
“Iqbal suka Acha karena Acha pintar?”
“Salah satu dari alasan lainnya.”
“Alasan lainnya apa?”
“Menurut lo apa?” tanya Iqbal balik.
“Karena Acha cantik.”
“Bukan alasan utama.”
“Alasan utamanya apa Iqbal? Buruan kasih tau!”
*****
OUR MARIPOSA PART EMPAT PULUH DUA
MASA KINI
“Lo ngapain di sini?”
Bukannya menjawab, cowok di hadapan Iqbal malah memberikan senyuman lebar dengan tak berdosanya.
“Gue boleh masuk, nggak?” pintanya memohon.
“Nggak,” tolak Iqbal cepat.
“Bal, kasihani gue,” rengeknya.
Iqbal menghela napas pelan, masih bingung dengan yang dilakukan sahabatnya ini. Berdiri tengah malam di depan Apartmennya? Sungguh gila! Ya, sipa lagi jika bukan Glen.
“Lo diusir sama bunda lo?” tebak Iqbal.
Glen mengangguk dengan wajah memelas.
“Diceramahi habis-habisan,” jawab Glen.
“Gara-gara?”
“Menurut lo gara-gara apa? Apa yang bisa buat Bunda gue sampai ceramahi gue habis-habisan kalau bukan karena Meng!”
Iqbal merasakan kepalanya memberat dalam hitungan detik. Kenapa dia harus jadi ikut bingung karena kucing orang!
“Lo apain lagi si Meng?”
Glen memberikan cengirannya lagi, kali ini lebih lebar.
“Gue niatnya cuma main bareng di dekat kolam ikan Papa gue, malah gue nggak sengaja ceburin Meng di sana,” cerita Glen.
“Sinting!”
“Gue memang sinting, aneh dan kadang nggak waras. Jadi, tolong gue. Kasih gue nginep malam ini saja di rumah lo. Boleh, kan?”
Iqbal menggeleng cepat.
“Nggak!”
“Bal! Kasihani gue.”
“Lo punya apartmen banyak. Hotel banyak juga.”
“Gue males tidur sendiri,” rengek Glen menjadi.
“Gue masih normal.”
“Gue juga normal! Maksud gue seengaknya gue ada temannya. Gue lagi bersedih!”
“Pergi ke rumah Rian!”
“Rian sibuk, nggak bisa gue telfon dari tadi! Lo beneran nggak kasihan sama gue?”
“Sama sekali enggak!”
Glen menghela napas panjang, mencari cara di otak minimalisnya agar mendapatkan izin Iqbal.
“Ya udah kalau lo nggak izinin,” lirih Glen berpura-pura ngambek.
“Ya udah.”
Glen menatap Iqbal dengan sorot licik.
“Gue bakalan ke rumah Acha dan minta tolong dia.”
Iqbal langsung mendesis kasar. Tanpa menunggu hitungan detik, Iqbal langsung membuka pintu rumahnya lebar-lebar.
“Buruan masuk!” tajam Iqbal.
Glen langsung melebarkan senyumnya. Dia sudah yakin cara ini pasti berhasil.
“Beneran gue boleh masuk?” tanya Glen memastikan.
“Sebelum gue berubah pikiran!” ancam Iqbal.
Tanpa membuang kesempatan emas tersebut, Glen langsung masuk ke dalam Apartmen Iqbal dengan tak tahu dirinya. Sedangkan Iqbal hanya bisa pasrah saja ketenangannya malam ini akan sedikit terganggu.
“Bal, pesenin Pizza dan Ayam goreng. Gue mau mandi dulu,” seru Glen dengan semakin tak berdosanya langsung nyelonong masuk ke kamar Iqbal untuk mandi.
Iqbal geleng-geleng, menahan diri untuk tidak mengeluarkan umpatannya. Iqbal lagi-lagi hanya bisa menghela napas lebih panjang.
“Apa gue aja yang nginep di rumah Acha?”
****
Jam dinding Apartmen Iqbal menunjukkan pukul setengah dua malam, namun dua cowok penghuni Apartmen ini masih sibuk menghabiskan pizza dan ayam goreng di atas meja. Iqbal yang awalnya ingin langsung istirahat, memilih ikut makan.
“Lo mau nambah ayam lagi nggak?” tawar Glen melihat ayam goreng tinggal dua saja.
Iqbal menggeleng.
“Nggak,” jawab Iqbal singkat, perutnya hampir penuh setelah menghabiskan tiga potong pizza dan empat potong ayam.
“Dua ayamnya gue habisin kalau begitu,” ucap Glen dan langsung merebut sisa dua ayam di hadapannya.
Iqbal mengangguk dan membiarkannya. Setelah itu, Iqbal segera berdiri untuk mencuci tangan. Ia menyudahi makannya, meninggalkan Glen yang masih asyik menghabiskan semua makanan tersebut.
*****
Setelah makan sampai kenyang, baik Glen dan Iqbal tidak langsung tidur. Mereka berdua rebahan di sofa ruang tengah sembari menonton film animasi.
“Lo nggak tidur?” tanya Glen menoleh ke Iqbal.
“Belum ngantuk,” jawab Iqbal tanpa menoleh sedikit pun.
“Nggak ada kuliah besok?”
“Ada, siang.”
“Oke semangat kuliahnya.”
Iqbal akhirnya menoleh, menatap Glen yang sudah terlebih dulu menghadap ke depan lagi.
“Lo sampai kapan mau di Apartmen gue?”
Glen berdeham pelan.
“Mungkin tiga sampai empat hari. Tergantung mood gue.”
Iqbal tak segan langsung menendang kaki Glen.
“Ini apartmen gue!”
“Gue tahu. Makanya gue kasih tahu dari awal kalau gue numpang tiga hari di sini.”
Iqbal menghela napas panjang, tak menyangka malam ini akan berurusan dengan orang gila seperti Glen.
“Besok lo harus pulang,” suruh Iqbal sungguh-sungguh.
“Gue masih malas denger ceramahan Bunda, Bal.”
“Lo harusnya bersyukur masih bisa denger.”
Hening! Baik Glen dan Iqbal langsung terdiam lama. Kalimat yang dilontarkan Iqbal terasa begitu gelap. Glen yang biasanya meracau seperti orang gila dan pintar membalas perkataan orang dengan menyebalkan seketika tidak bisa membalas apapun.
Iqbal sendiri baru saja menyadari perkataannya yang harusnya tidak dilontarkannya. Detik berikutnya, Iqbal berdiri dari duduknya.
“Gue ke kamar dulu, ngantuk,” ucap Iqbal tiba-tiba.
“Kata lo tadi nggak ngantuk?” protes Glen, berusaha terlihat biasa saja.
Iqbal menunjuk Glen dengan wajah serius.
“Besok lo pulang dan minta maaf ke bunda lo!”
Glen menghela napas panjang, tidak berani melawan kali ini.
“Iya! Iya! Besok gue pulang!”
“Jangan tidur malam-malam,” peringat Iqbal dan langsung berjalan menuju kamarnya.
Glen terkejut mendengar ucapan Iqbal. Nyatanya, saat ini sudah pukul dua dini hari.
“Sekarang sudah mau subuh Bal! Bukan malam lagi!” teriak Glen.
Iqbal tak menggubris dan tetap berjalan ke kamarnya. Iqbal segera menutup rapat kamarnya, tak membiarkan Glen mengganggunya lagi. Sedangkan Glen masih menatap kepergian Iqbal. Glen melihat pintu kamar Iqbal dengan perasaan mendadak hampa.
“Hari yang berat dan gelap!”
*****
Pagi datang begitu cepat, Iqbal keluar dari kamarnya dan mendapati meja makannya sudah penuh dengan makanan. Iqbal berjalan mendekat, ia melihat ada satu catatan di atas piring. Iqbal membaca catatan tersebut.
Gue udah minta maaf ke Bunda.
Bunda masakin buat lo. Habisin.
Iqbal tersenyum kecil, tak menyangka peringatannya kemarin dituruti oleh Glen. Iqbal segera duduk dan menyantap sarapannya. Setidaknya pagi ini dia tidak perlu bingung harus makan apa.
Ting!
Bel pintu Apartmen Iqbal berbunyi nyaring, Iqbal mendesis pelan, tidak malam, tidak pagi, selalu saja ada yang mengganggu ketenangannya.
“Siapa lagi!”
Mau tak mau Iqbal harus berdiri, menunda sarapannya. Iqbal membuka pintu Apartmennya dengan sedikit malas.
“Pagi pacar Acha!”
Iqbal terkejut melihat Acha ada di depan Apartmennya dengan wajah yang ceria. Rasa kesal Iqbal seketika sirna begitu saja, berganti dengan senyuman hangat.
“Pagi,” balas Iqbal.
“Iqbal kok kayaknya nggak suka Acha datang?”
Iqbal menggeleng cepat.
“Suka.”
“Iqbal sudah makan belum? Acha bawakan nasi goreng buat Iqbal.”
“Baru aja makan.”
“Iqbal makan apa? Tumben jam segini sudah sarapan?” heran Acha.
“Masuk dulu,” suruh Iqbal.
Acha mengangguk dan segera masuk ke dalam Apartmen Iqbal. Acha terkejut melihat meja makan Iqbal penuh dengan makanan.
“Iqbal beli sebanyak ini?” tanya Acha.
“Dikasih Bunda Glen,” jawab Iqbal seadanya.
“Wah, kelihatan enak banget.”
“Ayo makan bareng,” ajak Iqbal.
Acha mengangguk kedua kalinya. Dia memang sengaja tidak sarapan di rumah agar bisa makan bersama dengan Iqbal. Keduanya pun segera menyantap makanan-makanan di meja.
****
“Glen semalam tidur di sini?” tanya Acha sekali lagi setelah mendengar cerita Iqbal.
“Iya.”
“Terus sekarang Glen di mana?”
“Pulang.”
“Glen sering nginep di sini?”
“Berhenti tanya dan selesaiin rangkuman lo,” peringat Iqbal.
Acha mendecak pelan, dan terpaksa fokus ke laptopnya. Setelah sarapan, Iqbal langsung menyuruh Acha mengulas materi kemarin. Padahal Acha ingin istirahat sebentar, tapi Iqbal tidak mengizinkannya.
“Iqbal, Acha nggak ngerti yang ini,” rengek Acha.
Iqbal melihat bagian yang ditunjuk Acha, kemudian segera menuliskan note penjelasan di bawah kalimat tersebut dengan sabar. Acha terkagum ketika melihat Iqbal yang mengetik cukup cepat dan lancar.
“Iqbal kenapa pinter banget sih!” protes Acha merasa semakin minder.
“Lo juga pinter, Cha,” puji Iqbal balik.
“Dulu! Sekarang nggak!”
“Masih.”
“Acha ngerasa daya ingat Acha nggak sekuat dulu. Acha juga kesusahan buat hapalin materi.”
“Lo aja yang terlalu malas.”
“Acha nggak malas Iqbal. Acha udah berusaha tetap saja susah!”
“Nggak ada yang susah. Harus dicoba dulu. Oke?”
Acha mengangguk lemah, jika bukan karena Iqbal yang terus mendukungnya dan membantunya mungkin Acha bakalan menyerah kuliah di Kedokteran.
“Iqbal harus selalu bantu Acha, jangan tinggalin Acha sendiri.”
“Iya, nggak akan.”
Acha menoleh ke Iqbal, menatap cowok itu dengan tajam.
“Iqbal semisal ini, ya….” Acha menggantungkan ucapannya sejenak.
“Apa?”
“Di semester enam atau tujuh ternyata Acha harus ngulang, kira-kira Iqbal bakalan tinggalin Acha wisuda dulu nggk?”
“Lo nggak akan ngulang.”
“Kan semisal Iqbal!”
“Gue akan tunggu lo.”
“Meskipun Iqbal bakalan telat lulus?”
Iqbal terdiam sejenak, tidak langsung menjawab. Detik berikutnya Iqbal mencubit pelan pipi Acha dengan gemas.
“Kita akan lulus tepat waktu, Cha,” ucap Iqbal sungguh-sungguh.
Acha tertegun sesaat.
“Iqbal seyakin itu?”
“Iya.”
“Kenapa Iqbal bisa seyakin itu?”
Iqbal tersenyum penuh arti.
“Cha, lo itu pinter. Bukan, pinter banget.”
“Dulu Iqbal!”
“Sekarang masih.”
“Tapi….”
“Pelan-pelan Natasha. Lo lebih dari bisa.”
“Beneran Acha bisa?”
“Lo juara satu olimpiade Kimia nasional, Cha,” ucap Iqbal mengingatkan.
Acha tertegun untuk kesekian kalinya. Entah kenapa Acha merasa takjub sendiri dengan pencapaiannya saat masih SMA dulu. Ahca kadang tak menyangka dia sepintar itu.
“Iqbal suka Acha karena Acha pintar?” tanya Acha.
“Salah satu dari alasan lainnya.”
“Alasan lainnya apa?” goda Acha.
Iqbal terkekeh pelan, merasa gemas dengan pertanyaan Acha yang sudah berkali-kali ditanyakan oleh gadis itu sejak dulu.
“Menurut lo apa?” tanya Iqbal balik.
“Karena Acha cantik,” tebak Acha penuh percaya diri.
“Bukan alasan utama.”
Acha mengerutkan kening, seketika penasaran. Nyatanya, Acha belum pernah tau alasan utama Iqbal menyukainya. Apa Acha yang lupa?
Acha langsung duduk lebih mendekat ke Iqbal.
“Alasan utamanya apa Iqbal? Buruan kasih tau,” paksa Acha tak sabar.
“Beneran lo nggak tau?”
Acha menggeleng cepat.
“Nggak tahu! Mungkin Acha lupa. Cepat kasih tahu Iqbal!”
Bukannya langsung memberitahu, Iqbal malah berdiri dari duduknya, menjauhi Acha.
“Iqbal mau kemana? Kasih tahu Acha dulu!!” rengek Acha.
Iqbal membalikan badanya, menghadap Acha kembali. Iqbal memberikan senyuman penuh arti.
“Gue akan kasih tau dengan satu syarat.”
Acha menghela napas berat, sudah dapat menebak Iqbal pasti tidak akan semudah itu memberitahunya. Sorot mata Acha menatap dengan lemas.
“Apa syaratnya Iqbal?”
*****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART EMPAT PULUH DUA?
SEMOGA SUKA YA ^^
PENASARAN NGGAK BACA OUR MARIPOSA PART 43?
Sampai jumpa di OUR MARIPOSA part empat puluh tiga ^^
Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu.
Makasih banyak teman-teman Pasukan semua. Sayang kalian semua dan selalu jaga kesehatan ya ^^
Salam,
Luluk HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
