
“Sini,” suruh Iqbal tiba-tiba.
“Hah?” bingung Acha.
“Ada yang mau gue bisikin,” jelas Iqbal.
Tanpa pikir panjang, Acha langsung mendekat.
“Iqbal mau bisikin apa?”
*****’
OUR MARIPOSA PART TIGA PULUH EMPAT
Suara sorak sorai dari tribun menggema di penjuru lapangan indoor Universitas Arwana. Siang ini sedang berlangsung pertandingan basket antara Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ekonomi.
Dari kursi depan terlihat Acha dan Tesya yang heboh sejak awal pertandingan untuk mendukung pacar masing-masing.
“Pertandingan tinggal tujuh menit lagi Kak. Gue yakin Fakultas kita akan menang,” ucap Tesya penuh harap.
“Acha juga yakin Tesya,” tambah Acha.
****
Tujuh menit akhirnya berlalu, bersamaan dengan peluit pertandingan berakhir. Dan, seperti harapan Tesya dan Acha, pertandingan basket siang ini dimenangkan oleh Fakultas Kedokteran.
Suara sorakan kemenangan di tribun kanan yang dipenuhi anak Kedokteran terdengar nyaring, mereka terlihat begitu bahagia.
Begitu juga dengan Acha, dia langsung berdiri dan berlarian kecil menghampiri Iqbal.
“Iqbal selamat!! Iqbal keren banget tadi!!” seru Acha masih heboh. Acha memberikan sebotol air mineral dan handuk kecil ke sang pacar.
Iqbal tersenyum kecil sembari menerima handuk dan minuman dari Acha.
“Makasih, Cha.”
Acha memperhatikan Iqbal yang masih sibuk meneguk minumnya. Keringat masih bercucuran di leher dan wajah Iqbal. Bahkan, napas cowok itu masih terdengar tak beraturan.
“Capek banget, ya, Iqbal?” tanya Acha mendadak khawatir.
Iqbal mengangguk singkat.
“Lumayan.”
“Mungkin efek karena Iqbal udah lama nggak tanding basket.”
“Sepertinya.”
Acha langsung merangkul lengan Iqbal.
“Ayo kita makan. Kita pulihin energi pacar Acha!!”
Iqbal terkekeh pelan, kemudian mengangguk.
“Oke.”
Sebelum beranjak, Iqbal dan Acha pamitan dengan teman-temannya, kemudian mereka pergi menuju restoran terdekat yang ada di kampus karena sorenya Iqbal harus kembali ke lab untuk membantu profesor Tomi.
*****
Acha dan Iqbal melahap pasta yang ada di hadapan mereka. Acha senang melihat Iqbal yang sangat lahap menghabiskan makanannya. Keadaan Iqbal jauh lebih baik saat ini.
“Iqbal jadi bantu profesor Tomi?” tanya Acha membuka topik.
Iqbal mengangguk.
“Jadi.”
“Habis makan langsung balik ke kampus?”
Iqbal mengangguk kedua kalinya.
“Iya.”
Acha mengangguk-angguk kecil, berusaha mengerti. Iqbal menghentikan aktivitas makannya sejenak, kemudian menatap sang pacar.
“Jadi ke pameran boneka sapi?” tanya Iqbal balik.
Acha tak langsung menjawab, ia seolah sedang mempertimbangkan.
“Nggak jadi Iqbal. Malam ini ternyata ada teman Tante Mama yang datang dari Bandung. Udah lama Acha nggak ketemu, jadi Acha nggak enak kalau nggak nemuin.” Jujur Acha berbohong, ia hanya tidak ingin membebani Iqbal dan membuat Iqbal dilema. Acha tau, Iqbal sangat sibuk hari ini.
Kini giliran Iqbal yang terdiam, mencerna ucapan Acha.
“Beneran nggak jadi?” Entah kenapa Iqbal merasa tidak yakin dengan jawaban Acha.
Acha mengangguk-angguk beberapa kali, berusaha untuk tersenyum dengan lebar.
“Iya Iqbal nggak jadi. Acha bisa beli boneka sapi di lain waktu.”
Iqbal menghela napas pelan.
“Oke.”
*****
Acha merasakan perutnya begitu penuh, ia menghabiskan satu piring pasta, tiga potong ayam pedas di tambah satu mangkok es krim. Acha menepuk-nepuk perutnya yang mendadak lebih besar.
“Sudah?” tanya Iqbal.
Acha mengangguk-angguk dengan lemas, masih kekenyangan.
“Sudah Iqbal.”
“Ayo gue anter pulang.”
Acha sontak menegakkan tubuhnya dengan kedua mata melebar.
“Nggak perlu Iqbal. Acha bisa pulang sendiri naik taxi online. Iqbal nggak usah antar Acha,” ucap Acha berusaha meyakinkan sang pacar.
“Gue antar, Cha,” tolak Iqbal.
“Acha bisa pulang sendiri Iqbal.”
Iqbal terdiam sejenak, kedua matanya menyorot lebih lekat dan serius.
“Jangan buat gue ngulang tiga kali.”
Nyali Acha langsung menciut, Acha pun terpaksa mengangguk dari pada Iqbal tiba-tiba marah karena penolakannya.
“Iya Iqbal. Acha mau diantar Iqbal.”
Setelah itu, keduanya segera keluar dari restoran untuk menuju parkiran. Dan, mereka beranjak dari sana untuk menuju rumah Acha.
*****
Mobil Iqbal akhirnya sampai di depan rumah Acha. Iqbal memperhatikan Acha yang masih sibuk mengemasi tas dan barang-barangnya.
“Iqbal habis ini langsung ke kampus, kan?” tanya Acha memastikan sekali lagi.
“Iya.”
Acha menghela napas panjang, tatapanya berubah sendu. Perlahan, Acha menjulurkan tangannya, menyentuh pipi Iqbal.
“Jangan capek-capek ya.”
“Iya.”
“Kalau udah kerasa lelah, langsung istirahat. Jangan dipaksain,” tambah Acha.
“Iya, Natasha.”
Acha tersenyum, lega mendengar jawaban Iqbal. Tangannya perlahan turun.
“Makasih banyak Iqbal sudah anterin Acha.”
Iqbal diam sejenak, tak langsung menjawab.
“Sini,” suruh Iqbal tiba-tiba.
“Hah?” bingung Acha.
“Ada yang mau gue bisikin,” jelas Iqbal.
Tanpa pikir panjang, Acha langsung mendekatkan tubuhnya ke Iqbal, ia sangat penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh Iqbal.
“Iqbal mau bisikin apa?” tanya Acha tak sabar.
Tak ada jawaban dari Iqbal, detik berikutnya bukannya sebuah kalimat yang didengar Acha, melainkan sebuah kecupan hangat mendarat di puncak kepala Acha, membuat Acha langsung membeku kaget.
Acha menjauhkan tubuhnya, menatap Iqbal masih terkejut.
“Iqbal,” lirih Acha pelan.
“Apa?” balas Iqbal hangat.
Acha perlahan menunjuk ke pipi kanannya.
“Ciumnya boleh di kening juga?”
Iqbal kaget sesaat, kemudian terkekeh pelan tak menduga akan mendapat balasan seperti itu oleh Acha.
“Boleh sayang.”
Tanpa menunggu lama, Iqbal pun kembali mendaratkan ciuman hangatnya di kening Acha. Kali ini cukup lama dan terasa hangat.
“Makasih Natasha,” ucap Iqbal pelan dan penuh ketelusan.
Acha kembali memundurkan tubuhnya, sorot matanya berubah bingung.
“Makasih untuk apa?”
“Semuanya. Makasih sudah mau sabar dan mengerti.”
Acha tersenyum kecil.
“Acha akan selalu berusaha ngerti Iqbal. Jadi, Iqbal nggak usah ngerasa bersalah atau pun ngerasa bimbang. Kalau Iqbal ragu atau Iqbal mengalami dilema, Iqbal bisa cerita ke Acha atau Iqbal bisa bilang ke Acha.”
“Iya.”
Acha melirik jam tangan Iqbal, sudah menunjukkan pukul setengah lima.
“Iqbal harus balik ke kampus sekarang. Pasti profesor Tomi sudah nunggu Iqbal.”
Iqbal mengangguk, dengan berat hati Iqbal harus merelakan kepergian Acha.
“Besok gue jemput,” ucap Iqbal saat Acha sudah turun dan bersiap menutup pintu mobilnya.
“Iya Iqbal. Hati-hati di jalan.”
Tak lama kemudian, mobil Iqbal pun beranjak dari depan rumah Acha. Sedangkan, Acha masih berdiri di depan gerbang rumahnya, terus memperhatikan mobil Iqbal yang semakin menjauh.
Acha perlahan mengalihkan pandangannya ke bawah sembari menghela napas panjang. Acha memaksakan senyumnya mengembang.
“Nggak apa-apa, Cha. Iqbal lebih penting dari pada pameran boneka sapi. Acha harus bisa ngertiin Iqbal! Semangat!”
*****
Acha duduk di ruang tamu, melipat kedua kakinya di atas kursi sembari menonton film. Lebih dari dua jam, Acha hanya menonton televisi sendirian. Rencananya pergi ke pameran boneka sapi terpaksa harus batal karena Acha tidak ingin membebani Iqbal.
“Bosan banget,” lirih Acha mulai bingung harus ngapain.
Acha menatap jam di dinding, menunjukkan pukul sembilan malam. Mamanya sendiri sudah berpesan akan pulang sangat malam karena ada orderan banyak di butik. Ya, Acha bisa perkirakan pasti Mamanya sampai rumah sekitar jam satu atau dua dini hari.
Acha begumam pelan sembari berpikir.
“Sebaiknya Acha beli es krim ke minimarket.”
Acha turun dari kursi, kemudian buru-buru mengambil dompet dan ponselnya. Setelah itu, Acha keluar rumah untuk pergi membeli es krim.
*****
Acha memborong beberapa es krim dan yogurt. Tak lupa lima bungkus cemilan rasa cokelat. Entah mengapa malam ini Acha sedang butuh yang manis-manis. Mungkin karena tanggal menstruasinya sebentar lagi.
“Apa lagi, ya?” lirih Acha menimang-nimang cemilan apa lagi yang akan dibelinya.
Acha mengangguk yakin.
“Sepertinya ini sudah cukup.”
Setelah itu, Acha berbalik ingin pergi ke kasir. Namun saat baru saja Acha berjalan satu langka, Acha dikejutkan dengan seseorang yang dikenalnya berdiri di depannya dengan senyum lebar.
“Acha, lama nggak jumpa.”
“Juna!!” seru Acha sangat tak menduga akan bertemu cowok itu.
“Gimana kabar lo, Cha?”
“Acha baik. Juna sendiri gimana?”
“Baik juga.”
Acha mengerutkan kening, masih bingung.
“Juna kok bisa ada di minimarket perumahan Acha? Juna ada teman yang rumahnya dekat sini?”
Juna tersenyum canggung, kemudian menggeleng.
“Gue nggak sengaja aja berhenti di dekat sini dan ingin beli es krim,” jawab Juna.
Acha semakin mengerutkan kening, merasa aneh dengan jawaban Juna. Nyatanya, Acha cukup kenal seorang Juna yang tak pernah suka basa-basi atau pun melakukan hal yang menurut cowok itu tidak efisien. Maklum saja jiwa sang ketua osis.
“Beneran nggak sengaja berhenti?” curiga Acha.
“Beneran, Cha.”
Acha pun mengangguk-angguk berusaha percaya.
“Acha bayar dulu ya. Juna mau langsung balik?”
Juna diam sejenak, tidak langsung menjawab.
“Gu… Gue masih mau pilih beberapa cemilan dan es krim. Lo duluan aja.”
Acha merasa semakin aneh dengan tingkah Juna. Namun, Acha berusaha tidak ingin terlalu kepo dan membuat Juna tak nyaman.
“Oke Juna. Acha duluan, ya.”
“Iya Cha. Hati-hati di jalan.”
Dengan pikiran yang masih di penuh banyak pertanyaan dengan sikap Juna yang tak biasanya, Acha pun segera membayar es krim dan cemilan-cemilan yang dibelinya.
“Pakai kantong juga, Kak?” tanya sang kasir.
“Iya.”
Acha mengangkat kepalanya, menatap kasir di hadapannya. Acha terkejut sesaat, tak pernah melihat kasir tersebut sebelumnya.
Senyum Acha mengembang tipis.
“Kakaknya baru ya di sini?” tanya Acha.
Gadis itu mengangguk sembari membalas senyuman Acha.
“Iya Kak. Saya baru aja kerja di sini minggu ini.”
Acha menatap gadis di hadapannya cukup takjub. Parasnya yang cukup cantik bahkan tanpa riasan apapun, terlihat sangat polos dan seperti gadis baik-baik.
Pandangan Acha beralih ke name tag gadis di hadapannya. Acha membacanya.
“Hana. Nama kakak Hana?”
Gadis itu kembali mengangguk.
“Iya. Nggak perlu panggil kakak, panggil aja Hana.”
Acha terdiam sejenak, merasa familiar dengan nama tersebut. Acha berusaha berpikir keras untuk mengingatnya.
Ah! Tak butuh waktu lama, Acha akhirnya bisa mengingatnya. Ya, kejadian truth or dare beberapa tahun yang lalu yang mendadak diingat oleh Acha.
Acha terkekeh sendiri, merasa takjub dengan dirinya sendiri. Akhirnya rasa penasaran dan bingungnya terjawab sudah.
“Cowok yang sedari tadi masih muter-muter sok sibuk pilihan cemilan pacar Hana?” tanya Acha tanpa basa-basi.
Cewek bernama Hana itu terdiam, tak berani langsung menjawab.
“Bukan, ya?” tanya Acha lagi mulai takut salah menduga.
Cewek itu tersenyum samar.
“Sepertinya bukan, Kak.”
“Sepertinya?”
“Iya.”
Acha menghela napas panjang, semakin mencium bau-bau ketidak beresan antara gadis dihadapannya ini dengan temannya tersebut.
“Hana kenal sama Juna?” tembah Acha untuk kedua kalinya.
Hana mendadak salah tingkah.
“Ke… Kenal Kak.”
Acha mengangguk-angguk, kini semua terasa semakin masuk akal. Acha pun hanya tersenyum kecil, tidak ingin bertanya lagi. Acha merasa cukup.
“Semuanya delapan puluh ribu, Kak. Mau bayar pakai debit atau tunai?”
Acha menyerahkan uang tunai seratus ribu ke Hana dan Hana pun segera memberikan kembalian.
“Terima kasih banyak Kak Acha. Sampai berjumpa lagi.”
“Sama-sama Hana.”
Acha pun berniat beranjak, namun langkahnya terhenti kembali. Acha membalikan tubuhnya, menatap Hana sembari tersenyum.
“Hana,” panggil Acha.
“Iya, Kak?”
“Juna orang yang sangat baik. Gadis yang jadi pacar Juna pasti sangat beruntung.”
Tanpa menunggu balasan dari Hana, Acha kembali menghadap ke depan dan melanjutkan langkahnya. Acha keluar dari minimarket, meninggalkan Hana yang masih terdiam lama sembari memperhatikan kepergian Acha.
*****
Acha tak berhenti senyum-senyum sendiri mengingat tingkah lucu Juna di minimarket tadi. Acha yakin ada sesuatu antara Juna dan gadis itu. Karena, Acha ingat jelas, Juna pernah menyebut nama gadis itu di depannya dan teman-temannya.
“Cantik juga orang yang disuka Juna.”
Acha tersenyum lebih lebar.
“Hana? nama yang cantik.”
Deg! Langkah Acha seketika berhenti. Acha tiba-tiba menyadari sesuatu.
“Hana tadi manggil nama Acha, kan? Dia kenal sama Acha? Bagaimana bisa tau nama Acha?”
Acha baru terkejut dan menyadari hal itu.
“Mungkin Juna yang kasih tau,” simpul Acha akhirnya, tak mau terlalu ambil pusing.
Acha pun kembali melanjutkan langkahnya. Acha ingin segera sampai rumah dan memakan semua es krim beserta cemilan yang dibelinya.
*****
Acha hampir sampai rumahnya, perkiraan dari tempatna saat ini mungkin kurang seratus meter saja. Kedua mata Acha menyipit, meyakinkan dirinya tidak salah lihat.
Acha sedikit mempercepat langkahnya dan benar saja sebuah mobil porsche berwarna hitam berhenti di depan gerbang rumahnya.
“Itu mobil siapa?” bingung Acha. Entah kenapa dirinya mulai was-was sendiri.
Saat Acha sudah sampai di depan rumahnya, tiba-tiba pintu mobil itu terbuka dan seseorang cowok keluar dari sana.
Untuk kedua kalinya Acha dibuat terkejut saat melihat cowok tersebut. Langkah Acha langsung berhenti detik itu juga.
“Hai, Natasha.”
******
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART TIGA PULUH EMPAT? SEMOGA SUKA YA ^^
KIRA-KIRA SIAPA YANG DATANG? ADA YANG BISA NEBAK?
Sampai jumpa di OUR MARIPOSA part tiga puluh lima ^^
Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu.
Makasih banyak teman-teman Pasukan semua. Sayang kalian semua dan selalu jaga kesehatan ya ^^
Salam,
Luluk HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
