“Iqbal nggak suka ya datang ke pesta ini?”
Iqbal diam sebentar, kemudian menjawab.
“Bukannya nggak suka.”
“Terus apa?”
“Gue hanya khawatir.”
“Khawatir kenapa?”
******
OUR MARIPOSA PART DUA PULUH ENAM
MASA KINI
Iqbal mengatur napasnya sejenak, keringatnya terus bercucuran setelah latihan basket dengan teman-teman kedokterannya untuk acara rector cup.
“Permainan lo masih bagus aja, Bal,” ucap Jehan sembari menyodorkan sebotol air minum ke Iqbal.
Iqbal menerima botol tersebut.
“Thanks,” balas Iqbal segera meneguk minumannya.
Jehan mengambil duduk di sebalah Iqbal sembari melihat beberapa teman mereka yang masih bermain basket.
“Nanti malam lo datang, kan?” tanya Jehan.
“Apa?”
“Pesta kecil yang gue adain. Kata Tesya lo datang sama Acha.”
Iqbal mengangguk singkat, ia baru teringat janjinya dengan Acha.
“Iya.”
“Tenang aja, di sana juga gue sediakan minuman non alkohol,” ucap Jehan tak ingin membuat Iqbal khawatir. Jehan tau Iqbal tidak minum sama sekali.
Iqbal menoleh ke Jehan.
“Pesta lo jam berapa?”
“Jam delapan malam. Lo beneran datang, kan? Gue berharap banget lo mau datang.”
“Gue datang.”
Jehan tersenyum senang mendengar jawaban dari Iqbal. Jehan kembali berdiri.
“Gue tunggu kedatangan lo nanti malam.”
****
Acha merasakan kepalanya hampir pecah. Di satu sisi dia masih belum menemukan baju yang cocok dipakainya ke pesta malam ini, di sisi lain Amanda terus merecokinya sedari tadi.
“Cha, buruan ceritain!!” paksa Amanda entah sudah keberapa kalinya.
“Amanda, Acha masih sibuk cari baju!” balas Acha dengan tangan yang tak berhenti mengeluarkan baju-bajunya dari lemarin.
“Pakai warna biru itu aja, simple tapi elegan,” saran Amanda menunjuk dress paling ujung.
Acha menggeleng cepat.
“Acha udah pernah pakai ke pesta ulang tahun teman SD Acha,” ucap Acha asal.
Amanda membelakakan matanya, tak percaya.
“Sejak kapan lo datang ke ulang tahun temen SD lo!” desis Amanda.
Acha memberikan cengiran lebar, ketahuan dia hanya mengarang.
“Acha pakai baju yang mana ya! Satu jam lagi Iqbal pasti jemput,” seru Acha makin panik.
Amanda menghela napas panjang, ia berdiri dari kasur kemudian mendekati Acha.
“Cha, lo hutang cerita ke gue!” ucap Amanda mengingatkan.
Acha menghentikan aktivitasnya sejenak, ia menoleh ke Amanda dengan tatapan lelah.
“Cerita apa Amanda?”
Amanda tersenyum licik, jarinya ia tempelkan ke bibir Acha.
“Ciuman lo dan Iqbal,” bisik Amanda.
Acha sontak menepis jari Amanda dari bibirnya, pipi Acha langsung merona karena ucapan Amanda.
“Acha nggak mau cerita. Itu kan privasi Amanda,” tolak Acha.
“Oh, jadi beneran nih kalian habis ciuman?” goda Amanda.
“Amanda jangan keras-keras ngomongnya. Tante Mama ada di kamar!”
“Kasih tau ah ke Tante Kirana, anaknya udah dewasa sekarang!” ancam Amanda semakin semangat menggoda Acha.
“Amanda!!!” rengek Acha.
Amanda tertawa puas melihat wajah Acha yang salah tingkah. Amanda mendekat satu langkah.
“Gimana rasanya?” tanya Amanda.
“A… Apa?” gugup Acha.
“Ciuman sama Iqbal.”
“Nggak ada rasanya,” elak Acha cepat, berusaha menghilangkan kegugupannya.
“Bohong banget!! Pasti lo nggak bisa tidur berhari-hari. Kening lo dicium sama Iqbal aja lo nggak cuci muka seminggu apalagi dicium bibir!” sindir Amanda.
Acha langsung melebarkan kedua matanya, tidak percaya dengan ucapan Amanda yang semakin menggebu-gebu.
“Amanda, udah Acha bilang jangan keras-keras ngomongnya!” sebal Acha.
Amanda langsung menutup rapat bibirnya, ia terlalu semangat sampai kelepasan.
“Setelah ciuman kalian ngapain?” tanya Amanda semakin penasaran.
“Nggak ngapa-ngapain. Emang mau ngapain?” bingugn Acha.
Amanda memincingkan matanya, tak percaya.
“Bohong banget.”
“Acha nggak bohong Amanda.”
Amanda tertegun sesaat, ia memperhatikan Acha lebih lekat.
“Lo dan Iqbal berdua di Apartmen bukan di kamar Iqbal dan ciuman aja?” tanya Amanda memastikan.
Acha mengangguk dengan polosnya.
“Iya, ciuman. Tapi itu bukan sesuatu yang aja buat Acha. Tapi, sesuatu yang spesial tau Amanda,” jawab Acha malu-malu.
Amanda melongo sembari geleng-geleng. Cukup takjub dengan sosok Iqbal.
“Gila memang sih Iqbal,” seru Amanda masih tak percaya.
“Iqbal kenapa?” tanya Acha masih tak paham.
Amanda tersenyum simpul.
“Pertahanannya kuat banget.”
Acha mengerutkan keningnya, tetap tidak mengerti.
“Maskdunya?”
Amanda menepuk pelan bahu Acha dengan senyum semakin lebar.
“Ada deh pokoknya. Mending lo urusin baju lo. Gue lapar mau ikut makan!”
Acha langsung teringat dengan aktivitasnya yang tertunda. Raut wajahnya berubah panik lagi. Acha buru-buru melanjutkan aktivitasnya mencari baju.
“Cha,” panggil Amanda tiba-tiba.
“Amanda!!! Jangan ganggu Acha dulu. Acha beneran sibuk ini!!”
“Dengerin gue sebentar.”
“Acha nggak ada waktu Amanda.”
“Sebentar aja, Cha.”
Acha menghela napas panjang, ia mencoba mengalah. Acha menoleh ke Amanda dengan sabar.
“Apa Amanda?”
Amanda tersenyum kecil.
“Lo beruntung dapat Iqbal. Begitu juga dengan Iqbal. Beruntung dapat lo. Gue harap lo berdua jangan pernah bertengkar lagi dan terus bersama. Ngerti?”
Acha tertegun mendengar ucapan Amanda yang tak seperti biasanya. Detik berikutnya, Acha mengangguk kecil.
“Iya, Amanda.”
Setelah itu, Amanda keluar dari kamar Acha, meninggalkan Acha yang masih dilanda kebingungan karena ucapan Amanda barusan.
Acha tersenyum kecil.
“Acha yang lebih beruntung bisa dapat Iqbal.”
*****
Acha segera keluar dari rumahnya ketika mendapatkan pesan jika Iqbal sudah sampai di depan rumah. Malam ini, Acha memilih mengenakan dress berlengan pendek warna merah muda. Acha tidak ingin berpakaian terlalu terbuka karena Acha tau Iqbal tidak akan menyukainya.
Acha menemukan mobil Iqbal sudah di depan gerbangnya. Acha segera masuk ke dalam mobil Iqbal.
“Malam Iqbal,” sapa Acha penuh semangat.
Tak ada jawaban dari Iqbal, cowok itu masih diam dengan pandangan lekat ke arah Acha.
“Ke… Kenapa Iqbal?” tanya Acha bingung melihat Iqbal yang masih memandanginya dengan tatapan tak bisa Acha artikan.
“Cantik.” Satu kata yang berhasil membuat jantung Acha langsung berdetak cepat.
Acha merasakan kedua pipinya merona.
“Makasih Iqbal,” jawab Acha malu.
Iqbal mengembangkan senyumnya, ia mendekatkan dirinya ke Acha kemudian menarik tali seatbelt Acha dan membantu mengenakannya.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Iqbal memastikan setelah memasangkan sabuk pengaman Acha.
Acha mengangguk, lebih semangat.
“Iya, Iqbal. Kita berangkat sekarang.”
*****
Sepanjang perjalanan, Acha tak berhenti mengoceh. Dia menceritakan kejadian hari ini saat Amanda datang ke rumah dan menodongnya dengan berbagai pertanyaan. Sedangkan, Iqbal hanya diam mendengarkan. Ya, kadang merespon dengan anggukan-anggukan singkat.
“Acha kan malu ditanya kayak gitu Iqbal,” seru Acha meluapkan kegemasannya kepada sang sahabat. “Acha nggak salah kan nggak mau jawab pertanyaan Amanda?” tambah Acha meminta dukungan.
“Nggak salah,” jawab Iqbal seadanya.
Acha menoleh ke Iqbal, merasa tidak puas dengan jawaban sang pacar.
“Kalau Iqbal jadi Acha gimana?” tanya Acha.
“Hm?”
Acha menghela napas pelan, bersiap menjelaskan.
“Kalau semisal Glen atau Rian tanya ke Iqbal tentang ciuman Acha dan Iqbal kemarin, Iqbal bakalan jawab apa?” jelas Acha tanpa malu.
Iqbal tertegun dan cukup kaget mendengar pertanyaan Acha yang blak-blakan. Iqbal berusaha untuk tetap terlihat tenang.
“Jawab apa adanya,” jawab Iqbal enteng.
Acha mengerutkan kening, kini giliran dia yang dibuat kaget.
“Iqbal bakalan jawab jujur kalau kemarin Iqbal dan Acha habis ciuman?”
Iqbal mengangguk tanpa ragu.
“Iya.”
“E… Emang Iqbal nggak malu cerita tentang ciuman Iqbal dan Acha?”
Iqbal tak langsung menjawab, ia memelankan kecepatan mobilnya dan berhenti tepat saat rambu lalu lintas berubah warna merah.
Kemudian, Iqbal menoleh ke Acha dengan senyum mengembang tipis. Iqbal menjulurkan tangannya ke rambut Acha dan mengacak-acaknya lembut.
“Aku ciuman sama kamu, bukan sama orang lain.”
Dan, jantung Acha dibuat berdebar hebat untuk kesekian kalinya. Lagi-lagi pipi Acha merona merah. Acha tak menyangka Iqbal akan menjawab seterbuka itu.
“Ka… Kalau gitu Acha juga nggak akan malu,” seru Acha.
Iqbal terkekeh pelan.
“Kalau nggak nyaman nggak usah diceritain Cha,” ucap Iqbal memberikan saran.
“Acha bukannya nggak nyaman, hanya malu aja buat ceritanya. Acha mendadak deg-degan sendiri waktu ditanya seperti itu,” jawab Acha dengan polosnya.
“Suruh Amanda tanya gue,” ucap Iqbal tiba-tiba.
Acha mengerutkan kening, masih tak paham.
“Emang Iqbal mau apa kalau Amanda tanya ke Iqbal?”
“Gue bantu jawab.”
“Iqbaaall!!! Acha makin malu nanti!!!!”
Tawa Iqbal langsung pecah melihat raut panik dan kaget Acha. Iqbal sendiri hanya bercanda ketika berkata seperti itu.
Tangan Iqbal beralih ke jemari Acha dan mengenggamnya erat. Acha menghela napas pelan, mengatur rasa gugupnya sesaat. Acha menatap tangannya yang digenggam oleh Iqbal. Acha selalu suka saat Iqbal melakukan hal manis seperti ini.
Acha kembali menatap ke depan, melihat jalanan yang cukup ramai.
“Sebentar lagi kita sampai Iqbal?” tanya Acha membuka topik baru.
“Iya.”
“Acha semakin nggak sabar!” seru Acha.
Iqbal menoleh ke Acha singkat, kemudian kembali menghadap ke depan. Raut wajah Iqbal yang semula tenang, sedikit berubah khawatir.
“Acha,” panggil Iqbal pelan.
“Iya Iqbal?”
“Jangan lupa satu syaratnya,” ucap Iqbal mengingatkan.
Acha mengerutkan kening, sedikit bingung.
“Syarat apa?”
“Terus di samping gue selama pesta,” jelas Iqbal.
Acha mengangguk cepat, ia baru teringat akan perjanjiannya dengan Iqbal.
“Tenang aja Iqbal, acha janji bakalan ada di dekat Iqbal terus.”
“Kalau nggak nyaman langusng bilang,” peringat Iqbal.
“Iya Iqbal. Acha akan selalu ada di samping Iqbal dan selalu kasih tau Iqbal kalau Acha nggak nyaman atau pun ingin pulang.”
Iqbal mengangguk pelan, puas dengan jawaban Acha. Iqbal lebih mengeratkan genggaman tangannya membuat Acha kembali menoleh menatap Iqbal.
Acha tertegun sesaat ketika memandang sang pacar, Acha bisa merasakan sorot khawatir di sana. Acha jarang melihat Iqbal yang sekhawatir ini.
“Iqbal nggak suka ya datang ke pesta ini?” tanya Acha hati-hati.
Iqbal diam sebentar, kemudian menjawab.
“Bukannya nggak suka,” jawab Iqbal menggantung.
“Terus apa?”
“Gue hanya khawatir.”
“Khawatir kenapa?”
“Entahlah, tiba-tiba khawatir aja.”
Acha tersenyum kecil, tangan kirinya ia taruh diatas genggaman tangan Iqbal. Acha berusaha untuk menenangkan sang pacar.
“Iqbal,” panggil Acha.
“Hm?”
“Nggak usah khawatir ya. Semua pasti baik-baik aja. Kita hanya ke pesta kecil dan cuma sebentar. Sebelum jam sembilan malam kita pulang.”
“Iya, Cha.”
Acha kembali menatap ke depan. Jujur karena Iqbal berkata seperti tadi, terbesit rasa khawatir juga di hati Acha.
Acha menghela napas panjang, mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.
“Semua pasti baik-baik saja, Natasha.”
*****
#CuapCuapAuthor
BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART DUA PULUH ENAM?
SEMOGA SUKA YA ^^
Sampai jumpa di OUR MARIPOSA part dua puluh tujuh ^^
Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu.
Makasih banyak teman-teman Pasukan Mariposa. Selalu sayang kalian semua. Jangan lupa jaga kesehatan ^^
Salam,
Luluk HF
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
