OUR MARIPOSA - 48 (PENGAKUAN TAK TERDUGA)

90
3
Deskripsi

Iqbal meraih tangan kanan Acha, mengenggamnya erat. 

“Kita di sini sepuluh menit, habis itu pulang. Gimana?” 

“Lima belas menit nggak boleh Iqbal?” tawar Acha. 

“Boleh sayang.”

Senyum Acha langsung mengembang. 

“Makasih Iqbal.” 

*****

OUR MARIPOSA PART EMPAT PULUH DELAPAN

 

MASA KINI 

Acha memainkan kakinya sembari bersenandung, ia sangat senang sekali akhirnya malam ini bisa menghabiskan waktu bersama dengan Iqbal setelah tiga hari kemarin Iqbal sangat sibuk dengan penelitiannya bersama Profesor Tomi. 

Hari ini pun Iqbal akhirnya bisa karena Profesor Tomi ada seminar di luar kota, sehingga Iqbal tidak harus ke lab. 

Setelah makan malam bersama, Acha tidak mau langsung pulang. Ia mengajak Iqbal untuk mampir dulu ke taman dekat perumahannya. Iqbal pun mengabulkan keinginan Acha. 

Acha menatap Iqbal yang duduk di sampingnya, cowok itu sedari tadi fokus dengan ponselnya. Acha mengintip sedikit dan mendapati Iqbal sedang memeriksa jurnal penelitiannya. 

“Iqbal,” panggil Acha pelan. 

“Hm?” balas Iqbal singkat, pandangannya masih fokus ke ponselnya. 

“Dengerin Acha bentar,” pinta Acha sembari menekan-nekan punggung tangan Iqbal. 

Iqbal lantas menghentikan aktivitasnya, ia menoleh ke Acha sembari memasukan ponselnya ke saku celana. 

“Mau ngomong apa?” tanya Iqbal. 

Acha tersenyum lebar sembari geleng-geleng. 

“Nggak ada, Acha mau lihat wajah Iqbal aja.”

Iqbal menghela napas pelan, sabar dengan tingkah pacarnya yang kadang random. Kemudian, Iqbal mendekatkan sedikit tubuhnya ke depan membuat Acha kaget bukan main. 

“Iqbal mau ngapain?” Acha buru-buru memundurkan tubuhnya. 

“Katanya mau lihat.”

Senyum Acha berubah canggung. 

“U… Udah tadi. Acha udah puas lihatnya,” jawab Acha seketika gugup. 

Iqbal tersenyum kecil, sangat suka reaksi salah tingkah Acha, sangat menggemaskan. 

“Sekarang giliran gue,” ucap Iqbal. 

Acha mengerutkan kening, bingung. 

“Giliran apa?” 

Bukannya menjawab, Iqbal malah menarik tangan Acha dan membuat tubuh gadis itu terhuyung ke depan membuat jarak mereka kembali dekat. 

“Lihat wajah cantik pacar aku,” jawab Iqbal dengan suara beratnya. 

Acha meneguk ludahnya dengan susah payah. Kini ia benar-benar bisa melihat paras tampan seorang Iqbal dengan sangat jelas. Acha bisa merasakan jantungnya mulai berdegup cepat. 

“I… Iqbal…” lirih Acha. 

“Hm?”

Acha terdiam sejenak. 

“Malu dilihatin orang-orang.” 

“Nggak ada yang lihat,” balas Iqbal cepat. Nyatanya memang taman hari ini sangat sepi. Hanya ada beberapa orang yang sedang olahraga malam. Itu pun mereka sibuk dengan urusan masing-masing. 

Acha menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sejenak. Kemudian, Acha memberanikan diri untuk mendorong tubuh Iqbal agar kembali menjauh. 

“Acha yang malu dilihatin Iqbal,” ungkap Acha jujur. 

Iqbal terkekeh pelan, tangannya terulur dan mengacak-acak pelan puncak rambut gadisnya. Iqbal bisa melihat jelas rona merah di kedua pipi Acha. 

“Tadi jadi ke toko buku?” tanya Iqbal membuka topik pembicaraan baru. 

Acha mengangguk-angguk, sepulang kuliah ia memang tidak diantar oleh Iqbal dan memilih mampir ke toko buku terlebih dahulu. 

“Jadi, acha beli beberapa novel sekalian beli buku anatomi yang baru.”

Iqbal mengerutkan kening. 

“Buku anatomi kamu kemana?”

Acha mengangkat kedua bahunya. 

“Nggak tau, tiba-tiba nggak ada.” 

“Kok bisa?”

“Nggak tau,” jawab Acha sekali lagi dengan enteng. 

Iqbal hanya bisa geleng-geleng, ia sendiri juga tak bisa membantu untuk menemukan karena Acha saja tidak tau di mana bukunya. 

“Harusnya nggak usah beli,” lanjut Iqbal. 

“Buku anatominya?” 

“Iya.”

“Kalau Acha nggak beli, Acha nggak bisa belajar Iqbal. Awalnya Acha juga bimbang mau beli apa enggak soalnya lumayan harganya.” 

“Lo bisa pakai punya gue, Cha.”

“Kalau Acha pakai punya Iqbal terus Iqbal pakai bukunya siapa?”

“Gue bisa beli lagi.” Kini giliran Iqbal yang menjawab tanpa beban. 

Acha mendecak pelan, sudah bisa menebak jawaban sang pacar. 

“Acha nggak mau ngerepotin Iqbal terus.”

“Gue nggak pernah ngerasa lo repotin.” 

Acha mengarahkan seluruh posisi tubuhnya menghadap Iqbal, kemudian memandang Iqbal dengan lekat. Acha tiba-tiba penasaran dengan sesuatu. 

“Iqbal jawab pertanyaan Acha dengan jujur,” tegas Acha. 

“Apa?” bingung Iqbal karena Acha mendadak berubah serius. 

“Iqbal beneran nggak pernah ngerasa direpotin sama Acha?”

Iqbal menggeleng tanpa ragu. 

“Nggak pernah.”

“Serius?”

“Iya.”

“Iqbal nggak pernah capek atau ngeluh karena hampir tiap hari jemput Acha kuliah? Bahkan harus antar Acha pulang kuliah juga.”

“Gue ngerasa lelah karena penelitian gue bukan karena lo.” 

Acha terdiam sebentar, masih tidak percaya. 

“Iqbal pernah nggak kesal sama Acha tapi Iqbal tahan?” 

“Kenapa gue harus kesal sama lo?” Bukannya menjawab, Iqbal malah bertanya balik. 

“Ya… Ya kadang Acha kan nyebelin. Acha juga sering manja banget sama Iqbal.” 

“Gue suka.”

“Apanya?” 

“Gue suka lo manja ke gue.” 

Acha melongo, hampir tidak percaya dengan jawaban yang didengarnya barusan. Entah Iqbal yang sudah berubah sangat bucin kepadanya atau memang Iqbal dari dulu seperti ini tapi Acha tak pernah menyadarinya. 

Acha mengibas-kibas tangannya, seketika kepalanya terasa berat. 

“Susah ngomong sama orang yang sudah buta sama cinta!” cibir Acha. 

Kini giliran Iqbal yang terkejut mendengar ucapan sang pacar, baru pertama kali ini Iqbal mendengar Acha mengatainya seperti itu. 

“Ucapan lo barusan buat gue?” tanya Iqbal memastikan. 

“Iya buat Iqbal,” jujur Acha. 

Iqbal menghela napas panjang, berusaha untuk sabar. Toh, ucapan Acha sendiri tidak sepenuhnya salah. 

“Iqbal nggak terima sama ucapan Acha?” Bukannya meminta maaf Acha malah semakin menantang sang pacar. 

“Nggak,” jawab Iqbal tetap bersikap biasa aja.” 

“Yakin?” 

Iqbal menahan untuk tidak tersenyum, Iqbal merasa sepertinya Acha sedang bosan dari tadi dan sengaja untuk mencari keributan dengannya. 

Pernah dengar bukan cewek itu kadang-kadang nggak ada angin atau pun hujan tiba-tiba ngajak bertengkar! Mungkin kalimat itu cocok untuk Iqbal berikan ke Acha. 

“Iya Natasha.” 

“Padahal kalau Iqbal nggak terima, nggak apa-apa bilang aja ke Acha. Acha nggak akan marah.” 

Iqbal tak mempedulikan ucapan Acha. Ia segera berdiri dan menghadap ke Acha. Iqbal mengulurkan tangannya. 

“Ayo,” ajak Iqbal. 

Acha mendongakkan kepalanya, menatap Iqbal bingung. 

“Ayo kemana?” 

“Pulang.”

Acha terdiam sejenak, tatapanya yang semula menyorot penuh kobaran mendadak berubah memelas. 

“Tapi Acha masih belum mau pulang.” 

Iqbal melirik jam tangannya, menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. 

“Udah mau jam sepuluh, Cha.”

Acha mengerucutkan bibirnya. 

“Iqbal nggak mau lama-lama sama Acha? Iqbal udah bosan sama Acha? Iqbal udah nggak sayang sama Acha?” seru Acha menyerang Iqbal dengan berbondong. 

Kan! Apa Iqbal bilang. Sepertinya mood Acha hari ini sedang naik-turun. Jangan-jangan hari datang bulan Acha sudah dekat. 

“Gue harus jawab yang mana dulu?” 

“Nggak usah di jawab!” ketus Acha. 

Iqbal melihat Acha yang berubah kesal kepadanya. Bukannya takut, Iqbal malah gemas dengan tingkah Acha saat ini. 

“Cha…”

“Iqbal kalau mau pulang, pulang saja dulu. Nggak apa-apa, Acha masih mau di sini!” potong Acha cepat sembari langsung membuat mukanya. 

Iqbal menghela napas pelan, berusaha untuk tidak ikut emosi. Padahal tadi mood gadis itu masih baik-baik saja dan terlihat ceria. 

Perlahan, Iqbal menurunkan tubuhnya, berjongkok di depan Acha untuk menyamakan tubuh mereka. 

“Cha,” panggil Iqbal lagi, kali ini dengan suara lebih lembut. 

Acha masih tak mau menatap Iqbal. 

“Nggak usah panggil Acha!” 

“Marah, ya?” 

“Nggak!” 

“Beneran?”

“Hm!”

Iqbal menahan senyumnya. 

“Kalau nggak marah kenapa jawabnya singkat?”

“Lagi pengin saja! Suka-suka Acha jawabnya singkat atau panjang!”

“Kalau nggak marah kenapa nggak mau lihat gue?” tanya Iqbal lagi. 

Kali ini Acha terdiam, tidak langsung menyembur jawaban seperti tadi. Keadaan tiba-tiba hening, membuat Iqbal bingung sekaligus khawatir. 

“Cha kenapa diam?” tanya Iqbal mendekatkan tubuhnya untuk memastikan sang gadis baik-baik saja. 

Detik berikutnya, Acha menggerakan kepalanya, kembali menatap Iqbal. Acha masih mengerucutkan bibirnya, namun tatapanya tak setajam tadi. 

“Kalau Acha ngelihat Iqbal nanti Acha nggak jadi kesalnya!” jawab Acha terlalu jujur. 

Iqbal tak bisa lagi menahan senyumnya untuk mengembang. Sekali lagi Iqbal dibuat semakin jatuh cinta dengan gadis di hadapannya ini. 

Iqbal meraih tangan kanan Acha, mengenggamnya erat. 

“Kita di sini sepuluh menit, habis itu pulang. Gimana?” Iqbal berusaha untuk bernegosiasi. 

“Lima belas menit nggak boleh Iqbal?” tawar Acha. 

“Boleh sayang.”

Senyum Acha langsung mengembang saat itu juga, tak ada lagi tatapan kesal di wajah Acha membuat Iqbal melega. 

“Makasih Iqbal.” 

Iqbal perlahan berdiri kembali dan melepaskan genggaman tangannya. Iqbal kemudian melepaskan jaket yang dipakainya dan membalutkan ke tubuh Acha. 

“Dingin nggak?” tanya Iqbal. 

Acha menggeleng. 

“Nggak. Iqbal sendiri nggak kedinginan?”

“Enggak.” 

Iqbal kembali duduk di samping Acha, menerima tangan Acha yang ingin mengenggamnya. Iqbal merasakan kehangatan yang tulus diberikan oleh sang pacar.

“Iqbal kenapa senyum-senyum terus?” heran Acha. 

“Emang iya?” 

“Iya. Lihat aja sekarang Iqbal masih senyum.”

Iqbal memperjelas senyumannya, Iqbal memperhatikan sejenak paras cantik Acha. 

“Gue lagi bahagia,” ungkap Iqbal. 

“Bahagia karena apa?” 

“Karena lo.”

Acha mengerutkan kening, masih tak mengerti. 

“Karena Acha?”

Iqbal mengangguk tanpa ragu. 

“Gue bahagia karena lo ada di sisi gue, Cha,” perjelas Iqbal. 

Acha mau tak mau ikut mengembangkan senyumnya. Tentu saja Acha sangat senang mendengar perngakuan Iqbal barusan. 

“Emangnya kalau Acha nggak ada di sisi Iqbal, sekarang Iqbal nggak bahagia?” tanya Acha ingin tau. 

“Mungkin aja.” 

“Maksudnya mungkin?”

Iqbal menarik napasnya sejenak kemudian menghelanya pelan-pelan. Detik berikutnya Iqbal kembali bersuara. 

“Gue kadang-kadang pernah bayangin seadanyainya lo nggak pernah datang di hidup gue atau mungkin seandainya waktu itu lo nyerah buat ngejar gue, mungkin hidup gue masih gitu-gitu saja. Belajar dan belajar. Nggak ada sama sekali hal yang benar-benar menyenangkan seperti sekarang.” 

   Acha tertegun sesaat, tak menyangka Iqbal akan mengutarakan perasaannya sejujur ini. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh seorang Iqbal. 

   “Makasih sudah datang di hidup gue Natasha.” 

   Acha merasakan kedua matanya mendadak memanas, Acha sangat terharu mendengarnya. 

   “Iqbal,” lirih Acha ingin menangis. 

   “Cha, kenapa?” Iqbal langsung khawatir saat melihat kedua mata Acha yang berkaca-kaca. 

   “Acha mau peluk boleh?” 

   Tanpa banyak kata, Iqbal langsung menarik tubuh mungil Acha dan memberikan pelukan yang hangat. Begitu juga dengan Acha, memberikan seluruh perasaan tulusnya untuk seorang Iqbal yang tidak pernah berubah sejak dulu hingga sekarang. 

   “Acha juga makasih banyak karena Iqbal bersedia menerima Acha dan selalu di samping Acha. Makasih Iqbal sudah selalu buat Acha bahagia,” balas Acha sangat tulus.

Iqbal mengelus pelan belakang rambut Acha. 

   “Sama-sama Natasha.”

   “Acha sayang banget sama Iqbal.” 

   Tak ada jawaban dari Iqbal, perlahan ia melepaskan pelukannya, memandang Acha dengan lekat. 

   Tangan Iqbal menyentuh pipi kanan Acha yang terasa sedikit dingin. 

   “Natasha,” panggil Iqbal. 

   Acha kembali gugup karena tatapan Iqbal yang tersorot begitu dalam. 

   “I… Iya Iqbal?”

   Iqbal perlahan mendekatkan tubuhnya, sedikit demi sedikit menipis jarak mereka. Acha yang semakin gugup dan panik cepat-cepat menutup kedua matanya saat itu juga. 

   Hingga akhirnya Acha bisa merasakan sebuah bisikan hangat di telinganya. 

   “Udah lima belas menit. Ayo pulang.” 

   Kedua mata Acha langsung terbuka sempurna. Acha mendorong tubuh Iqbal dengan kasar, mendadak kesal. 

   “IQBAAAALLLL!!!!” 

*****

#CuapCuapAuthor 

ALHAMDULILLAH AKHIRNYA BISA UPDATE OUR MARIPOSA LAGI ^^

BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART EMPAT PULUH DELAPAN? 

SEMOGA SUKA YA ^^

Sampai jumpa di OUR MARIPOSA part empat puluh sembilan ^^ 

Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu. 

Makasih banyak teman-teman Pasukan semua. Sayang kalian semua dan selalu jaga kesehatan ya ^^

Salam, 


Luluk HF 


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Our Mariposa
Selanjutnya OUR MARIPOSA - 49 (ISAKAN TUAN PUTRI)
71
4
   “Iqbal,” panggil Acha lirih.    “Iya?”    “Maaf Acha buat Iqbal khawatir,” lanjut Acha merasa bersalah.    Iqbal menggeleng pelan.    “Nggak apa-apa. Sekarang mau cerita?” ***** 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan