OUR MARIPOSA - 11 (THE THINGS)

334
32
Deskripsi

        “Iqbal,” panggil Acha lirih. 

        “Apa?”

         “Iqbal bakal kabulin semua hal yang Acha inginkan?” 

         “Kalau gue sanggup, pasti akan gue kabulin.” 

         “Emang yang Iqbal nggak sanggup seperti apa?”

                          *****

OUR MARIPOSA PART SEBELAS

      

          MASA KINI 

 

         Jika kamu bertemu dengan mantanmu. Apa yang ingin kamu katakan kepadanya! 

         Ting!

         Dengan cepat Rian dan Acha bersamaan memencet bel. 

         “Acha dulu!” seru Acha tak terima. 

         Rian pun mengangguk mengalah. Tanpa banyak pikir Acha langsung memberikan jawaban terbaiknya. 

         “Acha akan bilang kalau Acha sekarang sudah sangat bahagia dengan pacar Acha yang sekarang. Dan, di kepala Acha hanya memikirkan seorang Iqbal,” jawab Acha tanpa malu. 

         Rian, Glen dan Amanda memberikan ekspresi sebal, jawaban Acha memang another puncak of bucin. Sedangkan Iqbal tersenyum senang mendengarkan jawaban Acha. 

         “Iqbal, suka nggak jawaban Acha?” bisik Acha ke Iqbal. 

         Iqbal mengangguk tanpa ragu. 

         “Suka.” 

         Ting! 

         Rian tak mau melewatkan kesempatannya lagi dan memencet bel sangat cepat. Lalu segera memberikan jawabannya. 

         “Gue hanya akan sapa hai saja. Karena bagi gue mantan adalah masa lalu yang tidak perlu ada kenangan baru lagi.” Rian dengan bangga menjawab. 

         Amanda memberikan jempolnya menandakan dia puas dengan jawaban sang pacar. Kini tinggal Amanda, Iqbal dan Glen yang belum menjawab. 

         Ting!

         Tanpa diduga Iqbal menekan bel terlebih dahulu dari Amanda maupun Glen, membuat yang lainnya menatap Iqbal dengan wajah penasaran. 

         “Gue nggak punya mantan,” jawab Iqbal dengan wajah tak berdosanya. 

         Acha, Rian, Amanda dan Glen terdiam. Mereka berempat tak bisa membantah karena memang itu kenyataan kisah percintaan seorang Iqbal. 

         “Selanjutnya! Siapa yang terakhir menjawab dia yang akan kena hukum!” teriak Acha memecah keheningan. 

         Seketika Amanda dan Glen tersadarkan, mereka saling melirik tajam dengan otak yang memeras keras. 

         Ting!

         Akhirnya Glen lebih dulu menekan belnya, membuat Amanda mendecak kesal karena dia harus bersiap mendapatkan hukuman yang pastinya sangat gila dari teman-temannya. 

         “Buruan Glen kasih jawaban terbaik lo,” suruh Rian tak sabar. 

         Glen berdeham pelan. 

         “Dengerin jawaban gue ya semua,” ucap Glen mulai dramatis. 

         “Iya,” serempak semuanya. 

         Glen mengembangkan senyum tipis. 

         “Gue sepertinya nggak akan bisa bertemu lagi sama mantan gue. Jadi, nggak ada yang ingin gue sampaikan ke dia.” 

         Hening dan mendadak sangat gelap. Bahkan, lebih gelap dari jawaban Iqbal beberapa menit yang lalu. Mereka semua tentu tahu maksud dari jawaban Glen yang ditujuhkan ke seorang Shena. 

         “Gelap sekali ya, Bund,” lirih Amanda. 

         Glen tertawa melihat ekspresi dan reaksi teman-temannya. 

         “Santai aja kali. Ayo buruan kasih hukuman ke Amanda,” seru Glen mencoba mencairkan suasana. 

         Semuanya mengangguk dan berusaha kembali bersikap biasa. Amanda pun mendadak was-was sendiri, hukuman apa yang diterimanya. 

         “Gue yang kasih hukuman! Gue!” teriak Glen ingin membalaskan dendamnya. 

         Amanda melotot lebar, mulai panik. 

         “Nggak ada! Yang lainnya aja.”

         “Semua setuju, kan, gue yang kasih hukuman ke Amanda?” tanya Glen meminta izin. 

         Acha, Rian dan Iqbal mengangguk pasrah, menyetujui sama permintaan Glen. Setidaknya dengan hal itu bisa membuat hati Glen lebih berbunga setelah harus menjawab pertanyaan tentang mantannya yang sudah lama tiada. 

         “Iya, setuju Glen,” ucap Acha mewakili yang lainnya. 

         “Chaaa!!!” protes Amanda tak terima. 

         Acha menepuk pelan bahu Amanda, mencoba meyakinkan. 

         “Kasihan Glen, Amanda. Ngalah ya,” bujuk Acha. 

         Amanda mendesis pelan, tak bisa membantah. Amanda pun akhirnya mengagguk ikut setuju. 

         “Buruan! Apa hukumannya?” 

         Glen tersenyum lebar dan segera mengungkapkan hukuman yang akan dia berikan ke Amanda. 

         “Lo harus berdiri sekarang juga sambil teriak ‘NGGAK MAU PULANG, MAUNYA DISAYANG!’ sebanyak lima kali.”

         Kedua mata Amanda terbuka dua kali lipat lebih lebar dari semula. Bukan hanya Amanda, Acha, Rian dan Iqbal pun sama terkejutnya mendengar hukuman yang diberikan oleh Glen. 

         “GLEN NGGAK WARAS!!!” teriak Amanda sekencang mungkin. 

****

         Setelah permainan selesai, Glen, Iqbal dan Rian kembali ke tenda untuk bersantai. Sedangkan, Amanda dan Acha memilih untuk berfoto ria dia spot-spot yang menurut mereka bagus. 

         Maklum saja cewek, tidak perlu oleh-oleh berupa barang atau makanan, yang penting mereka mendapatkan oleh-oleh sebuah foto yang bagus untuk diupdate di sosial media sudah sangat cukup. 

         Iqbal membuka bukunya, setelah ujian berakhir Iqbal sedang suka membaca buku motivasi. Kali ini dia sedang membaca buku dari Haemin Sunim yang berjudul ‘The Things You Can See Only When You Slow Down’, menurut Iqbal buku tersebut sangatlah bagus. 

         “Yan,” panggil Iqbal.  

         Rian menghentikan permainan di mobilnya, kemudian menoleh ke Iqbal. s

         “Apa?”

         “Lo pernah ngerasa nggak enak ke orang?” tanya Iqbal. 

         Rian mengerutkan kening, berpikir keras. 

         “Sepertinya pernah.”

         “Melakukan hal yang sebenarnya nggak ingin lo lakuin tapi terpaksa lo lakuin karena nggak enak dengan orang itu?” perjelas Iqbal lagi. 

         Rian mengangguk pelan walaupun bingung kenapa Iqbal tiba-tiba bertanya seperti itu. 

         “Iya, seperti itu. Emang lo nggak pernah?”

         Iqbal menggeleng cepat. 

         “Nggak pernah. Kenapa gue harus melakukan hal yang nggak ingin gue lakuin?” 

         Rian menghela napas pelan, tidak kaget mendengar jawaban Iqbal. Rian sedikit mendekat ke Iqbal. 

         “Ajarin gue,” pinta Rian. 

         “Apa?” bingung Iqbal. 

         “Cara biar berhenti bersikap nggak enakan ke orang lain. Bisa menolak permintaan orang yang gue nggak suka,” jelas Rian. 

         Iqbal berdeham pelan, meras hal itu sangat mudah untuknya. 

         “Bukannya ngelakuin itu mudah.”

         “Gimana caranya?” tanya Rian tak sabar.

         “Lo hanya perlu lebih berani.”

         Rian mengerutkan keningnya, masih tak paham. 

         “Maksudnya?” 

         “Lebih berani untuk menolak. Mungkin selama ini lo selalu iyain permintaan orang lain karena lo segan untuk menolaknya karena rasa takut lo lebih besar daripada keberanian lo.” 

         Rian takjub mendengar penjelasan panjang Iqbal. Sampai sekarang mendengar Iqbal berbicara lebih dari sepuluh kata masih terasa luar biasa bagi Rian. 

         “Harus lebih berani?”

         “Iya dan hanya diri lo sendiri yang bisa lakuin itu.” 

         Rian manggut-manggut kecil, menyetujui jawaban Iqbal. Pandangan Rian beralih ke buku sampul biru. Rian merebut buku tersebut dari tangan Iqbal, cukup cepat. 

         Rian melongo melihat jejeran bacaan bahasa inggris yang cukup rapat di buku tersebut. Belum sampai lima detik, Rian mengembalikan kembali buku tersebut ke Iqbal. 

         “Lo segitu sukanya dengan belajar?” tanya Rian takjub kesekian kalinya. 

         “Gue nggak belajar.” 

         “Ini apa? Lo lagi baca buku, kan?”

         “Hanya baca buku. Bukan buku materi kuliah.”

         “Sama aja! Bisa nggak sih lo sehari aja tenagin otak lo?”

         “Otak gue bukan seperti otak dia.” Iqbal dengan entengnya menunjuk ke arah sosok Glen yang sedari tadi asik bermain dengan adiknya, si Meng. 

         Rian menoleh ke arah jari telunjuk Glen, seketika ia hanya bisa geleng-geleng melihat tingkah Glen. Rian menghela napas panjang kedua kalinya. 

         “Benar! Lebih baik belajar dari pada ngobrol dengan kucing!” seru Rian sangat yakin. 

*****

         Acha dan Amanda memilih istirahat di depan minimarket. Mereka kelelahan setelah berfoto hampir dua jam. Entah sudah berapa ribu foto yang mereka ambil hari ini. 

         Acha dan Amanda menikmati mie instan cup mereka. 

         “Cha, lo tau, nggak?” Amanda membuka pembicaraan. 

         “Nggak tau Amanda,” jawab Acha dengan lugunya. 

         “Makanya gue kasih tau ini.”

         “Apa Amanda?” 

         “Mantan lo mau nikah bulan depan.” 

         “Mantan Acha? Siapa?”

         “Siapa lagi kalau bukan Arka. Mantan lo waktu SMP. Lo ingat?”

         Acha mengenyitkan kening berusaha untuk mengingatnya walau sedikit susah. 

         “Samar-samar. Acha kayak pernah denger namanya tapi nggak sebegitu ingat.”

         Amanda mengangguk-angguk, tak mempermasalahkan juga. Toh, buat apa mengingat seorang mantan! 

         “Lo diundang nggak sama dia?” 

         Acha menggeleng. 

         “Sepertinya nggak ada undangan pernikahan di rumah Acha. Amanda diundang?” 

         “Iya gue diundang. Seriusan lo nggak diundang sama Arka?” 

         “Iya serius.” 

         Amanda mendecak pelan. 

         “Mungkin si Arka belum bisa move-on dari lo, makanya takut ngundang lo,” ucap Amanda berspekulasi. 

         “Mungkin memang nggak ingin undang Acha kali, Nda.” 

         Amanda menatap Acha lekat. 

         “Kalau lo diundang mantan lo ke pernikahannya, lo bakalan datang, nggak?” tanya Amanda ingin tau. 

         “Mungkin saja datang. Memangnya nggak boleh datang ke pernikahan mantan sendiri?” 

         “Boleh aja sih. Tapi kalau mantannya seperti lo, mending jangan. Daripada mempelai wanitanya minder dan ngamuk karena kalah cantik dari lo.”

         “Nggak gitu juga kali, Amanda.” 

         Amanda menghela napas berat, terkadang gemas mendengar Acha yang terlalu rendah hati. 

         “Lo masih nggak sadar kecantikan lo itu bisa buat pernikahan orang batal hari itu juga, Cha!” dramatis Amanda. 

         “Berlebihan Amanda,” peringat Acha.

         Amanda memberikan cengiran lebarnya. 

         “Kalau gue tergantung mantannya.”

         “Maksudnya?” bingung Acha. 

         “Ya kalau kisah gue dengan mantan gue itu berakhir baik, mungkin gue akan datang ke pernikahannya. Kalau ternyata berakhir buruk, gue memilih untuk nggak datang.”

         “Kenapa gitu?”

         “Ya bukannya ingin memutuskan silaturrahmi, hanya saja biar nggak ingat masa lalu yang menyakitkan saja.” 

         Acha mengangguk-angguk mulai paham. 

         “Apalagi kalau mantan yang sulit dilupakan, pasti sangat berat.” 

         Amanda tersenyum kecil, menatap Acha dengan sorot penuh arti. 

         “Cha,” panggil Amanda lirih. 

         “Iya, Amanda?”

         “Gue nggak bisa bayangin kalau lo dan Iqbal benar-benar berpisah. Pasti sangat berat buat lo.”

         Acha mengangguk lemah. 

         “Tentu aja. Iqbal adalah salah satu kehadiran yang indah di hidup Acha.”

         “Segitu sukanya lo sama Iqbal?”

         Acha kembali mengangguk dengan senyum malu-malu. 

         “Iya, Acha suka banget sama Iqbal.” 

         Amanda menepuk-nepuk pelan lengan Acha.

         “Semoga nggak ada lagi masalah di hubungan kalian. Dan, kalian bisa bersama sampai nikah.” 

         “Semoga Amanda.”

         Ah! Amanda jadi teringat sesuatu dan ingin menanyakannya ke Acha. 

         “Gue boleh tanya satu hal lagi, nggak?”

         “ Boleh. Apa Amanda?” 

         Amanda menatap Acha dengan sedikit tidak yakin. 

         “Kalau seandainya lo beneran nikah sama Iqbal. Tema pernikahan lo apa, Cha?” 

         Senyum di wajah Acha seketika mengembang lebar, seolah topik tersebut memberikan energi bagi Acha. 

         “Tema yang Acha suka,” jawab Acha penuh semangat. 

         Perasaan Amanda semakin was-was. 

         “Tema apa?” tanya Amanda lagi ingin lebih memastikan.  

         “Tentu saja pernikahan Acha temanya harus sapi!” 

*****

         “Iqbal! Iqbal!” suara cempreng Acha terdengar cukup keras dari luar tenda. 

         Iqbal pun segera keluar dari tendanya, ia melihat Acha sudah berdiri dengan senyum lebar di paras cantiknya. Iqbal memakai sepatunya dan mendekati Acha. 

         “Kenapa?” 

         Acha langsung menyodorkan setangkai bunga tulip kepada Iqbal.

         “Buat Iqbal,” ucap Acha. 

         “Buat gue?”

         “Iya, Acha tadi beli di dekat warung depan parkiran. Cantik banget, kan bunganya?” 

         Iqbal menerima bunga tersebut. 

         “Iya, seperti kamu.” 

         Acha tersipu malu mendengar pujian dari Iqbal. Acha berpindah ke samping Iqbal dan meraih lengan Iqbal.  

         “Ayo jalan-jalan sore,” ajak Acha. 

         “Kemana?”

         “Di sekitar sini aja. Jalan kaki nikmati pemandangan.”

         Iqbal mengangguk tanpa ragu. Tangannya meraih tangan Acha dan mengenggamnya erat. 

         “Ayo.”

****

         Angin sore di puncak terasa sangat sejuk,  lebih dari tiga puluh menit Acha dan Iqbal jalan-jalan di sekitar area camping. Mereka terlihat begitu serasi bahkan beberapa orang yang melihat mereka kagum dengan paras cantik dan tampan mereka.

         “Acha suka banget udara di puncak dan suasana di puncak,” seru Acha meluapkan kebahagiannya. 

         “Gue juga suka.” 

         Acha menoleh ke Iqbal yang juga tengah menatapnya. 

         “Suka siapa? Puncaknya atau Acha?”

         “Kamu,” jawab Iqbal cepat. 

         Acha tersenyum malu, Iqbal memang paling jago membuat jantung Acha bedegub cepat, seperti sekarang. Acha bisa merasakan Iqbal mengeratkan genggaman tangannya. 

         Acha tiba-tiba menghentikan langkahnya, membuat Iqbal mau tak mau ikut berhenti juga. 

         “Kenapa?” tanya Iqbal khawatir. 

         Acha menatap Iqbal dengan sorot mata berharap. 

         “Acha capek.”

         “Mau balik ke tenda?” 

         Acha menggeleng. 

         “Tapi, Acha masih mau jalan-jalan.”

         “Mau istirahat dulu?” 

         Acha menggeleng lagi. 

         “Nggak mau.”

         “Terus?” 

         Acha mengangkat kedua tangannya seperti anak kecil. 

         “Gendong Acha,” rajuk Acha. 

         Iqbal tertegun sesaat, cukup kaget mendengar permintaan Acha. 

         “Lo bukan anak bayi, Cha.”

         “Iqbal nggak mau gendong Acha?” 

         Iqbal menghela napas pelan, senyumnya mengembang tipis. 

         “Mau.”

         “Nggak terpaksa?” 

         Iqbal tidak langsung menjawab, ia segera berjongkok di hadapan Acha. 

         “Nggak, Cha. Buruan naik.” 

         “Beneran Iqbal mau gendong Acha?”

         “Iya, Natasha.” 

         Tak mau melewatkan kesempatan emas tersebut, Acha segera naik ke punggung Iqbal. Setelah itu, Iqbal kembali melangkah dengan menggendong Acha di punggungnya. 

         “Acha nggak berat, kan, Iqbal?” 

         “Nggak.”

         “Iqbal kuat gendong Acha?”

         “Kuat.” 

         Acha menepuk-nepuk pelan rambut Iqbal. 

         “Manisnya pacar Acha.” 

         Iqbal terkekeh mendengar pujian Acha. 

         “Makasih.”

         Acha terkejut mendengar balasan Iqbal. Tak biasanya sang pacar akan membalas pujian Acha yang menyamakan Iqbal seperti bayi yang menggemaskan. 

         “Iqbal,” panggil Acha lirih. 

         “Apa?”

         “Iqbal bakal kabulin semua hal yang Acha inginkan?” 

         “Kalau gue sanggup, pasti akan gue kabulin,” jawab Iqbal sungguh-sungguh. 

         “Emang yang Iqbal nggak sanggup seperti apa?”

         “Metik bintang di langit, gue nggak sanggup.” 

         “Iqbal!!!” seru Acha sebal dengan jawaban Iqbal yang tak memuaskan. 

         Sedangkan Iqbal tertawa puas mendengar Acha yang mulai mengomel seperti anak kecil.  

         “Selama itu mungkin, pasti gue akan selalu kabulin, Cha.” 

         Rasa sesal di hati Acha langsung sirna setelah mendengar ucapan manis Iqbal. Acha mengeratkan kedua tangannya yang melingkar di leher Iqbal. 

         “Makasih pacar, Acha.” 

         Iqbal tersenyum kecil, satu tangannya terlepas kemudian meraih tangan Acha. Detik berikutnya, Iqbal mencium singkat punggung tangan Acha. 

         “Aku sayang kamu, Natasha.” 

*****

#CuapCuapAuthor 

Bagaimana OUR MARIPOSA part sebelasnya?

KALIAN INGIN REQUEST SCENE APA DI OUR MARIPOSA?

SAMPAI JUMPA DI OUR MARIPOSA PART DUA BELAS ^^

Untuk info update bisa follow instagramku : luluk_hf atau di Channel Telegramku :  PASUKAN LULUK HF 

Jangan lupa komen dan love part ini jika teman-teman suka. Komen dan Love dari teman-teman sangat ditunggu banget. 

Share juga cerita OUR MARIPOSA ke teman-teman kalian yang juga suka MARIPOSA ya ^^

SEMOGA TEMAN-TEMAN SEMUA SELALU SUKA OUR MARIPOSA, SELALU BACA OUR MARIPOSA DAN SELALU SUPPORT OUR MARIPOSA ^^

MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA. SELALU SAYANG KALIAN SEMUA. DAN, JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN YA ^^ 

Salam, 

Luluk HF 

        

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Our Mariposa
Selanjutnya CHAMOMILE SPESIAL PART (BREAK UP)
135
24
Alen, lo bosen sama gue?Alen menggeleng.Nggak.Gue ada salah sama lo?Gue yang salah.Lo salah apa? Lo suka sama cowok lain? Kesabaran Alan perlahan mulai runtuh.Alen lagi-lagi hanya bisa menggeleng.Nggak ada, Kak.Alan ingin meraih tangan kanan Alen, namun dengan cepat Alen menarik tangannya dan menyembunyikannya di belakang tubuhnya. Alan terkejut sesaat.Alen, lo nggak bahagia pacaran sama gue?*****CHAMOMILE SPESIAL PART (BREAK UP) berbayar ya teman-teman Pasukan Pembaca di akun karyakarsaku. Harganya Rp. 4.000 (Empat ribu rupiah). Pembayaran bisa melalui Pulsa, Shopeepay, Dana, OVO, Gopay, Transfer Bank dan lainnya. AYO BACA CHAMOMILE SPESIAL PART (BREAK UP) SEKARANG JUGA. MAKASIH BANYAK TEMAN-TEMAN PASUKAN PEMBACA. *****  
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan