OUR MARIPOSA - 45 (TERJEBAK)

84
2
Deskripsi

“Iqbal pintunya nggak bisa dibuka!” seru Acha panik.

“Pintunya rusak.”

“Rusak? Terus tadi kok Iqbal bisa masuk?”

“Hanya bisa dibuka dari depan.”

Acha kembali terkejut mendengar jawaban Iqbal.

“Kok Iqbal nggak bilang? Terus kita kejebak di dalam dong?”

“Lo yang asal nutup!” tajam Iqbal.

Nyali Acha seketika menciut, Iqbal terlihat marah kepadanya.

“Iqbal maaf. Acha nggak tahu pintunya rusak.”

Tak ada jawaban dari Iqbal, cowok itu hanya geleng-geleng saja.

“Acha coba buka lagi ya Iqbal. Siapa tau bisa.”

“Nggak...

OUR MARIPOSA PART EMPAT PULUH LIMA

 

MASA SMA 

Acha menatap kotak kue cokelatnya dengan tatapan ragu-ragu. Sejak pagi tadi Acha mempertimbangkan untuk memberikannya ke Iqbal atau tidak, karena kemarin Iqbal sudah melarangnya untuk memberinya kue cokelat. 

“Kasih ke Iqbal nggak ya?” gumam Acha pelan. 

Acha mendecak pelan, berusaha meyakinkan hatinya. 

“Lebih baik Acha kasih aja. Iqbal nanti pasti lapar habis main basket.” 

Acha membuat keputusan bulat. Acha segera memasukan kotak kue cokelatnya ke dalam paper bag, kemudian segera berdiri. 

“Lo nggak pulang?” tanya Amanda terlihat kaget melihat Acha masih ada di kelas. Padahal jam pulang sudah dari satu jam yang lalu. 

Acha tak kalah kaget melihat Amanda yang balik lagi ke kelas.

“A… Acha mau lihat Iqbal tanding basket. Amanda sendiri kenapa balik ke kelas?” 

Amanda menunjuk ke bangkunya. 

“Headset gue ketinggalan.”

Acha mengangguk-angguk kecil. Ia pun segera mengambilkan headset Amanda yang tertinggal di kolong meja, kemudian berjalan mendekati Amanda dan memberikannya. 

“Ini Amanda.”

“Makasih Cha.” 

Amanda menatap Acha lekat sejenak, pandangan Amanda beralih ke paper bag yang dibawa oleh Acha. Amanda sangat tahu apa isi di dalamnya. 

“Lo mau kasih Iqbal kue cokelat?”

“Iya Amanda.”

“Bukannya kemarin lo bilang, Iqbal marah dan nggak mau lo kasih kue cokelat lagi?” 

“Iqbal memang marah sih ke Acha. Tapi Acha yakin Iqbal nggak berniat marahin Acha. Iqbal pasti lagi capek karena persiapan olimpiade yang menguras energi, makanya Acha pertimbangin Acha harus tetap kasih kue cokelatnya ke Iqbal,” jelas Acha panjang lebar. 

Amanda melongo mendengar jawaban Acha. 

“Wah, lo beneran positif thinking banget, Cha,” takjub Amanda. 

“Harus dong! Demi Iqbal, Acha berusaha selalu berpikir positif karena Acha tau Iqbal orangnya baik dan hangat.”

“Hangat lo bilang? Pohon-pohon di depan kelas ketawa denger ucapan lo, Cha!” ketus Amanda tak habis pikir. 

“Emang pohon bisa ketawa Amanda?” lirih Acha memelas. 

“Maksudnya lo terlalu…..” Amanda menghela napas berat, tak tega melanjutkan kalimatnya. 

Amanda melangkah lebih dekat, tangannya memegang bahu Acha. Tatapan Amanda berubah menghangat, seolah kasihan dengan sahabatnya. 

“Cha, gue nggak pernah ngelarang lo suka siapapun, bahkan Iqbal sekalipun, kan?”

“Iya Amanda.”

“Lo juga tahu, kan, gue nggak mau lo sakit hati dan ngerasa usaha lo bakalan sia-sia.”

“Iya Amanda, Acha tau banget.”

“Jadi, kalau lo ngerasa emang nggak ada harapan lagi buat dapetin hati Iqbal, segera berhenti ya. Gue nggak akan biarin sahabat gue lebih menderita.” 

Acha merasa tersentuh mendengar ucapan Amanda. Acha segera mengangguk sembari tersenyum kecil. 

“Makasih banyak Amanda. Acha yakin usaha Acha nggak akan pernah sia-sia.”

“Gue juga yakin, Cha.”

“Amanda yakin juga Acha bakalan pacaran sama Iqbal?” tanya Acha langsung kembali semangat. 

Amanda menggeleng cepat. Tangannya turun dari bahu Acha dan menunjuk ke kotak kue cokelat yang dibawa Acha. 

“Iqbal bakalan tolak kue cokelat lo lagi!” 

*****

Acha berjalan menuju lapangan basket, lorong sekolah siang ini cukup sepi karena memang sudah jam pulang sekolah. Acha tak bisa berhenti mengembuskan napasnya, entah kenapa ia terlihat gugup sekaligus takut. 

Acha memandang paper bag di tangannya. 

“Bakalan ditolak lagi sama Iqbal nggak, ya?” 

Acha menggeleng cepat, berusaha menghilangkan prasangka buruknya. Acha memaksakan senyumnya. 

“Acha nggak boleh nyerah! Iqbal pasti terima kue cokelat Acha!” 

Acha mempercepat langkahnya. Namun, saat Acha akan memasuki lapangan basket, dari kejauhan Acha melihat Iqbal keluar dari pintu belakang lapangan. 

“Iqbal mau kemana?” bingung Acha. 

Tanpa membuang waktu, Acha segera mengejar Iqbal, mempercepat langkahnya agar tidak kehilangan jejak cowok itu. 

Acha terus mengikuti Iqbal dengan hati-hati. Cowok itu berjalan menuju gedung belakang sekolah. 

“Iqbal sebenarnya mau kemana? Lab olimpiade?” 

Kepala Acha terus dipenuhi pertanyaan dan rasa penasaran. Namun, Acha enggan untuk bertanya atau pun memanggil nama Iqbal. Acha pun terus saja berjalan sedikit jauh di belakan Iqbal agar cowok itu itu tidak curiga. 

Langkah Acha berheti ketika melihat Iqbal masuk ke dalam gudang. 

“Iqbal apa ke gudang sekolah?”

Acha pun segera berlari, merasa ini adalah kesempatan emasnya untuk memberikan kue cokelatnya. Apalagi mereka saat ini hanya berdua. 

Tanpa pikir panjang, Acha ikut masuk gudang dan menghadang Iqbal di tengah pintu. Acha mengatur napasnya yang sedikit ngos-ngosan. Sedangkan Iqbal menatap Acha dengan bingung. 

“Lo ngapain?” tanya Iqbal dingin. 

Acha menghela napas panjang, menenangkan dirinya. 

“Iqbal, Acha minta waktu Iqbal bentar aja. Acha cu…”

“Gue nggak ada waktu.”

“Lima menit aja Iqbal.”

“Minggir.” 

“Nggak mau!” 

Dengan spontan karena takut Iqbal akan kabur, Acha langsung menutup pintu gudang. Melihat yang dilakukan Acha barusan membuat eskpresi Iqbal yang semula tenang berubah sedikit panik. 

“Pintunya…” lirih Iqbal dengan berat hati. 

“Acha cuma tutup pintunya bentar saja Iqbal, nanti Acha buka lagi. Acha cuma mau…”

“Bukan itu…” potong Iqbal cepat. 

“Acha tahu Iqbal pasti sedikit capek ketemu Acha terus. Tapi, hari ini Acha cuma ingin kasih…”

“Cha…”

Acha tak mempedulikan Iqbal yang terlihat mulai frustasi. Dengan cepat, Acha menyodorkan paper bag berisikan kue cokelatnya. 

“Acha cuma mau kasih kue cokelat ini ke Iqbal. Acha tahu Iqbal udah nolak berkali-kali, tapi Acha nggak tega lihat Iqbal tanding hari ini tanpa makan apapun. Jadi, Iqbal bisa makan kue cokelat yang Acha bawa sebelum tanding basket,” jelas Acha dengan tempo cukup cepat karena tak ingin dipotong lagi oleh Iqbal.  

Iqbal menghela napas berat. 

“Sudah?”

Acha menganggukkan kepalanya seperti anak kecil. 

“Sudah Iqbal. Jadi, Iqbal mau nerima kue cokelat dari Acha?” 

“Hm.” 

Acha bersorak senang saat Iqbal mengambil paper bag darinya. Acha merasa semua usahannya dan pikiran positifnya tidak sia-sia. 

“Makasih Iqbal udah mau nerima kue cokelat dari Acha. Jangan lupa dimakan ya.”

“Iya.” 

“Acha nggak akan ganggu Iqbal lagi hari ini. Iqbal semangat buat tandingnya. Acha pamit ya.”

Acha membalikan badan dan berniat untuk membuka pintu gudang. 

Krek! Krek!

Kedua mata Acha langsung melebar sempurna, pintu di hadapannya sama sekali tidak bisa dibuka. Acha meneguk ludahnya dengan susah payah. 

“Pintunya kenapa nggak bisa dibuka?”

Acha mencoba sekali lagi dan sekali lagi. Namun, tetap saja nggak bisa dibuka. Acha mulai panik. 

“Iqbal pintunya nggak bisa dibuka!” seru Acha masih berusaha untuk membuka pintu tersebut. 

Tak ada jawaban dari Iqbal, Acha pun segera kembali membalikan tubuhnya. Acha sedikit kaget melihat Iqbal yang menatapnya dengan jengah sembari melipat kedua tangannya. 

“I… Iqbal, Acha sudah be… berusaha buka pintunya. Tapi tetap nggak bisa.”

Iqbal menghela napas panjang. 

“Pintunya rusak.” 

“Rusak? Terus tadi kok Iqbal bisa masuk?” 

“Hanya bisa dibuka dari depan.” 

Acha kembali terkejut mendengar jawaban Iqbal. 

“Kok Iqbal nggak bilang? Terus kita kejebak di dalam dong?”  

“Lo yang asal nutup!” tajam Iqbal. 

Nyali Acha seketika menciut, Iqbal terlihat marah kepadanya. 

“Iqbal maaf. Acha nggak tahu pintunya rusak.” 

Tak ada jawaban dari Iqbal, cowok itu hanya geleng-geleng saja. 

“Acha coba buka lagi ya Iqbal. Siapa tau bisa.”

“Nggak akan bisa,” ketus Iqbal. 

“Te… Terus gimana Iqbal?”

Iqbal terdiam sejenak, berusaha berpikir. 

“Lo bawa ponsel?” 

Acha mengangguk, ia segera mengeluarkan ponsel dari saku roknya. Namun saat akan menyodorkan ke Iqbal, Acha segera mengurungkannya. 

“Kenapa?” tanya Iqbal merasa ada yang tak beres dari raut wajah Acha. 

“Acha lupa kalau batrai ponsel Acha habis. Iqbal sendiri nggak bawa ponsel?”

“Nggak,” jawab Iqbal lebih dingin. 

Acha mengigit bibir bawahnya, tidak bisa menyembunyikan rasa takutnya. Ya, Acha sedang mengalami dua ketakutan saat ini, takut karena Iqbal marah kepadanya dan takut karena terjebak di dalam gudang. 

“Iqbal, gimana caranya kita keluar dari sini?”

“Tunggu.” 

“Tunggu ada yang buka dari depan?” perjelas Acha. 

“Iya.”

“Kalau nggak ada yang bukain gimana? Jam pulang sekolah gini pasti jarang yang ke gedung belakang sekolah.” 

“Tunggu sampai besok pagi.”

Kedua mata Acha seketika melebar sempurna, tak menyangka Iqbal akan menjawab seperti itu. Acha kira cowok itu akan punya jalan keluar. 

Acha menghela napas pelan, merasa sangat bersalah. Kepala Acha perlahan menunduk. 

“Iqbal, Acha beneran minta maaf. Acha nggak tahu kalau pintunya rusak,” lirih Acha, nada suaranya sedikit bergetar. 

Tak ada balasan dari Iqbal, cowok itu hanya diam saja, membuat Acha semakin takut. Acha pun memilih diam, tak berani berbicara lagi. Acha terlalu takut jika Iqbal semakin marah kepadanya. 

*****

Lebih dari dua jam Iqbal dan Acha terjebak di gudang dan belum ada tanda-tanda orang yang akan lewat gedung belakang atau menyelamatkan mereka berdua. 

Iqbal dan Acha duduk di lantai gudang yang sedikit kotor. Mereka terlalu lelah jika berdiri terus. Ditambah selama dua jam itu, mereka berdua hanya diam saja. Acha masih tak berani mengajak Iqbal berbicara. 

Ditengah keheningan mereka, perut Acha tiba-tiba berbunyi. Acha langsung memegangi perutnya dan merutuki perutnya sendiri yang tidak tahu situasi. 

“Lo belum makan?”

Acha tersontak kaget mendengar pertanyaan Iqbal. Acha langsung menatap Iqbal memastikan jika benar cowok itu yang bertanya. Dan, memang benar Iqbal sedang menatapnya seolah menunggu jawabannya.

Acha seketika merasa takjub, karena sangat jarang mendengar Iqbal bertanya dulu kepadanya. 

“A… Acha cuma makan roti tadi Iqbal.” 

Iqbal mendecak pelan, ia kemudian menyodorkan paper bag yang diberikan Acha kepadanya. 

“Makan,” suruh Iqbal. 

Acha menggeleng cepat. 

“Kue cokelatnya udah Acha berikan ke Iqbal. Pamali kalau Acha makan kue cokelatnya.”

“Gue malas harus repot kalau lo pingsan,” dingin Iqbal. 

“Acha nggak bakalan pingsan Iqbal. Acha bisa ta…”

Kalimat Acha kembali terhenti saat perutnya kembali berbunyi bahkan lebih keras. Acha pun hanya bisa tertunduk malu. 

“Buruan makan,” suruh Iqbal. Kali ini nada suaranya sedikit memaksa. 

Acha pun mengangguk lemah, tak berani menolak lagi. Dan kalau boleh jujur, Acha memang sangat lapar saat ini. 

“Makasih Iqbal. Acha makan satu potong saja, ya.”

“Terserah.” 

Acha pun segera mengeluarkan kotak dari dalam paper bag dan membuka kue cokelat tersebut. Acha kemudian mengambil satu potong kue cokelat dan memakannya. 

Acha makan sembari sesekali mencuri pandang ke Iqbal. Cowok itu hanya diam dengan pandangan menatap ke bawah seolah tak mempedulikan Acha yang sedang makan. 

Acha merasa bertambah bersalah. 

“Iqbal,” panggil Acha memberanikan diri.

“Hm?” balas Iqbal singkat tanpa menatap Acha sedikit pun. 

“Iqbal masih marah ke Acha?” 

Iqbal tak langsung menjawab, perlahan pandangan Iqbal terangkat dan kali ini menatap Acha balik. 

“Menurut lo?”

“Marah banget. Maafin Acha, Iqbal.”

Iqbal menghela napas pelan.  

“Berhenti minta maaf.”

Acha seketika teringat sesuatu saat melihat baju basket yang dikenakan oleh cowok itu. Acha melirik ke jam tangannya, menunjukkan pukul lima sore, menandakan pertandingan basket telah selesai sejak satu jam yang lalu. 

“Pertandingan basket Iqbal gimana? Iqbal nggak bisa ikut, ya?”

“Nggak bisa.”

“Iqbal bakalan dimarahin nggak?” tanya Acha lagi sangat khawatir. 

“Tergantung.”

“Tergantung maksudnya?” 

“Tergantung menang atau nggak.”

“Tenang saja Iqbal, kalau Iqbal dimarahin sama tim Iqbal, Acha yang akan bela Iqbal. Acha akan tanggung jawab dan biar Iqbal nggak dimarahin dan biar Acha aja yang dimarahin teman-teman tim Iqbal,” seru Acha sungguh-sungguh. 

Iqbal tertegun mendengar pernyataan Acha. 

“Mereka pasti menang.” 

“Iqbal tau darimana?” 

“Tau aja.”

“Be… Berarti Iqbal nggak akan dimarahin, kan?”

“Nggak.”

Acha tersenyum lega, setidaknya rasa bersalahnya tidak bertambah. 

“Syukurlah. Acha senang dengernya.” 

Keheningan kembali terjadi. Acha tak bisa melepaskan pandangannya dari Iqbal. Setiap detiknya, Acha merasa Iqbal terlihat begitu menawan. Acha tidak bisa untuk tidak tertarik dengan pesona cowok itu. 

Kadang sedikit ada rasa, Acha bersyukur bisa terjebak berdua dengan Iqbal seperti ini. Ya, hanya sedikit saja! Karena sisanya Acha masih sangat takut dan ingin pulang. 

****

Hari mulai gelap, Acha dan Iqbal masih tidak bisa keluar dari gudang. Acha bertambah panik dan terus berdoa akan ada yang menyelamatkannya dan Iqbal. 

Acha menggosok-gosok kedua lengannya, tubuhnya terasa kedinginan. Acha melihat ke arah AC, terlihat jelas AC tersebut sepertinya rusak dan tidak bisa dikontrol suhunya. 

“Wah, SMA kita memang elite banget. Gudang aja ada AC-nya,” lirih Acha sarkas. 

Iqbal memandang Acha, gadis itu sibuk menggosok-gosok lengan dan telapak tangannya, terlihat semakin kedinginan. 

“Dingin banget!” pekik Acha pelan namun cukup terdengar telinga Iqbal. 

Iqbal menghela napas pelan, sedikit enggan untuk melepaskan jaket yang dikenakannya. Namun, melihat bibir Acha yang berubah pucat, membuat Iqbal tidak tega. 

Detik berikutnya, Iqbal pun melepaskan jaketnya. Tanpa ada sikap hangat, Iqbal langsung melempar jaketnya hingga menutup wajah Acha. 

“Pakai,” suruh Iqbal. 

Acha dibuat kaget untuk kesekian kalinya. Acha menurunkan jaket Iqbal dari wajahnya. 

“Jaketnya buat Acha?” tanya Acha malu-malu. 

“Buat lo pakai,” perjelas Iqbal. 

“Terus Iqbal gimana? Iqbal nggak kedinginan?”

“Nggak.”

“Atau kalau Iqbal mau, kita pakai berdua jake…”

“Nggak mau,” tolak Iqbal cepat tanpa memberikan celah untuk Acha. 

Acha mendesis kesal, cowok seperti Iqbal memang sangat susah untuk ditaklukan. Acha pun tak berani menawari lagi. 

“Acha pakai jaketnya Iqbal.”

Iqbal hanya membalas dengan dehaman singkat, pandanganya beralih ke sudut lain. Sedangkan Acha masih saja menatap Iqbal dengan senyum yang tak bisa digambarkan lagi. Acha merasa senang melihat Iqbal perhatian kepadanya meskipun masih dengan sikap dinginnya yang mendominasi. 

*****

Lebih dari enam jam keduanya terjebak. Jam tangan Acha menunjukkan pukul hampir delapan malam. Acha mengamati Iqbal yang terlihat mulai kedinginan, Acha bisa melihat kedua jemari cowok itu tak berhenti meremas-remas untuk menahan rasa dingin. 

Acha pun memberanikan diri mendekati Iqbal, dan duduk di depan Iqbal. 

“Iqbal,” panggil Acha hati-hati. 

Iqbal mengangkat kepalanya perlahan. Acha seketika terkejut melihat bibir Iqbal yang sedikit pucat dan tatapan yang sayu. 

“Iqbal kedinginan banget ya?” panik Acha. 

Acha segera melepaskan jaket Iqbal yang dipakainya dan tanpa menunggu jawaban dari Iqbal, Acha langsung memakaikan jaket tersebut ke tubuh Iqbal. 

“Nggak usah,” tolak Iqbal lemah sembari menjatuhkan jaket tersebut. 

Namun Acha tidak mempedulikan ucapan Iqbal. Acha kembali memakaikan jaket tersebut ke tubuh Iqbal. 

“Iqbal, Acha sudah nggak kedinginan. Jaketnya biar Iqbal pakai dulu. Kita bisa gantian. Kalau Acha yang kedinginan, nanti Acha yang pakai,” ucap Acha memberikan idenya kepada Iqbal. 

Iqbal terdiam sejenak, mempertimbangkan ide Acha. 

“Hm.”

Acha tersenyum senang mendengar Iqbal setuju dengan idenya. Pandangan Acha turun ke jemari Iqbal yang masih meremas-remas menahan dingin. 

“Tangan Iqbal dingin banget, ya?” 

“Iya.” 

Acha berpikir keras, ingin membantu Iqbal. Acha menyentuh kedua telapak tangannya sendiri, merasakan tangannya cukup hangat. 

“Tangan Acha hangat Iqbal,” ucap Acha memberitahu. 

“Hah?” bingung Iqbal. 

Acha mempertimbangkan sejenak, untuk mengutarakannya atau tidak. 

“Acha boleh genggam tangan Iqbal?” 

*****

#CuapCuapAuthor 

BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART EMPAT PULUH LIMA?

SEMOGA SUKA YA ^^

Teman-teman bisa langsung baca OUR MARIPOSA part empat puluh enam ya. Sudah aku update sekaligus ^^

Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu.

Makasih banyak teman-teman Pasukan semua. Sayang kalian semua dan selalu jaga kesehatan ya ^^

Salam, 

Luluk HF

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Our Mariposa
Selanjutnya OUR MARIPOSA - 46 (RASA SAKIT DAN KEHENINGAN)
46
10
“Cha, kalau gue tetap nggak suka sama lo gimana?”“Nggak sukanya sampai kapan?” tanya Acha.“Nggak akan pernah suka.”“Selamanya Iqbal nggak akan pernah balas perasaan Acha?”“Iya.”Acha berusaha melawan rasa sesak yang mulai menyera“Acha akan tetap berusaha sebisa Acha untuk buat Iqbal suka sama Acha. Tapi, kalau Acha udah mulai lelah, Acha akan sadar diri dan mundur pelan-pelan.”“Gue akan tunggu.”“Iqbal bakalan tunggu sampai Iqbal suka sama Acha?”“Bukan.”“Terus apa Iqbal?”*****MARIPOSA PART  46 berbayar Rp. 5000 ya teman-teman. Cara bayarnya teman-teman langsung saja klik kotak biru yang ada harganya. Kemudian, pilih metode pembayaran yang teman-teman inginkan. Bisa bayar pakai Pulsa, Shopeepay, Dana, Gopay, Transfer Bank, OVO dan lainnya. Atau teman-teman bisa isi Koin terlebih dahulu dan langsung bisa baca.Selamat membaca dan semoga suka ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan