
“Kak.”
“Apa?”
“Gue beneran boleh cerita tentang apapun?”
“Iya.”
“Lo mau dengerin?”
“Pasti.”
“Kalau gue mau cerita sekarang boleh?”
*****
OUR MARIPOSA PART TIGA PULUH DELAPAN
MASA KINI
“Iqbal sudah kabari keluarga di rumah?”
Iqbal menggeleng kecil.
“Belum.”
Acha menghela napas pelan, sudah menduga.
“Acha kabari Kak Ify ya. Siapa tau Kak Ify cari Iqbal dan kha…”
“Nggak usah, Cha,” potong Iqbal.
Acha mengerutkan kening.
“Kenapa nggak usah?” protes Acha.
“Gue nggak mau buat Kak Ify khawatir. Kondisi gue juga sudah cu…”
“Kak Ify akan jauh lebih khawatir kalau Iqbal nggak kasih kabar!” potong Acha dengan tegas.
“Cha…”
“Nggak usah bantah Acha! Pokoknya Acha tetap akan kabari Kak Ify!”
Iqbal pun hanya bisa menghela pasrah, raut wajah serius Acha membuat nyali Iqbal langsung mundur. Iqbal memilih mengalah saja, dari pada berakhir bertengkar dengan Acha.
“Iya.”
*****
Acha membantu Iqbal untuk makan, Ia menyuapi Iqbal dengan sepenuh hati. Awalnya Iqbal menolak, merasa malu dan masih bisa untuk makan sendiri. Namun, Acha terus memaksa untuk menyuapinya, mau tak mau Iqbal pun menurut saja untuk kedua kalinya.
“Tadi kenapa nggak kuliah dulu aja?” tanya Iqbal membuka topik baru.
“Takut nggak bisa fokus,” jawab Acha seadanya.
“Kenapa?”
Acha langsung memberikan pelototan mata yang cukup lebar, membuat Iqbal secepatnya menutup rapat mulutnya, menyadari kesalahan dari pertanyaannya.
“Iqbal masih tanya kenapa?” sindir Acha.
Iqbal tak menjawab apapun, hanya bisa tersenyum canggung.
“Tentu aja Acha bakalan kepikiran terus keadaan Iqbal. Acha panik dan khawatir banget sama Iqbal. Makanya Acha langsung ke rumah sakit!” perjelas Acha.
“Maaf udah buat khawatir.”
“Besok-besok kalau udah ngerasa lelah, nggak usah dipaksain. Mengerti?” peringat Acha entah sudah keberapa kalinya.
Iqbal pun mengangguk saja, telinganya sudah merasa panas karena omelan sang pacar.
“Iya, Cha.”
Acha menghela napas panjang, jujur perasaan khawatir dan tidak teganya lebih besar dibanding rasa kesalnya saat ini. Acha hanya kesal karena Iqbal selalu meremehkan kondisinya sendiri, seperti saat ini.
Kepala Acha menunduk perlahan, tangannya mengaduk-aduk nasi di piring dengan tatapan hampa. Entah mengapa, emosional Acha kembali meninggi apalagi menatap wajah pucat Iqbal.
“Acha,” panggil Iqbal, menyadari Acha yang kembali sedih.
“Jangan panggil Acha dulu,” balas Acha singkat.
“Kenapa?”
“Acha masih coba nenangin diri Acha.”
Iqbal tersenyum kecil, perlahan tangannya meraih jemari Acha dan mengenggamnya erat.
“Gue beneran udah nggak apa-apa, Cha.”
“Kalau udah nggak apa-apa kenapa Iqbal masih pucat?” lirih Acha masih tak berani mengangkat kepalanya.
Iqbal menegakkan tubuhnya, kemudian meletakkan piring yang masih dipegang Acha ke meja kecil di sampingnya. Setelah itu, Iqbal menarik tubuh Acha dan memeluknya hangat.
Iqbal menepuk-nepuk pelan punggung Acha, menenangkan gadisnya.
“Maaf Natasha.”
****
Setelah cukup tenang, Acha kembali melanjutkan untuk menyuapi Iqbal. Untung saja Iqbal mau menghabiskan makanannya. Dan, Acha lega melihatnya.
“Iqbal mau makan apa lagi? Biar Acha belikan.”
“Nggak usah, Cha.”
“Beneran?”
“Iya. Tadi gue udah nitip Rian dan Glen.”
“Mereka mau datang kesini?”
“Mungkin nanti malam.”
Acha terdiam sejenak, terlihat ragu-ragu.
“Iqbal,” panggil Acha hati-hati.
“Iya?”
“Acha boleh jaga Iqbal sampai nanti malam? Acha nggak apa-apa nginap di sini. Tidur di sofa juga Acha nggak apa-apa yang penting Acha bisa jaga Iqbal.”
“Nggak boleh,” tolak Iqbal cepat.
Raut wajah Acha seketika berubah sedih.
“Kenapa nggak boleh?” lirih Acha tak terima.
“Gue nggak mau lihat lo tidur di sofa.”
“Acha pernah tidur di sofa Iqbal. Acha nggak ap…”
“Besok juga lo harus kuliah, Cha.”
“Acha bisa bolos lagi. Acha ak…”
“Nggak, Cha.”
Acha langsung terdiam, Iqbal berulang kali terus menolak keinginannya. Acha memberikan tatapan memelas, berharap Iqbal akan berubah pikiran.
“Iqbal nggak mau dijaga sama Acha?”
“Bukan nggak mau.”
“Terus?”
“Kondisi gue pasti udah jauh membaik. Lusa pasti sudah boleh pulang,” jawab Iqbal panjang lebar dengan suara lemahnya.
“Terus yang jagain Iqbal siapa?”
“Ada Rian dan Glen.”
Acha mengerutkan kening, semakin tak terima.
“Kenapa Rian dan Glen boleh tapi Acha nggak boleh jagain Iqbal di sini?” protes Acha.
Iqbal tersenyum penuh arti.
“Gue rela lihat mereka tidur di sofa,” jawab Iqbal dengan santainya.
Acha melongo mendengar jawaban Iqbal yang terlalu jujur. Acha pun hanya bisa menghela napas panjang, melihat Iqbal yang tetap kekuh menolaknya, membuat Acha menyerah.
“Acha beneran nggak boleh nemenin Iqbal malam ini?” tanya Acha untuk terakhir kalinya.
Iqbal kembali tersenyum, kali ini sebuah senyum yang hangat. Tangan Iqbal pun mengenggam jemari Acha.
“Besok setelah kuliah, ya,” jawab Iqbal dengan lembut.
Acha mengangguk pasrah, tak bisa protes lagi. Acha tidak tega untuk berdebat lagi dengan Iqbal. Acha tidak mau membuat Iqbal semakin sakit.
“Iya Iqbal. Besok sepulang kuliah Acha langsung datang ke sini.”
“Makasih sayang.”
****
Pintu kamar rawat Iqbal terbuka lebar, sosok gadis tinggi dan cantik berdiri diambang pintu dengan tatapan tak ramah ke arah Iqbal.
“Gue kira lo nggak bisa sakit?” tanya gadis itu dengan sarkas.
Iqbal mendecak sinis melihat kehadiran gadis tersebut yang tak lain adalah kakak kandungnya sendiri. Ify.
“Terima kasih atas perhatiannya kakak,” sarkas Iqbal balik.
Ify menghela napas panjang sembari geleng-geleng. Kemudian, masuk ke dalam setelah menutup kembali pintu.
“Lihat lo mampu balas ucapan gue, sepertinya lo nggak apa-apa,” ucap Ify masih dengan kalimat tajamnya.
“Gue emang baik-baik aja.”
“Saking baiknya sampai pingsan dan diopname?” sindir Ify lagi.
“Berhenti sudutin gue, Kak,” mohon Iqbal.
Ify tersenyum sinis, tangannya langsung terlipat di depan dadanya.
“Bisa nggak lo sekali aja perhatian dengan tubuh lo sendiri. Gue tau lo seambis itu dengan perkuliahan lo, tapi ada batasnya Bal.”
“Kak gue udah kenyang omelan Acha.”
“Biar lo makin kenyang!!” kesal Ify.
Iqbal menatap sang kakak lekat. Jujur, Iqbal tau dibalik kekesalan kakaknya saat ini pasti tersembunyi kekhawatiran yang sangat besar kepadanya. Namun, sulit untuk sang kakak ungkapkan.
Iqbal tersenyum kecil, berusaha untuk meredahkan emosi kakaknya.
“Kak, gue lagi sakit,” rajuk Iqbal.
“Terus kenapa kalau lo sakit? Gue nggak boleh ngomel?”
“Nggak boleh.”
“Nggak usah manja! Kemarin-kemarin sok-sokan nggak lelah dan sok kuat. Sekarang mau sok nggak kuat?”
“Kak gue beneran kesakitan.”
“Rasain! Biar tau kalau kesehatan itu penting!”
Iqbal menghela napas panjang, kupingnya yang baru beberapa menit mendingin harus kembali panas karena serangan tajam dari Ify.
“Maaf Kak, gue salah,” lirih Iqbal langsung mengakui.
Ify menghela napas panjang, mencoba menurunkan emosinya. Mendengar Iqbal mengakui kesalahannya dan meminta maaf membuatnya sangat tidak tega.
“Dokter bilang apa?” Nada suara Ify perlahan memelan.
“Kelelahan.”
“Sudah minum obat?”
“Sudah, Kak.”
“Kondisi sekarang?”
“Jauh lebih baik. Buktinya gue bisa debat sama lo.”
“Nggak lucu, Bal.”
“Gue nggak lagi ngelucu Kak.”
Ify kembali terdiam, memperhatikan sang adik lebih lekat. Ify dapat melihat jelas wajah pucat Iqbal yang jarang dia temui. Dan, Ify sangat tau, Iqbal kalau sudah sakit pasti kondisinya cukup buruk, seperti sekarang.
Memang benar, setelah mendapat kabar dari Acha, Ify langsung membatalkan semua meeting dan pekerjaanya. Ia langsung berangkat ke rumah sakit. Iqbal adalah prioritas utamannya bahkan lebih utama dari pada dirinya sendiri.
“Kak jangan ngelihat kayak gitu,” mohon Iqbal saat melihat tatapan Iqbal yang berubah sendu.
“Emang tatapan gue gimana?” tanya Ify belagak kembali garang.
“Kayak…..” Iqbal sengaja menggantungkan ucapannya.
“Kayak apa?” tantang Ify tak terima.
“Kayak mau nangis?” goda Iqbal.
“Ngaco! Ngapain gue nangisin orang yang nggak bisa jaga diri sendiri kayak lo!”
Iqbal terkekeh mendengar jawaban Ify, puas akhirnya bisa melihat kakaknya kesal kembali. Iqbal tidak mau melihat Ify menatapnya seperti itu, membuatnya semakin merasa bersalah.
“Gue baik-baik aja, Kak,” ucap Iqbal berusaha meyakinkan kakaknya.
Ify hanya membalas dengan dehaman singkat, bisa melihat Iqbal tersenyum seperti sekarang sudah cukup. Ify menarik kursi di belakangnya dan akhirnya duduk setelah memastikan adiknya memang baik-baik saja.
Iqbal terkekeh untuk kedua kalinya. Ya, dia dan kakaknya memang cukup sulit untuk mengungkapkan perasaan masing-masing atau menunjukan perhatian langsung. Namun, Iqbal sangat tau arti dari sikap Ify saat ini.
Bukankah di kehidupan nyata pun seperti ini? Cukup sulit untuk menunjukan perhatian atau kasih sayang kepada kakak atau adik sendiri?
****
Untuk beberapa saat terjadi keheningan antara Ify dan Iqbal. Ify memainkan ponselnya sedangkan Iqbal melihat ke kanan dan kiri dengan canggung.
“Acha mana? Udah pulang?” tanya Ify memecah keheningan di antara mereka.
“Keluar beli minum,” jawab Iqbal.
Ify mengangguk-angguk kecil.
“Butuh sesuatu nggak? Mau gue bawain?”
“Emang lo mau kemana?”
Ify melihat jam tangannya sejenak.
“Gue harus balik kantor sebentar, setelah itu gue balik kesini.”
“Nggak usah, Kak.”
“Apanya yang nggak usah?”
“Nggak usah balik kesini. Lo juga pasti capek.”
“Nggak usah sok perhatian.”
“Gue hanya berusaha jadi adik yang peduli ke kakaknya.”
“Nggak usah sok peduli. Tubuh lo sendiri aja nggak lo peduliin,” sindir Ify langsung membuat Iqbal terpojokkan.
“Kena lagi gue,” lirih Iqbal serba salah.
Ify tersenyum puas. Ia lantas berdiri lagi. Ify memeriksa kening Iqbal, rasa sedikit hangat namun masih batas wajar.
“Gue nggak apa-apa, kan?” ucap Iqbal membuktikan ucapannya.
“Lo diem!”
Iqbal mengangguk dan langsung menutup rapat bibirnya.
“Siapa yang jaga lo nanti malam?” tanya Ify.
Iqbal dan Ify saling bertatapan, sedikit lama.
“Jawab!” bentak Ify kehilangan kesabaran.
“Katanya disuruh diem.”
“Emang lo bocah yang nurut aja kalau dibilangin?”
“Gue kayaknya salah mulu!”
“Lo emang salah! Lo sakit aja udah salah!”
“Rian dan Glen yang jaga,” jawab Iqbal pasrah. Tak ingin berdebat dengan kakaknya lagi membuat energinya cepat habis.
Ify mengangguk-angguk, puas mendengar jawaban Iqbal.
“Gue akan jemput lo lusa. Kemungkinan lusa lo sudah keluar dari rumah sakit.”
“Emang lo nggak sibuk?”
“Sangat sibuk! Makanya jangan sakit, bisa?”
“Iya, Kak,” pasrah Iqbal kesekian kalinya.
“Selama seminggu lo tidur di rumah dalam pengawasan gue. Dan, gue nggak mau dibantah. Mengerti?”
“Tapi Kak, gue…”
“Lo nggak denger gue nggak mau dibantah?”
“Denger.”
“Ya udah.”
Iqbal hanya bisa tersenyum hambar. Melawan kakaknya dalam keadaan sehat saja membuat energinya hampir habis, apalagi harus melawan kakaknya dalam keadaan sakit seperti ini. Lawan yang sangat berat.
“Buruan balik ke kantor,” usir Iqbal sengaja.
“Nggak usah lo usir, gue juga mau pergi,” balas Ify tak mau kalah.
Iqbal tersenyum kecil.
“Hati-hati di jalan.”
“Hm.”
Ify segera mengangkat tasnya, kemudian bersiap beranjak.
“Jangan lupa minum obat.”
Tanpa menunggu jawaban dari Iqbal, Ify langsung berjalan menuju pintu. Iqbal hanya bisa menatap kakaknya sembari geleng-geleng. Sikap dingin kakaknya memang tidak pernah berubah.
Namun, saat Ify sudah membuka pintu rawat, gadis itu tiba-tiba berbalik dan berjalan menghampiri Iqbal lagi, membuat Iqbal bingung.
“Kenapa Kak?” tanya Iqbal.
Ify tak menjawab, gadis itu memperhatikan Iqbal dengan lekat membuat Iqbal semakin tidak mengerti.
“Ada yang ketinggalan?”
“Ada,” jawab Ify.
“Apa?”
Detik berikutnya, Ify langsung mendekatkan tubuhnya dan memeluk Iqbal dengan hangat. Pelukan Ify berhasil membuat tubuh Iqbal langsung membeku, Iqbal sangat terkejut dengan yang dilakukan sang Kakak. Sangat tidak terduga.
“Gue tau lo selalu berusaha ingin melakukan yang terbaik. Tapi, jangan terlalu keras dengan diri lo sendiri. Cepat sembuh dan jangan sakit lagi.”
“Kak…”
“Gue belum selesai ngomong!”
“Oke.”
Ify menghela napas panjangnya, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Butuh keberanian lebih bagi Ify untuk mengutarakan perasaanya sekarang ke sang adik.
“Maaf gue belum bisa jaga lo dengan baik. Jadi, jangan pernah sungkan buat cerita tentang apapun. Lo tau kan, gue akan selalu ada buat lo. Dan, akan menjadi orang pertama yang selalu ada buat lo.”
Iqbal tanpa sadar menganggukkan kepalanya. Iqbal sangat tersentuh mendengar pengakuan kakaknya.
Perlahan, Iqbal melepaskan pelukan Ify. Iqbal mengembangkan senyumnya dengan tulus. Kali ini Iqbal dapat melihat jelas tatapan khawatir sang kakak. Bukan tatapan dingin dan kejam seperti saat gadis itu masuk ke kamar rawatnya.
“Kak.”
“Apa?”
“Gue beneran boleh cerita tentang apapun?”
“Iya.”
“Lo mau dengerin?”
“Pasti.”
“Kalau gue mau cerita sekarang boleh?”
Ify mengerutkan kening, sedikit kaget.
“Mau cerita apa?” tanya Ify penasaran.
Senyum Iqbal semakin mengembang lebar. Ia menatap kakaknya dengan sorot penuh harap.
“Mobil gue akhir-akhir ini sering mogok. Gue boleh ganti mobil nggak, Kak?”
****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART TIGA PULUH DELAPAN? SEMOGA SUKA YA ^^
KALAU KALIAN PUNYA ADIK SEPERTI IQBAL? PENGIN KALIAN APAIN? ^^
Sampai jumpa di OUR MARIPOSA part tiga puluh sembilan ^^
Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu.
Makasih banyak teman-teman Pasukan semua. Sayang kalian semua dan selalu jaga kesehatan ya ^^
Salam,
Luluk HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
