OUR MARIPOSA - 22 (JANGAN MARAH)

163
6
Deskripsi

         “Iqbal buka jendela mobilnya,” pinta Acha. 

         Iqbal menurunkannya seraya menatap Acha dengan bingung. 

         “Kenapa lagi?” 

         “Sini tangan Iqbal.”

         “Tangan?”

         “Iya.” 

         Iqbal menuruti. Acha menerima tangan Iqbal, menggenggamnya erat.   

         “Iqbal jangan marah lagi sama Acha, ya. Acha selalu ada untuk Iqbal.” 

******

OUR MARIPOSA PART DUA PULUH DUA

 

MASA KINI

“Iqbal nggak salah paham sama Acha dan Glen, kan?”

Iqbal mengembangkan senyumnya, kemudian menggeleng. 

“Nggak.”

Acha menatap Iqbal, masih khawatir. 

“Beneran?”

Iqbal meraih tangan Acha, menggenggamnya. 

“Iya, Natasha.” 

Acha akhirnya bisa tersenyum, ia membalas genggaman tangan Iqbal. 

“Makasih Iqbal.”

“Mau pulang?” ajak Iqbal. 

Acha mengangguk menurut. Acha menoleh ke Glen yang sedari tadi hanya diam. 

“Glen, Acha dan Iqbal pulang dulu ya. Nggak apa-apa, kan?”

Glen mengangguk cepat. 

“Iya, kalian pulang aja dulu. Gue masih mau keliling Mall, lihat sepatu,” balas Glen tidak ingin membuat suasana semakin tegang. 

“Kita balik,” pamit Iqbal.

Glen lagi-lagi hanya mengangguk.

“Hati-hati di jalan.”

Glen akhirnya bisa bernapas legah ketika melihat Iqbal dan Acha beranjak pergi dengan keadaan yang baik-baik saja. Jujur, Glen sendiri sempat khawatir Iqbal akan salah paham. Seperti halnya dirasakan Acha. 

“Apa gue tetap harus jelaskan ke Iqbal?” 

*****

Mobil Iqbal akhirnya sampai di depan rumah Acha. Jujur sepanjang perjalanan, Acha merasa resah dan masih khawatir karena Iqbal tak banyak bicara. Acha tau Iqbal memang pendiam, tapi diamnya Iqbal berbeda seperti biasanya. 

         Acha menoleh ke Iqbal, cowok itu tengah sibuk melepaskan sabuk pengamannya. 

         “Iqbal,” panggil Acha pelan. 

         Iqbal menatap ke Acha dengan tangan yang masih sibuk berusaha melepaskan sabuk pengemannya. 

         “Kenapa?” balas Iqbal, akhirnya sabuk pengamannya terlepas. 

         Acha bergumam pelan. 

         “Acha udah nggak marah sama Iqbal. Acha juga udah maafin Iqbal. Jadi, Iqbal jangan marah ke Acha, ya,” ungkap Acha sungguh-sungguh. 

         Iqbal tersenyum, merasa senang mendengar pengakuan Acha. 

         “Gue juga nggak marah sama lo, Cha.”

         “Iya. Tapi tetap aja, Acha khawatir Iqbal marah sama Acha.” 

         Iqbal memperhatikan Acha lebih lekat. Ia dapat menangkap kegusaran di kedua manik cantik itu. Iqbal mengulurkan tangannya untuk meraih tangan Acha kemudian mengenggamnya erat. 

         “Gue beneran nggak marah, Natasha,” ulang Iqbal berusaha meyakinkan Acha. 

         Acha mengangguk-angguk, berusaha juga untuk percaya. 

         “Acha selalu sayang Iqbal,” akuh Acha tulus. 

         Iqbal mengeratkan genggamannya. 

         “Gue juga, Cha.” 

         Acha merasa lebih lega, mungkin Iqbal terlalu lelah dan banyak pikiran saat ini. Acha melepaskan genggaman tangan Iqbal. 

         “Acha turun, ya. Iqbal hati-hati pulangnya.”

         “Iya.” 

         Acha hendak membuka pintu mobil Iqbal. Namun, Acha tiba-tiba mengurungkannya dan kembali menatap Iqbal. 

         “Iqbal,” panggil Acha tiba-tiba. 

         “Kenapa? Ada yang ketinggalan?”

         Acha menggeleng. 

         “Nggak ada.”

         “Terus?”

         Acha bergumam sesaat sebelum akhirnya membuka suara kembali. 

         “Besok kuliah libur. Iqbal ada kegiatan apa besok?” tanya Acha. 

         Iqbal terdiam sejenak, baru menyadari jika besok hari libur. 

         “Nggak tau.”

         “Iqbal mau ke lab praktikum?”

         “Nggak.”

         “Istirahat di rumah aja?”

         Iqbal mengangguk. 

         “Iya.”

         Acha tersenyum senang. 

         “Iqbal harus banyak istirahat. Besok jangan kemana-mana, ya. Janji sama Acha?” peringat Acha seperti ibu-ibu yang sedang mengomeli anaknya. 

         Iqbal terkekeh pelan.  

         “Iya, Natasha.” 

         Acha tersenyum puas mendengar jawaban Iqbal. 

         “Acha beneran turun, ya,” pamit Acha untuk kedua kalinya. 

         “Iya.”

         Acha membuka pintu mobil Iqbal dan segera turun. Kemudian, Acha melambaikan tangannya dan menutup pintu Iqbal. 

         Acha tak langsung masuk ke rumah, ia berjalan mendekati sisi lain pintu mobil Iqbal yang lebih dekat dengan kursi Iqbal. 

         Acha mengetuk kaca jendela Iqbal, membuat Iqbal sedikit terkejut. 

         “Iqbal buka jendela mobilnya,” pinta Acha. 

         Iqbal segera menurunkannya seraya menatap Acha dengan bingung. 

         “Kenapa lagi?” 

         “Sini tangan Iqbal.”

         “Tangan?”

         “Iya.” 

         Iqbal pun menuruti dan mengulurkan tangannya. Acha menerima tangan Iqbal, kemudian mengenggamnya dengan erat.   

         “Iqbal jangan marah lagi sama Acha, ya. Jangan lagi lampiasin lelah Iqbal ke Acha. Kalau Iqbal capek, bilang ke Acha. Jujur ke Acha. Karena Acha bakalan dengerin semua keluhan Iqbal. Acha akan berusaha hibur Iqbal saat Iqbal lelah. Iqbal harus ingat, kalau Acha selalu ada untuk Iqbal.”

         Iqbal tertegun mendengar pengakuan Acha yang terdengar begitu tulus. Perlahan, Iqbal membalas genggaman Acha dengan erat. Kemudian, Iqbal mengecup lembut punggung tangan Acha. 

         “Iya, gue janji Cha.” 

         Acha tersenyum kecil.   

         “Selamat malam Iqbal.”

         Iqbal tanpa ragu membalas senyuman Acha. 

         “Selamat malam Natasha.”

******

         Iqbal masuk ke dalam lift, tubuhnya terasa lelah dan ingin segera istirahat di Apartmennya. Iqbal menyenderkan tubuhnya dan perlahan menutup kedua matanya. Dalam kegelapan pandangnya, pikiran Iqbal tiba-tiba kembali teringat kejadian tadi sore. Antara Acha dan Glen. 

         Iqbal menghela napas panjang kemudian membuka kedua matanya. Iqbal berusaha untuk tidak memikirkan lebih panjang. Iqbal sangat tau baik Acha dan Glen tidak sengaja melakukannya. 

         Pintu lift Iqbal akhirnya terbuka, Iqbal segera keluar untuk menuju apartmennya. Namun, langkah Iqbal terhenti saat melihat seorang yang Iqbal kenal berdiri di depan pintu Apartmennya. 

         “Lo ngapain?” tanya Iqbal pada Glen. 

         Ya, sosok yang Iqbal lihat sekarang adalah Glen, sahabatnya sendiri. Glen menoleh ke Iqbal dengan memamerkan senyum lebarnya. 

         “Main aja. Boleh masuk nggak?” jawab Glen dengan tak berdosanya. 

         Iqbal melanjutkan langkahnya, mendekati Glen.         

         “Lo nggak punya ponsel?” sindir Iqbal. 

         “Gue baru aja nunggunya,” balas Glen. 

         Iqbal tak membalas dan segera membuka pintu Apartmennya. 

         “Boleh masuk kan gue?” ulang Glen memastikan. 

         Iqbal tetap tak membalas, ia malah langsung masuk membuat Glen bingung. 

         “Karena lo nggak jawab, gue anggap iya! Biasanya cewek kalau diem tandanya iya Bal!” seru Glen dan mengikuti Iqbal masuk. 

         Iqbal hanya geleng-geleng melihat tingkah Glen. Iqbal membiarkan saja Glen masuk ke apartmennya.

****

         “Mau minum apa Glen?” tanya Glen ke dirinya sendiri. 

         Iqbal duduk di sofa memperhatikan Glen yang sedang asik di dapur, bermonolog sendiri dan mengambil minum sendiri. 

         “Maaf ya Glen adanya air putih aja di sini. Ambil sendiri aja.” 

         Iqbal menghela napas berat. 

         “Lo mau ngomong apa?” tanya Iqbal malas basa-basi. 

         Pertanyaan Iqbal berhasil membuat Glen menghentikan aktivitasnya. Glen mengurungkan niatnya untuk mengambil minum. Ia segera mendekati Iqbal dan duduk di sofa sebrang Iqbal. 

         “Gue juga bingung kenapa gue berakhir di sini,” serah Glen terlihat cukup gusar.  

         Beberapa detik keduanya saling diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Glen sibuk merangkai kalimat-kalimat yang ingin dia sampaikan ke Iqbal. Dan, Iqbal sibuk memperhatikan Glen. 

         “Gue nggak marah.” Iqbal membuka suara duluan. 

         Glen langsung menatap Iqbal. 

         “Gue merasa harus menjelaskan, Bal,” balas Glen mulai mengutarakan tujuannya. 

         “Nggak perlu.” 

         Glen menghela napas pelan, semakin gusar. 

         “Gue nggak mau lo berpikir gue dan Acha masih ada perasaan. Gue udah lupain perasaan gue ke Acha, Bal. Udah nggak ada sama sekali,” jelas Glen. 

         “Gue nggak pernah mikir itu.” 

         Glen terdiam sejenak, kemudian tersenyum sinis. 

         “Nggak pernah? Mata lo nggak bisa bohong Bal,” sindir Glen terang-terangan. 

         Kini giliran Iqbal yang dibuat terdiam dengan ucapan Glen. 

         “Gue kenal lo dari kecil. Setenang apapun lo, gue tetap tau saat lo sedang gusar. Seperti saat kejadian tadi. Gue bisa lihat jelas.”

         “Gue ha…” 

         “Gue tau lo nggak marah. Tapi, lo khawatir kan? Ada perasaan yang membebani lo, kan?” 

         Iqbal terbungkam, tak bisa mengelak lagi. Memang itu yang selalu dirasakannya saat Acha dan Glen bersama. 

         Melihat diamnya Iqbal, sangat jelas bagi Glen. Senyum Glen kembali mengengembang, cukup tipis. 

         “Bal, lo percaya gue, kan?” tanya Glen lirih. 

         “Iya,” balas Iqbal tanpa ragu. 

         “Gue nggak akan suka lagi sama Acha. Gue beneran udah lupain Acha. Jadi, jangan pernah ragu sama Acha. Dia juga sangat sayang sama lo.” 

         Iqbal mengangguk lemah. 

         “Iya, gue tau.” 

         Glen menghela napas panjang, kemudian berdiri. Glen mendekati Iqbal dan menepuk pelan bahu Iqbal, berniat untuk pamit. 

         “Buat gue, sahabat diurutan paling pertama, Bal.” 

         Setelah itu, Glen berjalan menuju pintu untuk keluar. 

         “Glen,” panggil Iqbal. 

         Langkah Glen terhenti, ia berbalik menatap Iqbal yang masih duduk di tempatnya dengan tatapan lurus ke arahnya. 

         “Apa?” balas Glen. 

         Iqbal tersenyum tipis. 

         “Buat gue, Acha diurutan pertama.” 

         Glen terkejut mendengar pernyataan Iqbal. Detik berikutnya baik Glen dan Iqbal sama-sama tertawa. 

         “Sialan lo, Bal!” umpat Glen tak bisa menahan kekesalannya. 

         Ya, mereka berhasil mencairkan semuanya. Baik Glen dan Iqbal sudah sama-sama dewasa. Pertemanan mereka sejak kecil membuat hubungan mereka selalu erat dan selalu saling peduli. Seperti sekarang. 

         “Pulang sana!” usir Iqbal. 

         “Iya, gue mau cari pacar habis ini biar gue bisa taruh dia diurutan pertama!” teriak Glen masih kesal. 

*****

         Iqbal bangun lebih pagi dari biasanya, entah kenapa tidurnya semalam sangat nyenyak. Seolah semua kekhawatiran di kepalanya sudah sirna satu persatu. Acha sudah memaafkannya dan masalah kemarin sore tidak lagi membebaninya karena kedatangan Glen. 

         Iqbal sangat bersyukur akan banyak hal.

         Iqbal keluar dari kamar mandi, masih dengan rambut basah dan handuk di belakang lehernya. Saat Iqbal keluar kamar untuk mengambil air dingin di dapur, bel pintu Apartmen Iqbal berbunyi. 

         Iqbal sontak menatap pintu apartmennya dengan kening mengerut. Pandangan Iqbal beralih ke jam dinding, masih menunjukan pukul enam pagi. 

         “Siapa yang datang sepagi ini?” 

*****

#CuapCuapAuthor 
 

BAGAIMANA OUR MARIPOSA PART DUA PULUH DUA? SUKA? 

SEMOGA SUKA YA ^^

LANGSUNG AJA BACA OUR MARIPOSA PART 23 YAA. SUDAH DIUPDTE JUGA ^^ 

Jangan lupa kasih love dan komen kalian ya. Selalu paling ditunggu. 

Makasih banyak teman-teman Pasukan semua. Sayang kalian semua dan selalu jaga kesehatan ya ^^

 

Salam, 


Luluk HF 

   

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Our Mariposa
Selanjutnya OUR MARIPOSA - 23 (BOLEH?)
203
39
“Kamu baik dan kamu selalu mengerti aku, Cha,” bisik Iqbal. “Hanya itu?” goda Acha. “Masih banyak.”“Apa lagi?” “Kamu cantik.”“Terus?”“Kamu pinter.”“Terus?” “Kamu selalu ada buat aku.”“Terus?” Iqbal menghentikan jawabannya. Ia menatap Acha lebih dalam. “Terus apa Iqbal?” paksa Acha tak sabar. “Cium kamu boleh?” ****OUR MARIPOSA PART 23 berbayar Rp. 3000 ya teman-teman. Cara bayarnya teman-teman langsung saja klik kotak biru yang ada harganya. Part ini bakalan buat baper dan gemesin banget.  Aku yang baca aja senyum-senyum sendiri dan deg-degan terus waktu nulis dan revisinya ^^ Teman-teman Pasukan Mariposa harus banget baca dan rasakan sendiri sensasi deg-degan dan baper bersama!!  Selamat membaca dan semoga suka ❤️
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan