dia tetap setangkai mawar yang cantik, kan?” 

****

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Our Shena
Selanjutnya OUR SHENA - 3 (ORANG KAYA MENYEBALKAN)
52
4
“Mampus gue!” Shena merutuki kebodohannya. Shena menghilangkan tanda love, dengan wajah semakin panik. “Notifnya nggak akan muncul, kan? Nggak akan ketahuan gue stalker dia, kan?”Shena mendesis kasar, memegangi kepalanya dengan frustasi. “Shena Rose, pinter banget sih lo!!!” ****
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan